Selasa, 03 April 2018

Pembagian Waris antara Laki-laki dan Wanita dalam Konteks Indonesia



BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang

Hukum waris adalah salah satu objek kajian dalam perbandingan hukum perdatayang juga merupakan suatu hukum yang mengatur peninggalan harta seseorang yang telah meninggal dunia yang diberikan kepada yang berhak. Indonesia adalah negara yan kaya akan budaya dan adat, termasuk dalam hal perwarisan. Indonesia memiliki berbagai bentuk waris diantaranya, waris menurut hukum BW, hukum Islam, dan hukum ada. Masing-masing hukum tersebut memiliki karakteryang berbeda dengan yang lain. Harta warisan menurut hukum adat bisa dibagikan secara turun temurun sebelum pewaris meninggal dunia, tergantung dari musyawaroh masing-masing pihak.
 Hal ini  sangat berbeda dengan kewarisan hukum BW dan hukum Islam yang mana harta warisan harus dibagikan pada saat ahli waris telah meninggal dunia. Apabila harta warisan diberikan pada saat pewaris belum meninggal dunia, maka itu disebut pemberian atau dalam islam biasa diseebut dengan hibah. Begitu pula mengenai siapa saja yang mendapatkan dan berapa jumlah yang akan diterima oleh ahli waris juga berbeda-beda dan akan dibahas pada makalah ini.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa Pengertian Harta Waris Menurut Konsep Yang Berlaku di Indonesia?
2.      Bagaimana Pembagian Waris Menurut Hukum Islam, Hukum Bw, Hukum Adat?
3.      Apa saja problematika yang ada pada maslah waris mewaris di Indonesia ?
BAB II
PEMBAHASAN


A.    Pengertian Harta Waris di Indonesia
1.      Pengertian harta warisan dalam konsep hukum waris Islam
Harta warisan menurut hukum Isalam ialah segala sesuatu yang ditinggalkan oleh pewaris yang secara hukum dapat beralih kepada ahli warisnya. Dalam pengertian ini dapat dibedakan antara harta warisan dengan harta peninggalan. Harta peninggalan adalah semua harta yang ditinggalkan oleh simayit atau apa-apa yang ada pada seseorang saat kematianya, sedangkan harta warisan adalah harta peninggalan yang secara hukum syara’ berhak diterima oleh ahli warisnya.[1]
2.      Pengertian harta warisan daam konsep hukum waris adat
Dalam hukum waris adat harta warisan mempunyai pengertian harta kekayaan yang ditinggalkan oeh seorangyang meninggal dunia kepada ahli warisnya. Harta warisan menurut huku waris adat tidak merupakan kesatuan yang dapat dinilai harganya, tetapi merupakan kesatuan yang tidak terbagi atau dapat terbagi menurut jenis macamnya dan kepentingan para warisnya. [2]
3.      Pengertian harta warisan dalam konsep hukum waris eropa (BW)
Harta warisan dalam sistem BW atau hukum perdata meliputi seluruh harta benda beserta hak dan kewajiban pwaris dalam lapangan hukum harta kekeyaan yan dapat dinilai dengan uang. [3]

B.     Waris di Indonesia
Pembagian warisan di Indonesia ada tiga cara yakni
a)      Pembagian Waris Menurut Islam
1.      Ashbabul furudh yang berhak mendapat setengah
Ashbabul furudh Yang mendapatkan setengah dari harta waris peninggalan pewaris ada lima, satu dari golongan laki-laki dan empat lainya perempuan. Kelima ashbabul furudh tersebut ialah suami, anak perempuan, cucu perempuan, dan saudara perempuan seayah.
a.       Seorang suami brhak mendapatkan separo harta warian, dengan syarat pewaris tidak mempunyai keturunan, baik anak laki-laki atau perempuan, baik anak itu dari suami tersebut atau bukan.
b.      Anak perempuan (kandung) mendapat bagian separo harta peninggalan pewaris.
c.       Cucu perempuan keturunan laki-laki akan mendapat bagian separo.
d.      Sodara kandung perempuan akan mendapatkan bagian separo.
e.       Sodara seayah akan mendapat bagian separo dari harta warisan peninggalan pewaris.
2.      Ashbabul frudh yang berhak mendapatkan seperempat
Adapun pendapat pewaris yang mendapat seperempat ¼ dari harta peninggalan hannya ada dua, yaitu suami dan istri, rincianya ebagai berikut:
a.       Seorang suami berhak mendapatkan bagian seperempat dari harta peninggalan istrinya dengan satu syarat, bila sang istri menpunyai anak atau cucu laki-laki dan keturunan anaka laki-lakinya. Baik anak atau cucu tersebut dari darah dagingnya ataupun dari suami lain (sebelumnya).
b.      Seorang istri akan mendapat seperempat dari harta peningalan suamiya dengan satu syarat, yaitu apabila suaminya tidak mempunyai anak atau cucu.
3.      Ashbabul furudh yang mendapatkan seperdelapan
Dari sederetan ashbabul furuth yang mendapatkan seperdelapan yaitu istri. Baik seseorang atau lebih akan mendapat bagian seperdelapan dari harta peninggalan suainya, bila suami mempunyai anak atau cucu, baik anak tersebut lahir dari rahimnya atau dari rahim lain.
4.      Ashbabul furudh yang mendapat bagian dua pertiga
Ahli waris yang mendapatkan dua pertiga dari harta peninggalan harta waris ada empat dan semuanya terdiri dari wanita.
a.       Dua anak perempuan kandung atau lebih.
b.      Dua anak cucu perepuan keturunan anak laki-laki atau lebih.
c.       Dua orang saudara kandung perempuan atau lebih.
d.      Dua orang saudara perempuan seayah atau lebih.
5.      Ashbabul furudh yang mendapat bagian sepertiga
Adapun ashbabul furudh yang berhak mendapatkan bagian sepertiga bagian hanya dua, yaitu ibu dan dua saudara (baik laki-laki ataupun perempuan) yang seibu. Seorang ibu berhak mendapatkan bagian sepertiga dengan syarat:
a.       Pewaris tidak mempunyai anak atau cucu laki-laki dan keturunan anak laki-laki.
b.      Pewaris tidak mempunyai dua orang saudara atau lebih (laki-laki maupun perempuan), baik saudara itu sekandung atau seayah atau seibu.
Kemudian saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu, dua orang atau lebih, akan mendapat bagian sepertiga dengan syarat sebagai berikut:
a.       Bila pewaris tidak mempunyai anak (baik laki-laki ataupun perempuan), juga tidak mempunyai ayah atau kakek.
b.      Jumlah saudara yang seibu itu dua orang atau lebih.[4]

b)      Pembagian waris menurut BW
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ( KUHPer) ada dua cara untuk mendapatkan warisan :
1.      Sebagai ahli waris menurut Undang-undang
2.      Karena ditunjuk dalam surat wasiat (testament)
Cara yang pertama dinamakan mewarisi menurut Undang-undang atau ab intestato dan cara yang kedua dinamakan testamentair. Dalam hukum waris berlaku suatu asas, bahwa hanyalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam lapangan hukum kekayaan harta benda saja ynag dapat diwariskan. Dengan kata lain hanyalah hak-hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang saja ( subekti,1993:95)
Bila orang yang meninggalkan dunia tidak membuat testament, maka dalam KUHPer di tetapkan pembagian warisan sebagai berikut :
1.      Yang pertama berhak mendapat warisan yaitu suami atau istri dan anak-anak, masing-masing berhak mendapat bagian yang sama jumlahnya(pasal 852 BW).
2.      Apabila tidak ada orang sebagamana tersebut diatas, maka yang kemudian berhak mendapat warisan adalah orang tua dan saudara dari orang tua yang meninggal dunia, dengan ketentuan bahwa orang tua masing-masing sekurang-kurangnya mendapat seperempat dari warisan (pasal 854 BW).
3.      Apabila tidak ada orang sebagaimana tersebut diatas, maka warisan dibagi dua, separuh untuk keluarga pihak ibu dan separuh lagi untuk pihak keluarga ayah dari yang meninggal dunia, keluargayang paling dekat berhak mendapat warisan. Jika anak-anak atau saudara-saudara dari pewaris meninggal dunia sebelum pewaris, maka tempat mereka diganti oleh keturunan yang sah (pasal 853 BW).
Didalam KUHPer (BW) dikenal pula harta peninggalan yang tidak terurus yaitu jika seorang meninggal dunia lalu memiliki harta, tetapi tidak ada ahli warisnya, maka harta warisan itu dianggap sebagai tidak terusus. Dalam hal yang demikian itu maka balai harta peninggalan (wesskamer) dengan tidak usah menunggu perintah dari pengadilan wajib mengurus harta itu namun harus memberitahukan kepada pihak pengadilan. Dalam hal ada perselisihan apakah suatu harta warisan dapat dinggap sebagai tidak terurus atau tidak. Hal ini akan di putuskan oleh pengadilan, wesskamer itu diwajibkan membuat catatan tentan keadaan harta tersebut. Wesskamer harus membuat  pertanggungjawaban dan juga diwajibkan memanggil para ahli waris yang mungkin ada dengan panggilan-panggilan umum seperti melalui RRI,surat-surat kabar dan lain-lain cara yang dianggap tepat.jika setelah lewat tiga tahun belum juga ada ahli waris yang tampil atau melaporkan diri, maka wesskamer akan melakukan pertanggung jawaban tentang pengurusan harta peninggalan itu kepada Negara, dan selanjutnya harta tersebut akan menjadi milik Negara.
c)      Pembagian waris menurut Adat
Dilihat dari orang yang mendapatkan warisan (kewarisan) di Indonesia terdapat tiga macam system pembagian warisan dalam hukum adat, yaitu :
1.      System kolektif
Apabila para waris mendapat harta peninggalan yang di terima mereka secara kolektif (bersama) dari pewaris yang tidak terbagi secara perseorangan, maka kewarisan demikian di sebut kewarisan kolektif. Menurut system kewarisan ini para ahli waris tidak boleh meiliki harta peninggalan secara pribadi, melainkan di perbolehkan utuk memakai, mengusahakan atau mengolah dan menikmat hasilnya (minangkabau:”ganggangbauntui”). Pada umumnya system kewarisan kolektif ini terhadap harta peninggalan leluhur yang disebut “harta pusaka”, berupa bidang tanah (pertanian) atau barang-barang pusaka seperti tanah pusaka tinggi, sawah pusaka, rumah gadang pusaka, yang dikuasai oleh mamak kepala waris dan digunakan oleh para kemenakan secara bersama-sama. Diambon seperti tanah dati yang di urus oleh kepala dati, dan di minahasa terdapat tanah kalakeran yang dikuasai oleh tuak unteranak, hakkaumbana atau mapontol, yang masa sekarang sudah boleh di transaksikan atas persetujuan anggota kerabat bersama.
2.      System mayorat
Apabila harta pusaka yang tidak terbagi-bagi dan hanya dikuasai oleh anak tertua, yang berarti hak pakai, hak mengolah dan memungut hasilnya di kuasai sepenunya oleh anak tertua dengan hak dan kewajiban menguus dan memelihara adik-adiknya yang pria dan wanita sampai mereka dapat berdiri sendiri, maka system kewarisan tersebut dinamakan system kewarisan mayorat. Didaerah lampung beradat pepaduan  seluruh harta peninggalan dimaksud oleh anak tertua lelaki yang disebut anak punyimbang sebagai mayorat pria. hal yang sama juga berlaku di Irian Jaya di daerah teluk yos Sudarso kabupaten Jayapura, sedangkan dia daerah Semendo Sumatra Selatan seluruh harta peninggalan di kuasai oleh anak wanita yang disebut tunggu tubing (penunggu harta) yang di damping paying jurai sebagai mayorat wanita.
3.      System Individual
            Apabila harta warisan dapat di bagi-bagi dan dapat dimiliki secara individual atau perorangan dengan hak milik yang berarti setiap waris berhak memakai, mengolah dan menikmati hasilnya atau juga mentransaksikannya, terutama setelah pewaris meninggal dunia maka kewarisan tersebut dinamakan kewarisan individual. System kewarisan ini yang banyak berlaku di kalangan masyarakat yang parental dan berlaku pula dalam hukum waris barat sebagaimana diatur dalam BW dan dalam hukum waris.[5]

C.    Problematika Pembagian Harta Pusaka
Pembagian harta pusaka di masyarakat kita sebenarnya msih sedikit yang menggunakan ketentuan ilmu faraidh  atau hukum islam. Kebanyakan mereka masih menggunakan hukum adat bagi  masyarakat yang masih Tradisional, dan pembagian bagi rata yang dirasanya lebih baik atau adil dengan berbagai pertimbangan atau pembagiannya berdasarkan kesepakatan keluarga bagi masyarakat yang sudah relative lebih modern.
Menurut hemat penulis, bagi masyarakat muslim diIndonesia wajib hukumnya menerapkan pembagian pusaka yang sesuai dengan hukum islam atau ilmu faraidh tersebut. Selain itu masalah kewarisan versi hukum islam di Indonesia bagi masayarakat muslim sudah menjadi hukum positif yang mempunyai kekuatan memaksa dan mengikat. Hal tersebut berdasarkan Undang-undang no 7  tahun 1989 tentang Peradilan Agama, bab III pasal 49 ayat (1) mengenai kewenangan (kompetensi) Pengadilan Agama, sebagai berikut :
(1)   Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang :
a.       Perkawinan
b.      Kewarisan, Wasiat,, dan Hibah yang dilakukan berdasarkan Hukum Islam
c.       Wakaf dan Shadaqoh
Dalam pasala diatas ad seuah klausul yang menyatakan “di dasarkan kepada Hukum Islam” , ini berarti bahwa pembagian warisanberdasarkan ktentuan faraidh.
Pembagian warisan yang selalu di permasalahkan dalam kewarisan Hukum Ilam adalah porsi anak laki-laki dan perempuan yaitu satu berbanding dua, sepikul segendong, nyuhun nangung (sunda) atau hadzul untsayain. Porsi pembagian itu jelas tidak ada perbedaan pendapat di kalangan Ahli Fiqih (fuqoha) klasik, karena dasarnya nash sharih, yaitu Al-quran surat al-nisa ayat 11:
ÞOä3ŠÏ¹qムª!$# þÎû öNà2Ï»s9÷rr& ( ̍x.©%#Ï9 ã@÷VÏB Åeáym Èû÷üusVRW{$# 4 ....ÇÊÊÈ  
11. Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan[272];

[272] Bagian laki-laki dua kali bagian perempuan adalah karena kewajiban laki-laki lebih berat dari perempuan, seperti kewajiban membayar maskawin dan memberi nafkah. (Lihat surat An Nisaa ayat 34).
Ibnu Al-arabi dalam tafsirnya “Al-ahkam Al-quran” mengatakan bahwa ayat Al-quran surat Al-nisa ayat 11 di atas bersifat umum.
Ada tiga sasaran yaitu :
1.      Orang-orang yang sudah berada di ambang kematian, di ingatkan agar menyadari hak-hak para ahli waris, mereka sudah dibatasi haknya mentansfer harta bendadengan jalan hibah, wasiat dan sebgainya demi melindungi kepentingan ahli waris.
2.      Pemerintah dan aparatnya di ingatkan termasuk para hakim agar mereka memutusan kasus-kasus warisan dengan hukum Islam atau faraidh
3.      Umat islam seluruhnya di ingatkan agar mereka berani amar ma’ruf dan nahi mungkar dalam masalah waris
Permasalahan pembagian harta pusaka atau warisan antara anak laki-laki dan perempuan mencuat ke permukaan setelah munawir syadali (almarhum) yang pada waktu itu menjadi menteri Agama RI melontarkan ide reaktualisasi ajaran islam. Terutama masalah pembagian warisan tersebut. Hal itu berdasarkan laporan penelitian dan laporan para hakim pengadilan agama di daerah bahwa umat islam kebanyakan dalam pembagian warisan tidak menurut ketentuan ilmu faoidh. Bahwa beliau dengan santai mengatakan bahwa terdapat perbedaan antara beban laki-laki dan perempuan pada waktu turunnya ayat itu dengan kodisi masyarakat Indonesia saat ini. Di Solo misalkan yang mencari nafkah di pasar kebanyakan wania, sedangkan laki-lakinya (suami) tinggal di rumah bermain ayam atau burung. Sehingga beban nafkah yang dalam Al-quran ditekankan kepada lai-laki yang karenanya laki-laki mendapatkan dua kali lipat dari perempuan maka di sebgian masyarakat Indonesia terjadi sebaliknya.
 Pertanyaanya bolehkah umat islam melakukan modifikasi atau penyimpangan dari hukum faraidh seperti yang dipersoalkan oleh munawir syadali tadi ?. kalau penyimpangan dari ketentuan faraidh atas kesepakatan bersama hasil musyawarah, jelas di bolehkan. Misalkan anak laki-laki dengan sukarela mau bagiannya disamakan dengan anak perempuan, atau kalau ia anak laki-laki menyerahkan seluruh haknya kepada saudaranya yang wanita,atau kepada kerabat lain yang memerlukan uang lebih dari pada dirinya. Itu boleh, bukan penyimpangan ajaran islam, bahkan besar sekali pahalanya bagi si anak laki-laki itu.
Hasil musyawarah tersebut merupakan besarnya bagi dia yang semestinya berdasarkan ketentuan faraidh, ini namanya ishlah atau perdamaian. Perdamaian di atas di benarkan berdasarkan inpres no 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam dalam pasal 183 yang berbunyi “
“para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan, setelah masing-masing menyadari bagiannya”
Menurut hemat penulis jalan ishlah atau perdamaian itu lebih baik. Kemudian bagaimana kalau terjadi perselisihan antara pihak laki-laki dan perempuan ? misalkan pihak perempuan ingin pembagian yang sama berdasarkan ishlah, sementara pihak laki-laki menghendaki 2 banding 1 yang sesuai dengan faraidh, menurut penulis ada dua alternatif :
1.      Kembali kepada ketentuan asal, yaitu 2 banding 1 menurut ketentuan faraidh karena dalilnya jelas ini berarti memenangkan pihak laki-laki. Dalam keadaan sepeti ini hendaknya pihak perempuan sadar dan menerima bagiannya tersebut. Percayalah setiap ketentuan Allah yang kita laksanakan dengan keikhlasan, akan mengandung barakah yang tidak bisa diketahui secara matematis oleh manusia.
2.      Mengambil jalan ishlah di mana pembagian laki-laki dan perempuan di samakan dengan syarat argumentasinya harus kuat. Di sini berarti ada penekanan kepada pihak laki-laki. Argumentasinya itu misalkan “dalam suatu keluarga ketika muwaris masih hidup terdapat ketidakmerataan dalam pendistribusian (tasharuf) harta, dimana anak laki-laki lebih banyak menghabiskan harta orang tuanya dari pada anak perempuan”. Penggunaan harta tersebut baik untuk kegiatan yang bersifat baik seperti modal usaha atau biaya sekolah apalagi untuk berfoya-foya. Dari ketidak merataan tersebut timbul ketimpangan dalam hidup, seperti anak laki-laki lebih berkecukupan, sementara anak perempuan serba kekurangan. Dalam kasus seperti ini hendaknya para penegak hukum memutuskan perkara berdasarkan yang lebih menyentuh kepada rasa keadilan masyarakat.
Di masyarakat kita memang masih berlaku budaya patriaki yang memberikan keistimewaan bagi golongan laki-laki termasuk anak laki-laki. Konsekuensinya, anak laki-laki mendapatkan perhatian yang lebih dari pada anak perempuan termasuk di dalam pendidikan dan pemberian materi sedangkan anak perempuan kurang mendapatkan perhatian, sehingga pendidikan dan pemberian materipun lebih sedikit dari anak laki-laki.
Dalam keadaan begini alangkah teganya seorang anak laki-laki yang sudah hidup berkecukupan dan banyak menghabiskan harta orang tuanya ketika ia masih hidup, kemudian mendapat bagian yang berlipat dari anak perempuan. Jadi dasar persamaan pembagian itu bukan karena sama-sama anak  [6]


BAB III
PENUTUP


Kesimpulan
Setelah mengurai tentang waris yang ada di ndonesia Penulis dapat menyimpulkan bahwa Harta warisan ialah segala sesuatu yang ditinggalkan oleh pewaris yang secara hukum dapat beralih kepada ahli warisnya. Hukum waris yang ada di Indonesia terbagi menjadi tiga bagian yakni :
1.      Pembagian waris menurut Hukum Islam
2.      Pembagian waris menurut BW
3.      Pembagian waris menurut Hukum Adat.
Sedangkan Pembagian harta pusaka di masyarakat kita sebenarnya msih sedikit yang menggunakan ketentuan ilmu faraidh  atau hukum islam. Kebanyakan mereka masih menggunakan hukum adat bagi  masyarakat yang masih Tradisional, dan pembagian bagi rata yang dirasanya lebih baik atau adil dengan berbagai pertimbangan atau pembagiannya berdasarkan kesepakatan keluarga bagi masyarakat yang sudah relative lebih modern.
Dan problematika waris di indonesi timbul ketika munawr syadali (almarhum) yang pada waktu itu menjadi menteri Agama RI melontarkan ide reaktualisasi ajaran islam. Terutama masalah pembagian warisan tersebut, dengan alasan bahwa terdapat perbedaan antara beban laki-laki dan perempuan pada waktu turunnya ayat itu dengan kodisi masyarakat Indonesia saat ini.







    

DAFTAR PUSTAKA


Syaifudin, Amir. 2004. Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Kencana
li ash-shabuni,Muhammad. 1995.pembagian waris menurut islam, Jakarta: pustaka ilmu,
Hilman,Hadikusuma. 1983. Hukum Waris Adat , Bandung:alumni
Sudrajat ajat, 2008 fikih aktual, Ponorogo,STAIN Ponorogo


[1]Amir Syarifudin, hukum kewarisan islam (jakarta: kencana,2004), 206
[2]Ibid, 3
[3]Ibid, 83
[4]Muhammad ali ash-shabuni. “pembagian waris menurut islam”. (jakarta: pustaka ilmu, 1995), 46-53.
[5]  Hadikusuma,Hilman, hukum waris adat , (bandung:alumni, 1983), hal 83-85
[6] Ajat Sudrajat, fikih actual, (Ponorogo,STAIN Ponorogo Press: 2008), hal 297-303

Tidak ada komentar: