PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Pendekatan sejarah sosial dalam pemikiran hukum Islam pada dasarnya merupakan hasil interaksi antara si pemikir dengan lingkungan sosio-kultural atau sosio-politiknya. Oleh karena itu, produk pemikiran yang ada sebenarnya bergantungan kepada lingkungannya. Pendekatan ini memperkuat alasan dengan menunjuk kepada kenyataan sejarah bahwa produk-produk pemikiran yang sering dianggap sebagai hukum Islam itu sebenarnya tidak lebih dari hasil interpretasi tersebut. Menurut Atho Mudzar, pendekatan ini penting sedikitnya karena dua hal; pertama, untuk meletakkan produk pemikiran hukum Islam itu pada tempat seharusnya; kedua, untuk memberikan tambahan keberanian kepada pemikir hukum Islam sekarang untuk tidak ragu-ragu bila merasa perlu melakukan perubahan terhadap suatu produk pemikiran hukum. Sejarah telah membuktikan bahwa umat Islam di berbagai penjuru dunia telah melakukanya tanpa sedikitpun merasa keluar dari hukum Islam. Pendekatan sejarah sosial bertugas menelusuri bukti-bukti sejarah itu.
Makalah ini berusaha menganalisis sebuah produk hukum Islam yaitu Kitab Al Amwal karya Abu Ubaid, Kitab ini menjadi pilihan karena secara substansi berisi pemikiran hukum Islam dari masa klasik, sesuai dengan adanya pembidangan di atas maka Kitab ini dapat dikatakan sebagai rujukan dalam pembentukan "Fiqh ekonomi". Hal ini karena pemikiran Abu Ubaid didasarkan atas sumber-sumber otentik berupa Qur'an dan Hadist untuk kemudian dapat dimaknai dalam pembentukan pranata sosial berupa pengembangan institusi ekonomi yang sangat dibutuhkan manusia pada saat ini. Tentu saja dalam tulisan ini akan digunakan pendekatan sejarah sosial hukum Islam Abu Ubaid, Biografi, Latar Belakang dan Pendekatannya.
B.Rumusan Masalah
1. Bagaimana riwayat hidup Abu Ubaid ?
2. Apa saja pemikiran ekonomi Abu Ubaid ?
3. Bagaimana reformasi distribusi zakat menurut Abu Ubaid ?
4. Apa uang antara fungsi dan alat menurut Abu Ubaid ?
PEMBAHASAN
Riwayat Hidup
Abu Ubaid yang dikenal sebagai bapak ekonomi Islam pertama. Nama lengkapnya adalah Al-Qasim bin Sallam bin Miskin bin Zaid Al-Harawi Al-Azadi Al-Baghdadi. Ia dilahirkan pada tahun 150 H di kota Harrah, Khurasan, barat laut Afghanistan. Setelah memperoleh ilmu yang memadai di kota kelahiranyakarena berkembangnya madzhab Hanafi, dan pada usia 20 tahun, Abu Ubaid pergi untuk menuntut ilmu ke berbagai kota, seperti Kufah, Basrah, dan Baghdad. Ilmu-ilmu yang dipelajarinya, antara lain mencakup ilmu tata bahasa Arab, qira’at, tafsir, hadits, dan fiqih. Pada tahun 192 H, Tsabit ibn Nasr ibn Malik, Gubernur Thugur pada masa pemerintahan Khalifah Harun Ar-Rasyi, mengangkat Abu Ubaid sebagai qadhi (hakim) di Tarsus hingga tahun 210 H. setelah itu, penulis kitabAl-Amwal ini tinggaldi Baghdad selama 10 tahun. Pada tahun 219 H, setelah berhaji, ia menetap di Mekah sampai wafatnya. Ia meninggal pada tahun 224 H.
Pemikiran Ekonomi
Abu Ubaid merupakan seoarang ahli hadits (muhaddits) dan ahli fiqih (fuqaha) terkemuka di masa hidupnya. Selama menjabat qadi di Tarsus, ia sering menangani berbagai kasus pertanahan dan perpajakan serta menyelesaikanya dengan sangat baik.
Filosofi yang dikembangkan Abu Ubaid bukan merupakan jawaban terhadap berbagai permasalahan sosial, politik dan ekonomi yang diimplementasikan melalui kebijakan-kebijakan prktis, tetapai hanya merupakan sebuah pendekatan yang bersifat professional dan teknokrat yang bersandar pada kemampuan teknis. Berdasarkan hal tersebut, Abu Ubaid berhasil menjadi salah seorang cendikiawan Muslim terkemuka pada awal abad ketiga Hijriyah (abad kesembilan Masehi) yang menetapkan revitalisasi system perekonomian berdasarkan Al-quran dan hadis melalui reformasi dasar-dasar kebijakn keuangandan institusinya.
Berkat pengetahuan dan wawasanya yang begitu luas dalam berbagai bidang ilmu, beberapa Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah mengklaim bahwa Abu Ubaid berasal dari madzhab mereka, walaupun fakta-fakta menunjukkan bahwa Abu Ubaid adalah seorang fuqaha yang independen. Dalam kitab al- Amwal, Abu Ubaid tidak sekalipun menyebut nama Abu Abdullah Muhammad ibn Idris Al-Syafi’I maupun nama Ahmad ibn Hanbal. Sebaliknya, Abu Ubaid sering kali mengutip pandangan Malik ibn Anas, salah seorang gurunya yang juga guru Al-Syafi’i. Di samping itu, ia juga mengutip beberapa ijtihad Abu Hanifah , Abu Yusuf dan Muhammad ibn Al-Hasan Al-Syaibani, tetapi hampir seluruh pendapat mereka ditolaknya.
Disisi lain, Abu Ubaid pernah di tuduh oleh Husain ibn Ali Al- Karabisi seorang plagiator terhadap karya-karya Asy-Syafi’I, termasuk dalam hal penulisan kitab Al-Amwal, Akan tetapi kebenaran hal ini sangat sulit untuk dibuktikan mengingat Abu Ubaid dan Asy-Syafi’I (termasuk Ahmad ibn Hanbal) pernah belajar dari ulama yang sama, bahkan mereka saling belajar satu sama lainya. Dengan demikian, tidak mengejutkan jika terdapat kesamaan dalam pandangan-pandangan antara kedua tokoh besartersebut, sekalipun kadang-kadang Abu Ubaid mengambil posisi yang bersebrangan dengan Asy-Syafi’I denagan tanpa menyebut nama.
Secara utuh, pemikiran Abu Ubaid tertuang dalam Kitab Al- Amwal Kitab ini pada bab pendahuluan ,Abu Ubaid secara singkat membahas hak dan kewajiban pemerintah terhadap rakyatnya serta hak dan kewajiban rakyat terhadap pemerintahanya, dengan studi khusus mengenai kebutuhan terhadap suatu pemerintahan yang adil. Pada bab selanjutnya yang merupakan bab pelengkap, Kitab ini menguraikan berbagai jenis pemasukan Negara yang dipercayakan kepada penguasa atas nama rakyat serta berbagai landasan hukumnya dalam Al-Quran dan Assunnah.
Tiga bagian pertama dari Kitab Al- Amwal meliputi beberapa bab yang membahas penerimaan fai. Dalam hal ini, menurut Abu Ubaid, fai juga mencakup pendapatan Negara yang berasal dari jizyah, kharaj, dan ushr, tetapi ushr dibahas dalam bab shadaqah. Adapun ghanimah, (harta ranpasan perang) dan fidyah (tebusan untuk tawanan perang), pembahasannya masuk dalam babfai.
Pada bagian keempat, sesuai dengan perluasan wilayah Islam pada masa klasik, Kitab Al- Amwal berisi pembahasan mengenahi pertanahan, administrasi, hukum internasional, dan hukum perang. Setelah bagian kelima membahas distribusi pendapatan.
Secara singkat, dapat dikatakan bahwa Kitab Al-Amwal secara khusus memfokuskan perhatiannya pada masalah keuangan publik (public finance) sekalipun mayoritas materi yang ada di dalamnya membahas permasalahan administrasi pemerintahan secara umum.
Secara umum, pada masa Abu Ubaid, pertanian di pandang sebagai sektor usaha yang paling baik dan utama karena menyediakan kebutuhan dasar, makanan, dan sumber utama pendapatan negara. Hal ini menjadikan masalah perbaikan sektor pertanian menjadi isu utama, bukan masalah pertumbuhan ekonomi dalam pengertian modern. Oleh karena itu, Abu Ubaid mengarahkan sasaranya pada persoalan legitimasi sosio-politik ekonomi yang stabil dan adil.
Di sisi lain, Abu Ubaid juga menekankan bahwa pembendaharaan negara tidak boleh di salahgunakan atau di manfaatkan oleh penguasa untuk kepentingan pribadinya. Dengan kata lain pebendaharaan negara harus di gunakan untuk kepentingan public. Ketika membahas tariff atau persentase untuk kharaj dan jizyah, iamenyinggung pentingnya keseimbangan antara kekuatan finansial penduduk nonmuslim yang dalam terminology finansial modrn di sebut sebagai capacity to pay dengan kepentingan golongan muslim yang berhak menerimanya.
Abu Ubaid membangun suatu negara Islam berdasarkan administrasi, pertahanan, pendidikan, hukum, dan kasih saying. Karaktristik tersebut hanya di berikan oleh Alloh SWT. Kepada kaum urban (perkotaan). Kaum badui yang tidak memberikan kontribusi sebesar yang telah di lakukan kaum urban. Tidak bias memperoleh manfaat pendapatanfaisebanyak kaum urban. Dalam hal ini, kaum badui tidak berhak menerima tunjagan dan provisi dari negara. Mereka memiliki hak klaim, sementara terhadap penerimaan fai hanya pada saat terjadi tiga kondisisi kritis, yakni ketika terjadiinvasi musuh , kemarau panjang (qa’ihah), dan kerusuhan sipil (fatq). Abu Ubaid memperluas cakupan kaum badui dengan memasukkan golongan masyarakat pegunungan dan pedesaan.
Pandangan Abu Ubaid tersebut degan jelas membedakan antara gaya hidup kaum badui dan kultur menetap kaum urban dan membangun fondasi masyarakat muslim berdasarkan martabat kaum urban, solidaritas serta kerja sama merasakan komitmen dan kohesi sosial beroriantasi urban,vertical dan horizontal, sebagai unsur esensial dari stabilitas sosio-politik dan makro ekonomi.
Abu Ubaid mengakui adanya kepemilikan pribadi dan kepemilikan public. Dalam hal kepemilikan, pemikiran Abu Ubaid yang khas adalah mengenai hubungan antara kepemilikan dan kebijakan perbalkanpertanian. Secara implisit, Abu Ubaid mengemukakan bahwa kebijakan pemerintahan, seperti iqta’ tanah gurun dan deklarasi resmi terhadap kepemilikan individualatas tanah tandus yang disuburkan, merupakan insentif untukmeningkatkan produksi pertanian. Oleh karena itu, tanah yang diberikan dengan persyaratan untuk diolah dan dibebaskan dari kewajiban membayar pajak, jika dibiarkan menganggur selama tiga tahun berturut-turut,akan dikenai denda kemudian dialihkan kepemilikanyaoleh penguasa.
Dalam pandangan Abu Ubaid, sumber daya publik, seperti air, padang rumput, dan api tidak boleh dimonopoli seperti hima’ (taman pribadi). Seluruh sumber daya ini hanya dapat dimasukkan ke dalam kepemilikan negara yang akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Reformasi Distribusi Zakat
Abu Ubaid sangat menentang pendapat yang menyatakan bahwa pembagian harta zakat harus dilakukan secara merata di antara delapan kelompok penerima zakat dan cenderung menentukan suatu batas tertinggiterhadap bagian perorangan. Bagi Abu Ubaid, yang paling penting adalah memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar, seberapa pun besarnya, serta menyelamatkan orang-orang dari bahaya kelaparan. Akan tetapi, pada saat yang bersamaan, Abu Ubaid tidak memberikan hak penerimaan zakat kepada orang-orang yang memiliki 40 dirham atau harta lainya yang setara, di samping baju, pakaian, rumah, dan pelayan yang dianggap sebagai suatu kebutuhan standar hidup minimum. Pendekatan yang digunakan Abu Ubaid ini mengindikasikanadanya tiga kelompok sosio-ekonomi yang terkait dengan status zakat, yaitu:
Kalangan kaya terkena wajib zakat.
Kalangan menengah yang tidak terkena wajib zakat, tetapi juga tidak berhak menerima zakat.
Kalangan penerima zakat.
Berkaitan dengan distribusi kekayaan melalui zakat, secara umum, Abu Ubaid mengadopsi prinsip bagi setiap orang adalah menurut kebutuhanya masing-masing. Lebih jauh, ketika membahas kebijakan penguasa dalam hal jumlah zakat (atau zakat) yang diberikan kepada para pengumpulnya (amil), pada prinsipnya, ia lebihcenderung pada prinsip “bagi setiap oaring adalah sesuai dengan haknya”.
Uang antara Fungsi dan Alat
Pada prinsipnya, Abu Ubaid mengakui adanya dua fungsi uang, yakni sebagai standar nilai pertukaran (standard of exchange value) dan media pertukaran (medium of exchange). Dalam hal ini, ia menyatakan,
“Hal yang tidak diragukan lagi bahwa emas dan perak tidak layak untukapa pun, kecuali keduanya menjadi harga dari barang dan jasa. Keuntungan yang paling tinggi yang dapat diperoleh dari kedua benda ini adalah pengunaanya untuk membeli sesuatu (infaq).”
Pernyataan Abu Ubaid tersebut menunjukkan bahwa ia mendukung teori konvisional mengenai uang logam, walaupun sama sekali tidak menjelaskan mengapa emas dan peraktidak layak untuk apa pun, kecuali keduanya menjadi harga daribarang dan jasa. Tampaknya Abu Ubaid merujuk pada kegunaan umum dan relatif konstannya nilai dari kedua dari benda tersebut dibandingkan dengan komoditas yang lainya.
Salah satu ciri khas Kitab Al-Amwal di antara kitab-kitab lainyang membahas keuangan publik (public finance) adalah pembahasan tentang timbangan dan ukuran, yang biasa digunakan dalam menghitung beberapa kewajiban agama yang berkaitan dengan harta atau denda, dalam satu babkhusus.
Abu Ubaid dalam kitabnya ingin menyatakan bahwa segala kebijakan yang hanya menguntungkan sekelompok masyarakat dan membebani sekelompok masyarakat lainnya harus di hindari negara semaksimal mungkin. Pemerintah harus mengatur harta kekayaan negara agar tidak disalah gunakan sehingga tidak menggangu atau mengurangi manfaat bagi masyarakat umum.
Pandangan pandangan Abu Ubaid juga merefleksikan perlunya memilihara dan mempertahankan keseimbangan antara hak dan kewjiban masyarakat, rasa persatuan, dan tanggung jkawab bersama. Abu Ubaid juga secara tegas menyatakan bahwa pemerintah wajib memberikan jaminan setandar kehidupan yang layak bagi setiap individu dalam sebuah masyarakat muslim.
PENUTUP
KESIMPULAN
, Abu Ubaid bernama lengkap Al-Qasim bin Sallam bin Miskin bin Zaid Al-Harawi Al-Azdi Al-Albaghdadi. Ia lahir pada tahun 150 H di kota Harrah, khurasan, setelah barat laut Af-ghanistan. Ayahnya keturunan Bayznatium yang menjadi maulasuku azad. Bila dilihat dari sisi masa hidupnya yang relative dekat dengan masa hidup rasulullah SAW. Jadi Abu Ubaid pantas disebut sebagai pemimpin dari pemikiran ekonomi madzhab klasik. Dan banyak para pemikir Islam yang mengikuti langkah dan pemikiran Abu Ubaid.
Berdasarkan pemaparan di atas dapat ditarik kesimpulan:
Abu Ubaid, tampak jelas berusaha untuk mengartikulasikan ajaran Islam dan aktivitas kehidupan umat manusia sehari-hari.
Abu Ubaid juga merefleksikan perlunya memelihara dan mempertahankan keseimbanganantara hak dan kewajibanmasyarakat.
Abu Ubaid secara tegas menyatakan bahwa pemerintah wajib memberikan jaminan standar kehidupan yang layak bagi setiap individu dalam sebuah masyarakat muslim.
Abu Ubaid mengakui adanya dua fungsi uang yakni sebagai setandar nilai pertukaran dan media pertukaran.
DAFTAR PUSTAKA
Karim Adiwarman Azwar, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2012)
Hans Gottschalk, Abu Ubaid Al-Qasim bi Sallman: Study zur Geschichte der Arabischen biographie, Dalam der islam, 23, (1936)
Abdullah Boedi, Peradaban Pemikiran Ekonomi Islam (Bandung: PT Pustaka Setia, 2010)
Abu Ubaid Al-Qosim Bin Sallam, Al-Anwal Beirut: t.p.,1989.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar