Selasa, 03 April 2018

WADI’AH



BAB I
A.    Pendahuluan
Muamalah merupakan suatu kegiatan yang mengatur hal-hal yang berhubungan dengan tata cara hidup sesama umat manusia untuk memenuhi keperluannya sehari-hari yang bertujuan untuk memberikan kemudahan dalam melengkapi kebutuhan hidup, untuk saling memahami antara penjual dan pembeli, untuk saling tolong menolong (ta’awun), serta untuk mempererat silaturahmi karena merupakan proses ta’aruf (perkenalan).
Kegiatan ekonomi islam banyak sekali ragam dan jenisnya, salah satu yang paling penting nyata dan dikenal orang dari zaman ke zaman adalah kegiatan jual beli, perdaganga, atau bisnis, orientasi utama kegiatan ini yaitu untuk mencari keuntungan sebanyak-banyaknya. Dalam bisnis kontemporer, penitipan modal diserahkan pada lembaga perbankan dengan berbagai macam sistem yang biasanya melalui sistem tabungan, giro dan deposito.
B.     Rumusan masalah
Untuk membatasi permasalahan yang akan penulis bahas dalam karya ilmiah ini penulis merumuskan rumusan masalah sebagai berikut :
1.      Apa itu wadi’ah ?
2.      Apa rukun dan syarat wadiah ?
3.      Bagaimana pendapat ulama tentang wadiah dan prakteknya dalam perbankan ?



BAB II
Pembahasan

A.    Pengertian Wadi’ah
Wadiah berasal dari kata Al-Wadi’ah yang berarti titipan murni (amanah) dari satu pihak ke pihak yang lain, baik individu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendakinya. Wadiah bermakna amanah. Wadiah dikatakan bermakna amanah karena Allah menyebut wadiah dengan kata amanah dibeberapa ayat Al-Qur’an.[1]
Adapun pengertian wadiah menurut para Ulama diantaranya:
1.      Ulama mahzab Hanafi mengartikan Wadiah adalah memberikan wewenang kepada orang lain untuk menjaga hartanya
تسليط الغير على حفظ ماله صارحا أو دلالة
Artinya mengikut sertakan orang lain dalam memelihara harta baik dengan ungkapan yang jelas maupun isyarat”.
Contohnya seperti ada seseorang menitipkan sesuatu pada seseorang dan si penerima titipan menjawab ia atau mengangguk atau dengan diam yang berarti setuju, maka akad tersebut sah hukumnya.
2.      Sedangkan mahzab Maliki, Syafi’i, dan Hanabilah mengartikan wadiah adalah mewakilkan orang lain untuk memelihara harta tertentu dengan cara tertentu.
توكيل في حفظ مملوك على وجه مخصوص
Artinya mewakilkan orang lain untuk memelihara harta tertentu dengan cara tertentu”.
3.      Pengertian Wadiah Secara Istilah
Wadi’ah adalah akad seseorang kepada pihak lain dengan menitipkan suatu barang untuk dijaga secara layak (menurut kebiasaan).  Atau  ada juga yang mengartikan wadiah secara istilah adalah memberikan kekuasaan kepada orang lain untuk menjaga hartanya/ barangnya dengan secara terang-terangan atau dengan isyarat yang semakna dengan itu.
4.      Dalam Ensiklopedi Hukum Islam
Wadiah secara bahasa bermakna meninggalkan atau meletakkan, yaitu meletakkan sesuatu pada orang lain untuk dipelihara atau dijaga. Sedangkan secara istilah adalah Memberikan kekuasaan kepada orang lain untuk menjaga hartanya atau barangnya dengan secara terang-terangan atau dengan isyarat yang semakna dengan itu.
5.      Menurut Hasbi Ash-shidiqie 
Wadiah adalah akad yang intinya minta pertolongen kepada seseorang dalam memelihara harta penitip.
Dari beberapa pengertian di atas maka dapat dipahami bahwa wadi’ah juga dapat diartikan sebagai titipan dari satu pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendaki. Tujuan dari perjanjian tersebut adalah untuk menjaga keselamatan barang itu dari kehilangan, kemusnahan, kecurian, dan sebagainya. Yang dimaksud dengan “barang” disini adalah suatu yang berharga seperti uang, dokumen, surat berharga dan barang lain yang berharga. Apabila ada kerusakan pada barang titipan, padahal benda tersebut sudah dijaga sebagaimana layaknya, maka si penerima titipan tidak wajib menggantinya, tapi apabila kerusakan itu disebabkan karena kelalaiannya, maka ia wajib menggantinya. Dengan demikian akad wadi’ah ini mengandung unsur amanah (kepercayaan). Dengan demikian, prinsip dasar wadi’ah adalah amanah, bukan dhamanah. Wadiah pada dasarnya akad tabarru’ (tolong menolong), bukan akad tijari.
B.     Dasar Hukum Wadi’ah
Al-wadiah adalah amanat bagi orang yang menerima titipan dan ia wajib mengembalikanya pada waktu pemilik meminta kembali, sebagaimana firman Allah dalam al-Qur’an :
* ¨bÎ) ©!$# öNä.ããBù'tƒ br& (#rŠxsè? ÏM»uZ»tBF{$# #n<Î) $ygÎ=÷dr& #sŒÎ)ur OçFôJs3ym tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# br& (#qßJä3øtrB ÉAôyèø9$$Î/ 4 ¨bÎ) ©!$# $­KÏèÏR /ä3ÝàÏètƒ ÿ¾ÏmÎ/ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $JèÏÿxœ #ZŽÅÁt/ ÇÎÑÈ  
Artinya “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.” (QS al-Nisa’ 58)
Dari ayat di atas mempunyai maksud bahwa Allah SWT secara langsung menuntun dan memerintahkan seseorang menunaikan amanat secara sempurna dan tepat waktu kepada ahliha, yaitu pemiliknya atau orang yang berhak menerimanya. Kata amanat dengan pengertian ini sangat luas meliputi:
1.      Amanat allah terhadap hamba-Nya, yang harus dilaksanakan ialah antara lain melaksanakan apa yang diperintahkan-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Semua nikmat allah berupa apa saja hendaklah kita manfaatkan untuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada-Nya.
2.      Amanat seseorang kepada sesamanya, yang harus dilaksanakan antara lain mengembalikan titipan kepada yang punya dengan tidak kurang satu apapun, tidak menipunya dan bisa menjaga rahasia.
3.      Amanat manusia terhadap dirinya sendiri, seperti halnya memilih yang paling pantas dan bermanfaat baginya dalam memilih agama dan dunianya, tidak melakukan hal yang berbahaya baginya di dunia dan akhirat.[2]
* bÎ)ur óOçFZä. 4n?tã 9xÿy öNs9ur (#rßÉfs? $Y6Ï?%x. Ö`»yd̍sù ×p|Êqç7ø)¨B ( ÷bÎ*sù z`ÏBr& Nä3àÒ÷èt/ $VÒ÷èt/ ÏjŠxsãù=sù Ï%©!$# z`ÏJè?øt$# ¼çmtFuZ»tBr& È,­Guø9ur ©!$# ¼çm­/u 3 Ÿwur (#qßJçGõ3s? noy»yg¤±9$# 4 `tBur $ygôJçGò6tƒ ÿ¼çm¯RÎ*sù ÖNÏO#uä ¼çmç6ù=s% 3 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ÒOŠÎ=tæ ÇËÑÌÈ  
Artinya “jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) Menyembunyikan persaksian. dan Barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. al-Baqoroh 283)
وَعَنْ أبِي هُرَيْرَةَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النبِىِ صَلى اللهُ عَلَيْهِ وَالِهِ وَسَلمَ ، قَال أَدِّ الأَ مَا نَةَ اِلَى مَن ائْتَمنَك وَلا تَخُنْ مَنْ خَانَكَ )رواه أبوداود والترمذى، وقال : حديث حسن(
Abu Hurairah meriwayatkan bawha Rasululloh SAW bersabda, “sampaikanlah (tunaikanlah) amanat kepada yang berhak menerimanya dan jangan membalas khianat kepada orang yang telah mengkhianatimu.” (HR Abu Dawud dan At- Turmidzy; Al-Muntaqa II ).
 Hadis di atas menyatakan bahwa kita tidak boleh membalas khianat orang dengan berbuat khianat pula dan setiap hak orang yang kita ambil, baik dengan jalan pinjaman atau sewaan dan lainlain, haruslah kita kembalikan dalam keadaan baik.
C.    Rukun dan Syarat Wadi’ah
Rukun wadiah berdasarkan mahzab yang dianutnya, dapat dibedakan menjadi dua, yaitu :
a)      Menurut Imam Abu Hanafi, rukun wadiah hanya ijab dan qabul.
b)      Sedangkan menurut jumhur ulama rukun wadiah ada tiga, yaitu :
1.      Wadiah
Wadiah adalah barang yang dititipkan, adapun syaratnya adalah:
·         Barang yang dititipkan harus dihormati (muhtaramah) dalam pandangan syariat.
·         Barang titipan harus jelas dan bisa dipegang atau dikuasai. Jadi, barang yang dititipkan dapat diketahui identitasnya dan dapat dikuasai untuk dipelihara.
2.      Orang yang berakad
Orang yang berakad ada dua pihak yaitu Orang yang menitipkan (Mudi’) dan Orang yang dititipkan (Wadii’). Adapun syarat dari orang yang berakad adalah :
·         Baligh.
·         Berakal.
·         Kemauan sendiri, tidak dipaksa.
Dalam mazhab Hanafi baligh dan telah berakal tidak dijadikan syarat dari orang yang berakad, jadi anak kecil yang dizinkan oleh walinya boleh untuk melakukan akad wadiah ini.
3.      Sighat
Sighat adalah akad, adapun syaratnya adalah
·         Jelas apa yang dititipkan
·          Dimengerti oleh kedua belah pihak

D.    Pendapat Ulama tentang Wadi’ah
Ulama fikih sepakat mengatakan, bahwa akad wadi’ah bersifat mengikat kedua belah pihak. Akan tetapi, apakah tanggung jawab memelihara barang tersebut bersifat amanat atau bersifat ganti rugi (dhamaan).
Ulama fikih sepakat, bahwa status wadi’ah bersifat amanah bukan dhamaan, sehingga semua kerusakan penitipan tidak menjadi tanggungjawab pihak yang dititipi, berbeda sekiranya kerusakan itu disengaja oleh orang yang dititipi, sebagai alasannya adalah sabda Rasulullah SAW “Orang yang dititipi barang, apabila tidak melakukan pengkhianatan tidak dikenakan ganti rugi (HR. Baihaqi dan Daru-Quthni)”
Dengan demikian, apabila dalam akad wadi’ah ada disyaratkan ganti rugi atas orang yang dititipi maka akad itu tidak sah. Kemudian orang yang dititipi juga harus menjaga amanat dengan baik dan tidak boleh menuntut upah (jasa) dari orang yang menitipkan. (Ali Hasan, 2004 : 248)
Karena wadiah termasuk akad yang tidak lazim, maka kedua belah pihak dapat membatalkan perjanjian akad ini kapan saja. Karena dalam wadiah terdapat unsur permintaan tolong, maka memberikan pertolongan itu adalah hak dari wadii’. Kalau ia tidak mau, maka tidak ada keharusan untuk menjaga titipan.
Namun kalau wadii’ mengharuskan pembayaran, semacam biaya administrasi misalnya, maka akad wadiah ini berubah menjadi “akad sewa” (ijarah) dan mengandung unsur kelaziman. Artinya wadii’ harus menjaga dan bertanggung jawab terhadap barang yang dititipkan. Pada saat itu wadii’ tidak dapat membatalkan akad ini secara sepihak karena dia sudah dibayar.
Ulama juga berbeda pendapat mengenai pengambilan laba atau bonusnya, perbedaan itu adalah:
a)      Menurut ulama Syafi’iyah, tidak boleh mengambil keuntungan atau bonus yang tidak disyaratkan diawal akad dari pemanfaatan barang yang dititipkan dan akadnya bisa gugur.
b)       Sedangkan menurut ulama Hanafiyah dan Malikiyah boleh menerima laba yang diberikan oleh orang yang dititipi.
c)      Sedangkan apabila imbalan yang diterima dari bank berupa bunga, maka ulama Hanafiah mengatakan keuntungan tersebut harus disedekahkan, sedangkan menurut ulama Maliki keuntungan tersebut harus diserahkan ke baitul mal (kas negara).
Menurut Undang-undang No. 21 Tahun 2008, disebutkan bahwa bank syariah adalah bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah yang terdiri atas Bank Umum Syariah (BUS) dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS). Sedangkan prinsip syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah. Karim (2011) membagi produk perbankan syariah menjadi 3 bagian besar, yaitu:
1.      Penyaluran Dana
Dalam menyalurkan dananya pada nasabah, secara garis besar produk pembiayaan bank syariah terbagi kedalam empat kategori yang dibedakan berdasarkan tujuan penggunaannya, yaitu:
a)      Pembiayaan dengan prinsip jual-beli, pembiayaan dengan prinsip jual-beli ditujukan untuk membeli barang. Pada prinsip ini terjadi perpindahan kepemilikan barang atau benda, tingkat keuntungan bank ditentukan didepan dan menjadi bagian harga atas barang yang dijual.
b)      Prinsip sewa (ijarah), transaksi ijarah dilandasi adanya perpindahan manfaat. Prinsip ini hampir sama dengan dengan prinsip jual-beli, perbedaaannya terletak pada objek transaksinya. Bila pada jual-beli objek transaksinya barang, sedangkan pada ijarah objek transaksinya adalah jasa.
c)      Prinsip bagi hasil (Syirkah), pada prinsip ini dilandasi karena adanya keinginan para pihak yang bekerjasama untuk meningkatkan nilai aset yang mereka miliki secara bersama-sama.
d)     Akad pelengkap (tabarru’), untuk mempermudah pelaksanaan pembiayaan, biasanya bank juga memerlukan akad pelengkap. Akad ini tidak ditujukan untuk mencari keuntungan, tetapi ditujukan untuk mempermudah pelaksanaan pembiayaan. Bank dapat meminta pengganti biaya-biaya yang dikeluarkan untuk melaksanakan akad ini, tetapi besarnya pengganti biaya ini sekadar untuk menutupi biaya yang benar-benar timbul.
2.      Penghimpunan Dana
Penghimpunan dana di bank syariah dapat berbentuk giro, tabungan dan deposito. Prinsip operasional bank syariah yang diterapkan dalam menghimpun dana masyarakat adalah prinsip wadi’ah dan mudharabah.
a)      Prinsip wadi’ah, prinsip wadi’ah yang diterapkan adalah wadi’ah yad dhamanah yang diterapkan pada produk rekening giro. Jadi, pihak yang dititipi (bank) bertanggung jawab atas keutuhan harta titipan sehingga Ia boleh memanfaatkan harta titipan tersebut.
b)      Prinsip mudharabah, dalam hal ini penyimpan atau deposan bertindak sebagai shahibul maal (pemilik modal) dan bank sebagai mudharib (pengelola dana).
c)      Akad pelengkap.
3.      Jasa Perbankan
Selain berfungsi sebagai intermediares (penghubung) antara pihak yang membutuhkan dana dengan pihak yang kelebihan dana, bank syariah dapat pula melakukan berbagai pelayanan jasa perbankan kepada nasabah dengan mendapat imbalan berupa sewa atau keuntungan. Jasa perbankan tersebut antara lain:
a)      Sharf (jual beli valuta asing), jual beli mata uang yang tidak sejenis, penyerahannya harus dilakukan pada waktu yang sama (spot).
b)      Ijarah (sewa). Jenis kegiatan ijarah antara lain penyewaan kotak simpanan (safe deposit box) dan jasa tata laksana administrasi dokumen (custodian).
Adapun Secara umum terdapat dua jenis Al-wadi’ah yaitu wadi’ah yad al-amanah dan Wadi’ah yad dhamanah:
1.      Wadi’ah Yad Al-Amanah yaitu merupakan titipan murni dimana barang yang dititipkan tidak boleh digunakan (diambil manfaatnya) oleh penitip, dan sewaktu barang titipan dikembalikan harus dalam keadaan utuh baik nilai maupun fisik barangnya, jika selama dalam penitipan terjadi kerusakan maka pihak yang menerima titipan tidak dibebani tanggung jawab sedangkan sebagai kompensasi atas tanggung jawab pemeliharaan dapat dikenakan biaya petitipan.
2.      Wadi’ah Yad Dhamanah yaitu merupakan pengembangan dari wadi’ah yad al amanah yang disesuaikan dengan aktifitas perekonomian. Penerima titipan diberi izin untuk menggunakan dan mengambil manfaat dari titipan tersebut. Penyimpan mempunyai kewajiban untuk bertanggung jawab terhadap kehilangan atau kerusakan barang titipan tersebut. Semua keuntungan yang diperoleh dari pemanfaatan barang titipan tersebut menjadi hak penerima titipan. Sebagai imbalan kepada pemilik barang atau dana dapat diberikan semacam insentif berupa bonus yang tidak disyaratkan sebelumnya.[3]
Melihat definisi dan penjelasan wadi’ah diatas jenis produk perbankan yang dapat diaplikasikan dengan menggunakan akad wadi’ah adalah giro bank (Current Account). Karena giro bank pada dasarnya adalah penitipan dana masyarakat di bank untuk tujuan pembayaran dan penarikannya dapat dilakukan setiap saat. Bentuk dana pihak ketiga lain yang dapat dikelompokkan ke dalam akad wadi’ah adalah rekening tabungan (Saving Account) yang memberlakukan ketentuan dapat ditarik setiap saat. Bank memperlakukan giro dan tabungan sebagai titipan wadi’ah yad dhamanah. Dana titipan ini dapat dipergunakan oleh bank sebagai penerima titipan selama dana tersebut mengendap di bank. Tetapi bank punya kewajiban untuk membayarnya setiap saat jika nasabah mengambil dana titipan tersebut. Sebagai imbalan dari titipan yang dimanfaatkan oleh bank, nasabah dapat menerima imbal jasa dari pemanfaatan dana yang mengendap di bank dalam bentuk bonus. Bonus ini tidak boleh diperjanjikan sebelumnya dan merupakan hak penuh bank untuk memberikannya atau tidak.
Adapun karakteristik akad wadi’ah yad dhamanah adalah sebagai berikut:
a)      Bank sebagai penerima titipan dan nasabah sebagai penitip dana.
b)      Harta dan barang yang dititipkan boleh dan dapat dimanfaatkan oleh pihak bank.
c)      Bank bertanggung jawab atas barang titipan, bila terjadi kerusakan atau kehilangan.
d)     Karena dimanfaatkan, barang dan harta yang dititipkan tersebut tentu dapat menghasilkan manfaat. Meskipun demikian tidak ada keharusan bagi pihak bank untuk memberikan hasil pemanfaatan kepada nasabah.
e)      Pemberian bonus tidak boleh disebutkan dalam kontrak ataupun dijanjikan dalam akad, tetapi benar-benar pemberian sepihak sebagai tanda terima kasih dari pihak bank.
f)       Jumlah pemberian bonus sepenuhnya merupakan kewenangan manajemen bank, karena pada prinsipnya dalam akad ini penekanannya adalah titipan[4]
gambaran umum proses wadi’ah yang terjadi di bank adalah sebagai berikut;



Ø  Nasabah
Ø  pemilik barang
Ø  penitip
 

Ø  Nasabah
Ø  pemilik barang
Ø  penitip
Ø  Nasabah pengguna  modal/barang titipan
3. bagi hasil
4. beri bonus
Keterangan :
Ø  Dengan konsep Wadi’ah yad dhamanah, pihak yang menerima titipan boleh menggunakan dan memanfaatkan dana yang dititipkan. Dalam hal ini pihak bank mendapatkan hasil dari penggunaan dana.
Ø  Bank dapat memberikan insentif kepada nasabah dalam bentuk bonus.
2. pemanfaatan dana
1.titip barang/dana
Ø  Penyimpan
Ø  Wadii
Ø  bank
 

 
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Dari pembahasan diatas penulis dapat menyimpulkan bahwasanya Wadi’ah adalah akad seseorang kepada pihak lain dengan menitipkan suatu barang untuk dijaga secara layak (menurut kebiasaan) atau memberikan kekuasaan kepada orang lain untuk menjaga hartanya/ barangnya dengan secara terang-terangan atau dengan isyarat yang semakna dengan itu. Al-wadiah adalah amanat bagi orang yang menerima titipan dan ia wajib mengembalikanya pada waktu pemilik meminta kembali.
Secara umum terdapat dua jenis Al-wadi’ah yaitu wadi’ah yad al-amanah dan Wadi’ah yad dhamanah. Wadi’ah Yad Al-Amanah yaitu merupakan titipan murni dimana barang yang dititipkan tidak boleh digunakan (diambil manfaatnya) oleh penitip, dan sewaktu barang titipan dikembalikan harus dalam keadaan utuh baik nilai maupun fisik barangnya, sedangkan Wadi’ah Yad Dhamanah yaitu merupakan pengembangan dari wadi’ah yad al amanah yang disesuaikan dengan aktifitas perekonomian. Penerima titipan diberi izin untuk menggunakan dan mengambil manfaat dari titipan tersebut. Adapun rukun wadiah ada tiga yakni;
1.      Orang yang berakad
2.      Shighat
3.      Wadi’ah/barang titipan


Daftar Pustaka

Syafi’i Antonio, Muhammad, Bank Syariah Dalam Teori ke Praktik, Jakarta, Gema Insani, 2001.
A. Gani, Bustami Dkk, “Al-qur’an dan Tafsirnya” Semarang: CV. Wicaksana, 1993.
Wiroso, “Penghimpunan Dana dan Distribusi Hasil Usaha Bank Syari’ah”, Jakarta: PT. Grasindo, 2005


[1] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Dalam Teori ke Praktik, (Jakarta ,Gema Insani, 2001), hlm 85.
[2]Bustami A. Gani Dkk, Al-qur’an dan Tafsirnya: jilid II juz 4,5,6, (Semarang: CV. Wicaksana, 1993), hlm. 209.
[3]Wiroso, Penghimpunan Dana dan Distribusi Hasil Usaha Bank Syari’ah, (Jakarta: PT. Grasindo, 2005), hlm. 20-23
[4] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah :Dari Teori ke Praktek, (Jakarta : Gema Insani, 2001), hlm. 149.

Tidak ada komentar: