PEMBAHASAN
A. Waktu dan Tempat Tindak Pidana
Pada kenyataannya
memang ada disebagian tindak pidana mengenai waktu dan atau tempat menjadi
unsure yang dicantumkan dalam rumusan. Diluar hal itu, mengenai waktu dan
tempat tindak pidana ini adalah menjad hal sangat perting dalam hal praktik
pidana sejak penyidikan, penuntutan dan persidangan di pengadilan, selain
penting dalam hubungannya dengan beberapa ketentuan umum dalam KUHP.
Dalam praktik hukum
pidana perihal waktu dan tempat tindak pidana juga penting bagi Tersangka atau
Terdakwa dan Penasehat Hukum.
1. Mengenai Waktu dan Tempat Pidana
Dalam hubungan
dengan pelbagai ketentuan umum dalam KUHP, mengenai waktu tindak pidana ini
penting dalam hal, yakni:
a. Mengenai
hubungannya dengan ketentuan pasal 1 ayat 2 KUHP, perihal adanya perubahan
dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, yakni untuk menentukan
apakah tindak pidana itu dilakukan sebelum atau setelah ada perubahan
perundang-undangan. Bila di lakukan sebelum perubahan maka apakah akan
memperlakukan perundangan yang berlaku sebelum tindak pidana dilakukan ataukah
setelah tindak pidana dilakukan, yakni terhadap ketentuan mana yang paling
mengutungkan terdakwa. Bila yang menguntungkan itu adalah aturan yang baru maka
aturan baru itulah yang di berlakukan.
b. Mengenai berlaku tidaknya ketentuan perihal penjatuhan
pidana atau tindakan (matregelen) terhadap orang yang belum dewasa karena
melakukan tindak pidana sebelum umur 16 tahun sebagaiman ditentukan dalam pasal
45, 46 dan 47 KUHP. Jika ketika
melakukan tindak pidana umurnya belum 16 tahun, maka diberlakukan pasal 45,46
dan 47 tidak berlaku. Kini berlaku undang – undang No.3 tahun 1997, mengenai
penjatuhan pidana atau tindakan terhadap anak yang melakukan tindak pidana
ketika umurnya belum 18 tahun dan belum pernah kawin.
c. Mengenai hal yang berhubungan dengan kedaluarsa bagi hak
Negara untuk melakukan penuntutan pidana sebagaimana ditentukan dalam pasal 78,
78 KUHP.
d. Mengenai hal untuk menentukan usia korban ketika tindak
pidana dilakukan seperti pada kejahatan kesusilaan, dimana ketika tindak pidana
dilakukan usia korban belum 15 tahun (287, 290 KUHP).
e. Mengenai hal yang berhubungan dengan keadaan jiwa si pelaku
ketika melakukan tindakan pidana sebagaimana ditentukan dala pasal 44 KUHP.
f.
Mengenai hal yang
berhubungan dengan pengulangan (recidive) beberapa kejahatan sebagaimana
ditentukan dalam pasal 486, 487 dan 488 KUHP. Bagi kejahatan tertentu yang disebutkan dalam pasal itu,
pidana yang dijatuhkan pada petindak yang melakukan tindak pidana tersebut
belum 5 tahun sejak bersangkutan menjalani pidana yang di jatuhkan karena dulu
melakukan kejahatan yang sama, dapat ditambah dengan sepertiga dari pidana yang
di ancamkan ada kejahatan tersebut.
2. Mengenai tempat Tindak Pidana
Mengani tempay
dilakukannya tindak pidana penting dalam beberapa hal, yaitu:
a. Dalam hal yang berhubungan dengan kompetensi relatif. Pasal
84 (1) KUHAP yang memuat prinsip dasar tentang kompetensi relatif.
b. Dalam hubungannya dengan ketentuan pasal 2 KUHP yang memuat
azas teritorialiter tentang berlakunya hukum pidana Indonesia.
3. Teori tentang Waktu dan Tempat Tindak Pidana
Undang-undang
ternyata tidak memberikan penjelasan perihal waktu dan tempat tindak pidana.
Oleh sebab itu teori-teori mengenai waktu dan tempat ini menjadi sangat penting
dalam praktik hukum karena teori-teori itulah yang dapat menjadi pegangan hakim
dalam memecahkan persoalan yang menyangkut tentang waktu dan tempat tindak
pidana ini.
Dari sudut factual atau kenyataan, maka
ada benarnya jika kita berendapat bahwa pada dasarnya waktu dan tempat tindak
pidana adalah seluruh waktu dan tempat dimana tindak pidana itu dilakukan.
Persoalan dari sejak kapan, dan dimulai dari tempat yang mana, bilamanakah
berakhirnya dan di tempat yang mana berakhirnya? Dalam hal untuk menjawab
persoalan yang demikian, ada beberapa teori yaitu:
a. Teori perbuatan jasmani (ker cen het amteriele felt)
b. Teori alat (leer van het instrumen)
c. Teori akibat (leer van het gevolg)
Menurut
teori perbuatan jasmani atau perbuatan materiil, waktu dan tempat tindak pidana
adalah waktu dan tempat di mana perbuatan jasmani yang menjadi unsure tindak
pidana itu pada kenyataannya diwujudkan.
Menurut
teori alat, waktu dan tempat tindak pidana ialah waktu dan tempat di mana alat
digunakan dan bekerja efektif dalam hal terwujudnya tindak pidana. Sedangkan
menurut teori akibat, waktu dan tindak pidana adalah waktu dan tempat di mana
akibat dari perbuatan itu timbul.
Teori
perbuatan jasmani lebih sesuai dengan tindak pidana yang terjadi dalam waktu
pendek atau seketika, seperti pencurian atau penggelapan, dan berbeda dengan
tindak pidana berupa menimbulkan keadaan terlarang, yang berlangsungnya lama,
atau disebut tindak pidana berlanjut seperti penculikan (333 KUHP), mengenai
hal terakhir.
Teori
perbuatan jasmani juga dapat mengalami kesulitan, apabila dalam tingkah laku
jasmani diwujudkan dengan menggunakan alat. Dalam hal ini teori perbuatan
jasmani harus dilengkapi dengan teori alat.
Pada
tindak pidana yang untuk selesainya secara sempurna digantungkan pada akibat,
baik akibat itu unsure yang memberatkan maupun akibat itu sebagai unsure pokok
pada tindak pidana materiil, maka teori akibat lebih sesuai, dan dalam prektik
sering menggunakan teori akibat. Seperti pada kasus penipuan dengan emnggunakan
sarana cek kosong, dimana pelaku melalaikan menggerakkan (tingkah laku pasal
378 KUHP).
Dalam
hal berbarengan (concorus atau sameloop), oleh karena terjadinya beberapa
tindak pidana yang berlainan, maka perihal waktu dan tempat tindak pidana
adalah pada waktu dan tempat masing-masing terwujudnya tindak pidana itu. Dalam
hubungannya dengan kompetensi relative pengadilan, artinya Pengadilan Negeri
mana yang berwenang mengadili, untuk menghindari konflik yuridiksi. Pasal 84
ayat 2 KUHP telah menegaskan bahwa Pengadilan Negeri berwenang mengadilinya.
B. Penyertaan Melakukan Tindak Pidana
(Deelneming)
a. Pengertian
Penyertaan
melakukan tindak pidana berarti turut sertanya seorang atau
lebih pada waktu seseorang lain melakuakn suatu tindak pidana. Membaca rumusan
pada tiap pasal ketentuan hokum pidana (strafbepaling) orang berkesimpulan,
bahwa dalam tiap tindak pidan hanya ada seorang pelaku yang akan kena hukuman
pidana. Dalam praktek
ternyata sering terjadi dari seorang terlibat dalam perstiwa tindak pidana.
b. Unsur-Unsur Penyertaan dalam Perbuatan Pidana
1.
Menyuruh Melakukan
Perbuatan (Doen Plegen)
Wujud penyertaan (deelneming)yang
pertama-tama disebutkan oleh pasal 55 ialah: menyuruh melakukan perbuatan
(Dolpelgen). Ini terjadi apabila orang lain menyuruh si pelaku melakukan
perbuatan, yang biasanya merupakan tindak pidana, tetapi oleh karena beberapa
hal si pelaku tidak dapat dikenakan hukuman pidana.
Dengan sendirinya kita ingat apa
yang telah dibicarakan atas mengenai sebagian dari alas an menghilangkan sifat
tindak pidana yaitu dalam hal “keadaan memaksa (overmacht) secara relative dari
pasal 48 KUHP, dalam hal melaksanakan perintah jabatan yang sah (begoegd ggeven
ambtelijk bevel) dai pasal 52 ayat 1 KUHP, dan dalam hal menjalankan perintah
jabatan yang tidak sah, tetapi secara jujur (onbevoegdelijk gegecen abmtelijk
bevel) dari pasal 51 ayat 2 KUHP.
2.
Turut Melakukan
Perbuatan (Medeplegen)
Dalam KUHP tidak ada penegasan apa
yang dimaksudkan dengan kata medeplegen ini, maka ada perbedaan pendapat arti
dari istilah ini. Seperti dalam hal percobaan atau poging, ada dua golongan
pendapat yang satu bersifat subyektif dengan meinitikberatkan pada maksud dan
tabiat para pelaku (mededader)sedangkan para obyektivitas lebih melihat pada
wujud perbuatan dari para turut pelaku, wujud tersebut harus cocok dengan
perumusan tindak pidana dalam undang-undang (delicts omachrijving).
3.
Syarat Kesengajaan
dalam “Turut Melakukan”
Dengan adanya kehendak bersama akan
melakukan suatu tindak pidana secara kerja sama, sudah terang, bahwa para
“turut pelaku” (mededaders) ada unsur kesengajaan,. Tetapi ini tidak berarti,
bahwa mereka tidak dapat “turut melakukan” suatau tindak pidana dengan unsur
cuple atau kurang berhati-hati.
Keadaan Pribadi Seorang “Turut Pelaku”
Seperti
dalam “menyuruh melakukan” juga dalam
hal “turut melakukan” timbul persoalan apakah suatu keadaan perihal sebagau
unsure tindak pidana harus melekat pada tiap-tiap turut pelaku. Tentang kejahatan jabatan lain yaitu
penerimaan sogokan oleh pegawai negeri dari pasal 418 dan 419 KUHP, pernah oleh
mahkamah Agung pada tahun 1955 di putuskan bahwa dalam hal 2 orang atau lebih
di tuduh bersama – sama dan bersekutu melakukan kejahatan dari pasal 418 dan
419 KUHP itu tidak usah masing – masing dari mereka memenuhi segala unsur yang
oleh pasal – pasal itu di rumuskan untuk tindak pidana itu..
4.
Membantu Melakukan
Tindakan Pidana (Medelphctigneid)
Diatas sudah dibahas hal “menyuruh
melakukan” (doen plegen) dan “turut melakukan” (medelplegen) keduanya
disebutkan dalam pasal 55 ayat 1 KUHP kemudian oleh pasal 58 ayat 1 nomor 2
disebutkan hal “membujuk melakukan” (uitlokken), dan baru pada pasal 56
dicantumkan hal “membantu melakukan” 9medeokudhgtigheld). Dalam KUHP hal
“membantu melakukan” akan saya bahas lebih dahulu dari hal “membujuk melakukan”
oleh Karena dalam wujudnya ada persamaan erat “turut melakukan” dan “membantu
melakukan”.
5.
Membujuk Melakukan
Tindak Pidana (Uitlokking)
Tidak semua pembujukan untuk melakukan
tindak pidana dikenakan hukuman, melainkan hanya permbujukan dengan cara-cara
yang disebutkan dalam pasal 5 ayat 1 No.2 KUHP. Mula-mula yang disebutkan hanya
pemberian kesanggupan, penyalahgunaan kekuasaan atau martabat, paksaan, ancaman
atau penipuan,. Kemudian cara-cara yang ini ditambah dengan member kesempatan,
sarana atau keterangan.
Menurut kata-kata dari pasal 55 ayat 1
NO.52 KUHP yang disengaja dibujuk ialah perbuatannya, bukan orangnya. Dari ini
dapat disimpulkan bahwa syarat mutlak untuk menganggap adanya pembujukan yang
dapat dikenakan hokuman ialah, bahwa perbuatan dari tindak pidana harus sudah
diselesaikan atau stidaknya harus sudah tercapai suatau percobaan yang dapat
dikenakan hukuman menurut pasal 53 KUHP.
Nampak dalam pasal 163, ayat 1 nomor 2
KUHP yang dibujuk adalah orangnya bukan perbuatannya. Si bujuk dari ilmu
pengetahuan hokum dinamakan auctorintelectualis. Dijelaskan lagi dalam
ayat 2 dari pasal 63, bahwa tidak dikenakan hukuman apabila tidak terjadi
kejahatan atau percobaan disebabkan oleh keadaan tergantung si pembujuk.
c. Pasal-Pasal Penyertaan dalam Pembuatan Pidana
Pasal 57 ayat 1 KUHP mengurangi
maksimum hukuman pokok dalam hal membantu melakukan tindak pidana dengan
sepertiga. Apalagi maksimum hukuman ini adalah hukuman mati atau hukuman
penjara seumur hidup, maka maksimum dalam hal medeplichtighled ini dijasikan
hukuman penjara selama-lamanya 15 tahun.
Menurut ayat 3, hukuman tambahan dalam
hal “pembantuan” ini sama seperti pelaku tunggal, si turut pelaku, si penyuruh,
dan si pembujuk. Ayat 4 membatasi penentuan hukuman dalam hal “pembantuan” ini
pada perbuatan-perbuatan yang oleh si pembantu dipermudah atau didorong dengan
sengaja.
C.
Sifat Melawan Hukum
Dalam hukum pidana yang
menjadi perhatian adalah perbuatan-perbuatan yang bersifat melawan hukum saja,
perbuatan-perbuatan inilah yang dilarang dan diancam dengan pidana, dan
Perbuatan-perbuatan ini di bagi menjadi dua :
1.
Perbuatan telah mencocoki larangan Undang-Undang .
letak melawan hukumnya perbuatan itu sudah nyata, dari sifat melanggarnya
ketentuan undang-undang, kecuali jika termasuk perkecualian yang telah
ditentukan undang-undang pula. Bagi mereka ini melawan hukum berarti melawan
undang-undang, sebab hukum adalah undang-undang. Pendirian demikian dinamkan
pendirian formal.
2.
Sebaliknya ada yang berpendapat bahwa belum tentu
kalau semua perbuatan yang mencocoki larangan undang-undang bersifat melawan
hukum. Bagi mereka ini yang dinamakan hukum bukanlah undang-undang saja,
disamping undang-ndang (hukum tertulis) ada pula hukum yang tidak tertulis,
yaitu norma-norma atau kenyataan-kenyataan yang berlaku di dalam masyarakat.
Pendirian yang demikian dinamakan dengan pendirian yang materiel.
Seorang penulis (Vost)
yang menganut pendirian yang materil, menformulir perbuatan yang bersifat
melawan hokum sebagai perbuatan yang oleh masyarakat tidak dibolehkan.
Formulering ini
dipengaruhi oleh arrest H.R.Nederland tahun 1919, yang terkenal dengan nama Lindenbaum
Cohen Arrest mengenai perkara perdata. Di situ H.R.Nederland mengatakan
‘perbuatan melanggar hokum (onrechtmeatige daad) adalah bukan saja perbuatan
yang bertentangan denga wet tetapi juga perbuatan yang dipandang dari pergaulan
masyarakat tidak patut”. Duduknya perkara sebagaiman diuraikan oleh Mr. Wirjono
Prodjodikoro dalam bukunya: Perbuatan Melanggar Hukum (hal.13) adalah sebagai
berikut:
Ada dua kantor
percetakan buku yang satu kepunyaan Cohen dan yang lain kepunyaan Lindenbaum.
Mereka bersaing hebat satu sama lain. Pada suatu hari seorang pegawai dari
Lindenbum dibujuk oleh Cohen dengan macam-maam pemberian hadiah dan kesanggupan
supaya memberikan kepadanya (Cohen) turunan dari penawaran-penawaran yang
dilakukan oleh Lindenbum dan memberitahukan pula nama-nama dari orang-orang
yang mengadakan pesanan kepada kantor Lindenbaum atau yang minta keterangan
tentang harga-harga cetak. Dengan tindakan ini Cohen tentunya bermaksud akan
menggunakan hal-hal yang diketahui itu untuk menetapkan suatu siasat agar
supaya khalayak ramai lebih suka datang kepadanya dari pada ke kantor
Lindenbaum. Tapi perbuatan Cohen ini diketahui oleh Lindenbaum yang karenanya
merasa dirugikan. Maka dari itu dia digugat di Pengadilan Amsterdam, sebagai
telah melakukan perbuatan melanggar hokum terhadapnya sehingga berdasar atas
pasl 1401 (1365) BW minta ganti kerugian.
Dalam putusan hakim
tingkat pertama Cohen dikalahkan tapi dalm tingkat banding di muka Gerechtshof
Amsterdam Indeh belum dikalahkan yaitu berdasar yurisprudendi yang dituruti
mengenai pasal tersebut. Perbuatan Cohen tidak dianggap sebagai perbuatan
melanggar hokum, karena tidak ditunjukkan suatu pasal dari undang-undang yang
dilangggar oleh Cohen.
Linderbaun mohon kasasi kepada hakim dengan alas an bahwa
putusan tersebut melanggar pasal 1401 (1365) BW. Akhirnya hakim dengan
menyampingkan jurisprudensi sebagaimana diikuti dalam putusan Hof Amsterdam
memutuskan pada tanggal 31 desember 1919, bahwa perbuatan Cohen adalah
perbuatan melanggar huku, seperti tersebut di atas.
Pandngan tentang hukum dan
sifat melawan huku materiil di atas, hanya mempunyai arti dalam perkecualian
perbuatan yang meskipun masuk dalam perumusan undang-undang it tidak merupakan
perbuatan pidana. Biasanya ini dinamakan fungsi yang negatif dari sifat melawan
hukum yang materiil. Adapun fungsi yang positif, yaitu perbuatan tidak dilarang
oleh undang-undang, tetapi oleh masyarakat perbuatan itu dianggap keliru,
berhubungan dengan adanya azaz legalitas (pasal 1 ayat 1 KUHP) dalam hukum
pidana lalu tidak mungkin. Lain halnya di dalam hukum perdata yang berhubungan
dengan pasal 1365 BW (barang siapa dengan perbuatan melawan hukum menimbulkan
kerugian pada orang lain harus mengganti kerugian tersebut apabila diminta oleh
yang mengalami kerugian tadi) fungsi yang positif itu penting juga.
Menurut ajaran sifat yang
melawan hukum yang formil, suatu perbuatan itu bersifat melawan hukum apabila
perbuatan diancam pidana dan dirumuskan sebagai suatu delik dalam undang-undang
sedang sifat melawan hukumnya perbuatan itu dapat dihapus, karena hanya
berdasarkan suatu ketentuan undang-undang. Jadi menurut ajaran ini melawan
hukum sama dengan melawan atau bertentangan dengan undang-undang (hukum
tertulis).
Sedangkan menurut ajaran sifat
melawan hukum yang materiil, suatu perbuatan itu melawan hukum atau tidak,
tidak hanya yang terdapat dalam undang-undang (yang tertulis) saja, akan tetapi
harus dilihat berlakunya asas-asas hukum yang tidak tertulis. Sifat melawan
hukumnya perbuatan yang nyata-nyata masuk dalam rumusan delik itu dapat dihapus
berdasarkan aturan-aturan yang tidak tertulis (uber gesetzlich).
Jadi menurut ajaran ini
melawan hukum sama dengan bertentangan dengan undang-undang (hukum tertulis)
dan juga bertentangan dengan hukum yang tidak tertulis termasuk tata susila dan
sebagainya.
Penulis yang menganut ajaran
sifat melawan hukum yang formil adalah : simons “memang boleh diakui, bahwa
suatu perbuatan yang masuk larangan dalam suatu undang-undang itu tidaklah
mutlak bersifat melawan hukum, akan tetapi tidak adanya sifat melawan hukum itu
hanyalah bisa diterima, jika didalam hukum positif terdapat alasan untuk suatu
pengecualian berlakunya ketentuan/larangan itu”.
Alasan untuk menghapuskan
sifat melawan hukum tidak boleh diambil diluar hukum positif dan juga alasan
yang disebut dalam undang-undang tidak boleh diartikan lain dari pada secara
limitetatief.
Pengecualian ini harus diambil
dari hukum positif, misalnya pasal 48 sampai dengan pasal 166,221 ayat 2 KUHP,
atau yang terdapat dalam lapangan hukum lain. Ia tidak membicarakan hukum yang
tidak tertulis.
Penulis-penulis yang menganut
ajaran sifat melawan hukum yang materiil ialah :
a.
Von Liszt
Perkosaan
atau pembahayaan terhadap kepentingan hukum hanyalah bersifat melawan hukum
materiil (material rechtwerdig) jika perbuatan itu bertentangan dengan tujuan
ketertiban hukum ( den zwecken der das zusannebleben regelnden rechtsorddnung
widerspricht) kalau tidak bertentangan dengan tujuan itu maka tidak bersifat
melawan hukum.
b.
Zu Donha
Suatu
perbuatan itu tidak melawan hukum jika perbuatan itu merupakan upaya yang hak
(ricghtiges mitel zum rechte zweche). Contohnya, seorang ayah memukul pemuda
yang memperkosa anak perempuannya. Disini menurut Zu Donha perbuatan ayahnya
tidak bersifat melawan hukum.
c.
ME meyer
Suatu
perbuatan melawan hukum materiil atau tidak, ditentukan oleh norma kebudayaan
(kulturalnore), sifat melawan hukum itu, berarti betentangan dengan kultumorn
yang diakui oleh negara. Kalau perbuatan itu sesuai dengan kultumorn itu maka
sifat hukumnya dihapus.
d.
Zevenbergen
Onrechtmatigheld adalah syarat yang umum obyektif yang
berdiri sendiri yang biasanya ada jika suatu perbedaan memenuhi rumusan delik
dalam undang-undang, tetapi mengenai hal itu harus diselediki untuk tiap-tiap
kejadian yang konkrit. Apakah yang diharapkan oleh ketertiban
umum. Dalam hal ada keraguan mengenai sifat melawan hukum, maka tidak boleh ada
penjatuhan pidana.
e. Van Hattum
Dengan
adanya putusan Hoge Raad tentang dokter hewan di Huizen itu, ia berpendapat :
Dengan itu menurut hemat saya (Menurut van Hattun) telah diterima ajaran sifat
melawan hukum yang materiil oleh Hoge Raad dan tela dipecahkan persoalannya
menurut asas-asas yang boleh dikatakan benar dalam ajaran “Penemuan Hukum”
dewasa ini (in de hedendaage leer der rechtavinding onbetwist).
Persaksian terhadap sifat melawan hukum yang materil itu
harus di lakukan secara hati – hati dan istimewa. Hakim harus membatasi diri
pada peristiwa – peristiwa yang kongkrit.
f. Mulyatno
Dapat pula dimasukkan sebagai penganut
sajaran sifat melawan hukum materiil, mengingat uraian dalam pidatonya tersebut
di muka dalam merumuskan unsure tindak pidana (perbuatan pidana)
Dari
penjelasan diatas, suatu perbuatan dikatakan melawan hukum apabila suatu
perbuatan itu memenuhi rumusan delik, merupakan tanda/indikasi bahwa perbuatan
itu bersifat melawan hukum. Akan tetapi sifat itu terhapus apabila alasan
pembenar (rechtvaardigingaggrond). Bagi
mereka yang menganut ajaran sifat melawan hukum yang formil. Alasan
pembenar itu hanya boleh diambil dari hukum positif, yang tertulis, sedang
penganut ajaran sifat melawan hukum yang materiil alasan itu boleh diambil dari
luar hukum yang tertulis. Ajaran sifat melawan hukum yang formil pada umumnya
sudah tidak dianut lagi, berdasarkan putusan seminar hukum nasional tahun 1963.
Kalau mengikuti pandangan yang material maka perbedaannya dengan pandangan yang
formal adalah :
1.
Mengakui adanya pengecualian/penghapusan dari
sifat melawan hukumnya perbuatan menurut hukum yang tertulis dan yang tidak
tertulis, sedangkan pandangan yang formal hanya mengakui pengecualian yang
tersebut dalam undang-undang saja. Misalnya pasal 49 KUHP pembelaan terpaksa
(Noodwer).
2.
Sifat melawan hukum adalah unsur mutlak dari
tiap-tiap perbuatan-perbuatan pidana, juga bagi yang dalam rumusannya tidak
menyebut unsur-unsur tersebut. Sedang bagi pandangan yang formal, sifat
tersebut tidak selalu menjadi unsur dari pada perbuatan pidana hanya jika dalam
rumusan delik disebutkan dengan nyata-nyata, barulah menjadi unsur delik.
Dengan mengakui bahwa sifat melawan hukum
selalu menjadi unsur perbuatan pidana, ini tidak berarti bahwa karena itu harus
dibuktikan adanya unsur tersebut oleh penuntut umum soal apakah harus
dibuktikan atau tidak adalah tergantung dari rumusan delik yaitu apakah dalam
rumusan unsur tersebut disebutkan dengan nyata-nyata. Jika dalam rumusan delik
unsur tersebut tidak dinyatakan, maka juga tidak perlu dibuktikan. Pada umumnya
dalam perundang-undangan kita, lebih banyak delik yang tidak memuat unsur
melawan hukum di dalam rumusannya.
D. Hal-Hal Yang Dikategorikan Perbuatan
Melanggar Hukum
Ada
tiga pendirian yang antara lain sebagai berikut:
1. Bertentangan dengan hokum
2. Bertentangan dengan hak orang lain
3. Tanpa kewenangan atau tanpa hak, hal itu tidak perlu
bertantangan dnegan hukum.
Tetapi dalam hal unsure melawan hokum
itu sendiri disebutkan dalam rumusan delik, maka Pompe selalu berpendirian
matrial, karena baginya makna dari pada melawan hokum itu adalah bertentangan
dengan hokum.
Sementara itu istilah bersifat melawan
hokum sekarang dipakai dalam banyak rumusan-rumusan delik. Timbul pertanyaan,
apakah artinya istilah ini dalam undang-undang. Ini bukanlah persoalan yang
bersifat teori hokum yang umum tetapi interpretasi undang-undang.
Sifat melawan hokum berarti:
bertentangan dengan huku, yang mana lebih luas dari pada bertentangan dengan
undang-undang. Selain dari peraturan undang-undang disini haruslah diperhatikan
aturan-aturan yang tidak tertulis.
Kita dapat tafsirkan pasal 48 KUHP
begitu luasnya sehingga kejadian ini akan termasuk di dalamnya. Kita juga dapat
berpendapat secara analogi bahwa dimana karena tidak adanya sifat melawan hokum
dalam kejadian-kejadian pasal 48-51 KUHP, tidak dapat dipidana dan sifat
melawan hukumnya juga hilang. Resultasi yang diharapkan dengan demikian dapat
juga dicapai, tetapi tanpa melanggar stesel dari undang-undang kita.
Bagaiman Unsure Sifat Melawan Hokum
dirumuskan dalam Undang-Undang.
KUHP memakia istilah bermacam-macam:
1. Tegas dipakai istilah “Melawan Hukum’ (Woderrechtelijk)
dalam pasal-pasal 167, 168, 335 (1), 522, 526.
Dengan
istilah lain misalnyaL “Tanpa mempunyai hak untuk itu” (Pasal-pasal 303, 548,
549): “Dengan melampaui kewenangannya (Pasal 430): “Tanpa mengindahkan
kewenangannya (Pasal 430): “Tanpa mengindahkan cara-cara ditentukan oleh
peraturan umum.” (Pasal 429)
E.
Kemampuan Pertanggungjawaban Pidana
a.
Pengertian kemampuan bertanggungjawab
Dalam setiap rumusan tindak pidana yang
ada dalam KUHP mengenai kemampuan bertanggung jawab tidak disebutkan secara
tegas, artinya menurut undang-undang bukan merupakan unsur. Oleh karena bukan
merupakan unsur maka dalam praktik hukum tidak perlu dibuktikan. Pasal 44 (1)
KUHP justru merumuskan tentang keadaan mengenai bilamana seseorang tidakmampu
bertanggung jawab agar tidak di pidana, artinya merumuskan perihal kebalikan
(secara negatif) dari kemampuan bertanggung jawab, dapat diartikan
kebalikannya, apabila tidak terdapat dua keadaan jiwa sebagaimana yang
diterangkan dalam pasal 44 tersebut. Apakah dengan rumusan tentang kebalikan
dan jiwa yang mampu bertanggung jawab itu dianggap bahwa setiap tindak pidana
itu harus ada unsur mampu bertanggung jawab, sebab jika tidak tentulah terhadap
orangnya karena perbuatannya tidak dapat dijatuhi pidana.
Mengenai
hal ini harus diambil sikap bahwa mengenai mampu bertanggung jawab ini adalah
mengenai jiwa seseorang yang diperlukan dalam hal untuk dapat menjatuhkan
pidana, dan bukan hal untuk terjadinya tindak pidana. Dari sikap yang demikian
membawa konsekuensi hukum bahwa setelah nyata terbukti tindak pidana, kemudian
terbukti pelakunya tidak mampu bertanggung jawab pidana (baik melalui pasal 44
maupun diluarnya) maka putusan hakim berisi melepaskan terdakwa dari tuntutan
hukum (onstlag can rechtsvervoigingn) dan bukan pembalasan (vrijspraak), karena
tindak pidana terbukti telah diwujudkan, namun adanya alasan pemaaf (tidak
mampu bertanggung jawab).
Dua
keadaan jiwa yang tidak mampu bertanggug jawab sebagaimana yang dirumuskan
dalam pasal 44 KUHP yakni : 1. Karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan. 2. Jiwanya
terganngu karena penyakit
Orang dalam keadaan jiwa demikian, bila
melakukan tindak pidana tidak boleh dipidana.
b.
Unsur-Unsur Yang Harus Dipenuhi Dalam Pertanggugngjawaban Pidana
J.E.jonkres
berpendapat bahwa pertanggugjawaban pidana merupakan sendi dari pengertian
kesalahan yang luas, yang tidak boleh dicampuradukkan dengan yang disebutkan
dalam pasal 44 KUHP. Tidak mudah untuk menentukan syarat umum
pertanggungjawaban pidana. J.E. Jonkres menyebut ada 3 syarat mengenai
pertanggungjawaban pidana, yaitu : 1. kemungkinan untuk menentukan kehendaknya
terhadap suatu perbuatan 2. mengetahui maksud yang sesungguhnya daripada
perbuatan itu 3. keinsyafan bahwa hal itu dilarang dalam masyarakat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar