BAB I
A.
Pendahuluan
Isu tentang gender menjadi pokok bahasan dalam wacana perdebatan
mengenai perubahan sosial dan juga menjadi topik utama dalam perbincangan
mengenai pembangunan dan perubahan sosial. Bahkan, beberapa waktu terakhir ini,
berbagai tulisan, baik di media massa maupun buku-buku, seminar, diskusi dan
sebagainya banyak membahas tentang protes dan gugatan yang terkait dengan
ketidakadilan dan diskriminasi terhadap kaum perempuan.
Kodrat perempuan juga sering dijadikan alasan untuk mereduksi
berbagai peran perempuan di dalam keluarga maupun masyarakat, kaum laki-laki
sering dianggap lebih dominan dalam memainkan berbagai peran, sementara
perempuan memperoleh peran yang terbatas di sektor domestik. Kebudayaan yang
berkembang dalam masyarakat pun memandang bahwa perempuan sebagai makhluk yang
lemah, emosional, halus dan pemalu sementara laki-laki makhluk yang kuat,
rasional, kasar serta pemberani. Anehnya perbedaan-perbedaan ini kemudian
diyakini sebagai kodrat, sudah tetap yang merupakan pemberian Tuhan. Barang
siapa berusaha merubahnya dianggap menyalahi kodrat bahkan menentang ketetapan
Tuhan.
Dalam berbagai kasus sering terjadinya permasalahan yang timbul
akibat gender seperti seorang wanita yang bekerja sebagai tulang punggung
keluarga tetap harus menjalani kewajibannya sebagai seorang ibu rumah tangga,
karena melahirkan, megasuh dan mendidik anak adalah kewajiban bagi seorang
istri, itulah pandangan masyarakat kita terhadap wanita dan dalam islam
sendiripun bagian waris wanita adalah setengah dari bagian laki-laki. Dari
gambaran diatas penulis ingin mengangkat permasalahan yang menyangkut gender,
kesetaraan dan ketidak adilan gender.
B.
Rumusan
masalah
Untuk membatasi permasalahan yang akan penulis bahas dalam karya
ilmiah ini penulis merumuskan rumusan masalah sebagai berikut :
1.
Apa
itu gender ?
2.
Bagaimana
kesetaraan dan keadilan gender ?
3.
Bagaimana
permasalahan gender yang terjadi di Indonesia dan Negara muslim ?
BAB II
Pembahasan
A.
Pengertia gender
Gender sering diidentikkan dengan jenis kelamin (sex), padahal
gender berbeda dengan jenis kelamin. Gender sering juga dipahami sebagai
pemberian dari Tuhan atau kodrat Ilahi, padahal gender tidak semata-mata
demikian. Sex adalah perbedaan jenis kelamin secara biologis sedangkan gender
perbedaan jenis kelamin berdasarkan konstruksi sosial atau konstruksi
masyarakat. Secara etimologis kata ‘gender’ berasal dari bahasa Inggris yang
berarti ‘jenis kelamin’ (John M. Echols dan Hassan Shadily, 1983: 265). Kata ‘gender’
bisa diartikan sebagai ‘perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan
dalam hal nilai dan perilaku.
Secara umum, pengertian Gender adalah perbedaan yang tampak antara
laki-laki dan perempuan apabila dilihat dari nilai dan tingkah laku. Dalam
Women Studies Ensiklopedia dijelaskan bahwa Gender adalah suatu konsep
kultural, berupaya membuat perbedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku,
mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang
berkembang dalam masyarakat. Dalam kaitan dengan pengertian gender ini, Astiti
mengemukakan bahwa gender adalah hubungan laki-laki dan perempuan secara
sosial. Hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan dalam pergaulan hidup
sehari-hari, dibentuk dan dirubah.
Dari definisi di atas dapat dipahami bahwa gender adalah suatu
sifat yang dijadikan dasar untuk mengidentifikasi perbedaan antara laki-laki
dan perempuan dilihat dari segi kondisi sosial dan budaya, nilai dan perilaku,
mentalitas, dan emosi, serta faktor-faktor nonbiologis lainnya. Gender berbeda
dengan sex, meskipun secara etimologis artinya sama sama dengan sex, yaitu
jenis kelamin (John M. Echols dan Hassan Shadily, 1983: 517). Secara umum sex
digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi
anatomi biologis, sedang gender lebih banyak berkonsentrasi kepada aspek
sosial, budaya, dan aspekaspek nonbiologis lainnya. Kalau studi sex lebih
menekankan kepada perkembangan aspek biologis dan komposisi kimia dalam tubuh
seorang laki-laki dan seorang perempuan, maka studi gender lebih menekankan
kepada perkembangan aspek maskulinitas dan femininitas seseorang.
Epistimologi penelitian Gender secara garis besar bertitik tolak
pada paradigma feminisme yang mengikuti dua teori yaitu; fungsionalisme
struktural dan konflik. Aliran fungsionalisme struktural tersebut berangkat
dari asumsi bahwa suatu masyarakat terdiri atas berbagai bagian yang saling
mempengaruhi. Teori tersebut mencari unsur-unsur mendasar yang berpengaruh di
dalam masyarakat. Teori fungsionalis dan sosiologi secara inhern bersifat
konservatif dapat dihubungkan dengan karya-karya August Comte (1798-1857),
Herbart Spincer (1820-1930), dan masih banyak para ilmuwan yang lain.
Sejarah perbedaan gender antara seorang pria dengan seorang wanita
terjadi melalui proses yang sangat panjang dan dibentuk oleh beberapa sebab,
seperti kondisi sosial budaya, kondisi keagamaan, dan kondisi kenegaraan.
Dengan proses yang panjang ini, perbedaan gender akhirnya sering dianggap
menjadi ketentuan Tuhan yang bersifat kodrati atau seolah-olah bersifat
biologis yang tidak dapat diubah lagi. Inilah sebenarnya yang menyebabkan awal
terjadinya ketidakadilan gender di tengah-tengah masyarakat.
Gender memiliki kedudukan yang penting dalam kehidupan seseorang
dan dapat menentukan pengalaman hidup yang akan ditempuhnya. Gender dapat
menentukan akses seseorang terhadap pendidikan, dunia kerja, dan sektor-sektor
publik lainnya. Gender juga dapat menentukan kesehatan, harapan hidup, dan
kebebasan gerak seseorang. Jelasnya, gender akan menentukan seksualitas,
hubungan, dan kemampuan seseorang untuk membuat keputusan dan bertindak secara
otonom. Akhirnya, genderlah yang banyak menentukan seseroang akan menjadi apa
nantinya.
Gender dipersoalkan karena secara sosial telah melahirkan perbedaan
peran, tanggung jawab, hak dan fungsi serta ruang aktivitas laki-laki dan
perempuan dalam masyarakat. Perbedaan tersebut akhirnya membuat masyarakat
cenderung diskriminatif dan pilih-pilih perlakuan akan akses, partisipasi,
serta kontrol dalam hasil pembangunan laki-laki dan perempuan.
Kuatnya citra gender sebagai kodrat, yang melekat pada benak
masyarakat, bukanlah merupakan akibat dari suatu proses sesaat melainkan telah
melalui suatu proses dialektika, konstruksi sosial, yang dibentuk, diperkuat, disosialisasikan
secara evolusional dalam jangka waktu yang lama, baik melalui ajaran-ajaran
agama, negara, keluarga maupun budaya masyarakat, sehingga perlahan-lahan citra
tersebut mempengaruhi masing-masing jenis kelamin, laki-laki dan perempuan
secara biologis dan psikologis.
Melalui proses sosialisasi, seseorang akan terwarnai cara berpikir
dan kebiasaan-kebiasaan hidupnya. Dengan proses sosialisasi, seseorang
“diharapkan” menjadi tahu bagaimana ia mesti bertingkah laku di tengah-tengah
masyarakat dan lingkungan budayanya, sehingga bisa menjadi manusia masyarakat
dan “beradab”. Sosialisasi merupakan salah satu proses belajar kebudayaan dari
anggota masyarakat dan hubungannya dengan sistem sosial. Sosialisasi
menitikberatkan pada masalah individu dalam kelompok. Oleh karena itu proses
sosialisasi melahirkan kedirian dan kepribadian seseorang.
Karena konstruksi sosial budaya gender, seorang laki-laki
misalnya haruslah bersifat kuat, agresif, rasional, pintar, berani dan segala
macam atribut kelelakian lain yang ditentukan oleh masyarakat tersebut, maka
sejak seorang bayi laki-laki lahir, dia sudah langsung dibentuk untuk “menjadi’
seorang laki-laki, dan disesuaikan dengan atribut-atribut yang melekat pada
dirinya itu. Demikian pula halnya dengan seorang perempuan yang karena dia
lahir dengan jenis kelamin perempuan maka dia pun kemudian dibentuk untuk
“menjadi” seorang perempuan sesuai dengan kriteria yang berlaku dalam suatu
masyarakat dan budaya dimana dia lahir dan dibesarkan, misalnya bahwa karena
dia dilahirkan sebagai seorang perempuan maka sudah menjadi “kodrat”
pula bagi dia untuk menjadi sosok yang cantik, anggun, irrasional, emosional
dan sebagainya.
B.
Kesetaraan
gender dan keadilan gender
Hubungan sosial
antara laki-laki dan perempuan dapat dilihat dalam berbagai bidang kehidupan
antara lain dalam bidang politik, sosial, ekonomi, budaya dan hukum ( baik
hukum tertulis maupun tidak tertulis yakni hukum hukum adat ). Hubungan sosial
antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai bidang kehidupan tersebut pada
umumnya menunujukan hubungan yang sub-ordinasi yang artinya bahwa kedudukan
perempuan lebih rendah bila dibandingkan dengan kedudukan laki-laki.
Kesetaraan gender berarti kesamaan kondisi bagi laki-laki dan
perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar
mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum, ekonomi,
sosial budaya, pendidikan dan pertahanan dan keamanan nasional (hankamnas),
serta kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut. Kesetaraan gender
juga meliputi penghapusan diskriminasi dan ketidak adilan struktural, baik
terhadap laki-laki maupun perempuan.
Keadilan gender adalah suatu proses dan perlakuan adil terhadap
perempuan dan laki-laki. Dengan keadilan gender berarti tidak ada pembakuan
peran, beban ganda, subordinasi, marginalisasi dan kekerasan terhadap perempuan
maupun laki-laki.
Terwujudnya kesetaran dan keadilan gender ditandai dengan tidak
adanya diskriminasi antara perempuan dan laki-laki, dan dengan demikian mereka
memiliki akses, kesempatan berpartisipasi, dan kontrol atas pembangunan serta memperoleh
manfaat yang setara dan adil dari pembangunan. Memiliki akses dan partisipasi
berarti memiliki peluang atau kesempatan untuk menggunakan sumber daya dan
memiliki wewenang untuk mengambil keputusan terhadap cara penggunaan dan hasil
sumber daya tersebut. Memiliki kontrol berarti memiliki kewenangan penuh untuk
mengambil keputusan atas penggunaan dan hasil sumber daya. Sehingga memperoleh
manfaat yang sama dari pembangunan.
Ketidakadilan gender merupakan berbagai tindak ketidakadilan atau
diskriminasi yang bersumber pada keyakinan gender. Ketidak adilan gender sering
terjadi di mana-mana ini terkaitan dengan berbagai faktor. Mulai dari
kebutuhan ekonomi budaya dan lain lain. Sebenarnya masalah gender sudah ada
sejak jaman nenek moyang kita, ini merupakan masalah lama yang sulit untuk di
selesaikan tanpa ada kesadaran dari berbagai pihak yang bersangkutan.
Budaya yang mengakar di indonesia kalau perempuan hanya melakukan sesuatu
yang berkutik didalam rumah membuat ini menjadi kebiasaan yang turun temurun
yang sulit di hilangkan. Banyak yang menganggap perbedaan atao dikriminasi
gender yang ada pada film itu adalah hal yang biasa dan umum, shingga mereka
tidak merasa di diskriminasi, namun akhir-akhir ini muncul berbagai gerakan
untuk melawan bbias gender tersebut. Saat ini banyak para wanita bangga merasa
hak nya telah sama dengan pria berkat atasa kerja keras RA KARTINI padahal
mereka dalam media masih di jajah dan di campakan seperti dahulu.
Bentuk bentuk ketidak adilan gender :
1.
Marjinalisasi
atau peminggiran
Suatu proses penyisihan yang mengakibatkan kemiskinan bagi
perempuan atau laki-laki. Hal ini nampak pada film film yang menggabarkan
banyak para kaum lelaki menjadi pemimpin perusahaan menjadi eksmud. Dan
sebaliknya banyak para wanita yang digambarkn sebagi pembantu rumah tangga TKW
ataupun pengemis, sebenarnya secra tidak langsung membedakan dan mentidak
adilkan gender, hal yang lebih mengecewakan ialah para wanita tidak merasa di
tindas.
2.
Subordinasi
atau penomorduaan
Ialah Sikap atau tindakan masyarakat yang menempatkan perempuan
pada posisi yang lebih rendah dibanding laki-laki dibangun atas dasar keyakinan
satu jenis kelamin dianggap lebih penting atau lebih utama dibanding yang lain.
Ini mempunyai pendapat bahwa lelaki mempunyai lebih unggul. Hal ini
berkeyakinan bahwa kalu ada laki laki kenapa harus perempuan.Fenomena ini
sering terjadi dalam film, yaitu ketika peran eksmudd yang selalu di perankan
oleh pria, jika ada wanita yang berperan seebagai eksmud pastilah dia akan
bermasalah dan selalu tidak sesukses pria. Sebenarnya hal ini memag tidak
terlalu bnyak di perhitungkan karena ini seperti menyutikan racun pada tubuh.
3.
Stereotype
atau pandangan negatif
Suatu sikap negatif masyarakat terhadap perempuan yang membuat posisi
perempuan selalu pada pihak yang dirugikan. Setreotipe ini biasa juga menjadi
pedoman atau norma yang secara tidak lagsung diterapkan oleh berbagai
masyarakat. Contoh streotipe ialah wanita perokok itu dianggap pelacur,
ppadahal belum tentu ia pelacur pandangan yang seperti inilh yang selalu
menyudutkan kaum wanita. Semenjak adanya pandangan mengenai streotipe ini
menjadiakn suatu belenggu pada kaum wanita.
4.
Beban
ganda
Beban yang di miliki wanita terutama yang ikut mencari nafkah
menjadi berlipat dimana beban pekerjaan di rumah tidak berkurang dengan adanya
peran publik dan peran pengelolaan komunitas (walaupun perempuan telah masuk
dalam peran publik/meniti karier peran dalam rumah tangga masih besar) dan
Pekerjaan dalam rumah tangga, sebagian besar
dikerjakan ibu dan anak perempuan sedangkan ayah dan anak lelaki terbebas dari
pekerjaan domestik.
Lelaki meski bekerja sebagai pencari nafkah utama, tetap harus
terlibat dalam peran sosial kemasyarakatan, karena tidak dapat diwakili oleh perempuan dan Perempuan sebagai perawat dan sekaligus pendidik anak, pendamping suami, juga pencari nafkah tambahan.
C.
Contoh ketidakadilan gender
Hukum adat sebagai sebagai salah satu hukum yang berlaku di
Indonesia dan tersebar di seluruh Indonesia dengan corak dan sifat yang
beraneka ragam. Hukum adat sebagai hukumnya rakyat Indonesia terdiri dari
kaidah-kaidah hukum yang sebagian besar tidak tertulis yang dibuat dan ditaati
oleh masyarakat dimana hukum adat itu berlaku, seperti di masyarakat pedalaman
dan juga masayrakat adat yang tetap teguh memegang kepercayaannya di tengah isu
modernisasi. Memberikan gambaran tersendiri bagaimana gender berlaku bagi
penganutnya. Seperti masyarakat patriaki yang lebih memperioritaskan laki-laki
maka apabila orang tuanya meninggal maka tanggung jawab dan seluruh harta
menjadi milik saudara laki-laki tertua karena ia juga di bebankan untuk
mengurusi adik-adiknya hingga mapan. Berbeda dengan masyarakat adat yang
memprioritaskan wanita/keibuan dimana wanita dianggap lebih mampu mengolah
harta kekayaan dan wanita berperan dalam kehidupan masyarakat seperti daerah
Sumatra yang memegang teguh syurga di telapak kaki ibu, atau restu ibu adalah
sebab kesuksesan seseorang dalam menjalani kehidupannya.
Hukum adat terdiri dari berbagai lapangan hukum adat antara lain
hukum adat pidana, tata negara, kekeluargaan, perdata, perkawinan dan waris.
Hukum adat dalam kaitan dengan isu gender adalah hukum kekeluargaan,
perkawinan dan waris. Antara hukum keluarga, hukum perkawinan dan hukum perkawinan
mempunyai hubungan yang sangat erat karena ketiga lapangan hukum tersebut
merupakan bagian dari hukum adat pada umumnya dan antara yang satu dengan yang
lainnya saling bertautan dan bahkan saling menentukan.
Dalam islam sendiripun gender memiliki perkembngannya dimana pada
zaman rasulullah SAW wanita sangat tidak dihargai sama sekali bahkan derajatnya
disamakan dengan harta benda yang mana dapat di wariskan kepada anak-anak
keturunan. Sebagai contoh ketika seorang kepala keluarga meninggal maka seluruh
harta kekayaan di miliki oleh saudara laki-laki tertua selaku pemegang
kekuasaan bahkan ibunya sendiri juga menjadi milik dari anak tersebut.
Sebagaimana juga hukum adat yang berlaku di indonsia. Wanita pada zaman ini
ketika sedang dating bulan maka ia di anggap hina dan harus mengasingkan diri
dan keluar dari rumah hingga menstruasinya selesai dan baru di perbolehkan kembali ke rumah.
Dalam pandangan hukum Islam, segala sesuatu diciptakan Allah dengan
kodrat. Demikian halnya manusia, antara laki-laki dan perempuan sebagai
individu dan jenis kelamin memiliki kodratnya masing-masing. Al-Qur'an mengakui
adanya perbedaan anatomi antara laki-laki dan perempuan. Al-Qur'an juga
mengakui bahwa anggota masing-masing gender berfungsi dengan cara merefleksikan
perbedaan yang telah dirumuskan dengan baik serta dipertahankan oleh budaya,
baik dari kalangan kaum laki-laki maupun perempuan sendiri.
Al-Qur'an tidak mengajarkan diskriminasi antara lelaki dan
perempuan sebagai manusia. Di hadapan Tuhan, lelaki dan perempuan mempunyai
derajat yang sama, namun masalahnya terletak pada implementasi atau
operasionalisasi ajaran tersebut. Kemunculan agama pada dasarnya merupakan jeda
yang secara periodik berusaha mencairkan kekentalan budaya patriarkhi. Oleh
sebab itu, kemunculan setiap agama selalu mendapatkan perlawanan dari mereka
yang diuntungkan oleh budaya patriarkhi. Sikap perlawanan tersebut mengalami
pasang surut dalam perkembangan sejarah manusia.
Al Qur’an secara umum dan dalam banyak ayatnya telah
membicarakan relasi gender, hubungan antara laki- laki dan perempuan, hak- hak
mereka dalam konsepsi yang rapi, indah dan bersifat adil. Al Qur’an yang
diturunkan sebagai petunjuk manusia, tentunya pembicaraannya tidaklah terlalu
jauh dengan keadaan dan kondisi lingkungan dan masyrakat pada waktu itu.
Seperti apa yang disebutkan di dalam QS. Al- Nisa, yang memandang perempuan
sebagai makhluk yang mulia dan harus di hormati, yang pada satu waktu
masyarakat Arab sangat tidak menghiraukan nasib mereka.
Kesetaraan yang telah di akui oleh Al Qur’an tersebut, bukan
berarti harus sama antara laki- laki dan perempuan dalam segala hal.Untuk
menjaga kesimbangan alam (sunnatu tadafu’), harus ada sesuatu yang
berbeda, yang masing-masing mempunyai fungsi dan tugas tersendiri. Tanpa itu,
dunia, bahkan alam ini akan berhenti dan hancur. Oleh karenanya, sebgai
hikmah dari Allah untuk menciptakan dua pasang manusia yang berbeda, bukan
hanya pada bentuk dan postur tubuh serta jenis kelaminnya saja, akan tetapi
juga pada emosional dan komposisi kimia dalam tubuh.
Hal ini akibat membawa efek kepada perbedaan dalam tugas ,kewajiban
dan hak. Dan hal ini sangatlah wajar dan sangat logis. Ini bukan sesuatu yang
di dramatisir sehingga merendahkan wanita, sebagaimana anggapan kalangan
feminis dan ilmuan Marxis. Tetapi merupakan bentuk sebuah keseimbangan hidup
dan kehidupan, sebagiamana anggota tubuh manusia yang berbeda- beda tapi menuju
kepada persatuan dan saling melengkapi. Oleh karenanya, suatu yang sangat
kurang bijak, kalau ada beberapa kelompok yang ingin memperjuangkan kesetaraan
antara dua jenis manusia ini dalam semua bidang. Al Qur’an telah
meletakkan batas yang jelas dan tegas di dalam masalah ini, salah satunya
adalah ayat- ayat yang terdapatdi dalam surat al Nisa. Terutama yang menyinggung
konsep pernikahan poligami, hak waris dan dalam menentukan tanggungjawab di
dalam masyarakat dan keluarga.
Ulama kontemporer ternama Yusuf Al-Qordhawi memiliki pandangan dan
pendapat yang berbeda terhadap kepemimpinan wanita dalam berpolitik. Beliau
menjelaskankan bahwa penafsiran terhadap surat an-nisa ayat 34 bahwa laki-laki
adalah pemimpin bagi wanita dalam lingkup keluarga atau rumah tangga. Jika
ditinjau tafsir surat An-Nisa ayat 34 bahwa laki-laki adalah pemimpin wanita,
bertindak sebagai orang dewasa terhadapnya, yang menguasainya, dan pendidiknya
tatkala dia melakukan penyimpangan. “Karena Allah telah mengunggulkan sebagian
mereka atas sebagian yang lain. Yakni, karena kaum laki-laki itu lebih unggul
dan lebih baik daripada wanita. Oleh karena itu kenabian hanya diberikan kepada
kaum laki-laki.
Laki-laki menjadi pemimpin wanita yang dimaksud ayat ini adalah
kepemimpinan dirumah tangga, karena laki-laki telah menginfakkan hartanya,
berupa mahar, belanja dan tugas yang dibebankan Allah kepadanya untuk mengurus
mereka. Tafsir ibnu katsir ini menjelaskan bahwa wanita tidak dilarang dalam
kepemimpinan politik, yang dilarang adalah kepemimpinan wanita dalam puncak
tertinggi atau top leader tunggal yang mengambil keputusan tanpa
bermusyawarah, dan juga wanita dilarang menjadi hakim. Hal inilah yang
mendasari Qardhawi memperbolehkan wanita berpolitik.
Qordhawi juga menambahkan bahwa wanita boleh berpolitik dikarenakan
pria dan wanita dalam hal mu’amalah memiliki kedudukan yang sama hal ini
dikarenakan keduanya sebagai manusia mukallaf yang diberi tanggung jawab penuh
untuk beribadah, menegakkan agama, menjalankan kewajiban, dan melakukan amar
ma’ruf nahi munkar. Pria dan wanita memiliki hak yang sama untuk memilih
dan dipilih, sehingga tidak ada dalil yang kuat atas larangan wanita untuk
berpolitik. Namun yang menjadi larangan bagi wanita adalah menjadi imam atau
khilafah (pemimpin negara).
Quraish Shihab juga menambahkan bahwa dalam Al-Qur’an banyak
menceritakan persamaan kedudukan wanita dan pria, yang membedakannya adalah
ketaqwaanya kepada Allah. Tidak ada yang membedakan berdasarkan jenis kelamin,
ras, warna kulit dan suku. Kedudukan wanita dan pria adalah sama dan diminta
untuk saling bekerjasama untuk mengisi kekurangan satu dengan yang lainnya,
sebagai mana di jelaskan dalam surat At-Taubah ayat 71 yang berbunyi:
tbqãZÏB÷sßJø9$#ur àM»oYÏB÷sßJø9$#ur öNßgàÒ÷èt âä!$uŠÏ9÷rr& <Ù÷èt 4 šcrâßDù'tƒ Å$rã÷èyJø9$$Î tböqyg÷Ztƒur Ç`tã Ìs3ZßJø9$# šcqßJŠÉ)ãƒur no4qn=¢Á9$# šcqè?÷sãƒur no4qx.¨“9$# šcqãèŠÏÜãƒur ©!$# ÿ¼ã&s!qß™u‘ur 4 y7Í´¯»s9'ré& ãNßgçHxq÷Žzy™ ª!$# 3 ¨bÎ) ©!$# ͕tã ÒOŠÅ3ym ÇÐÊÈ
Artinya: ”Dan orang-orang yang
beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi
sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari
yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan
Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Islam sebenarnya tidak menempatkan wanita berada didapur terus
menerus, namun jika ini dilakukan maka ini adalah sesuatu yang baik, hal ini di
nyatakan oleh imam Al-Ghazali bahwa pada dasarnya istri tidak berkewajiban
melayani suami dalam hal memasak, mengurus rumah, menyapu, menjahid, dan
sebagainya. Akan tetapi jika itu dilakukan oleh istri maka itu merupakan hal
yang baik. Sebenarnya suamilah yang berkewajiban untuk memberinya/menyiapkan
pakaian yang telah dijahid dengan sempurna, makanan yang telah dimasak secara
sempurna. Artinya kedudukan wanita dan pria adalah saling mengisi satu dengan
yang lain, tidak ada yang superior. Hanya saja laki-laki bertanggung jawab
untuk mendidik istri menjadi lebih baik di hadapan Allah SWT.
Sebenarnya
hanyalah permainan kaum feminis saja yang menyatakan bahwa laki-laki superior
dibandingkan dengan wanita, agar mereka dapat melakukan hal-hal yang melampaui
batas, dengan dalih bahwa wanita dapat hidup tanpa laki-laki, termasuk dalam
hal seks, sehingga muncullah fenomena lesbian percintaan sesama jenis, banyaknya
fenomena kawin cerai karena sang istri menjadi durhaka terhadap suami, padahal
dalam rumah tangga pemimpin keluarga adalah laki-laki, sedangkan dalam hal
berpolitik tidak ada larangan dalam Islam untuk berpolitik dan berkarier
Sebagaiamana pembagian harta pusaka di
masyarakat kita sebenarnya masih sedikit yang menggunakan ketentuan ilmu faraidh atau hukum islam. Kebanyakan mereka masih
menggunakan hukum adat bagi masyarakat
yang masih Tradisional, dan pembagian bagi rata yang dirasanya lebih baik atau
adil dengan berbagai pertimbangan atau pembagiannya berdasarkan kesepakatan
keluarga bagi masyarakat yang sudah relative lebih modern.
Menurut
hemat penulis, bagi masyarakat muslim diIndonesia wajib hukumnya menerapkan
pembagian pusaka yang sesuai dengan hukum islam atau ilmu faraidh tersebut. Selain itu masalah kewarisan versi hukum
islam di Indonesia bagi masayarakat muslim sudah menjadi hukum positif yang
mempunyai kekuatan memaksa dan mengikat. Hal tersebut berdasarkan Undang-undang
no 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama,
bab III pasal 49 ayat (1) mengenai kewenangan (kompetensi) Pengadilan Agama,
sebagai berikut :
(1) Pengadilan Agama bertugas dan berwenang
memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara
orang-orang yang beragama Islam di bidang :
a. Perkawinan
b. Kewarisan, Wasiat,, dan Hibah yang dilakukan
berdasarkan Hukum Islam
c. Wakaf dan Shadaqoh
Dalam
pasala diatas ad seuah klausul yang menyatakan “di dasarkan kepada Hukum Islam”
, ini berarti bahwa pembagian warisanberdasarkan ktentuan faraidh.
Pembagian
warisan yang selalu di permasalahkan dalam kewarisan Hukum Ilam adalah porsi
anak laki-laki dan perempuan yaitu satu berbanding dua, sepikul segendong, nyuhun nangung (sunda) atau hadzul untsayain. Porsi pembagian itu
jelas tidak ada perbedaan pendapat di kalangan Ahli Fiqih (fuqoha) klasik,
karena dasarnya nash sharih, yaitu Al-quran surat al-nisa ayat 11:
ÞOä3Ϲqã ª!$# þÎû öNà2Ï»s9÷rr& ( Ìx.©%#Ï9 ã@÷VÏB Åeáym Èû÷üusVRW{$# 4 ....ÇÊÊÈ
11. Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian
pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan
bagahian dua orang anak perempuan[272];
[272] Bagian laki-laki dua kali bagian perempuan
adalah karena kewajiban laki-laki lebih berat dari perempuan, seperti kewajiban
membayar maskawin dan memberi nafkah. (Lihat surat An Nisaa ayat 34).
Ibnu Al-arabi dalam tafsirnya “Al-ahkam Al-quran” mengatakan bahwa
ayat Al-quran surat Al-nisa ayat 11 di atas bersifat umum.
Ada tiga
sasaran yaitu :
1. Orang-orang yang sudah berada di ambang
kematian, di ingatkan agar menyadari hak-hak para ahli waris, mereka sudah
dibatasi haknya mentansfer harta bendadengan jalan hibah, wasiat dan sebgainya
demi melindungi kepentingan ahli waris.
2. Pemerintah dan aparatnya di ingatkan termasuk
para hakim agar mereka memutusan kasus-kasus warisan dengan hukum Islam atau faraidh
3. Umat islam seluruhnya di ingatkan agar mereka
berani amar ma’ruf dan nahi mungkar dalam masalah waris
Permasalahan pembagian harta pusaka atau warisan antara anak laki-laki
dan perempuan mencuat ke permukaan setelah munawir syadali (almarhum) yang pada
waktu itu menjadi menteri Agama RI melontarkan ide reaktualisasi ajaran islam. Terutama masalah pembagian warisan
tersebut. Hal itu berdasarkan laporan penelitian dan laporan para hakim
pengadilan agama di daerah bahwa umat islam kebanyakan dalam pembagian warisan
tidak menurut ketentuan ilmu faoidh.
Bahwa beliau dengan santai mengatakan bahwa terdapat perbedaan antara beban
laki-laki dan perempuan pada waktu turunnya ayat itu dengan kodisi masyarakat
Indonesia saat ini. Di Solo misalkan yang mencari nafkah di pasar kebanyakan
wania, sedangkan laki-lakinya (suami) tinggal di rumah bermain ayam atau
burung. Sehingga beban nafkah yang dalam Al-quran ditekankan kepada lai-laki
yang karenanya laki-laki mendapatkan dua kali lipat dari perempuan maka di
sebgian masyarakat Indonesia terjadi sebaliknya.
Pertanyaanya bolehkah umat
islam melakukan modifikasi atau penyimpangan dari hukum faraidh seperti yang dipersoalkan oleh munawir syadali tadi ?.
kalau penyimpangan dari ketentuan faraidh
atas kesepakatan bersama hasil musyawarah, jelas di bolehkan. Misalkan anak
laki-laki dengan sukarela mau bagiannya disamakan dengan anak perempuan, atau
kalau ia anak laki-laki menyerahkan seluruh haknya kepada saudaranya yang
wanita,atau kepada kerabat lain yang memerlukan uang lebih dari pada dirinya.
Itu boleh, bukan penyimpangan ajaran islam, bahkan besar sekali pahalanya bagi
si anak laki-laki itu.
Hasil musyawarah tersebut merupakan besarnya bagi dia yang semestinya
berdasarkan ketentuan faraidh, ini
namanya ishlah atau perdamaian.
Perdamaian di atas di benarkan berdasarkan inpres no 1 tahun 1991 tentang
Kompilasi Hukum Islam dalam pasal 183 yang berbunyi “
“para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian
harta warisan, setelah masing-masing menyadari bagiannya”
Menurut
hemat penulis jalan ishlah atau
perdamaian itu lebih baik. Kemudian bagaimana kalau terjadi perselisihan antara
pihak laki-laki dan perempuan ? misalkan pihak perempuan ingin pembagian yang
sama berdasarkan ishlah, sementara
pihak laki-laki menghendaki 2 banding 1 yang sesuai dengan faraidh, menurut penulis ada dua alternatif :
1. Kembali kepada ketentuan asal, yaitu 2 banding
1 menurut ketentuan faraidh karena
dalilnya jelas ini berarti memenangkan pihak laki-laki. Dalam keadaan sepeti
ini hendaknya pihak perempuan sadar dan menerima bagiannya tersebut. Percayalah
setiap ketentuan Allah yang kita laksanakan dengan keikhlasan, akan mengandung
barakah yang tidak bisa diketahui secara matematis oleh manusia.
2. Mengambil jalan ishlah di mana pembagian laki-laki dan perempuan di samakan dengan
syarat argumentasinya harus kuat. Di sini berarti ada penekanan kepada pihak
laki-laki. Argumentasinya itu misalkan “dalam suatu keluarga ketika muwaris
masih hidup terdapat ketidakmerataan dalam pendistribusian (tasharuf) harta,
dimana anak laki-laki lebih banyak menghabiskan harta orang tuanya dari pada
anak perempuan”. Penggunaan harta tersebut baik untuk kegiatan yang bersifat
baik seperti modal usaha atau biaya sekolah apalagi untuk berfoya-foya. Dari
ketidak merataan tersebut timbul ketimpangan dalam hidup, seperti anak
laki-laki lebih berkecukupan, sementara anak perempuan serba kekurangan. Dalam
kasus seperti ini hendaknya para penegak hukum memutuskan perkara berdasarkan
yang lebih menyentuh kepada rasa keadilan masyarakat.
Di
masyarakat kita memang masih berlaku budaya patriaki yang memberikan
keistimewaan bagi golongan laki-laki termasuk anak laki-laki. Konsekuensinya,
anak laki-laki mendapatkan perhatian yang lebih dari pada anak perempuan
termasuk di dalam pendidikan dan pemberian materi sedangkan anak perempuan
kurang mendapatkan perhatian, sehingga pendidikan dan pemberian materipun lebih
sedikit dari anak laki-laki.
Dalam keadaan begini alangkah teganya seorang
anak laki-laki yang sudah hidup berkecukupan dan banyak menghabiskan harta
orang tuanya ketika ia masih hidup, kemudian mendapat bagian yang berlipat dari
anak perempuan. Jadi dasar persamaan pembagian itu bukan karena sama-sama anak .
D. Analisa Kasus
Dari berbagai kasus yang telah di sebutkan
diatas bahwasanya permasalahan gender timbul berkaitan erat dengan dimana suatu
hukum berlaku. Misalnya suatu daerah yang memakai konsep adat akan memiliki
perbedaan dengan daerah yang memakai konsep islam demikian pula dengan daerah
yang memakai hukum positif ataupun hukum barat yang cenderung bebas dan
meprioritaskan kebebasan individunya.
Pada hukum adat dilihat
aturan adat tersebut masyarakat yang patriaki akan cenderung memprioritaskan
laki-laki sehingga apabila orang tuanya
meninggal maka tanggung jawab dan seluruh harta menjadi milik saudara laki-laki
tertua selaku penerus dan penanggung jawab keluarga, namun ia juga di bebankan
untuk mengurusi adik-adiknya hingga mapan. Berbeda dengan masyarakat adat yang
memprioritaskan wanita/keibuan dimana wanita dianggap lebih mampu mengolah
harta kekayaan dan wanita berperan dalam kehidupan masyarakat seperti daerah Sumatra
yang memegang teguh syurga di telapak kaki ibu, atau restu ibu adalah sebab
kesuksesan seseorang dalam menjalani kehidupannya. Sehingga harta kekayaan di
limpahkan kepada saudari wanita tertua selaku penanggung jawab harta
peninggalan tersebut.
Sedangkan Dalam pandangan hukum Islam, segala sesuatu diciptakan Allah dengan
kodrat. Demikian halnya manusia, antara laki-laki dan perempuan sebagai
individu dan jenis kelamin memiliki kodratnya masing-masing. Di hadapan Tuhan,
lelaki dan perempuan mempunyai derajat yang sama, namun masalahnya terletak
pada implementasi atau operasionalisasi ajaran tersebut, karena Al-Qur'an tidak
mengajarkan diskriminasi antara lelaki dan perempuan sebagai manusia.
Kaum wanita di beri kesempatan yang sama
dengan kaum laki-laki, namun juga melihat kodratnya kaum wanita sehingga ada
batasan-batasan yang ditetapkan demi terjaganya aturan-aturan islam dan
kesimbangan dalam menjalani kehidupan. Menurut Yusuf Al-Qardhawi Laki-laki
menjadi pemimpin wanita yang dimaksud ayat ini adalah kepemimpinan dirumah
tangga, karena laki-laki telah menginfakkan hartanya, berupa mahar, belanja dan
tugas yang dibebankan Allah kepadanya untuk mengurus mereka.
Tafsir ibnu katsir ini menjelaskan bahwa wanita tidak dilarang
dalam kepemimpinan politik, yang dilarang adalah kepemimpinan wanita dalam
puncak tertinggi atau top leader tunggal yang mengambil keputusan tanpa
bermusyawarah, dan juga wanita dilarang menjadi hakim. Hal inilah yang mendasari
Qardhawi memperbolehkan wanita berpolitik.
Quraish Shihab juga menambahkan bahwa dalam Al-Qur’an banyak
menceritakan persamaan kedudukan wanita dan pria, yang membedakannya adalah
ketaqwaanya kepada Allah. Tidak ada yang membedakan berdasarkan jenis kelamin,
ras, warna kulit dan suku. Kedudukan wanita dan pria adalah sama dan diminta
untuk saling bekerjasama untuk mengisi kekurangan satu dengan yang lainnya.
Dan pembagian warisan yang selalu di permasalahkan dalam kewarisan
Hukum Islam adalah porsi anak laki-laki dan perempuan yaitu satu berbanding
dua, sepikul segendong, atau hadzul
untsayain. Porsi pembagian itu jelas tidak ada perbedaan pendapat di
kalangan Ahli Fiqih (fuqoha) klasik, karena dasarnya nash sharih.
Namun umat islam melakukan modifikasi atau penyimpangan dari hukum faraidh di perbolehkan kalau penyimpangan dari ketentuan faraidh atas kesepakatan bersama hasil
musyawarah. Misalkan anak laki-laki dengan sukarela mau bagiannya disamakan
dengan anak perempuan, atau kalau ia anak laki-laki menyerahkan seluruh haknya
kepada saudaranya yang wanita,atau kepada kerabat lain yang memerlukan uang
lebih dari pada dirinya. Itu boleh, bukan penyimpangan ajaran islam, namanya ishlah atau perdamaian.
Kemudian
apabila terjadi perselisihan antara pihak laki-laki dan perempuan misalkan
pihak perempuan ingin pembagian yang sama berdasarkan ishlah, sementara pihak laki-laki menghendaki 2 banding 1 yang
sesuai dengan faraidh, maka ada dua
alternatif :
a. Kembali kepada ketentuan asal, yaitu 2 banding
1 menurut ketentuan faraidh karena
dalilnya jelas ini berarti memenangkan pihak laki-laki. Dalam keadaan sepeti
ini hendaknya pihak perempuan sadar dan menerima bagiannya tersebut. Percayalah
setiap ketentuan Allah yang kita laksanakan dengan keikhlasan, akan mengandung
barakah yang tidak bisa diketahui secara matematis oleh manusia.
b. Mengambil jalan ishlah di mana pembagian laki-laki dan perempuan di samakan dengan
syarat argumentasinya harus kuat. Di sini berarti ada penekanan kepada pihak
laki-laki. Argumentasinya itu misalkan “dalam suatu keluarga ketika muwaris
masih hidup terdapat ketidakmerataan dalam pendistribusian (tasharuf) harta,
dimana anak laki-laki lebih banyak menghabiskan harta orang tuanya dari pada
anak perempuan”. Penggunaan harta tersebut baik untuk kegiatan yang bersifat
baik seperti modal usaha atau biaya sekolah apalagi untuk berfoya-foya. Dari
ketidak merataan tersebut timbul ketimpangan dalam hidup, seperti anak
laki-laki lebih berkecukupan, sementara anak perempuan serba kekurangan. Dalam
kasus seperti ini hendaknya para penegak hukum memutuskan perkara berdasarkan
yang lebih menyentuh kepada rasa keadilan masyarakat.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari pembahasan diatas penulis dapat menyimpulkan bahwasanya isu
gender adalah hal yang terus berkembang sesuai dengan aturan-aturan yang
berlaku di masyrakat. Dinamika persoalan kesetaraan dan keadilan gender menjadi
persoalan sendiri bagi masyarakat terutama Indonesia yang masih kental akan
hukum adatnya dan hukum positif demikian juga dengan hukum islam sendiri yang
berkembang mengikuti perkembangan zaman sehingga menuntut para cendekiawan
muslim untuk menemukan solusi terhadap problem yang di hadapi masayrakat dunia.
Problem yang dihadapi adalah wanita dianggap kaum yang lemah yang
harus dilindungi oleh laki-laki, dan wanita harus bekerja mengurus rumah dan
anak sedangkan yang mencari nafkah adalah tugas suami selaku kepala rumah
tangga. Padahal sekarangpun banyak kaum wanita yang bekerja untuk memenuhi
kebutuhan rumah tangga atau yang dikenal dengan wanita karir bahkan tidak
sedikit yang rela menjadi TKW, akan tetapi kewajibannya tidak hilang sehigga
perempuan mendapatkan beban ganda dari pekerjaan yang digelutinya.
Tidak terlepas dari hal tersebut bahwasanya islam sendiri tidak
memandang rendah kaum wanita namun sebaliknya menempatkan wanita pada posisi
yang mulia yang mana wanita tetap mendapatkan hak-haknya selaku hamba Allah SWT
dan juga berpartisipasi dalam urusan
duniawinya. Dikarenkan Kesetaraan yang telah di akui oleh Al Qur’an tersebut,
bukan berarti harus sama antara laki- laki dan perempuan dalam segala hal untuk
menjaga kesimbangan alam (sunnatu tadafu’), harus ada sesuatu yang
berbeda, yang masing-masing mempunyai fungsi dan tugas tersendiri. Kaum wanita
dalam islam sendiri di beri hak untuk memimpin sebagaimana kaum laki-laki
dengan ketentuan-ketentuan yang telah di tetapkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar