Selasa, 03 April 2018

Konsep Kesetaraan Gender Dan Keadilan Gender Serta Problematika Gender



BAB I
A.    Pendahuluan
Isu tentang gender menjadi pokok bahasan dalam wacana perdebatan mengenai perubahan sosial dan juga menjadi topik utama dalam perbincangan mengenai pembangunan dan perubahan sosial. Bahkan, beberapa waktu terakhir ini, berbagai tulisan, baik di media massa maupun buku-buku, seminar, diskusi dan sebagainya banyak membahas tentang protes dan gugatan yang terkait dengan ketidakadilan dan diskriminasi terhadap kaum perempuan.
Kodrat perempuan juga sering dijadikan alasan untuk mereduksi berbagai peran perempuan di dalam keluarga maupun masyarakat, kaum laki-laki sering dianggap lebih dominan dalam memainkan berbagai peran, sementara perempuan memperoleh peran yang terbatas di sektor domestik. Kebudayaan yang berkembang dalam masyarakat pun memandang bahwa perempuan sebagai makhluk yang lemah, emosional, halus dan pemalu sementara laki-laki makhluk yang kuat, rasional, kasar serta pemberani. Anehnya perbedaan-perbedaan ini kemudian diyakini sebagai kodrat, sudah tetap yang merupakan pemberian Tuhan. Barang siapa berusaha merubahnya dianggap menyalahi kodrat bahkan menentang ketetapan Tuhan.
Dalam berbagai kasus sering terjadinya permasalahan yang timbul akibat gender seperti seorang wanita yang bekerja sebagai tulang punggung keluarga tetap harus menjalani kewajibannya sebagai seorang ibu rumah tangga, karena melahirkan, megasuh dan mendidik anak adalah kewajiban bagi seorang istri, itulah pandangan masyarakat kita terhadap wanita dan dalam islam sendiripun bagian waris wanita adalah setengah dari bagian laki-laki. Dari gambaran diatas penulis ingin mengangkat permasalahan yang menyangkut gender, kesetaraan dan  ketidak adilan gender.
B.     Rumusan masalah
Untuk membatasi permasalahan yang akan penulis bahas dalam karya ilmiah ini penulis merumuskan rumusan masalah sebagai berikut :
1.      Apa itu gender ?
2.      Bagaimana kesetaraan dan keadilan gender ?
3.      Bagaimana permasalahan gender yang terjadi di Indonesia dan Negara muslim ?

BAB II
Pembahasan

A.    Pengertia gender

Gender sering diidentikkan dengan jenis kelamin (sex), padahal gender berbeda dengan jenis kelamin. Gender sering juga dipahami sebagai pemberian dari Tuhan atau kodrat Ilahi, padahal gender tidak semata-mata demikian. Sex adalah perbedaan jenis kelamin secara biologis sedangkan gender perbedaan jenis kelamin berdasarkan konstruksi sosial atau konstruksi masyarakat. Secara etimologis kata ‘gender’ berasal dari bahasa Inggris yang berarti ‘jenis kelamin’ (John M. Echols dan Hassan Shadily, 1983: 265). Kata ‘gender’ bisa diartikan sebagai ‘perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dalam hal nilai dan perilaku.
Secara umum, pengertian Gender adalah perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan apabila dilihat dari nilai dan tingkah laku. Dalam Women Studies Ensiklopedia dijelaskan bahwa Gender adalah suatu konsep kultural, berupaya membuat perbedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat. Dalam kaitan dengan pengertian gender ini, Astiti mengemukakan bahwa gender adalah hubungan laki-laki dan perempuan secara sosial. Hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan dalam pergaulan hidup sehari-hari, dibentuk dan dirubah.
Dari definisi di atas dapat dipahami bahwa gender adalah suatu sifat yang dijadikan dasar untuk mengidentifikasi perbedaan antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi kondisi sosial dan budaya, nilai dan perilaku, mentalitas, dan emosi, serta faktor-faktor nonbiologis lainnya. Gender berbeda dengan sex, meskipun secara etimologis artinya sama sama dengan sex, yaitu jenis kelamin (John M. Echols dan Hassan Shadily, 1983: 517). Secara umum sex digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologis, sedang gender lebih banyak berkonsentrasi kepada aspek sosial, budaya, dan aspekaspek nonbiologis lainnya. Kalau studi sex lebih menekankan kepada perkembangan aspek biologis dan komposisi kimia dalam tubuh seorang laki-laki dan seorang perempuan, maka studi gender lebih menekankan kepada perkembangan aspek maskulinitas dan femininitas seseorang.
Epistimologi penelitian Gender secara garis besar bertitik tolak pada paradigma feminisme yang mengikuti dua teori yaitu; fungsionalisme struktural dan konflik. Aliran fungsionalisme struktural tersebut berangkat dari asumsi bahwa suatu masyarakat terdiri atas berbagai bagian yang saling mempengaruhi. Teori tersebut mencari unsur-unsur mendasar yang berpengaruh di dalam masyarakat. Teori fungsionalis dan sosiologi secara inhern bersifat konservatif dapat dihubungkan dengan karya-karya August Comte (1798-1857), Herbart Spincer (1820-1930), dan masih banyak para ilmuwan yang lain.
Sejarah perbedaan gender antara seorang pria dengan seorang wanita terjadi melalui proses yang sangat panjang dan dibentuk oleh beberapa sebab, seperti kondisi sosial budaya, kondisi keagamaan, dan kondisi kenegaraan. Dengan proses yang panjang ini, perbedaan gender akhirnya sering dianggap menjadi ketentuan Tuhan yang bersifat kodrati atau seolah-olah bersifat biologis yang tidak dapat diubah lagi. Inilah sebenarnya yang menyebabkan awal terjadinya ketidakadilan gender di tengah-tengah masyarakat.
Gender memiliki kedudukan yang penting dalam kehidupan seseorang dan dapat menentukan pengalaman hidup yang akan ditempuhnya. Gender dapat menentukan akses seseorang terhadap pendidikan, dunia kerja, dan sektor-sektor publik lainnya. Gender juga dapat menentukan kesehatan, harapan hidup, dan kebebasan gerak seseorang. Jelasnya, gender akan menentukan seksualitas, hubungan, dan kemampuan seseorang untuk membuat keputusan dan bertindak secara otonom. Akhirnya, genderlah yang banyak menentukan seseroang akan menjadi apa nantinya.
Gender dipersoalkan karena secara sosial telah melahirkan perbedaan peran, tanggung jawab, hak dan fungsi serta ruang aktivitas laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Perbedaan tersebut akhirnya membuat masyarakat cenderung diskriminatif dan pilih-pilih perlakuan akan akses, partisipasi, serta kontrol dalam hasil pembangunan laki-laki dan perempuan.
Kuatnya citra gender sebagai kodrat, yang melekat pada benak masyarakat, bukanlah merupakan akibat dari suatu proses sesaat melainkan telah melalui suatu proses dialektika, konstruksi sosial, yang dibentuk, diperkuat, disosialisasikan secara evolusional dalam jangka waktu yang lama, baik melalui ajaran-ajaran agama, negara, keluarga maupun budaya masyarakat, sehingga perlahan-lahan citra tersebut mempengaruhi masing-masing jenis kelamin, laki-laki dan perempuan secara biologis dan psikologis.
Melalui proses sosialisasi, seseorang akan terwarnai cara berpikir dan kebiasaan-kebiasaan hidupnya. Dengan proses sosialisasi, seseorang “diharapkan” menjadi tahu bagaimana ia mesti bertingkah laku di tengah-tengah masyarakat dan lingkungan budayanya, sehingga bisa menjadi manusia masyarakat dan “beradab”. Sosialisasi merupakan salah satu proses belajar kebudayaan dari anggota masyarakat dan hubungannya dengan sistem sosial. Sosialisasi menitikberatkan pada masalah individu dalam kelompok. Oleh karena itu proses sosialisasi melahirkan kedirian dan kepribadian seseorang.
Karena konstruksi sosial budaya gender, seorang laki-laki misalnya haruslah bersifat kuat, agresif, rasional, pintar, berani dan segala macam atribut kelelakian lain yang ditentukan oleh masyarakat tersebut, maka sejak seorang bayi laki-laki lahir, dia sudah langsung dibentuk untuk “menjadi’ seorang laki-laki, dan disesuaikan dengan atribut-atribut yang melekat pada dirinya itu. Demikian pula halnya dengan seorang perempuan yang karena dia lahir dengan jenis kelamin perempuan maka dia pun kemudian dibentuk untuk “menjadi” seorang perempuan sesuai dengan kriteria yang berlaku dalam suatu masyarakat dan budaya dimana dia lahir dan dibesarkan, misalnya bahwa karena dia dilahirkan sebagai seorang perempuan maka sudah menjadi “kodrat” pula bagi dia untuk menjadi sosok yang cantik, anggun, irrasional, emosional dan sebagainya.

B.     Kesetaraan gender dan keadilan gender

Hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan dapat dilihat dalam berbagai bidang kehidupan antara lain dalam bidang politik, sosial, ekonomi, budaya dan hukum ( baik hukum tertulis maupun tidak tertulis yakni hukum hukum adat ). Hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai bidang kehidupan tersebut pada umumnya menunujukan hubungan yang sub-ordinasi yang artinya bahwa kedudukan perempuan lebih rendah bila dibandingkan dengan kedudukan laki-laki.
Kesetaraan gender berarti kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan pertahanan dan keamanan nasional (hankamnas), serta kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut. Kesetaraan gender juga meliputi penghapusan diskriminasi dan ketidak adilan struktural, baik terhadap laki-laki maupun perempuan.
Keadilan gender adalah suatu proses dan perlakuan adil terhadap perempuan dan laki-laki. Dengan keadilan gender berarti tidak ada pembakuan peran, beban ganda, subordinasi, marginalisasi dan kekerasan terhadap perempuan maupun laki-laki.
Terwujudnya kesetaran dan keadilan gender ditandai dengan tidak adanya diskriminasi antara perempuan dan laki-laki, dan dengan demikian mereka memiliki akses, kesempatan berpartisipasi, dan kontrol atas pembangunan serta memperoleh manfaat yang setara dan adil dari pembangunan. Memiliki akses dan partisipasi berarti memiliki peluang atau kesempatan untuk menggunakan sumber daya dan memiliki wewenang untuk mengambil keputusan terhadap cara penggunaan dan hasil sumber daya tersebut. Memiliki kontrol berarti memiliki kewenangan penuh untuk mengambil keputusan atas penggunaan dan hasil sumber daya. Sehingga memperoleh manfaat yang sama dari pembangunan.
Ketidakadilan gender merupakan berbagai tindak ketidakadilan atau diskriminasi yang bersumber pada keyakinan gender. Ketidak adilan gender sering terjadi di mana-mana ini terkaitan dengan berbagai faktor.  Mulai dari kebutuhan ekonomi budaya dan lain lain. Sebenarnya masalah gender sudah ada sejak jaman nenek moyang kita, ini merupakan masalah lama yang sulit untuk di selesaikan tanpa ada kesadaran dari berbagai pihak yang bersangkutan.  Budaya yang mengakar di indonesia kalau perempuan hanya melakukan sesuatu yang berkutik didalam rumah membuat ini menjadi kebiasaan yang turun temurun yang sulit di hilangkan. Banyak yang menganggap perbedaan atao dikriminasi gender yang ada pada film itu adalah hal yang biasa dan umum, shingga mereka tidak merasa di diskriminasi, namun akhir-akhir ini muncul berbagai gerakan untuk melawan bbias gender tersebut. Saat ini banyak para wanita bangga merasa hak nya telah sama dengan pria berkat atasa kerja keras RA KARTINI padahal mereka dalam media masih di jajah dan di campakan seperti dahulu.
Bentuk bentuk ketidak adilan gender :
1.      Marjinalisasi atau peminggiran
Suatu proses penyisihan yang mengakibatkan kemiskinan bagi perempuan atau laki-laki. Hal ini nampak pada film film yang menggabarkan banyak para kaum lelaki menjadi pemimpin perusahaan menjadi eksmud. Dan sebaliknya banyak para wanita yang digambarkn sebagi pembantu rumah tangga TKW ataupun pengemis, sebenarnya secra tidak langsung membedakan dan mentidak adilkan gender, hal yang lebih mengecewakan ialah para wanita tidak merasa di tindas.
2.      Subordinasi atau penomorduaan
Ialah Sikap atau tindakan masyarakat yang menempatkan perempuan pada posisi yang lebih rendah dibanding laki-laki dibangun atas dasar keyakinan satu jenis kelamin dianggap lebih penting atau lebih utama dibanding yang lain. Ini mempunyai pendapat bahwa lelaki mempunyai lebih unggul. Hal ini berkeyakinan bahwa kalu ada laki laki kenapa harus perempuan.Fenomena ini sering terjadi dalam film, yaitu ketika peran eksmudd yang selalu di perankan oleh pria, jika ada wanita yang berperan seebagai eksmud pastilah dia akan bermasalah dan selalu tidak sesukses pria. Sebenarnya hal ini memag tidak terlalu bnyak di perhitungkan karena ini seperti menyutikan racun pada tubuh.
3.      Stereotype atau pandangan negatif
Suatu sikap negatif masyarakat terhadap perempuan yang membuat posisi perempuan selalu pada pihak yang dirugikan. Setreotipe ini biasa juga menjadi pedoman atau norma yang secara tidak lagsung diterapkan oleh berbagai masyarakat. Contoh streotipe ialah wanita perokok itu dianggap pelacur, ppadahal belum tentu ia pelacur pandangan yang seperti inilh yang selalu menyudutkan kaum wanita.  Semenjak adanya pandangan mengenai streotipe ini menjadiakn suatu belenggu pada kaum wanita.
4.      Beban ganda
Beban yang di miliki wanita terutama yang ikut mencari nafkah menjadi berlipat dimana beban pekerjaan di rumah tidak berkurang dengan adanya peran publik dan peran pengelolaan komunitas (walaupun perempuan telah masuk dalam peran  publik/meniti karier  peran dalam rumah tangga masih besar) dan Pekerjaan dalam rumah tangga, sebagian besar dikerjakan ibu dan anak perempuan sedangkan ayah dan anak lelaki terbebas dari pekerjaan domestik.
Lelaki meski bekerja sebagai pencari nafkah utama, tetap harus terlibat dalam peran sosial kemasyarakatan, karena tidak dapat diwakili oleh perempuan dan Perempuan sebagai  perawat dan sekaligus pendidik anak,        pendamping suami, juga pencari nafkah tambahan.
C.    Contoh ketidakadilan gender
Hukum adat sebagai sebagai salah satu hukum yang berlaku di Indonesia dan tersebar di seluruh Indonesia dengan corak dan sifat yang beraneka ragam. Hukum adat sebagai hukumnya rakyat Indonesia terdiri dari kaidah-kaidah hukum yang sebagian besar tidak tertulis yang dibuat dan ditaati oleh masyarakat dimana hukum adat itu berlaku, seperti di masyarakat pedalaman dan juga masayrakat adat yang tetap teguh memegang kepercayaannya di tengah isu modernisasi. Memberikan gambaran tersendiri bagaimana gender berlaku bagi penganutnya. Seperti masyarakat patriaki yang lebih memperioritaskan laki-laki maka apabila orang tuanya meninggal maka tanggung jawab dan seluruh harta menjadi milik saudara laki-laki tertua karena ia juga di bebankan untuk mengurusi adik-adiknya hingga mapan. Berbeda dengan masyarakat adat yang memprioritaskan wanita/keibuan dimana wanita dianggap lebih mampu mengolah harta kekayaan dan wanita berperan dalam kehidupan masyarakat seperti daerah Sumatra yang memegang teguh syurga di telapak kaki ibu, atau restu ibu adalah sebab kesuksesan seseorang dalam menjalani kehidupannya.
Hukum adat terdiri dari berbagai lapangan hukum adat antara lain hukum adat pidana, tata negara, kekeluargaan, perdata, perkawinan dan waris. Hukum adat  dalam kaitan dengan isu gender adalah hukum kekeluargaan, perkawinan dan waris. Antara hukum keluarga, hukum perkawinan dan hukum perkawinan mempunyai hubungan yang sangat erat karena ketiga lapangan hukum tersebut merupakan bagian dari hukum adat pada umumnya dan antara yang satu dengan yang lainnya saling bertautan dan bahkan saling menentukan.
Dalam islam sendiripun gender memiliki perkembngannya dimana pada zaman rasulullah SAW wanita sangat tidak dihargai sama sekali bahkan derajatnya disamakan dengan harta benda yang mana dapat di wariskan kepada anak-anak keturunan. Sebagai contoh ketika seorang kepala keluarga meninggal maka seluruh harta kekayaan di miliki oleh saudara laki-laki tertua selaku pemegang kekuasaan bahkan ibunya sendiri juga menjadi milik dari anak tersebut. Sebagaimana juga hukum adat yang berlaku di indonsia. Wanita pada zaman ini ketika sedang dating bulan maka ia di anggap hina dan harus mengasingkan diri dan keluar dari rumah hingga menstruasinya selesai dan baru di perbolehkan  kembali ke rumah.
Dalam pandangan hukum Islam, segala sesuatu diciptakan Allah dengan kodrat. Demikian halnya manusia, antara laki-laki dan perempuan sebagai individu dan jenis kelamin memiliki kodratnya masing-masing. Al-Qur'an mengakui adanya perbedaan anatomi antara laki-laki dan perempuan. Al-Qur'an juga mengakui bahwa anggota masing-masing gender berfungsi dengan cara merefleksikan perbedaan yang telah dirumuskan dengan baik serta dipertahankan oleh budaya, baik dari kalangan kaum laki-laki maupun perempuan sendiri.
Al-Qur'an tidak mengajarkan diskriminasi antara lelaki dan perempuan sebagai manusia. Di hadapan Tuhan, lelaki dan perempuan mempunyai derajat yang sama, namun masalahnya terletak pada implementasi atau operasionalisasi ajaran tersebut. Kemunculan agama pada dasarnya merupakan jeda yang secara periodik berusaha mencairkan kekentalan budaya patriarkhi. Oleh sebab itu, kemunculan setiap agama selalu mendapatkan perlawanan dari mereka yang diuntungkan oleh budaya patriarkhi. Sikap perlawanan tersebut mengalami pasang surut dalam perkembangan sejarah manusia.
Al Qur’an secara umum dan dalam banyak ayatnya telah membicarakan relasi gender, hubungan antara laki- laki dan perempuan, hak- hak mereka dalam konsepsi yang rapi, indah dan bersifat adil. Al Qur’an yang diturunkan sebagai petunjuk manusia, tentunya pembicaraannya tidaklah terlalu jauh dengan keadaan dan kondisi lingkungan dan masyrakat pada waktu itu. Seperti apa yang disebutkan di dalam QS. Al- Nisa, yang memandang perempuan sebagai makhluk yang  mulia dan harus di hormati, yang pada satu waktu masyarakat Arab sangat tidak menghiraukan nasib mereka.
Kesetaraan yang telah di akui oleh Al Qur’an tersebut, bukan berarti harus sama antara laki- laki dan perempuan dalam segala hal.Untuk menjaga kesimbangan alam (sunnatu tadafu’), harus ada sesuatu yang berbeda, yang masing-masing mempunyai fungsi dan tugas tersendiri. Tanpa itu, dunia, bahkan alam ini akan berhenti dan hancur.  Oleh karenanya, sebgai hikmah dari Allah untuk menciptakan dua pasang manusia yang berbeda, bukan hanya pada bentuk dan postur tubuh serta jenis kelaminnya saja, akan tetapi juga pada emosional dan  komposisi kimia dalam tubuh.
Hal ini akibat membawa efek kepada perbedaan dalam tugas ,kewajiban dan hak. Dan hal ini sangatlah wajar dan sangat logis. Ini bukan sesuatu yang di dramatisir sehingga merendahkan wanita, sebagaimana anggapan kalangan feminis dan ilmuan Marxis. Tetapi merupakan bentuk sebuah keseimbangan hidup dan kehidupan, sebagiamana anggota tubuh manusia yang berbeda- beda tapi menuju kepada persatuan dan saling melengkapi. Oleh karenanya, suatu yang sangat kurang bijak, kalau ada beberapa kelompok yang ingin memperjuangkan kesetaraan antara dua jenis manusia ini dalam semua bidang.  Al Qur’an telah meletakkan batas yang jelas dan tegas di dalam masalah ini, salah satunya adalah ayat- ayat yang terdapatdi dalam surat al Nisa. Terutama yang menyinggung konsep pernikahan poligami, hak waris dan dalam menentukan tanggungjawab di dalam masyarakat dan keluarga.
Ulama kontemporer ternama Yusuf Al-Qordhawi memiliki pandangan dan pendapat yang berbeda terhadap kepemimpinan wanita dalam berpolitik. Beliau menjelaskankan bahwa penafsiran terhadap surat an-nisa ayat 34 bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi wanita dalam lingkup keluarga atau rumah tangga. Jika ditinjau tafsir surat An-Nisa ayat 34 bahwa laki-laki adalah pemimpin wanita, bertindak sebagai orang dewasa terhadapnya, yang menguasainya, dan pendidiknya tatkala dia melakukan penyimpangan. “Karena Allah telah mengunggulkan sebagian mereka atas sebagian yang lain. Yakni, karena kaum laki-laki itu lebih unggul dan lebih baik daripada wanita. Oleh karena itu kenabian hanya diberikan kepada kaum laki-laki.
Laki-laki menjadi pemimpin wanita yang dimaksud ayat ini adalah kepemimpinan dirumah tangga, karena laki-laki telah menginfakkan hartanya, berupa mahar, belanja dan tugas yang dibebankan Allah kepadanya untuk mengurus mereka. Tafsir ibnu katsir ini menjelaskan bahwa wanita tidak dilarang dalam kepemimpinan politik, yang dilarang adalah kepemimpinan wanita dalam puncak tertinggi atau top leader tunggal yang mengambil keputusan tanpa bermusyawarah, dan juga wanita dilarang menjadi hakim. Hal inilah yang mendasari Qardhawi memperbolehkan wanita berpolitik.
Qordhawi juga menambahkan bahwa wanita boleh berpolitik dikarenakan pria dan wanita dalam hal mu’amalah memiliki kedudukan yang sama hal ini dikarenakan keduanya sebagai manusia mukallaf yang diberi tanggung jawab penuh untuk beribadah, menegakkan agama, menjalankan kewajiban, dan melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Pria dan wanita memiliki hak yang sama untuk memilih dan dipilih, sehingga tidak ada dalil yang kuat atas larangan wanita untuk berpolitik. Namun yang menjadi larangan bagi wanita adalah menjadi imam atau khilafah (pemimpin negara).
Quraish Shihab juga menambahkan bahwa dalam Al-Qur’an banyak menceritakan persamaan kedudukan wanita dan pria, yang membedakannya adalah ketaqwaanya kepada Allah. Tidak ada yang membedakan berdasarkan jenis kelamin, ras, warna kulit dan suku. Kedudukan wanita dan pria adalah sama dan diminta untuk saling bekerjasama untuk mengisi kekurangan satu dengan yang lainnya, sebagai mana di jelaskan dalam surat At-Taubah ayat 71 yang berbunyi:
tbqãZÏB÷sßJø9$#ur àM»oYÏB÷sßJø9$#ur öNßgàÒ÷èt âä!$uŠÏ9÷rr& <Ù÷èt 4 šcrâßDù'tƒ Å$rã÷èyJø9$$Î tböqyg÷Ztƒur Ç`tã ̍s3ZßJø9$# šcqßJŠÉ)ãƒur no4qn=¢Á9$# šcqè?÷sãƒur no4qx.¨9$# šcqãèŠÏÜãƒur ©!$# ÿ¼ã&s!qßuur 4 y7Í´¯»s9'ré& ãNßgçHxq÷Žzy ª!$# 3 ¨bÎ) ©!$# îƒÍtã ÒOŠÅ3ym ÇÐÊÈ  
Artinya: ”Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Islam sebenarnya tidak menempatkan wanita berada didapur terus menerus, namun jika ini dilakukan maka ini adalah sesuatu yang baik, hal ini di nyatakan oleh imam Al-Ghazali bahwa pada dasarnya istri tidak berkewajiban melayani suami dalam hal memasak, mengurus rumah, menyapu, menjahid, dan sebagainya. Akan tetapi jika itu dilakukan oleh istri maka itu merupakan hal yang baik. Sebenarnya suamilah yang berkewajiban untuk memberinya/menyiapkan pakaian yang telah dijahid dengan sempurna, makanan yang telah dimasak secara sempurna. Artinya kedudukan wanita dan pria adalah saling mengisi satu dengan yang lain, tidak ada yang superior. Hanya saja laki-laki bertanggung jawab untuk mendidik istri menjadi lebih baik di hadapan Allah SWT.
Sebenarnya hanyalah permainan kaum feminis saja yang menyatakan bahwa laki-laki superior dibandingkan dengan wanita, agar mereka dapat melakukan hal-hal yang melampaui batas, dengan dalih bahwa wanita dapat hidup tanpa laki-laki, termasuk dalam hal seks, sehingga muncullah fenomena lesbian percintaan sesama jenis, banyaknya fenomena kawin cerai karena sang istri menjadi durhaka terhadap suami, padahal dalam rumah tangga pemimpin keluarga adalah laki-laki, sedangkan dalam hal berpolitik tidak ada larangan dalam Islam untuk berpolitik dan berkarier
Sebagaiamana pembagian harta pusaka di masyarakat kita sebenarnya masih sedikit yang menggunakan ketentuan ilmu faraidh  atau hukum islam. Kebanyakan mereka masih menggunakan hukum adat bagi  masyarakat yang masih Tradisional, dan pembagian bagi rata yang dirasanya lebih baik atau adil dengan berbagai pertimbangan atau pembagiannya berdasarkan kesepakatan keluarga bagi masyarakat yang sudah relative lebih modern.
Menurut hemat penulis, bagi masyarakat muslim diIndonesia wajib hukumnya menerapkan pembagian pusaka yang sesuai dengan hukum islam atau ilmu faraidh tersebut. Selain itu masalah kewarisan versi hukum islam di Indonesia bagi masayarakat muslim sudah menjadi hukum positif yang mempunyai kekuatan memaksa dan mengikat. Hal tersebut berdasarkan Undang-undang no 7  tahun 1989 tentang Peradilan Agama, bab III pasal 49 ayat (1) mengenai kewenangan (kompetensi) Pengadilan Agama, sebagai berikut :
(1)   Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang :
a.       Perkawinan
b.      Kewarisan, Wasiat,, dan Hibah yang dilakukan berdasarkan Hukum Islam
c.       Wakaf dan Shadaqoh
Dalam pasala diatas ad seuah klausul yang menyatakan “di dasarkan kepada Hukum Islam” , ini berarti bahwa pembagian warisanberdasarkan ktentuan faraidh.
Pembagian warisan yang selalu di permasalahkan dalam kewarisan Hukum Ilam adalah porsi anak laki-laki dan perempuan yaitu satu berbanding dua, sepikul segendong, nyuhun nangung (sunda) atau hadzul untsayain. Porsi pembagian itu jelas tidak ada perbedaan pendapat di kalangan Ahli Fiqih (fuqoha) klasik, karena dasarnya nash sharih, yaitu Al-quran surat al-nisa ayat 11:
ÞOä3ŠÏ¹qムª!$# þÎû öNà2Ï»s9÷rr& ( ̍x.©%#Ï9 ã@÷VÏB Åeáym Èû÷üusVRW{$# 4 ....ÇÊÊÈ  
11. Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan[272];

[272] Bagian laki-laki dua kali bagian perempuan adalah karena kewajiban laki-laki lebih berat dari perempuan, seperti kewajiban membayar maskawin dan memberi nafkah. (Lihat surat An Nisaa ayat 34).
Ibnu Al-arabi dalam tafsirnya “Al-ahkam Al-quran” mengatakan bahwa ayat Al-quran surat Al-nisa ayat 11 di atas bersifat umum.
Ada tiga sasaran yaitu :
1.      Orang-orang yang sudah berada di ambang kematian, di ingatkan agar menyadari hak-hak para ahli waris, mereka sudah dibatasi haknya mentansfer harta bendadengan jalan hibah, wasiat dan sebgainya demi melindungi kepentingan ahli waris.
2.      Pemerintah dan aparatnya di ingatkan termasuk para hakim agar mereka memutusan kasus-kasus warisan dengan hukum Islam atau faraidh
3.      Umat islam seluruhnya di ingatkan agar mereka berani amar ma’ruf dan nahi mungkar dalam masalah waris
Permasalahan pembagian harta pusaka atau warisan antara anak laki-laki dan perempuan mencuat ke permukaan setelah munawir syadali (almarhum) yang pada waktu itu menjadi menteri Agama RI melontarkan ide reaktualisasi ajaran islam. Terutama masalah pembagian warisan tersebut. Hal itu berdasarkan laporan penelitian dan laporan para hakim pengadilan agama di daerah bahwa umat islam kebanyakan dalam pembagian warisan tidak menurut ketentuan ilmu faoidh. Bahwa beliau dengan santai mengatakan bahwa terdapat perbedaan antara beban laki-laki dan perempuan pada waktu turunnya ayat itu dengan kodisi masyarakat Indonesia saat ini. Di Solo misalkan yang mencari nafkah di pasar kebanyakan wania, sedangkan laki-lakinya (suami) tinggal di rumah bermain ayam atau burung. Sehingga beban nafkah yang dalam Al-quran ditekankan kepada lai-laki yang karenanya laki-laki mendapatkan dua kali lipat dari perempuan maka di sebgian masyarakat Indonesia terjadi sebaliknya.
 Pertanyaanya bolehkah umat islam melakukan modifikasi atau penyimpangan dari hukum faraidh seperti yang dipersoalkan oleh munawir syadali tadi ?. kalau penyimpangan dari ketentuan faraidh atas kesepakatan bersama hasil musyawarah, jelas di bolehkan. Misalkan anak laki-laki dengan sukarela mau bagiannya disamakan dengan anak perempuan, atau kalau ia anak laki-laki menyerahkan seluruh haknya kepada saudaranya yang wanita,atau kepada kerabat lain yang memerlukan uang lebih dari pada dirinya. Itu boleh, bukan penyimpangan ajaran islam, bahkan besar sekali pahalanya bagi si anak laki-laki itu.
Hasil musyawarah tersebut merupakan besarnya bagi dia yang semestinya berdasarkan ketentuan faraidh, ini namanya ishlah atau perdamaian. Perdamaian di atas di benarkan berdasarkan inpres no 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam dalam pasal 183 yang berbunyi “
“para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan, setelah masing-masing menyadari bagiannya”
Menurut hemat penulis jalan ishlah atau perdamaian itu lebih baik. Kemudian bagaimana kalau terjadi perselisihan antara pihak laki-laki dan perempuan ? misalkan pihak perempuan ingin pembagian yang sama berdasarkan ishlah, sementara pihak laki-laki menghendaki 2 banding 1 yang sesuai dengan faraidh, menurut penulis ada dua alternatif :
1.      Kembali kepada ketentuan asal, yaitu 2 banding 1 menurut ketentuan faraidh karena dalilnya jelas ini berarti memenangkan pihak laki-laki. Dalam keadaan sepeti ini hendaknya pihak perempuan sadar dan menerima bagiannya tersebut. Percayalah setiap ketentuan Allah yang kita laksanakan dengan keikhlasan, akan mengandung barakah yang tidak bisa diketahui secara matematis oleh manusia.
2.      Mengambil jalan ishlah di mana pembagian laki-laki dan perempuan di samakan dengan syarat argumentasinya harus kuat. Di sini berarti ada penekanan kepada pihak laki-laki. Argumentasinya itu misalkan “dalam suatu keluarga ketika muwaris masih hidup terdapat ketidakmerataan dalam pendistribusian (tasharuf) harta, dimana anak laki-laki lebih banyak menghabiskan harta orang tuanya dari pada anak perempuan”. Penggunaan harta tersebut baik untuk kegiatan yang bersifat baik seperti modal usaha atau biaya sekolah apalagi untuk berfoya-foya. Dari ketidak merataan tersebut timbul ketimpangan dalam hidup, seperti anak laki-laki lebih berkecukupan, sementara anak perempuan serba kekurangan. Dalam kasus seperti ini hendaknya para penegak hukum memutuskan perkara berdasarkan yang lebih menyentuh kepada rasa keadilan masyarakat.
Di masyarakat kita memang masih berlaku budaya patriaki yang memberikan keistimewaan bagi golongan laki-laki termasuk anak laki-laki. Konsekuensinya, anak laki-laki mendapatkan perhatian yang lebih dari pada anak perempuan termasuk di dalam pendidikan dan pemberian materi sedangkan anak perempuan kurang mendapatkan perhatian, sehingga pendidikan dan pemberian materipun lebih sedikit dari anak laki-laki.
Dalam keadaan begini alangkah teganya seorang anak laki-laki yang sudah hidup berkecukupan dan banyak menghabiskan harta orang tuanya ketika ia masih hidup, kemudian mendapat bagian yang berlipat dari anak perempuan. Jadi dasar persamaan pembagian itu bukan karena sama-sama anak .

D.    Analisa Kasus
Dari berbagai kasus yang telah di sebutkan diatas bahwasanya permasalahan gender timbul berkaitan erat dengan dimana suatu hukum berlaku. Misalnya suatu daerah yang memakai konsep adat akan memiliki perbedaan dengan daerah yang memakai konsep islam demikian pula dengan daerah yang memakai hukum positif ataupun hukum barat yang cenderung bebas dan meprioritaskan kebebasan individunya.
      Pada hukum adat dilihat aturan adat tersebut masyarakat yang patriaki akan cenderung memprioritaskan laki-laki sehingga apabila orang tuanya meninggal maka tanggung jawab dan seluruh harta menjadi milik saudara laki-laki tertua selaku penerus dan penanggung jawab keluarga, namun ia juga di bebankan untuk mengurusi adik-adiknya hingga mapan. Berbeda dengan masyarakat adat yang memprioritaskan wanita/keibuan dimana wanita dianggap lebih mampu mengolah harta kekayaan dan wanita berperan dalam kehidupan masyarakat seperti daerah Sumatra yang memegang teguh syurga di telapak kaki ibu, atau restu ibu adalah sebab kesuksesan seseorang dalam menjalani kehidupannya. Sehingga harta kekayaan di limpahkan kepada saudari wanita tertua selaku penanggung jawab harta peninggalan tersebut.
      Sedangkan Dalam pandangan hukum Islam, segala sesuatu diciptakan Allah dengan kodrat. Demikian halnya manusia, antara laki-laki dan perempuan sebagai individu dan jenis kelamin memiliki kodratnya masing-masing. Di hadapan Tuhan, lelaki dan perempuan mempunyai derajat yang sama, namun masalahnya terletak pada implementasi atau operasionalisasi ajaran tersebut, karena Al-Qur'an tidak mengajarkan diskriminasi antara lelaki dan perempuan sebagai manusia.
             Kaum wanita di beri kesempatan yang sama dengan kaum laki-laki, namun juga melihat kodratnya kaum wanita sehingga ada batasan-batasan yang ditetapkan demi terjaganya aturan-aturan islam dan kesimbangan dalam menjalani kehidupan. Menurut Yusuf Al-Qardhawi Laki-laki menjadi pemimpin wanita yang dimaksud ayat ini adalah kepemimpinan dirumah tangga, karena laki-laki telah menginfakkan hartanya, berupa mahar, belanja dan tugas yang dibebankan Allah kepadanya untuk mengurus mereka.
Tafsir ibnu katsir ini menjelaskan bahwa wanita tidak dilarang dalam kepemimpinan politik, yang dilarang adalah kepemimpinan wanita dalam puncak tertinggi atau top leader tunggal yang mengambil keputusan tanpa bermusyawarah, dan juga wanita dilarang menjadi hakim. Hal inilah yang mendasari Qardhawi memperbolehkan wanita berpolitik.
Quraish Shihab juga menambahkan bahwa dalam Al-Qur’an banyak menceritakan persamaan kedudukan wanita dan pria, yang membedakannya adalah ketaqwaanya kepada Allah. Tidak ada yang membedakan berdasarkan jenis kelamin, ras, warna kulit dan suku. Kedudukan wanita dan pria adalah sama dan diminta untuk saling bekerjasama untuk mengisi kekurangan satu dengan yang lainnya.
Dan pembagian warisan yang selalu di permasalahkan dalam kewarisan Hukum Islam adalah porsi anak laki-laki dan perempuan yaitu satu berbanding dua, sepikul segendong, atau hadzul untsayain. Porsi pembagian itu jelas tidak ada perbedaan pendapat di kalangan Ahli Fiqih (fuqoha) klasik, karena dasarnya nash sharih.
Namun umat islam melakukan modifikasi atau penyimpangan dari hukum faraidh di perbolehkan kalau penyimpangan dari ketentuan faraidh atas kesepakatan bersama hasil musyawarah. Misalkan anak laki-laki dengan sukarela mau bagiannya disamakan dengan anak perempuan, atau kalau ia anak laki-laki menyerahkan seluruh haknya kepada saudaranya yang wanita,atau kepada kerabat lain yang memerlukan uang lebih dari pada dirinya. Itu boleh, bukan penyimpangan ajaran islam, namanya ishlah atau perdamaian.
Kemudian apabila terjadi perselisihan antara pihak laki-laki dan perempuan misalkan pihak perempuan ingin pembagian yang sama berdasarkan ishlah, sementara pihak laki-laki menghendaki 2 banding 1 yang sesuai dengan faraidh, maka ada dua alternatif :
a.       Kembali kepada ketentuan asal, yaitu 2 banding 1 menurut ketentuan faraidh karena dalilnya jelas ini berarti memenangkan pihak laki-laki. Dalam keadaan sepeti ini hendaknya pihak perempuan sadar dan menerima bagiannya tersebut. Percayalah setiap ketentuan Allah yang kita laksanakan dengan keikhlasan, akan mengandung barakah yang tidak bisa diketahui secara matematis oleh manusia.
b.      Mengambil jalan ishlah di mana pembagian laki-laki dan perempuan di samakan dengan syarat argumentasinya harus kuat. Di sini berarti ada penekanan kepada pihak laki-laki. Argumentasinya itu misalkan “dalam suatu keluarga ketika muwaris masih hidup terdapat ketidakmerataan dalam pendistribusian (tasharuf) harta, dimana anak laki-laki lebih banyak menghabiskan harta orang tuanya dari pada anak perempuan”. Penggunaan harta tersebut baik untuk kegiatan yang bersifat baik seperti modal usaha atau biaya sekolah apalagi untuk berfoya-foya. Dari ketidak merataan tersebut timbul ketimpangan dalam hidup, seperti anak laki-laki lebih berkecukupan, sementara anak perempuan serba kekurangan. Dalam kasus seperti ini hendaknya para penegak hukum memutuskan perkara berdasarkan yang lebih menyentuh kepada rasa keadilan masyarakat.




BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Dari pembahasan diatas penulis dapat menyimpulkan bahwasanya isu gender adalah hal yang terus berkembang sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku di masyrakat. Dinamika persoalan kesetaraan dan keadilan gender menjadi persoalan sendiri bagi masyarakat terutama Indonesia yang masih kental akan hukum adatnya dan hukum positif demikian juga dengan hukum islam sendiri yang berkembang mengikuti perkembangan zaman sehingga menuntut para cendekiawan muslim untuk menemukan solusi terhadap problem yang di hadapi masayrakat dunia.
Problem yang dihadapi adalah wanita dianggap kaum yang lemah yang harus dilindungi oleh laki-laki, dan wanita harus bekerja mengurus rumah dan anak sedangkan yang mencari nafkah adalah tugas suami selaku kepala rumah tangga. Padahal sekarangpun banyak kaum wanita yang bekerja untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga atau yang dikenal dengan wanita karir bahkan tidak sedikit yang rela menjadi TKW, akan tetapi kewajibannya tidak hilang sehigga perempuan mendapatkan beban ganda dari pekerjaan yang digelutinya.
Tidak terlepas dari hal tersebut bahwasanya islam sendiri tidak memandang rendah kaum wanita namun sebaliknya menempatkan wanita pada posisi yang mulia yang mana wanita tetap mendapatkan hak-haknya selaku hamba Allah SWT dan juga  berpartisipasi dalam urusan duniawinya. Dikarenkan Kesetaraan yang telah di akui oleh Al Qur’an tersebut, bukan berarti harus sama antara laki- laki dan perempuan dalam segala hal untuk menjaga kesimbangan alam (sunnatu tadafu’), harus ada sesuatu yang berbeda, yang masing-masing mempunyai fungsi dan tugas tersendiri. Kaum wanita dalam islam sendiri di beri hak untuk memimpin sebagaimana kaum laki-laki dengan ketentuan-ketentuan yang telah di tetapkan.

Tidak ada komentar: