Minggu, 18 November 2018

Istihsan dan Maslahah Mursalah


PEMBAHASAN

A.    Istihsan

1.      Pengertian istihsan
Istihsan menurut bahasa berarti memandang baik sesuatu, sesuatu yang digemari dan disenangi manusia. Menurut istilah terdapat beberapa rumusan dari para ulama:
a.       Menurut Abdul Wahab Khallaf, istihsan ialah pindahnya seorang mujtahid dari tuntunan qiyas jail kepada tuntunan qiyas khafi, atau dari hukum kully kepada hukum istitsana’I berdasarkan dalil.
b.      Menurut al-Bazdawi, istihsan ialah perpindahan dari tuntunan suatu qiyas kepada qiyas yang lain yang lebih kuat atau men-takhsih qiyas dengan dalil yang lebih kuat.
c.       Imam Malik mendefinisikan isthsan adalah beramal dengan salah satu dari dua dalil yang paling kuat atau mengambil maslahah juz’iyah dalam berhadapan dengan dalil kulli.
Istihsan merupakan dalil yang diperselisihkan di antara para ulama. Menurut ulama Hanafiyah, Malikiyah dan sebagian Hanabilah, istihsan merupakan dalil yang kuat dalam menetapkan hukum syara’. Mereka memperkuat penggunaan istihsan dengan dalil-dalil, baik dari Al-Qur’an, Sunnah maupun hasil penelitian terhadap nash. Namun mereka berbeda-beda dalam penetapan istihsan dalam hirarki sumber / dalil hukum Islam dan intensitas penggunaannya. Ulama yang terkenal banyak menggunakan dalil istihsan diantaranya Imam Abu Hanifah dan Imam Malik. Bahkan Imam Malik pernah mengatakan bahwa istihsan Sembilan per sepuluhnya ilmu. Namun demikian, mereka berbeda dalam membagi istihsan. Ulama Malikiyah membagi istihsan menjadi empat, yaitu istihsan dengan urf, istihsan dengan maslahat, istihsan dengan ijma’, istihsan dengan kaidah raf’ al-haraj wa al-masyaqqat. Sedangkan istihsan dengan qiyas kahfi tidak dikenal dalam Ushul Fiqih Maliki. Sedang Imam Hanafi membagi istihsan menjadi empat, yaitu istihsan dengan nash, istihsan dengan ijma’, istihsan dengan darurat dan istihsan dengan qiyas kahfi, walaupun dalam perkembangannya ulama Hanafiyah juga menggunakan istihsan maslahat dan urf.
Di antara ulama yang menolak istihsan sebagai dalil adalah ulama Syafi’iyah, Zahiriyah, Syi’ah dan Mu’tazilah. Bahkan al-Imam al-Syafi’I menyusun argumentasi secara detil untuk menolak eksistensi istihsan:
a.       Syari’at itu ditetapkan dengan nash dan qiyas. Istihsan bukan nash dan bukan pula qiyas. Jika begitu menggunakan istihsan berarti mengakui adanya hukum-hukum yang belum ditetapkan oleh nash dan qiyas dan ini bertentangan dengan ayat Al-Qur’an yang artinya “Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan saja (tanpa pertanggung jawaban).”
b.      Banyak ayat Al-Qur’an yang menyuruh menaati Allah dan Rasulnya dan jika terjadi perselisihan hendaknya dikembalikan kepada Allah dan Rasul. Sedangkan istihsan tidak termasuk kitab dan sunnah dan juga tidak menunjukkan Al-Qur’an dan Sunnah.
c.       Nabi SAW. tidak pernah berfatwa berdasarkan istihsan. Ketika ditanya berbagai kasus beliau tidak memberikan jawaban berdasarkan istihsan melainkan menunggu wahyu.
d.      Nabi menolak fatwa sebagian sahabat berdasarkan istihsan ketika berada jauh dari Nabi.
e.       Istihsan itu tidak menjadi kriteria dan tolak ukur untuk membedakan yang hak dan yang batil sebagaimana qiyas.
f.       Jika istihsan diperbolehkan, padahal ia bukan nash dan juga tidak merujuk kepada nash, berarti ia menetapkan hukum berdasarkan akal semata. Dan hal ini tidak dibenarkan.
Muhammad Abu Zahrah seperti dikutip Nasrun Haroen, berpendapat bahwa penolakan Imam Syafi’I terhadap istihsan tidak bersifat menyeluruh. Penolakan itu menurutnya hanya berlaku pada istihsan yang disebarkan pada urf dan maslalaha mursalah. Ini sejalan dengan prinsip ulama Syafi’iyah yang menolak eksistensi urf dan maslalah mursalah sebagai dalil.

2.      Dasar-Dasar Isihsan
Dasar-dasar istihsan terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadist Rasulullah SAW. antara lain:
a.       Dasarnya dalam Al-Qur’an:
Artinya “Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi oleh Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang berakal.”
b.      Dasarnya dalam Hadist:
Artinya “Anas RA, berkata, “Rasulullah SAW. bersabda, “Sebaik-baik agamamu adalah yang lebih mudah ajarannya; dan sebaik-baik ibadahmu adalah yang dipahami syarat-syarat dan rukun-rukunnya.”” (HR. Ibnu Abdul Barr).

3.      Pembagian Istihsan
a.       Berdasarkan proses perpindahannya, istihsan dibagi dua, yaitu:
1)      Mendahulukan qiyas kahfi dari qiyas jail karena ada alasan yang dibenarkan syara’.
2)      Mengecualikan hukum juz’I dari hukum kully dengan dalil.
b.      Berdasarkan sandarannya, istihsan dibagi menjadi enam, yaitu:
1)      Istihsan berdasarkan nash, yaitu adanya ayat atau hadist tentang hukum suatu kasus yang berbeda dengan ketentuan kaidah umum.
2)      Istihsan bi al-Ijma’ ialah meninggalkannya qiyas dalam suatau masalah berdasarkan ijma’ yang menetapkan hukum berbeda dengan hukum yang ditunjukkan oleh qiyas.
3)      Istihsan berdasarkan qiyas khafi.
4)      Istihsan bi al-Maslahah ialah istihsan berdasarkan maslahah.
5)      Istihsan bi al-‘adah au al-urf ialah istihsan berdasarkan kebiasaan yang berlaku umum.
6)      Istihsan bi al-Darurah ialah ada keadaan-keadaan darurat yang menyebabkan seseorang mujtahid tidak memberlakukan kaidah umum atau qiyas.
4.      Perbedaan Istihsan dengan Qiyas dan Maslahah Mursalah
Istihsan berbeda dengan qiyas dan juga maslahah mursalah. Perbedaan istihsan denag qiyas menyamakan kasus yang belum ada ketentuan hukumnya berdasarkan nash atau ijma’ dengan kasus yang sudah ada ketetapan hukumnya berdasarkan nash atau ijma’. Istihsan adalah perpindahan dari kasus yang didasarkan pada dalil kepada kasus lain berdasarkan dalil yang lebih kuat, seperti berpindah dari nash umum atau qiyas kepada nash khusus, atau kepada qiyas kahfi krena adanya kemaslahatan yang hendak direalisasikan atau mafsadah (kerusakan) yang ingin dihindarkan. Persamaan antara keduanya adalah sama-sama didasarkan pada dalil. Sedang maslahah mursalah adalah penetapan hukum yang semata-mata didasarkan pada pertimbangan mewujudkan kemaslahatan atau menghindarkan kerusakan, serta tidak memiliki dasar nash.

B.      Maslahah Mursalah
1.      Pengertian Maslahah Mursalah
Salah satu metode yang dikembangkan ulama Ushul Fiqih dalam mengistinbathkan hukum Islam dari nash adalah maslahah mursalah. Penggunaan maslahah mursalah seagai hujjah didasarkan pada pandangan tentang adanya illat dalam suatu hukum.
Menurut bahasa, maslahah berarti manfa’at dan kebaikan, sedang mursalah berarti melepas. Menurut istilah maslahah mursalah ialah kemaslahatan yang tidak ditetapkan oleh syara’ dalam peneapan hukum dan tidak ada dalil yang menyuruh mengambil atau menolaknya. Pada umumnya maslahah mempunyai dua sisi, yaitu sisi positif (ijabi) dan sisi negative (salabi). Sisi positif berupa merealisasikan kebaikan (ijad al-manfa’ah). Sedang sisi negative menolak kerusakan atau bahaya (daf’ al-mafsadah).

2.      Kehujjahana Maslahah Mursalah
Sebagai hujjah, maslahah diperselisihkan para ulama. Dalam masalah ini ulama terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu:
a.       Menurut Jumhur ulama maslahah mursalah tidak dapat dijadikan dalil/hujjah. Mereka mengemukakan beberapa argument, yaitu:
1)      Allah telah mensyari’atkan untuk para hamba hukum-hukum yang memenuhi tuntunan kemaslahatan mereka Ia tidak luoa dan tidak meninggalkan satu kemaslahatan pun, tanpa mengundangkannya. Berpedoman pada maslahah mursalah berarti menganggap Allah meninggalkan sebagian kemaslahatan hamba-Nya, dan ini bertentangan dengan nash.
2)      Maslahah mursalah itu berada di antara maslahah mu’tabarah dan maslahah mulghah, di mana menyamaknnya dengan maslahah mu’tabarah belum tentu lebih sesuai dari pada menyamaknnya dengan maslahah mulghah, karenanya tidak pantas dijadikan hujjah.
3)      Berhujjah dengan maslahah mursalah dapat mendorong orang-orang tidak berilmu untuk membuat hukum berdasarkan hawa nafsu dan membela kepentingan penguasa.
b.      Menurut Imam Malik maslahah mursalah adalah dalil hukum syara’. Pendapat ini juga diikuti oleh Imam Haramain. Mereka mengemukakan argument sebagai berikut:
1)      Nash-nash syara’ menetapkan bahwa syari’at itu diundangkan untuk merealisasikan kemaslahatan manusia, karenanya berhujjah dengan mslahah mursalah sejalan dengan karakter syara’ dan prinsip-prinsip yang mendasarinya serta tujuan pensyari’atannya.
2)      Kemaslahatan manusia serta sarana mencapai kemaslahatan itu berubah karena perbedaan tempat, keadaan, dan zaman. Jika hanya berpegang pada kemaslahatan yang ditetapkan berdasarkan nash saja, maka berarti mempersempit sesuatu yang Allah telah lapangkan dan mengabadikan banyak kemaslahatan bagi manusia, dan ini tidak sesuai dengan prinsip-prinsip umum syari’at.
3)      Para mujtahid dari kalangan sahabat dan generasi sesudahnya banya melakukan ijtihad berdasarkan maslahah dan tidak ditentang oleh seorang pun dari mereka. Karenanya ini merupakan ijma’.
c.       Menurut al-Ghazali, maslahah mursalah yang dapat dijadikan dalil hanya maslahah dharuruiyah. Sedangkan maslahah hijaiyah  dan maslahah tahsiniyah tidak dapat dijadikan dalil.

3.      Syarat-Syarat Maslahah Mursalah
Maslahah mursalah dapat dijadikan dijadikan sebagai dalil dengansyarat:
a.       Maslahah tersebut harus maslahah yang hakiki, bukan sekedar maslahah yang diduga atau diasumsikan.
b.      Kemaslahatan tersebut harus kemaslahatan umum, bukan kemaslahatan pibadi atau kemaslahatan khusus.
c.       Kemaslahatan tersebut sesuai dengan maqashid al-Syari’ah dan tidak bertentangan dengan dalil-dalil syara’.
d.      Kemaslahatn tersebut harus selaras dan sejalan dengan akal sehat. Artinya kemaslahatan tersebut tidak boleh bertentangan dengan akal sehat.
e.       Pengambilan kemaslahatan tersebut harus untuk merealisasikan kemaslahatan dharuriyah, bukan kemaslahatan hijaiyah atau tahsiniyah.

4.      Pembagian Maslahah
a.       Dari segi pandangan syara’ terhadapnya, maslahah dibagi menjadi tiga, yaitu:
1)      Maslahah mu’tabarah, yaitu kemaslahatan yang didukung oleh Syari’ (Allah) dan dijadikan dasar dalam pencapaian hukum.
2)      Maslahah mulghah, yaitu kemaslahatan yang ditolak oleh Syari’ (Allah), dan Syari’ menetapkan kemaslahatan lain selain ini.
3)      Maslahah mursalah, yaitu kemaslahatan yang belum diakomodir dalam nash atau ijma’, serta tidak ditemukan nash atau ijma’ yang melarang atau memerintahkan mengambilnya. Kemaslahatan ini dilepaskan (dibiarkan) oleh Syari’ dan diserahkan kepada manusia untuk mengambil atau tidak mengambilnya.
b.      Berdasarkan tingkatannya, maslahah mursalah dapat dibagi kedalam tiga tingkatan, yaitu:
1)      Maslahah dharuriyah, yaitu segala hal yang menjadi sendi eksistensi kehidupan manusia, harus ada demi kemaslahatan mereka. Pengabaian terhadap maslahah dharuriyah dapat berakibat pada terganggunya kehidupan dunia, hilangnya kenikmatan dan turunnya azab di akhirat.
2)      Maslahah hijaiyah, yaitu segala sesuatu yang sangat dihajatkan oleh manusia untuk menghilangkan kesulitan dan menolak segala halangan. Pengabaian terhadap maslahah hijaiyah tidak menimbulkan ancaman bagi keberlangsungan hidup manusia, tetapi akan menimbulkan kesulitan dan kesempitan.
3)      Maslahah tahsiniyah, yaitu tindakan atau sifat-sifat yang ada pada prinsipnya berhubungan dengan makarimul akhlak serta memelihara keutamaan dalam bidang ibadah, adat dan muamalat. Misalnya mengenakan pakaian-pakaian yang bagus-bagus saat shalat, memakai wewangian pada laki-laki ketika berkumpul bersama orang banyak, pengharaman makanan-makanan yang buruk atau menjijikan, larangan wanita menikahkan dirinya sendiri kepada laki-laki yang dicintainya dan lain-lain.
c.       Pembagian maslahah dari segi syara’.
1)      Maslahah mu’tabarah, yaitu kemaslahatan yang didukung oleh syari’ (Allah) dan dijadikan dasar dalam penetapan hukum. Misalnya kewajiban puasa pada bulan ramadhan, kemaslahatannya yaitu mendidik jasmani dan rohani manusia.
2)      Maslahah mulghah, yaitu maslahah yang ditolak Allah namun juga menetapkan kemaslahahtan selain itu. Misalnya diharamkannya mencuri namun tetap ada kemaslahahtan bagi seorang pencuri.
3)      Maslahah mursalah, yaitu kemaslahahtan yang belum ditetapkan dalam nash dan ijma’ serta tidak ditemukan nash atau ijma’ yang melarang atau memerintahkan mengambilnya. Kemashlahatan ini dibiarkan oleh syari’ dan diserahkan oleh manusia untuk menentukan mengambil atau meninggalaknnya dengan melihat kemashlahatan yang sesuai dengan dirinya ,Misalnya menjatuhkan talak dalam perkawinan.


Sumber dan Dalil Hukum Urf dan Istishab


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Adat adalah sesuatu yang dikerjakan berulang-ulang tanpa adanya hubungan rasional.Sedangkan urf adalah segala sesuatu yang telah dikenal dan menjadikan kebiasaan manusia baik berupa ucapan. Ada sebagian jumhur yang mengatakan bahwa adat dan urf itu berbeda ada juga yang mengatakan sama. Sedangkan istishab adalah menetapkan sesuatu menurut keadaan sebelumnya sampai ada dalil yang merubah keadaanya atau menjadikan hukum yang ditetapkan terdahulu tetap berlaku pada masa sekarang sampai ada dalil yang merubah keadaanya. Di era yang moderen ini banyak masyarakat yang belum mengetahui secara detail tentang urf dan istishab. Maka dari itu disini penulis akan membuat makalah yang berjudul “Sumber dan Dalil Hukum Urf dan Istishab”.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana penjelasn tentang Urf?
2.      Bagaimana penjelasan tentang Istishab?
C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui apa itu Urf
2.      Untuk mengetahui apa itu Istishab



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Urf
1.      Pengertian Urf
Menurut bahasa, Urf berarti sesuatu yang dikenal. Menurut istilah ialah segala sesuatu yang telah dikenal dan menjadikan kebiasaan manusia baik berupa ucapan, perbuatan atau tidak melakukan sesuatu.[1] Sebagian ushuliyyin, seperti al-Nasafi dari kalangan Hanafi, Ibnu Abidin, al-Rahawi dalam Syarh kitab al-Mannar dan Ibnu Nujaim dari kitab al-Asyibah wa al-Nazha’ir berpendapat bahwa urf sama dengan adat. Tidak ada perbedaan diantara keduanya. Namun, sebagian ushuliyyin, seperti Ibnu Humam dan al-Badzawi membedakan antara adat dan urf dalam membahas kedudukannya salah satu dalil untuk menetapkan hukum syara’. Adat didefinisikan sebagai sesuatu yang dikerjakan berulang-ulang tanpa adanya hubungan rasional. Sedangkan urf ialah kebiasaan mayoritas kaum, baik dalam perkataan atau perbuatan. Dalam pengertian ini adat lebih luas dibanding urf,tetapi tidak sebaliknya. Kebisaan individu-individu atau kelompok tertentu dalam makan, berpakaian, tidur dan sebagainya dinamakan adat, tetapi tidak disebut urf. Tetapi dari sisi yang lain, urf lebih umum dibanding adat, sebab adat hanya mencakup perbuatan, sedang urf mencakup perbuatan serta ucapan sekaligus.
2.      Pembagian Urf
a.       Dilihat dari segi objeknya, urf dibagi dua, yaitu urf lafzhi dan urf amali.
1)      Urf lafzhi qauli ialah kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan lafadz tertentu dalam mengungkapkan sesuatu, sehingga makna ungkapan itulah yang dipahami dan terlindas di pikiran masyarakat. Seperti kebiasaan masyarakat Arab menggunakan kata “walad” untuk anak laki-laki dan anak perempuan. Demikian juga kebiasaan mereka menggunakan kata “lahm” untuk daging binatang darat, padahal Al-qur’an menggunakan kata itu untuk semua jenis daging, termasuk daging ikan[2].
2)      Urf amali ialah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan biasa atau muamalah keperadaban. Seperti kebiasaan masyarakat melakukan jual beli dengan tanpa akad (bai’ al-ta’athi), kebiasaan sewa kamar tanpa dibatasi waktu dan juq
3)      mlah air yang digunakan, kebiasaan sewa menyewa perabot rumah, penyajian hidangan bagi tamu untuk dimakan, dan lain-lain.
b.      Dari segi cakupnya urf dibagi dua, yaitu urf amm dan urf khash.
1)      Urf amm ialah kebiasaan tertentu yang berlaku secara luas di seluruh masyarakat dan seluruh daerah. Misalnya dalam jual beli mobil, seluruh alat yang diperlukan untuk memperbaiki mobil, seperti kunci, dongkrak dan ban serepntermasuk dalam harga jual, tanpa akad tersendiri dan biaya tambahan.
2)      Urf khas ialah kebiasaan yang berlaku di daerah dan masyarakat tertentu, seperti kebiasaan masyarakat Jawa merayakan lebaran ketupat, sakatenan, atau kebiasaan masyarakat Bengkulu merayakan tabot pada bulan Muharram. Dan menurut Mustafa Ahmad Zarqa seperti dikutip Haroen, bahwa urf khas ini tidak terhitung jumlahnya dan  senantiasa berkembang sesuai situasi dan kondisi masyarakat.[3]
c.       Dilihat dari segi diterima atau tidaknya urf dibagi dua yaitu:
1)      Urf Sahih ialah urf yang tidak bertentangan dengan salah satu dalil syara’ dan dapat diterima karena tidak bertentangan dengan syara’. Misalnya mengadakan pertunangan sebelum akad nikah atau kebiasaan masyarakat bersalaman denagan teman sesame jenis kelamin kala bertemu.
2)      Urf Fasid ialah urf yang tidak baik dan tidak dapat diterima karena bertentangan dengan syara’. Misalnya seperti kebiasaan para pedagang mengurangi timbangan.
Hukum urf yang sahih harus dipelihara dan dilestarikan sebagai bagian dari hukum Islam. Sedangkan urf fasid harus ditinggalkan karena bertentangan dengan dalil dan semangat hukum Islam dalam membina masyarakat.



3)      Legalitas Al-‘Urf
Jumhur Fuqaha’ mengatakan bahwa Al-‘Urf merupakan hujjah dan diangggap sebagai salah satu sumber hukum syari’at. Mereka bersandar pada dalil-dalil sebagai berikut:
a.       Firman Allah
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf”. (QS. Al-A’raf (7): 199).
Ayat ini menjelaskan tentang wajibnya mengamalkan adat, sebab jika tidak wajib pastilah Allah tidak akan menyuruh Rasulullah.
b.      Hadist Rasulullah SAW, “Apa yang dilihat kaum muslimin baik maka ia juga baik disisi Allah”. Hadist ini menunjukkan bahwa setiap yang dianggap baik oleh kaum muslimin maka hal itu juga baik disisi Allah dan jika memang begitu maka wajib diamalkan dan dijadikan sandaran hukum.
c.       Syariat Islam sangat memperhatikan aspek adat kebiasaan orang Arab dalam menetapkan hukum. Semua ditetapkan demi mewujudkan kemaslahatan bagi khalayak ramai, seperti akad salam dan memajukan denda kepada pembunuh yang tisdak disengaja. Selain itu, Islam juga tidak membatalkan beberapa tradisi buruk yang membahayakan, seperti mengubur anak perempuan dan menjauhkan kaum wanita dari harta warisan. Semua ini adalah bukti nyata bahwa syariat Islam mengakui keberadaan adat istiadat yang baik.[4]
d.      Syariat Islam memili prinsip menghilangkan segala kesusahan dan memudhkan urusan manusia dan mewajibkan orang untuk meninggalkan sesuatu yang sudah mejnjadi adat kebiasaan mereka karena sama artinya dengan menjerumuskan mereka kedalam jurang kesulitan. Agar mereka tidak terjatuh dalam jurang ini, kita harus mengakui adat kebiasaan mereka sebagai mana firman Allah:
“Dan Dia sekali-sekali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan”. (QS. Al-Hajj (22): 78).    



4)      Syarat-syarat Urf
Oleh karena itu urf bukan merupakan dalil yang berdiri sendiri, melainkan tergantung oleh dalil asli hukum syara’, maka ada sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi bagi penggunaan urf tersebut, yaitu:
a.       Urf tersebut harus benar-benar merupakan kebiasan masyarakat. Maksudnya kebiasaan sejumlah orang tertentu dalam masyarakat tidak dikatakan urf. Adanya sejumlah lain yang tidak melakukan kebiasaan itu menunjukkan adanya pertentangan di dalam masyarakat itu sendiri dalam memandang kebiasaan masyarakat tersebut. Jika demikian, berarti kebaikan dari kemaslahatan itu hanya diterima oleh sebagian masyarakat, sedang sebagian yang lain menolaknya. Karena, urf semacam ini belum dapat dijadikan hujjah.
b.      Urf tersebut harus masih tetap berlaku pada saat hukum yang didasarkan pada urf tersebut ditetapkan. Jika urf telah berubah, maka hukum tidak dapat dibangun di atas urf tersebut.
c.       Tidak terjadi kesepakatan untuk tidak memberlakukan urf oleh pihak-pihak yang terlibat didalamnya. Misalnya kalau dua orang membuat kontrak, dan didalam kontraknya itu dia sepakat untuk tidak menggunakan urf tetapi menggunakan hukum lain yang disepakatinya, maka urf dalam hal lain tidak mengikat pihak-pihak tersebut.
d.      Urf tersebut tidak bertentangan dengan nash atau prinsip-prinsipbumum syariat.[5]
5)      Urf dalam Penerapan Hukum
Disamping memiliki kedudukan penting dalam penetapan hukum urf juga memiliki kedudukan penting dalam menerapkan suatu hukum. Sebagaimana diketahui hukum Islam memiliki dua sisi, yaitu sisi penetapan (istinbath) dan sisi penerapan (tathbiq). Keduanya bisa berjalan paralel juga bisa, bisa juga tidak.
Misalnya dalam surah At-Thalaq ayat (2) Allah menegaskan persyaratan saksi adalah orang yang memiliki sikap adil. Secara penetapan ayat tersebut sudah jelas dan tidak meninmbulkan masalah. Orang yang adil adalah orang yang padanya melekat sikap taqwa dan mura’ah. Orang yang tidak memiliki ketaqwaan dan tidak menjaga mura’ah bukanlah orang yang adil. Namun dalam penerapannya, ukuran orang yang menjaga muru’ah itu berbeda beda sesuai perbedaan waktu dan tempat. tidak menutup kepala misalnya, disatu tempat dipandang menghilakan mura’ah, tetapi ditempat yang lain tidak. Demikian juga kewajiban suami memberi nafkah istri secara ma’ruf yang terdapat dalam surah Al-Baqarah ayat (233), ukuran ma’ruf disini berbeda beda sesuai kemampuan suami, sebab tidak ada nas yang menjeklaskan berapa kadar nafkah yang ma’ruf itu. Segala sesuatu yang diwajibkan oleh Allah, dan Allah tidak menjelaskan kadarnya, maka ukurannya dikembalikan kepada urf, seperti ukuran besarnya mahar.

6)      Perubahan Hukum karena Perubahan Urf
Diantara hukum Islam terdapat hukum yang disyariatkan berdasarka urf tertentu. Hukum-hukum yang demikian dapat berubah manakala urf yant menjadi dasar penetapan hukum tersebut berubah. Misalnya kebiasaan pesta ulang tahun yang diselenggarakan oleh kalangan tertentu dengan dansa dan minuman keras adalah haram hukunya. Tetapi jika perayaan ulang tahun dilakukan untuk mensyukuri kelahirannya dan sebagai manifestasi rasa hormat kepada orang tua yang telah bersusah payah mengandung dan melahirkannya, maka hukumnya boleh. Demikian juga kebiasaan orang jahiliyah yang melakukan ziarah kubur dengan melakukan kesyirikan didalamnya, dilarang oleh Rasulullah. Tetapi, ketika tradisi tersebut berubah menjadi sarana mendoakan orang yang sudah meniggal dan mengingatkan peziarah pada kematian, maka dibolehkan. [6]
7)      Qaidah-Qaidah yang Berkaitan dengan ‘Urf
a.       Adat itu dapat dijadikan hukum
b.      Apa yang biasa diperbuat orang banyak, merupakan hujjah yang wajib diamalkan
c.       Adat yang diperhitungkan hanyalah adat yang biasa berlaku atau dominan berlaku
d.      Adat yang diperhitungkan adalah adat yang dominan, bukan yang jarang
e.       Hakikat itu dapat ditinggalkan dengan petunjuk adat
f.       Tulisan itu seperti ucapan
g.      Isyarat orang bisu yang dapat dipahami itu seperti keterangan lisan
h.      Yang dianggap baik oleh adat itu seperti sesuatu yang disyaratkan
i.        Penentuan sesuatu berdasarkan ‘urf itu seperi penentuan dengan nash
j.        Sesuatu yang dipersyaratkan diantara para pedagang itu sama dengan sesuatu yang dipersyaratkan diantara mereka
k.      Tidak dapat dipungkiri terjadinya perubahan hukum disebabkan perubahan masa [7]
B.     Istishab
1.      Pengertian Istishab
Istishab menurut bahasa adalah menemani sesuatu. Sedangkan menurut istilah ushuliyyin ialah menetapkan sesuatu menurut keadaan sebelumnya sampai ada dalil yang merubah keadaanya atau menjadikan hukum yang ditetapkan terdahulu tetap berlaku pada masa sekarang sampai ada dalil yang merubah keadaanya. [8]
2.      Kehujjahan Istishab
Istisahab adalah salah satu dalil yang diperselisihkan oleh para ulama. Sebagian ulama seperti Hanafiah berpendapat bahwa istishab adalah dalil hukum Islam dalam hal menetapkan atau melestarikan apa yang sudah ada dan menolak apa yang berbeda dengannya. Sebaliknya, menurut Hanabilah dan Syafi’iyah istishab adalah dalil dalam menolak dan menetapkan sesuatu. Perbedaan kedua konsep tersebut akan lebih jelas dengan contoh kasus orang yang hilang dan tak diketahui keberadaan dan keadaanya. Menurut Hanafiyah orang tersebut tetap dihukumi masih hidup dalam kaitannya dengan harta serta hak-hak yang melekat padanya pada saat orang tersebut hilang. Karena itu, hartanya tidak dapat diwarisi dan istrinya tak dapat ditalak bain. Tetapi, keadaan hidup menurut hukum tersebut tidak dapat dijadikan dasar menerima atau memperoleh hak baru, seperti menerima warisan dari keluarganya yang meninggal lebih dulu darinya. Namun, menurut pendapat Hanabilah dan Syafi’iyah ia boleh menerima harta warisan dari keluarganya yang meninggal lenbih dahulu. Sebagian ulama yang menggunakan istishab sebagai hujjah mengemukakan dalil dari surah Al-Baqarah ayat (29) yang artinya “Dialah Allah yang menjadikan segala yang ada dibumi untuk kamu”.
Istishab pada hakikatnya tidaklah menetapkan hukum baru, tetapi hanya melestarikan atau mempertahankan hukum yang sudah ada agar tetap berlaku sampai ada dalil lain yang merubahnya. Karena itu istishab sesungguhnya bukanlah dalil atau sumber hukum Islam, namun hanya merupakan indicator tetap berlakunya hukum yang ditetapkan berdasarkan dalil syar’i. karena itu, istishab hanya boleh digunakan dimana dalam satu masalah tidak ditemukan dalil yang khusus.[9]
3.      Pembagian Istishab
a.       Dari segi bentuknya, istishab dapat dibedakan menjadi lima, yaitu:
1)      Melestarikan hukum boleh pada segala sesuatau yang menurut asalnya boleh (tidak dilarang), seperti kebolehan memakan makanan yang baik-baik, memakai pakaian yang indah-indah
2)      Melestarikan hukum yang berlaku umum sampai ada dalil yang menghususkan dan memberlakukan suatu nas sebelum ada dalil lain yang menasikhkannya
3)      Melestarikan sesuatu yang ditetapkan oleh akal dan syara’, seperti adanya hak milik harta berdasarkan akad. Keberadaan hak milik harta sebagai akibat dari adanya akad tersebut diakui oeleh akal dan syara’.
4)      Melestarikan hukum ketiadaan sesuatu yang menurut asalnya memang tidak ada, seperti tidak adanya keterikatan kita pada syari’at umat sebelum kita. Karena menurut asalnya, syari’at umat sebelum kita tersebut tidak diwajibkan bagi kita.
5)      Melestarikan hukum yang ditetapkan berdasarkan ijma’ yang diperselisihkan para ulama, seperti sesuatu yang disepakati  para mujtahid, kemudian sifat atau keadaan sesuatu yang di ijma’kan tersebut berubah.
b.      Dari segi dasar pengambilannya istishab dapat dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu:
1)      Istishab berdasarkan hukum akal dalam hal ibahah atau bara’ah asliyah. Ini terkaiit dengan prinsip bahwa segala sesuatu di muka bumi ini pada dasarnya adalah halal, samapai ada dalil yang mengharamkannya atau melarangnya. Contoh ibahah misalnya, setiap makanan dan minuman yang tidak ditunjuk oleh dalil yang mengharamkannya adalah mubah. Contoh bara’ah asliyah adalah jika dua orang melakukan perjanjian kerjasama satu pihak sebagai modal (Sahibal-Mal) dan pihak yang lain sebagai pekerja (Mudharib), jika mudharib mengklaim bahwa usahanya belum mendatangkan keuntungan, sementara sahib al-mal-nya mengklaim sebaliknya, maka berdasarkan bara’ah asliyah klaim mudharib yang dimenangkan, sampai ada bukti bahwa usahanya benar-benar untung.
2)      Istishab berdasarkan hukum syara’ yang sudah ada dalilnya dan tidak ada suatu dalilpun yang merubahnya. Misalnya jika seseorang sudah dalam keadaan suci, maka dia diperbolehkan melakukan shalat. Jika pada waktu berikutnya dia ragu apakah sudah batal ataukah masih suci, maka orang tersebut tetap dihukumi suci, sampai ada bukti bahwa yang bersangkutan sudah batal wudhunya.[10]


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Menurut bahasa, Urf berarti sesuatu yang dikenal. Menurut istilah ialah segala sesuatu yang telah dikenal dan menjadikan kebiasaan manusia baik berupa ucapan, perbuatan atau tidak melakukan sesuatu. Dilihat dari segi objeknya, urf dibagi dua; a) Urf lafzhi qauli, b) Urf amali. Dari segi cakupnya urf dibagi dua, yaitu urf amm dan urf khash.Dilihat dari segi diterima atau tidaknya urf dibagi dua yaitu: a) Urf Sahih, b)Urf Fasid. persyaratan yang harus dipenuhi bagi penggunaan urf, yaitu: a) Urf tersebut harus benar-benar merupakan kebiasan masyarakat. b) Urf tersebut harus masih tetap berlaku pada saat hukum yang didasarkan pada urf tersebut ditetapkan. c) Tidak terjadi kesepakatan untuk tidak memberlakukan urf oleh pihak-pihak yang terlibat didalamnya. d) Urf tersebut tidak bertentangan dengan nash atau prinsip-prinsipbumum syariat. Dan memiliki 11 qaidah.
Istishab menurut bahasa adalah menemani sesuatu. Sedangkan menurut istilah ushuliyyin ialah menetapkan sesuatu menurut keadaan sebelumnya sampai ada dalil yang merubah keadaanya atau menjadikan hukum yang ditetapkan terdahulu tetap berlaku pada masa sekarang sampai ada dalil yang merubah keadaanya. Dari segi bentuknya, istishab dapat dibedakan menjadi lima, yaitu: a) Melestarikan hukum boleh pada segala sesuatau yang menurut asalnya boleh (tidak dilarang), b)Melestarikan hukum yang berlaku umum sampai ada dalil yang menghususkan dan memberlakukan suatu nas sebelum ada dalil lain yang menasikhkannya c) Melestarikan sesuatu yang ditetapkan oleh akal dan syara’, seperti adanya hak milik harta berdasarkan akad. d) Melestarikan hukum ketiadaan sesuatu yang menurut asalnya memang tidak ada e) Melestarikan hukum yang ditetapkan berdasarkan ijma’ yang diperselisihkan para ulama. Dari segi dasar pengambilannya istishab dapat dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu: a) Istishab berdasarkan hukum akal dalam hal ibahah atau bara’ah asliyah.b) Istishab berdasarkan hukum syara’ yang sudah ada dalilnya dan tidak ada suatu dalilpun yang merubahnya.


Daftar Pustaka

Hasan Rosyad, Tarikh Tasyri’(Jakarta:Amzah,2016).
Suwarjin, Ushul Fiqih(Yogyakarta:Teras,2012).
Syukur Asywadie, Pengantar Ilmu Fikih dan Ushul Fikih(Surabaya: PT. Bina Ilmu,1990).


[1] Suwarjin, Ushul Fiqih(Yogyakarta:Teras,2012), 148.
[2] Ibid.149
[3]Ibid,149-151.
                        [4] Rosyad Hasan, Tarikh Tasyri’(Jakarta:Amzah,2016), 167.
[5] Ibid, 153-154.
[6] Ibid, 155
[7] Ibid, 157-158.
[8] Asywadie Syukur, Pengantar Ilmu Fikih dan Ushul Fikih(Surabaya: PT. Bina Ilmu,1990), 116.
[9] Ibid, 165-166.
[10] Ibid, 168.