Selasa, 28 Maret 2017

Perkembangan Hadits pada Masa Sahabat dan Tabi'in



A.    Latar Belakang Masalah
            Rasulullah Saw. memerintahkan para sahabat untuk berhati-hati dan memeriksa benar-benar suatu Hadis yang hendak disampaikan kepada orang lain. Oleh karena itu, setelah wafatnya Nabi Muhammad Saw. para sahabatpun sedikit demi sedikit menyampaikan Hadis kepada orang lain. Para sahabat setelah wafatnya Rasul tidak lagi berdiam di kota Madinah, mereka pergi kekota-kota lain. Maka penduduk kota lainpun mulai menerima Hadis dan para Tabi’in mempelajari Hadis dari para sahabat itu. Dengan demikian mulailah berkembang riwayat dalam kalangan Tabi’in.
Riwayat Hadis pada permulaan periode sahabat masih sangat terbatas, hanya disampaikan kepada yang memerlukan saja dan bila perlu saja, belum bersifat pelajaran. Bagi orang islam, hadits adalah sumber ajaran islam disamping Al_ Qur’an. Tanpa menggunakan hadits, syariat islam tidak dapat dimengerti secara utuh dan tidak dapat dilaksanakan. Untuk memahami ayat Al Qur’an, sering kali diperlukan peninjaun bagaimana kondisi dan keadaan masyarakat ketika ayat itu turun. Mengingat demikian banyaknya hadits yang ada serta periode dan sejarah hadits yang berbeda dimasanya. Maka penulis berkeinginan untuk menyusun sebuah makalah yang berjudul “PERKEMBANGAN HADITS PADA MASA SAHABAT DAN TABI’IN “. Untuk mengetahui perbedaan perkembangan hadits dari masa sahabat dan tabi’in.
B.     Rumusan Masalah
1.      Siapa yang disebut Sahabat dan Tabi’in?
2.      Bagaimana perkembangan hadits pada masa sahabat?
3.      Bagaimana perkembangan hadits pada masa tabi’in?






PERKEMBAN HADITS pada MASA SAHABAT dan TABI’IN

A.    SAHABAT DAN TABI’IN
1.      Sahabat
      Periode kedua sejarah perkembangan hadis, adalah masa sahabat yang berlangsung sekitar tahun 11 H sampai dengan 40 H masa ini disebut dengan masa sahabat besar.[1] etelah mengetahui sejerah perkembangan hadis yang kedua adalah pariode sahabat maka akan timbul pertanyaan “siapa yang disebut sahabat” maka jawabannya antara lain:
1.    Orang yang pernah berjumpah dengan Nabi Muhammad Saw dengan beriman kepadanya dan mati sebagai orang islam.
2.    Orang yang lama menemani Nabi Muhammad Saw. Dan berulang kali mengadakan perjumpaan dengannya dalam rangka mengikuti dan mengambil pelajaran darinya.
3.    Orang islam yang pernah menemani Nabi Muhammad Saw. Atau melihatnya.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa sahabat itu mempunyai unsur bergaul dengan Nabi dan mereka beragama Islam. Jika periode Rasul adalah periode ketika Rasul masih hidup, yang sering disebut periode wahyu dan pembentukan tata aturan isalam, maka yang disebut periode sahabat adalah periode sesudah Nabi Muhammad Saw. wafat.[2] Begitu banyaknya sahabat nabi sehingga tidak dapat dihitung secara pasti. Mereka juga tidak bersamaan masuk islam sehingga pengelompokan sahabat ini dapat dilihat dari tingkat keutamaannya.
Ø Sahabat yang masuk islam di Mekkah, seperti Abu Bakar, Umar, Usman.
Ø Sahabat yang tergabung dalam Dar al nadwah.
Ø Sahabat yang turut hijrah bersama Nabi Muhammad Saw.
Ø Sahabat yang membai’at Nabi Saw. di Aqabat al-Ula.
Ø Sahabat yang ikut berperang bersama Nabi Saw. (perang Badar)
Ø   Para remaja dan anak-anak yang sempat melihat Rasulullah.[3]
2.      Tabi’in
                  Tabi'in artinya pengikut, yaitu orang Islam yang masa hidupnya setelah para Sahabat Nabi dan tidak mengalami masa hidup Nabi Muhammad. Usianya tentu saja lebih muda dari Sahabat Nabi bahkan ada yang masih anak-anak atau remaja pada masa Sahabat masih hidup. Tabi'in disebut juga sebagai murid Sahabat Nabi. Seperti Al- Qaasim bin Muhammad bin Abi Bakar Ash-Shiddiq, Al-Hasan Al-Bashriy, Abu Hanifah Umar bin Abdul Aziz.[4]
B.     Hadist pada Masa Sahabat
            Periode kedua sejarah perkembangan hadits  adalah masa sahabat, khususnya adalah Khulafa al-Rasyidun (Abu Bakar al-Shiddiq, Umar bin Khathab, Ustman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib), sehingga masa ini dikenal dengan masa sahabat besar.[5] Periode ini juga dikenal dengan zaman Al-Tasabbut wa al-Iqlal min al-Riwayah yaitu periode membatasi hadits dan menyedikitkan riwayat. Hal ini disebabkan karena para sahabat pada masa ini lebih mencurahkan perhatiannya kepada pemeliharaan dan penyebaran Al-Qur’an. Akibatnya periwayatan haditspun kurang mendapat perhatian, bahkan mereka berusaha untuk bersikap hati - hati dan membatasi dalam meriwayatkan hadits. Kehati - hatian dan usaha membatasi periwayatan dan penulisan hadits yang dilakukan para sahabat, disebabkan karena mereka khawatir terjadinya kekeliruan dan kebohongan atas nama Rasul SAW, karena hadits adalah sumber ajaran setelah Al-Qur’an.[6] Keberadaan hadits  yang demikian harus dijaga keautentikannya sebagaimana penjagaan terhadap Al-Qur’an.  Oleh karena itu, para sahabat khususnya Khulafa al-Rasyidin, dan sahabat lainnya seperti Al - zubair, Ibn Abbas, dan Abu Ubaidah berusaha keras untuk memperketat periwayatan hadits. Berikut ini akan diuraikan periwayatan hadis pada masa sahabat.
1.      Abu Bakar al-Shiddiq
      Abu Bakar sebagai khalifah yang pertama menunjukkan perhatiannya dalam memelihara Hadis. Menurut Al-Dzahabi, Abu Bakar adalah sahabat yang pertama kali menerima Hadis dengan hati-hati, Misalnya Abu Bakar meminta pengukuhan sahabat lain ketika seorang nenek datang kepadanya mengatakan “Saya mempunyai hak atas harta yang ditinggal oleh putra anak laki-laki saya .”  kata Abu Bakar, “ Saya tidak melihat ketentuan seperti itu, baik dari al-qur’an maupun dari Rasul.” Lebih lanjut khalifah berkata, “ siapa diantara kalian yang mendengar ketentuan itu dari Rasul?” maka tampillah Muhammad bin Maslamah sebagai saksi bahwa seorang nenek seperti kasus tersebut mendapat bagian seperenam (1/6) harta peninggalan cucu dari anak laki-lakinya. Kemudian Abu Bakar memberikan bagian tersebut.[7]
      Pada masa pemerintahan Abu Bakar, periwayatan hadits dilakukan dengan sangat hati - hati. Bahkan menurut Muhammad bin Ahmad al-Dzahabi (wafat 748H/1347M),  sahabat Nabi yang pertama - tama menunjukkan sikap kehati - hatiannya dalam meriwayatkan hadits adalah Abu Bakar al-Shiddiq. Sikap ketat dan kehati - hatian Abu Bakar tersebut juga ditunjukkan dengan tindakan konkrit beliau, yaitu dengan membakar catatan-catatan hadits yang dimilikinya. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Aisyah (putri Abu Bakar) bahwa Abu Bakar telah membakar catatan yang berisi sekitar lima ratus hadist. Tindakan Abu Bakar tersebut lebih dilatarbelakangi oleh karena beliau merasa khawatir berbuat salah dalam meriwayatkan hadits Sehingga, tidak mengherankan jika jumlah hadits yang diriwayatkannya juga tidak banyak. Padahal, jika dilihat dari intensitasnya bersama Nabi, beliau dikatakan sebagai sahabat yang paling lama bersama Nabi, mulai dari zaman sebelum Nabi hijrah ke Madinah hingga Nabi wafat. Selain sebab - sebab di atas, menurut Suhudi Ismail, setidaknya ada tiga factor yang menyebabkan sahabat Abu Bakar tidak banyak meriwayatkan hadits, yaitu (1) dia selalu dalam keadaan sibuk ketika menjabat sebagai khalifah; (2) kebutuhan akan hadits tidak sebanyak pada sesudahnya; dan (3) jarak waktu antara kewafatannya dengan kewafatan Nabi sangat singkat. Dengan demikian, dapat dimaklumi kalau sekiranya aktifitas periwayatan hadits pada masa Khalifah Abu Bakar masih sangat terbatas dan belum menonjol, karena pada masa ini umat Islam masih dihadapkan oleh adanya beberapa kenyataan yang sangat menyita waktu, berupa pemberontakan-pemberontakan yang dapat membahayakan kewibawaan pemerintah setelah meninggalnya  Rasulullah SAW baik yang datang dari dalam (intern) maupun dari luar (ekstern). Meskipun demikian, kesemuanya tetap dapat diatasi oleh pasukan Abu Bakar dengan baik.
2.      Umar ibn al-Khathab
      Sikap kehati-hatian juga ditunjukkan oleh Umar bin Khattab. Ia seperti halnya Abu Bakar, suka meminta diajukan saksi jika ada orang yang meriwayatkan hadis. Perlu pula dijelaskan bahwa, pada masa Umar bin Khattab belum ada usaha secara resmi  untuk menghimpun hadis dalam suatu kitab seperti Al-qur’an. Hal ini disebabkan agar tidak memalingkan perhatian atau kekhususan mereka (umat islam) dalam mempelajari Al-qur’an. Alasan kedua, para sahabat banyak menerima hadis dari Rasul SAW. sudah tersebar keberbagai daerah kekuasaan islam, dengan kesibuknnya masing-masing sebagai pembina masyarakat. Sehingga dengan kondisi seperti ini ada kesulitan untuk mengumpulkan mereka secara lengkap. Pertimbangan lainnya, bahwa soal pembukuan hadis, dikalangan para sahabat sendiri terjadi terjadi perselisihan pendapat. Belum lagi terjadinya perselisihan soal lafadz dan kesahihannya.[8] Abu Hurairah seorang sahabat terbanyak meriwayatkan hadis, pernah ditanya oleh Abu Salamah, apakah ia banyak meriwayatkan hadis dimasa Umar, lalu menjawab “ sekiranya aku meriwayatkan hadis dimasa umar bin khattab seperti aku meriwayatkannya kepadamu, niscaya Umar akan mencambukku dengan cambuknya.[9]Tindakan hati - hati yang dilakukan oleh Abu Bakar al-Shiddiq, juga diikuti oleh sahabat Umar bin Khathab. Umar dalam hal ini juga terkenal sebagai orang yang sangat berhati-hati di dalam meriwayatkan sebuah hadits. Beliau tidak mau menerima suatu riwayat apabila tidak disaksikan oleh sahabat yang lainnya. Hal ini memang dapat dipahami, karena memang pada masa itu, terutama masa khalifah Abu Bakar dan khalifah Umar bi al-Khathab naskah Al-Qur’an masih sangat terbatas jumlahnya, dan karena itu belum menyebar ke daerah - daerah kekuasaan Islam. Sehingga dikhawatirkan umat Islam yang baru memeluk Islam saat itu tidak bisa membedakan antara Al-Qur’an dan Al-Hadits.  Pada periode ini menyusun catatan-catatan terdahulu juga dilarang, karena dari catatan tersebut tidak dapat diketahui mana yang haq dan mana yang bathil, demikian pula dengan pencatat ilmu juga dilarang. Meskipun demikian, pada masa Umar ini periwayatan hadits juga banyak dilakukan oleh umat Islam. Tentu dalam periwayatan tersebut tetap memegang prinsip kehati-hatian.
3.      Utsman Ibn Affan
      Pada masa Usman Ibn Affan, periwayatan hadits dilakukan dengan cara yang sama dengan dua khalifah sebelumnya. Hanya saja, usaha yang dilakukan oleh Utsman Ibn Affan ini tidaklah setegas yang dilakukan oleh Umar bin al-Khathab. Meskipun Utsman  melalui khutbahnya telah menyampaikan seruan agar umat Islam berhati-hati dalam meriwayatkan hadits.  Namun pada zaman ini, kegiatan umat Islam dalam periwayatan hadist telah lebih banyak bila dibandingkan dengan kegiatan periwayatan pada zaman dua khalifah sebelumnya. Sebab, seruannya itu ternyata tidak begitu besar pengaruhnya terhadap para periwayat yang bersikap “longgar” dalam periwayatan hadist. Hal ini lebih disebabkan karena selain pribadi Utsman yang tidak sekeras pribadi Umar, juga karena wilayah Islam telah bertambah makin luas. Yang mengakibatkan bertambahnya kesulitan pengendalian kegiatan periwayatan hadis secara ketat.
4.      Ali bin Abi Thalib
      Khalifah Ali bin Abi Thalib dalam meriwayatkan hadits tidak jauh berbeda dengan para khalifah pendahulunya. Artinya, Ali dalam hal ini juga tetap berhati-hati didalam meriwayatkan hadits. Dan diperoleh pula atsar yang menyatakan bahwa Ali r.a tidak menerima hadits  sebelum yang meriwayatkannya itu disumpah.[10] Hanya saja, kepada orang-orang yang benar-benar dipercayainya,  Ali tidak meminta mereka untuk bersumpah. Dengan demikian, fungsi sumpah dalam periwayatan hadits bagi Ali tidaklah sebagai syarat mutlak keabsahan periwayatan hadits. Sumpah dianggap tidak perlu, apabila orang yang menyampaikan riwayat hadits telah benar-benar diyakini tidak mungkin keliru.
      Ali bin Abi Thalib sendiri cukup banyak meriwayatkan hadits Nabi. Hadits yang diriwayatkannya, selain dalam bentuk lisan, juga dalam bentuk tulisan (catatan). Hadits yang berupa catatan, isinya berkisar tentang: [1] hukuman denda (diyat); [2] pembebasan orang Islam yang ditawan oleh orang kafir; dan [3] larangan melakukan hukum (qishash) terhadap orang Islam yang membunuh orang kafir. Dalam Musnad Ahmad, Ali bin Abi Thalib merupakan periwayat hadist yang terbanyak bila dibandingkan dengan ketiga khalifah pendahulunya.
C.     Hadist pada Masa Tabi’in
            Pada dasarnya periwayatan yang dilakukan kalangan tabi’in tidak berbeda dengan yang dilakukan para sahabat. Mereka, bagaimanapun, mengukuti jejak para sahabat sebagai guru – guru mereka. Hanya saja persoalan yang dihadapi mereka agak berbeda yang dihadapi para sahabat. Pada masa ini Al Qur’an sudah dikumpulkan dalam satu mushaf. Dipihak lain, usah yang taelah dirintis oleh paara sahabat, pada masa khulafa’ Al-Rasyidin, khususnya masa kekhalifahan Ustman para sahabat ahli hadiast menyebar keberapa wilayah kekuasaan Islam. Kepeda merekalah para tabi’in mempelajari hadits.[11]
a.       Pusat – pusat Pembinaan Hadits
      Tercatat beberapa kota sebagai pusat pembinaan dalam periwayatan hadits, sebagai tempat tujuan para tabi’in dalam mencari hadits. Kota - kota tersebut ialah Madinah al-Munawarah, Makkah al-Mukarramah, Kuffah, Basrah, Syam, Mesir, Magrib dan Andalas, Yaman dan Khurasan. Dari sejumlah para sahabat pembina hadits pada kota - kota tersebut, ada beberapa orang yang tercatat meriwayatkan hadist cukup banyak, antara lain: Abu Hurairah, Abdullah bin Umar, Anas bin Malik, Aisyah, Abdullah bin Abbas, Jabir bin Abdillah dan Abi Sa’id al-Khudzri.[12]
      Tokoh – tokoh dalam Perkembangan Hadits Sahabat Kecil Pada masa awal perkembangan hadits, sahabat yang banyak meriwayatkan hadits disebut dengan al-Mukhtsirun fi al-Hadits mereka adalah: Abu Hurairah meriwayatkan 5374 atau 5364 hadits, Abdullah ibn Umar meriwayatkan 2630 hadits, Anas ibn Malik meriwayatkan 2276 atau 2236 hadits, Aisyah(istri nabi) meriwayatkan 2210 hadits, Abdullah ibn Abbas meriwayatkan 1660 hadits, Jabir ibn Abdillah meriwayatkan 1540 hadits, Abu Sa’id al-Khudzri meriwayatkan 1170 hadits.
      Sedangkan dari kalangan tabi’in besar, tokoh – tokoh periwayatan hadisat sangat banyak sekali, mengingat banyaknya periwayatan pada masa tersebut, diantaranya:
1.      Madinah, Abu Bakar ibn Abdu Rahman ibn al-Haris ibn Hisyam, Salim ibn Abdullah ibn Umar dan Sulaiman ibn Yassar
2.      Makkah, Ikrimah, Muhammad ibn Muslim, Abu Zubair
3.      Kufah, Ibrahim an-Nakha’I, Alqamah
4.      Basrah, Muhammad ibn Sirin, Qatadah
5.      Syam, Umar ibn Abdul Aziz
6.      Mesir, YAzid ibn Habib
7.      Yaman, Thaus ibn Kaisan al-Yamani.[13]
b.      Pergolakan Politik dan Pemalsuan Hadits
                  Pergolakan ini sebenarnya terjadi pada masa sahabat, setelah terjadinya perang Jamal dan perang Sifin, yaitu ketika kekuasaan dipegang oleh Ali bin Abi Thalib akan tetapi akibatnya cukup panjang dan berlarut- larut dengan terpecahnya umat islam kedalam beberapa kelompok ( Khawarij, Syi’ah, Mu’awiyah dan golongan mayoritas yang tidak masuk kedalam ketiga kelompok tersebut).
                  Langsung atau tidak, dari pergolakan politik seperti diatas, cukup memberikan pengaruh terhadap perkembangan hadits berikutnya. Pengaruh yang langsung yang bersifat negatif, ialah dengan munculnya hadits – hadits palsu (maudhu’) untuk mendukung kepentingan politiknya masing – masing kelompok dan untuk menjatuhkan posisi lawan – lawannya. Adapun pengaruh yang bersifat positif adalah lahirnya rencana dan usaha yang mendorong diadakannya kodofikasi atau tadwin hadist, sebagai upaya penyelamatan dari pemusnahan dan pemalsuan, sebagai akibat dari pergolakan politik tersebut.[14]

DAFTAR PUSTAKA

Drs. Munzier Suparta, MA., Ilmu Hadis (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003).
Drs. Munzier Suparta, MA., Ilmu Hadis (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003)
DR.Muh.Zuhri, Hadis Nabi (Yogyakarta: PT.Tiara Wacana Yogya, 1997). Drs. Munzier Suparta, MA., Ilmu Hadis (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003).
Ichwan, Mohammad Nor. 2007. Studi Ilmu Hadist. Semarang: RaSAIL Media.
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Teungku. 1999. Ilmu Hadist. Semarang: Pustaka Rizki Putra.
Rofi’ah, Khusniati. 2010. Studi Ilmu Hadist. Ponorogo: STAIN PO Press.
Suparta, Munzier. 2008. Ilmu Hadist. Jakarta: Raja  Graafindo Persada.
Zuhri, Muh. 2003. Hadist Nabi Telaah Historis dan Metodologis. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.



[1] Drs. Munzier Suparta, MA., Ilmu Hadis (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003). hlm. 79
[2] DR.Muh.Zuhri, Hadis Nabi (Yogyakarta: PT.Tiara Wacana Yogya, 1997). hlm.37-38.
[3] Ibid. 41-42
[4] Drs. Munzier Suparta, MA., Ilmu Hadis (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003).hlm. 79-81
[5] Mohammad Nor Ichwan, Studi Ilmu Hadits (Semarang: RaSAIL Media Group, 2007), 79.
[6] Khusniati Rofiah, Studi Ilmu Hadits (Ponorogo: STAIN PO Press, 2010), 71.
[7] DR.Muh.Zuhri, Hadis Nabi (Yogyakarta: PT.Tiara Wacana Yogya, 1997).hlm. 38.
[8] Drs. Munzier Suparta, MA., Ilmu Hadis (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003).hlm. 82
[9] DR.Muh.Zuhri, Hadis Nabi (Yogyakarta: PT.Tiara Wacana Yogya, 1997).hlm.39.
[10] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu Hadits (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999), 47
[11] Suparta, Munzier, Ilmu hadist,(Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2008), 85.
[12] Nor Ikhwan, Mohammad, Ilmu Hadist,(Semarang:Rasail Media, 2007),87
[13] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu Hadits (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999), 48
[14] Zuhri, Muh. Hadist Nabi Telaah Historis dan Metodologis. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.2003

Minggu, 26 Maret 2017

Sejarah Perkembangan Hadits pada Masa Rasulutlah SAW, Khulafa' Ar-Rasyidin, Sahabat Kecil dan Tabiin



A.      Sejarah Perkembangan Hadits
Sejarah perkembangan hadis merupakan masa atau periode yang telah dilalui oleh hadis dari masa lahirnya dan tumbuh dalam pengenalan, penghayatan, dan pengamalan umat dari generasi ke generasi.[1]Dengan memerhatikan masa yang telah dilalui hadis sejak masa timbulnya/lahirnya di zaman Nabi SAW meneliti dan membina hadis, serta segala hal yang memengaruhi hadis tersebut. Para ulama Muhaditsin membagi sejarah hadis dalam beberapa periode. Adapun para`ulama penulis sejarah hadis berbeda-beda dalam membagi periode sejarah hadis. Ada yan membagi dalam tiga periode, lima periode, dan tujuh periode.[2]
1.      Periode Pertama: Perkembangan Hadis pada Masa Rasulutlah SAW.
Periode ini disebut `Ashr Al-Wahyi wa At-Taqwin' (masa turunnya wahyu dan pembentukan masyarakat Islam). Pada periode inilah, hadis lahir berupa sabda (aqwal), af’al, dan taqrir Nabi yang berfungsi menerangkan AI-Quran untuk menegakkan syariat.
Para sahabat menerima hadis secara langsung dan tidak langsung. Penerimaan secara langsung misalnya saat Nabi SAW. mennheri ceramah, pengajian, khotbah, atau penjelasan terhadap pertanyaan para sahabat. Adapun penerimaan secara tidak langsung adalah mendengar dari sahabat yang lain atau dari utusan-utusan, baik dari utusan yang dikirim oleh nabi ke daerah daerah atau utusan daerah yang datang kepada nabi.
Pada masa Nabi SAW, kepandaian baca tulis di kalangan para sahabat sudah bermunculan, hanya saja terbatas sekali. Karena kecakapan baca tulis di kalangan sahabat masih kurang, Nabi mene¬kankan untuk menghapal, memahami, memelihara, mematerikan, dan memantapkan hadis dalam amalan sehari- hari, serta mentablighkannya kepada orang lain. Nabi Muhammad SAW menjadi pusat perhatian para sahabat apa pun yang di datangkan oleh Nabi Muhammad SAW baik berupa ucapan, perbuatan maupun ketetapan merupakan referensi yang di buat pedoman dalam kehidupan sahabat. Setiap sahabat mempunyai kedudukan tersendiri dihadapan Rasulullah SAW adakalanya disebut dengan “al-sabiqun al-awwalin” yakni para sahabat yang pertama masuk islam, seperti khulafaur rasyidin dan Abdullah Bin Mas’ud.Ada juga sahabat yang sungguh- sungguh menghafal hadist misalnya Abu Hurairah. Dan ada juga yang usianya lebih panjang dari sahabat yang lain yang mana mereka lebih banyak menghafalkannya seperti annas bin malik. Demikian juga ada sahabat yang dekat sama rasulullah seperti Aisyah, Ummu Salamah, dan khulafaur rasidin semakin erat dan lama bergaul semakin banyak pula hadist yang diriwayatkan dan validitasnya tidak diragukan. Namun demikian sahabat juga adalah manusia biasa, harus mengurus rumah tangga, bekerja untuk memenuhi kebuthan keluarganya, maka tidak setiap kali lahir sebuah hadist di skasikan langsung oleh seluruh sahabat, sehingga sahabat mendegar sebagian hadist dari mendengar kepada sahabat yang lainnya atau langssung dari rasulullah SAW. Apalagi Sahabat nabi yang berdomisili di daerah yang jauh dari madinah seringkali hanya memperoleh hadist dari sesama sahabat.[3]
Rasul membina umatnya selama 23 Tahun. Masa ini merupakan kurun waktu turunnya wahyu dan sekaligus di wurudkannya hadist. Untuk lebih memahami kondisi/ keadaan hadist pada zaman nabi SAW berikut ini penulis akan diuraikan beberapa hal yang berkaitan:
1.       Cara Rasulullah menyampaikan hadist
       Rasulullah dan para sahabat hidup bersama tanpa penghalang apapun, mereka selalu berkumpul untuk belajar kepada Nabi Saw. di masjid, pasar, rumah,dalam perjalanan dan di majelis ta’lim. Ucapan dan perilaku beliau  selalu direkam dan dijadikan uswah (suri tauladan) bagi para sahabat dalam urusan agama dan dunia. Selain para sahabat yang tidak berkumpul dalam majelis Nabi Saw. untuk memperoleh patuah-patuah Rasulullah, karena tempat tingal mereka berjauhan, ada di kota dan di desa begitu juga profesi mereka berbeda, sebagai pedagang, buruh dll. Kecuali mereka berkumpul bersama Nabi Saw. pada saat-saat tertentu seperti hari jumat dan hari raya. Cara rasulullah menyampaikan tausiahnya kepada sahabat kemudian sahabat menyampaikan tausiah tersebut kepada sahabat lain yang tidak bisa hadir (ikhadz
2.      Keadaan para sahabat dalam menerima dan menguasai hadist 
       Kebiasaan para sahabat dalam menerima hadits  bertanya langsung kepada Nabi Saw. dalam problematika yang dihadapi oleh mereka, Seperti masalah hukum syara’ dan teologi. Diriwayatkan oleh imam Bukhari dalam kitabnya dari ‘Uqbah bin al-Harits tentang masalah pernikahan satu saudara karena  radla’ (sepersusuan). Tapi perlu diketahui, tidak selamanya para sahabat bertanya langsung. Apa bila masalah biologis dan rumah tangga, mereka bertanya kepada istri-istri beliau melalui utusan istri mereka, seperti masalah suami mencium istrinya dalam keadaan puasa. Telah kita ketahui, bahwa kebanyakan sahabat untuk menguasai hadist Nabi Saw., melalui hafalan tidak melalui tulisan, karena difokuskan untuk mengumpulkan al-Quran dan dikhawatirkan apabila hadist ditulis maka timbul kesamaran dengan al-Quran.[4]
3.      Larangan menulis hadis dimasa nabi Muhammad SAW
       Hadis pada zaman nabi Muhammad saw belum ditulis secara umum sebagaimana al-Quran. Hal ini disebabkan oleh dua factor ; para sahabat mengandalkan kekuatan hafalan dan kecerdasan otaknya, disamping alat-alat tulis masih kuarang. karena adanya larangan menulis hadis nabi.  Abu sa’id al-khudri berkata bahwa rosululloh saw bersabda: Janganlah menulis sesuatu dariku selain al-Qua’an, dan barang siapa yang menulis dariku hendaklah ia menghapusnya. ( H.R Muslim ) Larangan tersebut disebabkan karena adanya kekawatiran bercampur aduknya hadis dengan al-Qur’an, atau mereka bisa melalaikan al-Qua’an, atau larangan khusus bagi orang yang dipercaya hafalannya. Tetapi bagi orang yang tidak lagi dikawatirkan, seperti yang pandai baca tulis, atau mereka kawatir akan lupa, maka penulisan hadis bagi sahabat tertentu diperbolehkan.
4.      Aktifitas menulis hadist.
       Bahwasanya sebagian sahabat telah menulis hadist pada masa Rasulullah, ada yang mendapatkan izin khusus dari Nabi Saw.,hanya saja kebanyakan dari mereka yang senang dan kompeten menulis hadist menjelang akhir kehidupan Rasulullah.[5]Keadaan Sunnah pada masa Nabi SAW belum ditulis (dibukukan) secara resmi, walaupun ada beberapa sahabat yang menulisnya. Hal ini dikarenakan ada larangan penulisan hadist dari Nabi Saw. penulis akan mengutip satu hadist hadist yang lebih shahih dari hadist tentang larangan menulis. Rasulullah Saw. bersabda:
لاتكتبو اعنّى شيئا غير القران فمن كتب عنىّ شيئا غير القر ان فليمحه.
” jangan menulis apa-apa selain Al-Qur’an dari saya, barang siapa yang menulis dari saya selain Al-Qur’an hendaklah menghapusnya”.(HR. Muslim dari Abu Sa;id Al-Khudry) Tetapi disamping ada hadist yang melarang penulisan ada juga hadist yang membolehkan penulisan hadist, hadist yang diceritakan oleh Abdullah bin Amr, Nabi Saw. Bersabda
اكتب فو الذى نفسى بيده ما خرج منه الاالحق
” tulislah!, demi Dzat yang diriku didalam kekuasaan-Nya, tidak keluar dariku kecuali yang hak”.(Sunan al-Darimi)
       Dua hadist diatas tampaknya bertentangan, maka para ulama mengkompromikannya sebagai berikut: Bahwa larangan menulis hadist itu terjadi pada awal-awal Islam untuk memelihara agar hadist tidak tercampur dengan al-Quran. Tetapi setelah itu jumlah kaum muslimin semakin banyak dan telah banyak yang mengenal Al-Quran, maka hukum larangan menulisnya telah dinaskhkan dengan perintah yang membolehkannya.
       `Bahwa larangan menulis hadist itu bersifat umum, sedang perizinan menulisnya bersifat khusus bagi orang yang memiliki keahlian tulis menulis. Hingga terjaga dari kekeliruan dalam menulisnya, dan tidak akan dikhawatirkan salah seperti Abdullah bin Amr bin Ash.
       Bahwa larangan menulis hadist ditujukan pada orang yang kuat hafalannya dari pada menulis, sedangkan perizinan menulisnya diberikan kepada orang yang tidak kuat hafalannya. 
2.      Periode Kedua: Perkembangan Hadis pada Masa Khulafa' Ar-Rasyidin (11 H-40 H)
             Periode ini disebut ‘Ashr-At-Tatsabbut wa Al-Iqlal min Al-Riwayah’ (masa membatasi dan menyedikitkan riwayat). Nabi SAW wafat pada tahun 11 H. Kepada umatnya, beliau meninggalkan dua pegangan sebagai dasar bagi pedoman hidup, yaitu Al-Quran dan hadis (As-Sunnah yang harus dipegangi dalam seluruh aspek kehidupan umat.
             Pada masa Khalifah Abu Bakar dan Umar, periwayatan hadis tersebar secara terbatas. Penulisan hadis pun masih terbatas dan belum dilakukan secara resmi. Bahkan, pada masa itu, Umar melarang para sahabat untuk memperbanyak meriwayatkan hadis,dan  sebaliknya, Umar menekankan agar para sahabat mengerahkan perhatiannya untuk menyebarluaskan Al-Quran. Dalam praktiknya, ada dua sahabat yang meriwayatkan hadis, yakni:
1.      Dengan lafazh asli, yakni menurut lafazh yang mereka terima dari Nabi SAW yang mereka hapal benar lafazh dari Nabi.
2.      Dengan maknanya saja; yakni mereka merivttayatkan maknanya karena tidak hapal lafazh asli dari Nabi SAW.

3.      Periode Ketiga: Perkembangan pada Masa Sahabat Kecil dan Tabiin
             Periode ini disebut ‘Ashr Intisyar al-Riwayah ila Al-Amslaar’ (masa berkembang dan meluasnya periwayatan hadis).[6]Pada masa ini, daerah Islam sudah meluas, yakni ke negeri Syam, Irak, Mesir, Samarkand, bahkan pada tahun 93 H, meluas sampai ke Spanyol. Hal ini bersamaan dengan berangkatnya para sahabat ke daerah-daerah tersebut, terutama dalam rangka tugas memangku jabatan pemerintahan dan penyebaran ilmu hadis.Para sahabat kecil dan tabiin yang ingin mengetahui hadis-hadis Nabi SAW diharuskan berangkat ke seluruh pelosok wilayah Daulah Islamiyah untuk menanyakan hadis kepada sahabat-sahabat besar yang sudah tersebar di wilayah tersebut. Dengan demikiari, pada masa ini, di samping tersebarnya periwayatan hadis ke pelosok-pelosok daerah Jazirah Arab, perlawatan untuk mencari hadis pun menjadi ramai. Karena meningkatnya periwayatan hadis, muncullah bendaharawan dan lembaga-lembaga (Centrum Perkembangan) hadis di berbagai daerah di seluruh negeri. Adapun lembaga-lembaga hadis yang menjadi pusat bagi usaha penggalian, pendidikan,dan  pengembangan hadis terdapat di: Madinah, Mekah, Bashrah, Syam, dan Mesir, Pada periode ketiga ini mulai muncul usaha pemalsuan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Hal ini terjadi setelah wafatnya Ali r.a. Pada masa ini, umat Islam mulai terpecah-pecah menjadi beberapa golongan: Pertama, golongan ‘Ali Ibn Abi Thalib, yang kemudian dinamakan golongan Syi'ah. Kedua, golongan khawarij, yang menentang ‘Ali, dan golongan Mu'awiyah, dan ketiga; golongan jumhur (golongan pemerintah pada masa itu). Terpecahnya umat Islam tersebut, memacu orang-orang yang tidak bertanggung jawab untuk mendatangkan keterangan-keterangan yang berasal dari Rasulullah SAW. untuk mendukung golongan mereka. Oleh sebab itulah, mereka membuat hadis palsu dan   menyebarkannya kepada masyarakat.

4.      Periode Keempat: Perkembangan Hadis pada Abad II dan III Hijriah
             Periode ini disebut Ashr Al-Kitabah wa Al-Tadwin (masa penulisan dan pembukuan). Maksudnya, penulisandan  pembukuan secara resmi, yakni yang diselenggarakan oleh atau atas inisiatif pemerintah. Adapun kalau secara perseorangan, sebelum abad II H hadis sudah banyak ditulis, baik pada masa tabiin, sahabat kecil, sahabat besar, bahkan masa Nabi SAW Masa pembukuan secara resmi dimulai pada awal abad II H, yakni pada masa pemerintahan Khalifah Umar Ibn Abdul Azis tahun 101 H,[7] Sebagai khalifah, Umar Ibn Aziz sadar bahwa para perawi yang menghimpun hadis dalam hapalannya semakin banyak yang meninggal. Beliau khawatir apabila tidak membukukandan mengumpulkan dalam buku-buku hadis dari para perawinya, ada kemungkinan hadis-hadis tersebut akan lenyap dari permukaan bumi bersamaan dengan kepergian para penghapalnya ke alam barzakh. Untuk mewujudkan maksud tersebut, pada tahun 100 H, Khalifah meminta kepada Gubernur Madinah, Abu Bakr Ibn Muhammad Ibn Amr Ibn Hazmin (120 H) yang menjadi guru Ma'mar- Al-Laits, Al-Auza'i, Malik, Ibnu Ishaq, dan Ibnu Abi Dzi'bin untuk membukukan hadis Rasul yang terdapat pada penghapal wanita yang terkenal, yaitu Amrah binti Abdir Rahman Ibn Sa'ad Ibn Zurarah Ibn `Ades, seorang ahli fiqh, murid `Aisyah r.a. (20 H/642 M-98 H/716 M atau 106 H/ 724 M), dan hadis-hadis yang ada pada Al-Qasim Ibn Muhammad Ibn Abi Bakr Ash-Shiddieq (107 H/725 M), seorang pemuka tabiin dan salah seorang fuqaha Madinah yang tujuh. Di samping itu, Umar mengirimkan surat-surat kepada gubernur yang ada di bawah kekuasaannya untuk membukukan hadis yang ada pada ulama yang tinggal di wilayah mereka masing-masing. Di antara ulama besar yang membukukan hadis atas kemauan Khalifah adalah Abu Bakr Muhammad Ibn Muslim ibn Ubaidillah Ibn Syihab Az-Zuhri, seorang tabiin yang ahli dalam urusan fiqh dan hadits. Mereka inilah ulama yang mula-mula membukukan hadis atas anjuran Khalifah. Pembukuan seluruh hadist yang ada di Madinah dilakukan oleh Imam Muhammad Ibn Muslim Ibn Syihab Az-Zuhri, yang memang terkenal sebagai seorang ulama besar dari ulama-ulama hadist pada masanya. Setelah itu, para ulama besar berlomba-lomba membukulcan hadist atas anjuran Abu `Abbas As-Saffah dan anak-anaknya dari khalifah-khalifah ‘Abbasiyah.
Berikut tempat dan nama-nama tokoh dalam pengumpulan hadits :
a)         Pengumpul pertama di kota Mekah, Ibnu Juraij (80-150 H)
b)        Pengumpul pertama di kota Madinah, Ibnu Ishaq (w. 150 H)
c)         Pengumpul pertama di kota Bashrah, Al-Rabi' Ibrl Shabih (w.160 H)
d)        Pengumpul pertama di Kuffah, Sufyan Ats-Tsaury (w. 161 H.)
e)         Pengumpul pertama di Syam, Al-Auza'i (w. 95 H)
f)         Pengumpul pertama di Wasith, Husyain Al-Wasithy (104-188 H)
g)        Pengumpul pertama diYaman, Ma'mar al-Azdy (95-153 H)
h)        Pengumpul pertama di Rei, Jarir Adh-Dhabby (110-188 H)
i)          Pengumpul pertama di Khurasan, Ibn Mubarak (11 -181 H)
j)          Pengumpul pertama di Mesir, Al-Laits Ibn Sa'ad (w. 175 H).

                        Semua ulama yang membukukan hadis ini terdiri dari ahli-ahli pada abad kedua Hijriah. Kitab-kitab hadis yang telah dibukukan dan dikumpulkan dalam abad kedua ini, jumlahnya cukup banyak. Akan tetapi, yang rnasyhur di kalangan ahli hadis adalah: Al-Muwaththa', susurran Imam Malik (95 H-179 H); Al-Maghazi wal Siyar, susunan Muhammad ibn Ishaq (150 H) Al-jami', susunan Abdul Razzaq As-San'any (211 H) Al-Mushannaf, susunan Sy'bah Ibn Hajjaj (160 H) Al-Mushannaf, susunan Sufyan ibn 'Uyainah (198 H) Al-Mushannaf, susunan Al-Laits Ibn Sa'ad (175 H) Al-Mushannaf, susnan Al-Auza'i (150 H) Al-Mushannaf, susunan Al-Humaidy (219 H) Al-Maghazin Nabawiyah, susunan Muhammad Ibn Waqid Al¬Aslamy. A1-Musnad, susunan Abu Hanifah (150 H). Al-Musnad, susunan Zaid Ibn Ali. Al-Musnad, susunan Al-Imam Asy-Syafi'i (204 H). Mukhtalif Al-Hadis, susunan Al-Imam Asy-Syafi'i.
                        Tokoh-tokoh yang masyhur pada abad kedua hijriah adalah Malik,Yahya ibn Sa'id AI-Qaththan, Waki Ibn Al-Jarrah, Sufyan Ats-Tsauri, Ibnu Uyainah, Syu'bah Ibnu Hajjaj, Abdul Ar-Rahman ibn Mahdi, Al-Auza'i, Al-Laits, Abu Hanifah, dan Asy-Syafi'i.
B.       Fase Pengumpulan dan Penulisan Hadits
a.      Pengumpulan Hadis
             Pada abad pertama Hijriah, yakni masa Rasulullah SAW., Khulafaar Rasyidin,dan  sebagian besar masa Bani Umayyah hingga akhir abad pertama Hijrah, hadis-hadis itu berpindah-pindahdan  disampaikan dari mulut ke mulut. Masing-masing perawi pada waktu itu meriwayatkan hadis berdasarkan kekuatan hapalannya. Hapalan mereka terkenal kuat sehingga mampu mengeluarkan kembali hadis-hadis yang pernah direkam dalam ingatannya. Ide penghimpunan hadis Nabi secara tertulis untuk pertama kalinya dikemukakan oleh Khalifah Umar bin Khaththab (w. 23 H/644 M). Namun, ide tersebut tidak dilaksanakan oleh Umar karena khawatir bila umat Islam terganggu perhatiannya dalam mempelajari Al-Quran. Pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin.Abdul Aziz yang dinobatkan akhir abad pertama Hijriah, yakni tahun 99 Hijriah, datanglah angin segar yang mendukung kelestarian hadist. Umar bin Abdul Azis terkenal sebagai seorang khalifah dari Bani Umayyah yang terkenal adil dan wara' sehingga dipandang sebagai khalifah Rasyidin yang kelima. Beliau sangat waspada dan  sadar bahwa para perawi yang mengumpulkan hadist dalam ingatannya semakin sedikit jumlahnya karena meninggal dunia. Beliau khawatir apabila tidak segera dikumpulkan dan  dibukukan dalam buku-buku hadis dari para perawinya, mungkin hadis-hadis itu akan lenyap bersama lenyapnya para penghapalnya. Tergeraklah hatinya untuk mengumpulkan hadis-hadis Nabi dari para penghapal yang masih hidup. Pada tahun 100 H, Khalifah Umar bin Abdul Azis memerintahkah kepada Gubernur Madinah, Abu Bakar bin Muhammad bin Amer bin Hazm untuk membukukan hadis-hadis Nabi dari para penghapal. Umar bin Abdul Azis menulis surat kepada Abu Bakar bin Hazm, yaitu,"Perhatikanlah apa yang dapat diperoleh dari hadis Rasul lalu tulislah karena aku takut akan lenyap ilmu disebabkan menin,;galnya ulama, dan jangan diterima selain hadis Rasul SAW., dan hercdaklah disebarluaskan ilmu dan diadakan majelis-majelis ilmu supaya orzng yang tidak mengetahuinya dapat mengetahuinya, maka sesungguhnya ilmu itu dirahasiakan."
             Selain kepada Gubernur Madinah, khalifah juga menulis surat kepada Gubernur lain agar mengusahakan pembukuan hadis. Khalifah juga secara khusus menulis surat kepada Abu Bakar Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin Syihab Az-Zuhri. Kemudian, Syihab Az-Zuhri mulai melaksanakan perintah khalifah tersebut sehingga menjadi salah satu ulama yang pertama kali membukukan hadis. Setelah generasi Az-Zuhri, pembukuan hadis dilanjutkan oleh Ibn Juraij (w. 150 H.), Ar-Rabi' bin Shabih (w. 160 H), dan masih banyak lagi ulama lainnya. Sebagaimana telah disebutkan bahwa pembukuan hadis dimulai sejak akhir masa pemerintahan Bani Umayyah, tetapi belum begitu sempurna. Pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah, yaitu pada pertengahan abad II H, dilakukan upaya penyempunaan. Sejak saat itu, tampak gerakan secara aktif untuk membukukan ilmu pengetahuan, termasuk pembukuandan  penulisan hadis-hadis Rasul SAW Kitab-kitab yang terkenal pada waktu itu yang ada hingga sekarang dan sampai kepada kita, antara lain Al-Muwatha' oleh Imam Malikdan  Al-Musnad oleh Imam Asy-Syafi'i (w. 204 H). Pembukuan hadis itu kemudian dilanjutkan secara lebih teliti oleh imam-imam ahli hadis, seperti Bukhari, Muslim, Tirmizi, Nasai, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan lain-lain.
             Dari mereka itu, kita kenal Kutubus Sittah (kitab-kitab) enam, yaitu Sahih Al-Bukhari, Sahih Muslim, Sunan An-Nasal, dan At-Tirmizi. Tidak sedikit pada masa berikutnya dari para ulama yang menaruh perhatian besar pada Kutubus Sittah tersebut beserta kitab Muwatha' dengan cara mensyarahinya dan memberi catatan kaki, meringkas atau meneliti sanad dan matan-matannya.[8]
b.      Penulisan Hadis
             Sebelum agama Islam datang, bangsa Arab tidak mengenal kemampuan membaca dan menulis. Mereka lebih dikenal sebagai bangsa yang ummi (tidak bisa membaca dan menulis). Namun, ini tidak berarti bahwa tidak ada seorang pun yang bisa menulisdan  membaca. Keadaan ini hanyalah sebagai ciri kebanyakan mereka. Sejarah telah mencatat sejumlah orang yang mampu membaca dan menulis. Adiy bin Zaid Al-Adi (w. 35 H) misalnya, sudah belajar menulis hingga menguasainya, dan merupakan orang pertama yang menulis dengan bahasa Arab dalam surat yang ditujukan kepada Kisra. Sebagian orangYahudi juga mengajari anak-anak di Madinah untuk menulis Arab. Kota Mekah dengan pusat perdagangannya sebelum kenabian, menjadi saksi adanya para penulis dan orang yang mampu membaca. Sebagaimana dinyatakan bahwa orang yang mampu membaca dan menulis di kota Mekah hanya sekitar 10 orang. Inilah yang dimaksud bahwa orang Arab adalah bangsa yang ummi.[9]


[1] Endang soetari,ilmu hadist: kajian riwayah dan dirayah. Bandung ;Mimbar Pustaka.2005, halaman 29
[2] Ibid, halaman 30
[3] Muh.Zuhri, hadist nabi telaah historis dan metodologis (cet 11 yogyakarta tiara yogya 2009) hal 29
[4] Manna’ Al- Qattan Tarkh al tashyri al islami  kairo: Maktabah wahbah 1989, hlm 106
[5] Ulum al hadist wal mustalahu, Beirut. Dar al-ilmi li Al Malayin,1997 hlm 23
[6] Ketujuh Fuqaha Madinah adalah AI-Qasim, `Urwah Ibn Zubair, Abu Bakr Ibn Abdir Rahman, Sa'id Ibn Musavyab, Abdillah Ibn Abdullah Ibn `Utbah Ibn Mas'ud, Kharijah Ibn Zaid IbnTsabit, dan Sulaiman IbnYassar. LihatAsh-Shidieqy. hlm. 79
[7] Az-Zuhri menerima hadits dari Ibnu ‘Umar, Sahel ibn Sa’ad, Anas ibn Malik, Mahmud Ibn al-Rabi’, Said Ibn Musaiyab, dan Abu Umamah ibn Sahel
[8] Muhammad Ahmad, dkk. Ulumul Hadits. Bandung: Pustaka Setia. 2005. Hlm. 29-31.
[9] Al-Qaththan. Mabahits fi `Ulum Al-Hadits. Terj. Mifdhol Abdurrahman. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 2005.