Minggu, 06 September 2015

Hukum Pidana



PEMBAHASAN
A.    Waktu dan Tempat Tindak Pidana
Pada kenyataannya memang ada disebagian tindak pidana mengenai waktu dan atau tempat menjadi unsure yang dicantumkan dalam rumusan. Diluar hal itu, mengenai waktu dan tempat tindak pidana ini adalah menjad hal sangat perting dalam hal praktik pidana sejak penyidikan, penuntutan dan persidangan di pengadilan, selain penting dalam hubungannya dengan beberapa ketentuan umum dalam KUHP.
Dalam praktik hukum pidana perihal waktu dan tempat tindak pidana juga penting bagi Tersangka atau Terdakwa dan Penasehat Hukum.
1.      Mengenai Waktu dan Tempat Pidana
Dalam hubungan dengan pelbagai ketentuan umum dalam KUHP, mengenai waktu tindak pidana ini penting dalam hal, yakni:
a.       Mengenai hubungannya dengan ketentuan pasal 1 ayat 2 KUHP, perihal adanya perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, yakni untuk menentukan apakah tindak pidana itu dilakukan sebelum atau setelah ada perubahan perundang-undangan. Bila di lakukan sebelum perubahan maka apakah akan memperlakukan perundangan yang berlaku sebelum tindak pidana dilakukan ataukah setelah tindak pidana dilakukan, yakni terhadap ketentuan mana yang paling mengutungkan terdakwa. Bila yang menguntungkan itu adalah aturan yang baru maka aturan baru itulah yang di berlakukan.
b.      Mengenai berlaku tidaknya ketentuan perihal penjatuhan pidana atau tindakan (matregelen) terhadap orang yang belum dewasa karena melakukan tindak pidana sebelum umur 16 tahun sebagaiman ditentukan dalam pasal 45, 46 dan 47 KUHP. Jika ketika melakukan tindak pidana umurnya belum 16 tahun, maka diberlakukan pasal 45,46 dan 47 tidak berlaku. Kini berlaku undang – undang No.3 tahun 1997, mengenai penjatuhan pidana atau tindakan terhadap anak yang melakukan tindak pidana ketika umurnya belum 18 tahun dan belum pernah kawin.
c.       Mengenai hal yang berhubungan dengan kedaluarsa bagi hak Negara untuk melakukan penuntutan pidana sebagaimana ditentukan dalam pasal 78, 78 KUHP.
d.      Mengenai hal untuk menentukan usia korban ketika tindak pidana dilakukan seperti pada kejahatan kesusilaan, dimana ketika tindak pidana dilakukan usia korban belum 15 tahun (287, 290 KUHP).
e.       Mengenai hal yang berhubungan dengan keadaan jiwa si pelaku ketika melakukan tindakan pidana sebagaimana ditentukan dala pasal 44 KUHP.
f.       Mengenai hal yang berhubungan dengan pengulangan (recidive) beberapa kejahatan sebagaimana ditentukan dalam pasal 486, 487 dan 488 KUHP. Bagi kejahatan tertentu yang disebutkan dalam pasal itu, pidana yang dijatuhkan pada petindak yang melakukan tindak pidana tersebut belum 5 tahun sejak bersangkutan menjalani pidana yang di jatuhkan karena dulu melakukan kejahatan yang sama, dapat ditambah dengan sepertiga dari pidana yang di ancamkan ada kejahatan tersebut.
2.      Mengenai tempat Tindak Pidana
Mengani tempay dilakukannya tindak pidana penting dalam beberapa hal, yaitu:
a.       Dalam hal yang berhubungan dengan kompetensi relatif. Pasal 84 (1) KUHAP yang memuat prinsip dasar tentang kompetensi relatif.
b.      Dalam hubungannya dengan ketentuan pasal 2 KUHP yang memuat azas teritorialiter tentang berlakunya hukum pidana Indonesia.
3.      Teori tentang Waktu dan Tempat Tindak Pidana
Undang-undang ternyata tidak memberikan penjelasan perihal waktu dan tempat tindak pidana. Oleh sebab itu teori-teori mengenai waktu dan tempat ini menjadi sangat penting dalam praktik hukum karena teori-teori itulah yang dapat menjadi pegangan hakim dalam memecahkan persoalan yang menyangkut tentang waktu dan tempat tindak pidana ini.
      Dari sudut factual atau kenyataan, maka ada benarnya jika kita berendapat bahwa pada dasarnya waktu dan tempat tindak pidana adalah seluruh waktu dan tempat dimana tindak pidana itu dilakukan. Persoalan dari sejak kapan, dan dimulai dari tempat yang mana, bilamanakah berakhirnya dan di tempat yang mana berakhirnya? Dalam hal untuk menjawab persoalan yang demikian, ada beberapa teori yaitu:
a.       Teori perbuatan jasmani (ker cen het amteriele felt)
b.      Teori alat (leer van het instrumen)
c.       Teori akibat (leer van het gevolg)
Menurut teori perbuatan jasmani atau perbuatan materiil, waktu dan tempat tindak pidana adalah waktu dan tempat di mana perbuatan jasmani yang menjadi unsure tindak pidana itu pada kenyataannya diwujudkan.
Menurut teori alat, waktu dan tempat tindak pidana ialah waktu dan tempat di mana alat digunakan dan bekerja efektif dalam hal terwujudnya tindak pidana. Sedangkan menurut teori akibat, waktu dan tindak pidana adalah waktu dan tempat di mana akibat dari perbuatan itu timbul.
Teori perbuatan jasmani lebih sesuai dengan tindak pidana yang terjadi dalam waktu pendek atau seketika, seperti pencurian atau penggelapan, dan berbeda dengan tindak pidana berupa menimbulkan keadaan terlarang, yang berlangsungnya lama, atau disebut tindak pidana berlanjut seperti penculikan (333 KUHP), mengenai hal terakhir.
Teori perbuatan jasmani juga dapat mengalami kesulitan, apabila dalam tingkah laku jasmani diwujudkan dengan menggunakan alat. Dalam hal ini teori perbuatan jasmani harus dilengkapi dengan teori alat.
Pada tindak pidana yang untuk selesainya secara sempurna digantungkan pada akibat, baik akibat itu unsure yang memberatkan maupun akibat itu sebagai unsure pokok pada tindak pidana materiil, maka teori akibat lebih sesuai, dan dalam prektik sering menggunakan teori akibat. Seperti pada kasus penipuan dengan emnggunakan sarana cek kosong, dimana pelaku melalaikan menggerakkan (tingkah laku pasal 378 KUHP).
Dalam hal berbarengan (concorus atau sameloop), oleh karena terjadinya beberapa tindak pidana yang berlainan, maka perihal waktu dan tempat tindak pidana adalah pada waktu dan tempat masing-masing terwujudnya tindak pidana itu. Dalam hubungannya dengan kompetensi relative pengadilan, artinya Pengadilan Negeri mana yang berwenang mengadili, untuk menghindari konflik yuridiksi. Pasal 84 ayat 2 KUHP telah menegaskan bahwa Pengadilan Negeri berwenang mengadilinya.
B.     Penyertaan Melakukan Tindak Pidana (Deelneming)
a.       Pengertian
Penyertaan melakukan tindak pidana berarti turut sertanya seorang atau lebih pada waktu seseorang lain melakuakn suatu tindak pidana. Membaca rumusan pada tiap pasal ketentuan hokum pidana (strafbepaling) orang berkesimpulan, bahwa dalam tiap tindak pidan hanya ada seorang pelaku yang akan kena hukuman pidana. Dalam praktek ternyata sering terjadi dari seorang terlibat dalam perstiwa tindak  pidana.
b.      Unsur-Unsur Penyertaan dalam Perbuatan Pidana
1.      Menyuruh Melakukan Perbuatan (Doen Plegen)
Wujud penyertaan (deelneming)yang pertama-tama disebutkan oleh pasal 55 ialah: menyuruh melakukan perbuatan (Dolpelgen). Ini terjadi apabila orang lain menyuruh si pelaku melakukan perbuatan, yang biasanya merupakan tindak pidana, tetapi oleh karena beberapa hal si pelaku tidak dapat dikenakan hukuman pidana.
            Dengan sendirinya kita ingat apa yang telah dibicarakan atas mengenai sebagian dari alas an menghilangkan sifat tindak pidana yaitu dalam hal “keadaan memaksa (overmacht) secara relative dari pasal 48 KUHP, dalam hal melaksanakan perintah jabatan yang sah (begoegd ggeven ambtelijk bevel) dai pasal 52 ayat 1 KUHP, dan dalam hal menjalankan perintah jabatan yang tidak sah, tetapi secara jujur (onbevoegdelijk gegecen abmtelijk bevel) dari pasal 51 ayat 2 KUHP.
2.      Turut Melakukan Perbuatan (Medeplegen)
Dalam KUHP tidak ada penegasan apa yang dimaksudkan dengan kata medeplegen ini, maka ada perbedaan pendapat arti dari istilah ini. Seperti dalam hal percobaan atau poging, ada dua golongan pendapat yang satu bersifat subyektif dengan meinitikberatkan pada maksud dan tabiat para pelaku (mededader)sedangkan para obyektivitas lebih melihat pada wujud perbuatan dari para turut pelaku, wujud tersebut harus cocok dengan perumusan tindak pidana dalam undang-undang (delicts omachrijving).
3.      Syarat Kesengajaan dalam “Turut Melakukan”
Dengan adanya kehendak bersama akan melakukan suatu tindak pidana secara kerja sama, sudah terang, bahwa para “turut pelaku” (mededaders) ada unsur kesengajaan,. Tetapi ini tidak berarti, bahwa mereka tidak dapat “turut melakukan” suatau tindak pidana dengan unsur cuple atau kurang berhati-hati.
Keadaan Pribadi Seorang “Turut Pelaku”
            Seperti dalam “menyuruh  melakukan” juga dalam hal “turut melakukan” timbul persoalan apakah suatu keadaan perihal sebagau unsure tindak pidana harus melekat pada tiap-tiap turut pelaku. Tentang kejahatan jabatan lain yaitu penerimaan sogokan oleh pegawai negeri dari pasal 418 dan 419 KUHP, pernah oleh mahkamah Agung pada tahun 1955 di putuskan bahwa dalam hal 2 orang atau lebih di tuduh bersama – sama dan bersekutu melakukan kejahatan dari pasal 418 dan 419 KUHP itu tidak usah masing – masing dari mereka memenuhi segala unsur yang oleh pasal – pasal itu di rumuskan untuk tindak pidana itu..
4.      Membantu Melakukan Tindakan Pidana (Medelphctigneid)
Diatas sudah dibahas hal “menyuruh melakukan” (doen plegen) dan “turut melakukan” (medelplegen) keduanya disebutkan dalam pasal 55 ayat 1 KUHP kemudian oleh pasal 58 ayat 1 nomor 2 disebutkan hal “membujuk melakukan” (uitlokken), dan baru pada pasal 56 dicantumkan hal “membantu melakukan” 9medeokudhgtigheld). Dalam KUHP hal “membantu melakukan” akan saya bahas lebih dahulu dari hal “membujuk melakukan” oleh Karena dalam wujudnya ada persamaan erat “turut melakukan” dan “membantu melakukan”.
5.      Membujuk Melakukan Tindak Pidana (Uitlokking)
Tidak semua pembujukan untuk melakukan tindak pidana dikenakan hukuman, melainkan hanya permbujukan dengan cara-cara yang disebutkan dalam pasal 5 ayat 1 No.2 KUHP. Mula-mula yang disebutkan hanya pemberian kesanggupan, penyalahgunaan kekuasaan atau martabat, paksaan, ancaman atau penipuan,. Kemudian cara-cara yang ini ditambah dengan member kesempatan, sarana atau keterangan.
Menurut kata-kata dari pasal 55 ayat 1 NO.52 KUHP yang disengaja dibujuk ialah perbuatannya, bukan orangnya. Dari ini dapat disimpulkan bahwa syarat mutlak untuk menganggap adanya pembujukan yang dapat dikenakan hokuman ialah, bahwa perbuatan dari tindak pidana harus sudah diselesaikan atau stidaknya harus sudah tercapai suatau percobaan yang dapat dikenakan hukuman menurut pasal 53 KUHP.
Nampak dalam pasal 163, ayat 1 nomor 2 KUHP yang dibujuk adalah orangnya bukan perbuatannya. Si bujuk dari ilmu pengetahuan hokum dinamakan auctorintelectualis. Dijelaskan lagi dalam ayat 2 dari pasal 63, bahwa tidak dikenakan hukuman apabila tidak terjadi kejahatan atau percobaan disebabkan oleh keadaan tergantung si pembujuk.
c.       Pasal-Pasal Penyertaan dalam Pembuatan Pidana
Pasal 57 ayat 1 KUHP mengurangi maksimum hukuman pokok dalam hal membantu melakukan tindak pidana dengan sepertiga. Apalagi maksimum hukuman ini adalah hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup, maka maksimum dalam hal medeplichtighled ini dijasikan hukuman penjara selama-lamanya 15 tahun.
Menurut ayat 3, hukuman tambahan dalam hal “pembantuan” ini sama seperti pelaku tunggal, si turut pelaku, si penyuruh, dan si pembujuk. Ayat 4 membatasi penentuan hukuman dalam hal “pembantuan” ini pada perbuatan-perbuatan yang oleh si pembantu dipermudah atau didorong dengan sengaja.

C.    Sifat Melawan Hukum
            Dalam hukum pidana yang menjadi perhatian adalah perbuatan-perbuatan yang bersifat melawan hukum saja, perbuatan-perbuatan inilah yang dilarang dan diancam dengan pidana, dan Perbuatan-perbuatan ini di bagi menjadi dua :
1.      Perbuatan telah mencocoki larangan Undang-Undang . letak melawan hukumnya perbuatan itu sudah nyata, dari sifat melanggarnya ketentuan undang-undang, kecuali jika termasuk perkecualian yang telah ditentukan undang-undang pula. Bagi mereka ini melawan hukum berarti melawan undang-undang, sebab hukum adalah undang-undang. Pendirian demikian dinamkan pendirian formal.
2.      Sebaliknya ada yang berpendapat bahwa belum tentu kalau semua perbuatan yang mencocoki larangan undang-undang bersifat melawan hukum. Bagi mereka ini yang dinamakan hukum bukanlah undang-undang saja, disamping undang-ndang (hukum tertulis) ada pula hukum yang tidak tertulis, yaitu norma-norma atau kenyataan-kenyataan yang berlaku di dalam masyarakat. Pendirian yang demikian dinamakan dengan pendirian yang materiel.
Seorang penulis (Vost) yang menganut pendirian yang materil, menformulir perbuatan yang bersifat melawan hokum sebagai perbuatan yang oleh masyarakat tidak dibolehkan.
Formulering ini dipengaruhi oleh arrest H.R.Nederland tahun 1919, yang terkenal dengan nama Lindenbaum Cohen Arrest mengenai perkara perdata. Di situ H.R.Nederland mengatakan ‘perbuatan melanggar hokum (onrechtmeatige daad) adalah bukan saja perbuatan yang bertentangan denga wet tetapi juga perbuatan yang dipandang dari pergaulan masyarakat tidak patut”. Duduknya perkara sebagaiman diuraikan oleh Mr. Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya: Perbuatan Melanggar Hukum (hal.13) adalah sebagai berikut:
Ada dua kantor percetakan buku yang satu kepunyaan Cohen dan yang lain kepunyaan Lindenbaum. Mereka bersaing hebat satu sama lain. Pada suatu hari seorang pegawai dari Lindenbum dibujuk oleh Cohen dengan macam-maam pemberian hadiah dan kesanggupan supaya memberikan kepadanya (Cohen) turunan dari penawaran-penawaran yang dilakukan oleh Lindenbum dan memberitahukan pula nama-nama dari orang-orang yang mengadakan pesanan kepada kantor Lindenbaum atau yang minta keterangan tentang harga-harga cetak. Dengan tindakan ini Cohen tentunya bermaksud akan menggunakan hal-hal yang diketahui itu untuk menetapkan suatu siasat agar supaya khalayak ramai lebih suka datang kepadanya dari pada ke kantor Lindenbaum. Tapi perbuatan Cohen ini diketahui oleh Lindenbaum yang karenanya merasa dirugikan. Maka dari itu dia digugat di Pengadilan Amsterdam, sebagai telah melakukan perbuatan melanggar hokum terhadapnya sehingga berdasar atas pasl 1401 (1365) BW minta ganti kerugian.
Dalam putusan hakim tingkat pertama Cohen dikalahkan tapi dalm tingkat banding di muka Gerechtshof Amsterdam Indeh belum dikalahkan yaitu berdasar yurisprudendi yang dituruti mengenai pasal tersebut. Perbuatan Cohen tidak dianggap sebagai perbuatan melanggar hokum, karena tidak ditunjukkan suatu pasal dari undang-undang yang dilangggar oleh Cohen.
Linderbaun mohon kasasi kepada hakim dengan alas an bahwa putusan tersebut melanggar pasal 1401 (1365) BW. Akhirnya hakim dengan menyampingkan jurisprudensi sebagaimana diikuti dalam putusan Hof Amsterdam memutuskan pada tanggal 31 desember 1919, bahwa perbuatan Cohen adalah perbuatan melanggar huku, seperti tersebut di atas.
Pandngan tentang hukum dan sifat melawan huku materiil di atas, hanya mempunyai arti dalam perkecualian perbuatan yang meskipun masuk dalam perumusan undang-undang it tidak merupakan perbuatan pidana. Biasanya ini dinamakan fungsi yang negatif dari sifat melawan hukum yang materiil. Adapun fungsi yang positif, yaitu perbuatan tidak dilarang oleh undang-undang, tetapi oleh masyarakat perbuatan itu dianggap keliru, berhubungan dengan adanya azaz legalitas (pasal 1 ayat 1 KUHP) dalam hukum pidana lalu tidak mungkin. Lain halnya di dalam hukum perdata yang berhubungan dengan pasal 1365 BW (barang siapa dengan perbuatan melawan hukum menimbulkan kerugian pada orang lain harus mengganti kerugian tersebut apabila diminta oleh yang mengalami kerugian tadi) fungsi yang positif itu penting juga.
Menurut ajaran sifat yang melawan hukum yang formil, suatu perbuatan itu bersifat melawan hukum apabila perbuatan diancam pidana dan dirumuskan sebagai suatu delik dalam undang-undang sedang sifat melawan hukumnya perbuatan itu dapat dihapus, karena hanya berdasarkan suatu ketentuan undang-undang. Jadi menurut ajaran ini melawan hukum sama dengan melawan atau bertentangan dengan undang-undang (hukum tertulis).
Sedangkan menurut ajaran sifat melawan hukum yang materiil, suatu perbuatan itu melawan hukum atau tidak, tidak hanya yang terdapat dalam undang-undang (yang tertulis) saja, akan tetapi harus dilihat berlakunya asas-asas hukum yang tidak tertulis. Sifat melawan hukumnya perbuatan yang nyata-nyata masuk dalam rumusan delik itu dapat dihapus berdasarkan aturan-aturan yang tidak tertulis (uber gesetzlich).
Jadi menurut ajaran ini melawan hukum sama dengan bertentangan dengan undang-undang (hukum tertulis) dan juga bertentangan dengan hukum yang tidak tertulis termasuk tata susila dan sebagainya.
Penulis yang menganut ajaran sifat melawan hukum yang formil adalah : simons “memang boleh diakui, bahwa suatu perbuatan yang masuk larangan dalam suatu undang-undang itu tidaklah mutlak bersifat melawan hukum, akan tetapi tidak adanya sifat melawan hukum itu hanyalah bisa diterima, jika didalam hukum positif terdapat alasan untuk suatu pengecualian berlakunya ketentuan/larangan itu”.
Alasan untuk menghapuskan sifat melawan hukum tidak boleh diambil diluar hukum positif dan juga alasan yang disebut dalam undang-undang tidak boleh diartikan lain dari pada secara limitetatief.
Pengecualian ini harus diambil dari hukum positif, misalnya pasal 48 sampai dengan pasal 166,221 ayat 2 KUHP, atau yang terdapat dalam lapangan hukum lain. Ia tidak membicarakan hukum yang tidak tertulis.
Penulis-penulis yang menganut ajaran sifat melawan hukum yang materiil ialah :
a.       Von Liszt
Perkosaan atau pembahayaan terhadap kepentingan hukum hanyalah bersifat melawan hukum materiil (material rechtwerdig) jika perbuatan itu bertentangan dengan tujuan ketertiban hukum ( den zwecken der das zusannebleben regelnden rechtsorddnung widerspricht) kalau tidak bertentangan dengan tujuan itu maka tidak bersifat melawan hukum.
b.      Zu Donha
Suatu perbuatan itu tidak melawan hukum jika perbuatan itu merupakan upaya yang hak (ricghtiges mitel zum rechte zweche). Contohnya, seorang ayah memukul pemuda yang memperkosa anak perempuannya. Disini menurut Zu Donha perbuatan ayahnya tidak bersifat melawan hukum.
c.       ME meyer
Suatu perbuatan melawan hukum materiil atau tidak, ditentukan oleh norma kebudayaan (kulturalnore), sifat melawan hukum itu, berarti betentangan dengan kultumorn yang diakui oleh negara. Kalau perbuatan itu sesuai dengan kultumorn itu maka sifat hukumnya dihapus.
d.       Zevenbergen
Onrechtmatigheld adalah syarat yang umum obyektif yang berdiri sendiri yang biasanya ada jika suatu perbedaan memenuhi rumusan delik dalam undang-undang, tetapi mengenai hal itu harus diselediki untuk tiap-tiap kejadian yang konkrit. Apakah yang diharapkan oleh ketertiban umum. Dalam hal ada keraguan mengenai sifat melawan hukum, maka tidak boleh ada penjatuhan pidana.
e.       Van Hattum
Dengan adanya putusan Hoge Raad tentang dokter hewan di Huizen itu, ia berpendapat : Dengan itu menurut hemat saya (Menurut van Hattun) telah diterima ajaran sifat melawan hukum yang materiil oleh Hoge Raad dan tela dipecahkan persoalannya menurut asas-asas yang boleh dikatakan benar dalam ajaran “Penemuan Hukum” dewasa ini (in de hedendaage leer der rechtavinding onbetwist).
Persaksian terhadap sifat melawan hukum yang materil itu harus di lakukan secara hati – hati dan istimewa. Hakim harus membatasi diri pada peristiwa – peristiwa yang kongkrit.
f.       Mulyatno
Dapat pula dimasukkan sebagai penganut sajaran sifat melawan hukum materiil, mengingat uraian dalam pidatonya tersebut di muka dalam merumuskan unsure tindak pidana (perbuatan pidana)
Dari penjelasan diatas, suatu perbuatan dikatakan melawan hukum apabila suatu perbuatan itu memenuhi rumusan delik, merupakan tanda/indikasi bahwa perbuatan itu bersifat melawan hukum. Akan tetapi sifat itu terhapus apabila alasan pembenar (rechtvaardigingaggrond). Bagi  mereka yang menganut ajaran sifat melawan hukum yang formil. Alasan pembenar itu hanya boleh diambil dari hukum positif, yang tertulis, sedang penganut ajaran sifat melawan hukum yang materiil alasan itu boleh diambil dari luar hukum yang tertulis. Ajaran sifat melawan hukum yang formil pada umumnya sudah tidak dianut lagi, berdasarkan putusan seminar hukum nasional tahun 1963. Kalau mengikuti pandangan yang material maka perbedaannya dengan pandangan yang formal adalah :
1.      Mengakui adanya pengecualian/penghapusan dari sifat melawan hukumnya perbuatan menurut hukum yang tertulis dan yang tidak tertulis, sedangkan pandangan yang formal hanya mengakui pengecualian yang tersebut dalam undang-undang saja. Misalnya pasal 49 KUHP pembelaan terpaksa (Noodwer).
2.      Sifat melawan hukum adalah unsur mutlak dari tiap-tiap perbuatan-perbuatan pidana, juga bagi yang dalam rumusannya tidak menyebut unsur-unsur tersebut. Sedang bagi pandangan yang formal, sifat tersebut tidak selalu menjadi unsur dari pada perbuatan pidana hanya jika dalam rumusan delik disebutkan dengan nyata-nyata, barulah menjadi unsur delik.
Dengan mengakui bahwa sifat melawan hukum selalu menjadi unsur perbuatan pidana, ini tidak berarti bahwa karena itu harus dibuktikan adanya unsur tersebut oleh penuntut umum soal apakah harus dibuktikan atau tidak adalah tergantung dari rumusan delik yaitu apakah dalam rumusan unsur tersebut disebutkan dengan nyata-nyata. Jika dalam rumusan delik unsur tersebut tidak dinyatakan, maka juga tidak perlu dibuktikan. Pada umumnya dalam perundang-undangan kita, lebih banyak delik yang tidak memuat unsur melawan hukum di dalam rumusannya.
D.    Hal-Hal Yang Dikategorikan Perbuatan Melanggar Hukum
Ada tiga pendirian yang antara lain sebagai berikut:
1.      Bertentangan dengan hokum
2.      Bertentangan dengan hak orang lain
3.      Tanpa kewenangan atau tanpa hak, hal itu tidak perlu bertantangan dnegan hukum.
Tetapi dalam hal unsure melawan hokum itu sendiri disebutkan dalam rumusan delik, maka Pompe selalu berpendirian matrial, karena baginya makna dari pada melawan hokum itu adalah bertentangan dengan hokum.
Sementara itu istilah bersifat melawan hokum sekarang dipakai dalam banyak rumusan-rumusan delik. Timbul pertanyaan, apakah artinya istilah ini dalam undang-undang. Ini bukanlah persoalan yang bersifat teori hokum yang umum tetapi interpretasi undang-undang.
Sifat melawan hokum berarti: bertentangan dengan huku, yang mana lebih luas dari pada bertentangan dengan undang-undang. Selain dari peraturan undang-undang disini haruslah diperhatikan aturan-aturan yang tidak tertulis.
Kita dapat tafsirkan pasal 48 KUHP begitu luasnya sehingga kejadian ini akan termasuk di dalamnya. Kita juga dapat berpendapat secara analogi bahwa dimana karena tidak adanya sifat melawan hokum dalam kejadian-kejadian pasal 48-51 KUHP, tidak dapat dipidana dan sifat melawan hukumnya juga hilang. Resultasi yang diharapkan dengan demikian dapat juga dicapai, tetapi tanpa melanggar stesel dari undang-undang kita.
Bagaiman Unsure Sifat Melawan Hokum dirumuskan dalam Undang-Undang.
KUHP memakia istilah bermacam-macam:
1.      Tegas dipakai istilah “Melawan Hukum’ (Woderrechtelijk) dalam pasal-pasal 167, 168, 335 (1), 522, 526.
Dengan istilah lain misalnyaL “Tanpa mempunyai hak untuk itu” (Pasal-pasal 303, 548, 549): “Dengan melampaui kewenangannya (Pasal 430): “Tanpa mengindahkan kewenangannya (Pasal 430): “Tanpa mengindahkan cara-cara ditentukan oleh peraturan umum.” (Pasal 429)
E.     Kemampuan Pertanggungjawaban Pidana
a.       Pengertian kemampuan bertanggungjawab
Dalam setiap rumusan tindak pidana yang ada dalam KUHP mengenai kemampuan bertanggung jawab tidak disebutkan secara tegas, artinya menurut undang-undang bukan merupakan unsur. Oleh karena bukan merupakan unsur maka dalam praktik hukum tidak perlu dibuktikan. Pasal 44 (1) KUHP justru merumuskan tentang keadaan mengenai bilamana seseorang tidakmampu bertanggung jawab agar tidak di pidana, artinya merumuskan perihal kebalikan (secara negatif) dari kemampuan bertanggung jawab, dapat diartikan kebalikannya, apabila tidak terdapat dua keadaan jiwa sebagaimana yang diterangkan dalam pasal 44 tersebut. Apakah dengan rumusan tentang kebalikan dan jiwa yang mampu bertanggung jawab itu dianggap bahwa setiap tindak pidana itu harus ada unsur mampu bertanggung jawab, sebab jika tidak tentulah terhadap orangnya karena perbuatannya tidak dapat dijatuhi pidana.
            Mengenai hal ini harus diambil sikap bahwa mengenai mampu bertanggung jawab ini adalah mengenai jiwa seseorang yang diperlukan dalam hal untuk dapat menjatuhkan pidana, dan bukan hal untuk terjadinya tindak pidana. Dari sikap yang demikian membawa konsekuensi hukum bahwa setelah nyata terbukti tindak pidana, kemudian terbukti pelakunya tidak mampu bertanggung jawab pidana (baik melalui pasal 44 maupun diluarnya) maka putusan hakim berisi melepaskan terdakwa dari tuntutan hukum (onstlag can rechtsvervoigingn) dan bukan pembalasan (vrijspraak), karena tindak pidana terbukti telah diwujudkan, namun adanya alasan pemaaf (tidak mampu bertanggung jawab).
            Dua keadaan jiwa yang tidak mampu bertanggug jawab sebagaimana yang dirumuskan dalam pasal 44 KUHP yakni : 1. Karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan. 2. Jiwanya terganngu karena penyakit
Orang dalam keadaan jiwa demikian, bila melakukan tindak pidana tidak boleh dipidana.
b.      Unsur-Unsur Yang Harus  Dipenuhi Dalam Pertanggugngjawaban Pidana
J.E.jonkres berpendapat bahwa pertanggugjawaban pidana merupakan sendi dari pengertian kesalahan yang luas, yang tidak boleh dicampuradukkan dengan yang disebutkan dalam pasal 44 KUHP. Tidak mudah untuk menentukan syarat umum pertanggungjawaban pidana. J.E. Jonkres menyebut ada 3 syarat mengenai pertanggungjawaban pidana, yaitu : 1. kemungkinan untuk menentukan kehendaknya terhadap suatu perbuatan 2. mengetahui maksud yang sesungguhnya daripada perbuatan itu 3. keinsyafan bahwa hal itu dilarang dalam masyarakat