BAB I
A.
Pendahuluan
Muamalah merupakan suatu kegiatan yang mengatur hal-hal yang
berhubungan dengan tata cara hidup sesama umat manusia untuk memenuhi
keperluannya sehari-hari yang bertujuan untuk memberikan kemudahan dalam
melengkapi kebutuhan hidup, untuk saling memahami antara penjual dan pembeli,
untuk saling tolong menolong (ta’awun), serta untuk mempererat
silaturahmi karena merupakan proses ta’aruf (perkenalan).
Kegiatan ekonomi islam banyak sekali ragam dan jenisnya, salah satu
yang paling penting nyata dan dikenal orang dari zaman ke zaman adalah kegiatan
jual beli, perdaganga, atau bisnis, orientasi utama kegiatan ini yaitu untuk
mencari keuntungan sebanyak-banyaknya. Dalam bisnis kontemporer, penitipan
modal diserahkan pada lembaga perbankan dengan berbagai macam sistem yang
biasanya melalui sistem tabungan, giro dan deposito.
B.
Rumusan
masalah
Untuk membatasi permasalahan yang akan penulis bahas dalam karya
ilmiah ini penulis merumuskan rumusan masalah sebagai berikut :
1.
Apa
itu wadi’ah ?
2.
Apa
rukun dan syarat wadiah ?
3.
Bagaimana
pendapat ulama tentang wadiah dan prakteknya dalam perbankan ?
BAB II
Pembahasan
A.
Pengertian Wadi’ah
Wadiah berasal dari kata Al-Wadi’ah yang berarti titipan
murni (amanah) dari satu pihak ke pihak yang lain, baik individu maupun badan hukum, yang
harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendakinya.
Wadiah bermakna amanah. Wadiah dikatakan
bermakna amanah karena Allah menyebut wadiah dengan kata amanah dibeberapa ayat
Al-Qur’an.[1]
Adapun pengertian wadiah menurut para Ulama diantaranya:
1.
Ulama mahzab
Hanafi mengartikan Wadiah adalah memberikan wewenang kepada orang lain untuk
menjaga hartanya
تسليط الغير على حفظ ماله صارحا أو دلالة
Artinya “mengikut sertakan orang lain dalam memelihara
harta baik dengan ungkapan yang jelas maupun isyarat”.
Contohnya
seperti ada seseorang menitipkan sesuatu pada seseorang dan si penerima titipan
menjawab ia atau mengangguk atau dengan diam yang berarti setuju, maka akad
tersebut sah hukumnya.
2. Sedangkan mahzab Maliki, Syafi’i, dan Hanabilah mengartikan wadiah adalah mewakilkan
orang lain untuk memelihara harta tertentu dengan cara tertentu.
توكيل في حفظ مملوك على وجه مخصوص
Artinya “mewakilkan orang lain untuk memelihara harta tertentu dengan cara tertentu”.
3. Pengertian Wadiah Secara
Istilah
Wadi’ah adalah akad seseorang kepada pihak lain dengan menitipkan suatu
barang untuk dijaga secara layak (menurut kebiasaan). Atau ada juga
yang mengartikan wadiah secara istilah adalah memberikan kekuasaan kepada orang
lain untuk menjaga hartanya/ barangnya dengan secara terang-terangan atau
dengan isyarat yang semakna dengan itu.
4. Dalam Ensiklopedi Hukum
Islam
Wadiah secara bahasa bermakna meninggalkan atau
meletakkan, yaitu meletakkan sesuatu pada orang lain untuk dipelihara atau
dijaga. Sedangkan secara istilah adalah Memberikan kekuasaan kepada orang lain
untuk menjaga hartanya atau barangnya dengan secara terang-terangan atau dengan
isyarat yang semakna dengan itu.
5. Menurut Hasbi
Ash-shidiqie
Wadiah adalah akad yang intinya minta
pertolongen kepada seseorang dalam memelihara harta penitip.
Dari beberapa pengertian
di atas maka dapat dipahami bahwa wadi’ah juga dapat diartikan sebagai
titipan dari satu pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan hukum yang
harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendaki. Tujuan dari
perjanjian tersebut adalah untuk menjaga keselamatan barang itu dari
kehilangan, kemusnahan, kecurian, dan sebagainya. Yang dimaksud dengan “barang”
disini adalah suatu yang berharga seperti uang, dokumen, surat berharga
dan barang lain yang berharga. Apabila ada kerusakan pada
barang titipan, padahal benda tersebut sudah dijaga sebagaimana layaknya, maka
si penerima titipan tidak wajib menggantinya, tapi apabila kerusakan itu disebabkan
karena kelalaiannya, maka ia wajib menggantinya. Dengan demikian akad wadi’ah
ini mengandung unsur amanah (kepercayaan). Dengan demikian, prinsip dasar
wadi’ah adalah amanah, bukan dhamanah. Wadiah pada dasarnya
akad tabarru’ (tolong
menolong), bukan akad tijari.
B.
Dasar Hukum Wadi’ah
Al-wadiah adalah amanat bagi orang yang menerima titipan dan ia
wajib mengembalikanya pada waktu pemilik meminta kembali, sebagaimana firman
Allah dalam al-Qur’an :
* ¨bÎ) ©!$# öNä.ããBù't br& (#rxsè? ÏM»uZ»tBF{$# #n<Î) $ygÎ=÷dr& #sÎ)ur OçFôJs3ym tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# br& (#qßJä3øtrB ÉAôyèø9$$Î/ 4 ¨bÎ) ©!$# $KÏèÏR /ä3ÝàÏèt ÿ¾ÏmÎ/ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $JèÏÿx #ZÅÁt/ ÇÎÑÈ
Artinya “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat
kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di
antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi
pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha
mendengar lagi Maha melihat.” (QS al-Nisa’ 58)
Dari ayat di atas mempunyai maksud bahwa Allah SWT secara langsung
menuntun dan memerintahkan seseorang menunaikan amanat secara sempurna dan
tepat waktu kepada ahliha, yaitu pemiliknya atau orang yang berhak
menerimanya. Kata amanat dengan pengertian ini sangat luas meliputi:
1.
Amanat
allah terhadap hamba-Nya, yang harus dilaksanakan ialah antara lain
melaksanakan apa yang diperintahkan-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Semua nikmat
allah berupa apa saja hendaklah kita manfaatkan untuk taqarrub (mendekatkan
diri) kepada-Nya.
2.
Amanat
seseorang kepada sesamanya, yang harus dilaksanakan antara lain mengembalikan
titipan kepada yang punya dengan tidak kurang satu apapun, tidak menipunya dan
bisa menjaga rahasia.
3.
Amanat
manusia terhadap dirinya sendiri, seperti halnya memilih yang paling pantas dan
bermanfaat baginya dalam memilih agama dan dunianya, tidak melakukan hal yang berbahaya
baginya di dunia dan akhirat.[2]
* bÎ)ur óOçFZä. 4n?tã 9xÿy öNs9ur (#rßÉfs? $Y6Ï?%x. Ö`»ydÌsù ×p|Êqç7ø)¨B ( ÷bÎ*sù z`ÏBr& Nä3àÒ÷èt/ $VÒ÷èt/ Ïjxsãù=sù Ï%©!$# z`ÏJè?øt$# ¼çmtFuZ»tBr& È,Guø9ur ©!$# ¼çm/u 3 wur (#qßJçGõ3s? noy»yg¤±9$# 4 `tBur $ygôJçGò6t ÿ¼çm¯RÎ*sù ÖNÏO#uä ¼çmç6ù=s% 3 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ÒOÎ=tæ ÇËÑÌÈ
Artinya “jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak
secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada
barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika
sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai
itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah
Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) Menyembunyikan persaksian. dan
Barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang
berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS.
al-Baqoroh 283)
وَعَنْ أبِي هُرَيْرَةَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النبِىِ صَلى اللهُ عَلَيْهِ وَالِهِ وَسَلمَ ، قَال أَدِّ الأَ مَا نَةَ اِلَى مَن ائْتَمنَك وَلا تَخُنْ مَنْ خَانَكَ )رواه أبوداود والترمذى، وقال : حديث حسن(
Abu Hurairah meriwayatkan bawha Rasululloh SAW bersabda, “sampaikanlah
(tunaikanlah) amanat kepada yang berhak menerimanya dan jangan membalas
khianat kepada orang yang telah mengkhianatimu.” (HR Abu Dawud dan
At- Turmidzy; Al-Muntaqa II ).
Hadis di atas menyatakan
bahwa kita tidak boleh membalas khianat orang dengan berbuat khianat pula dan
setiap hak orang yang kita ambil, baik dengan jalan pinjaman atau sewaan dan
lainlain, haruslah kita kembalikan dalam keadaan baik.
C.
Rukun dan Syarat Wadi’ah
Rukun wadiah
berdasarkan mahzab yang dianutnya, dapat dibedakan menjadi dua, yaitu :
a)
Menurut Imam Abu
Hanafi, rukun wadiah hanya ijab dan qabul.
b)
Sedangkan
menurut jumhur ulama rukun wadiah ada tiga, yaitu :
1.
Wadiah
Wadiah
adalah barang yang dititipkan, adapun syaratnya adalah:
·
Barang yang
dititipkan harus dihormati (muhtaramah) dalam pandangan syariat.
·
Barang titipan
harus jelas dan bisa dipegang atau dikuasai. Jadi, barang yang dititipkan dapat
diketahui identitasnya dan dapat dikuasai untuk dipelihara.
2.
Orang
yang berakad
Orang yang berakad ada dua pihak yaitu Orang yang menitipkan
(Mudi’) dan Orang yang dititipkan (Wadii’). Adapun syarat dari orang yang
berakad adalah :
·
Baligh.
·
Berakal.
·
Kemauan
sendiri, tidak dipaksa.
Dalam mazhab Hanafi baligh dan telah berakal tidak dijadikan syarat
dari orang yang berakad, jadi anak kecil yang dizinkan oleh walinya boleh untuk
melakukan akad wadiah ini.
3.
Sighat
Sighat adalah akad, adapun syaratnya adalah
·
Jelas
apa yang dititipkan
·
Dimengerti oleh kedua belah pihak
D.
Pendapat Ulama
tentang Wadi’ah
Ulama fikih sepakat mengatakan, bahwa akad
wadi’ah bersifat mengikat kedua belah pihak. Akan tetapi, apakah tanggung jawab
memelihara barang tersebut bersifat amanat atau bersifat ganti rugi (dhamaan).
Ulama fikih sepakat, bahwa status wadi’ah
bersifat amanah bukan dhamaan, sehingga semua kerusakan penitipan tidak menjadi
tanggungjawab pihak yang dititipi, berbeda sekiranya kerusakan itu disengaja
oleh orang yang dititipi, sebagai alasannya adalah sabda Rasulullah SAW “Orang
yang dititipi barang, apabila tidak melakukan pengkhianatan tidak dikenakan
ganti rugi (HR. Baihaqi dan Daru-Quthni)”
Dengan demikian, apabila dalam akad wadi’ah ada
disyaratkan ganti rugi atas orang yang dititipi maka akad itu tidak sah.
Kemudian orang yang dititipi juga harus menjaga amanat dengan baik dan tidak
boleh menuntut upah (jasa) dari orang yang menitipkan. (Ali Hasan, 2004 : 248)
Karena wadiah termasuk akad yang tidak lazim,
maka kedua belah pihak dapat membatalkan perjanjian akad ini kapan saja. Karena
dalam wadiah terdapat unsur permintaan tolong, maka memberikan pertolongan itu
adalah hak dari wadii’. Kalau ia tidak mau, maka tidak ada keharusan untuk
menjaga titipan.
Namun kalau wadii’ mengharuskan pembayaran,
semacam biaya administrasi misalnya, maka akad wadiah ini berubah menjadi “akad
sewa” (ijarah) dan mengandung unsur kelaziman. Artinya wadii’ harus menjaga dan
bertanggung jawab terhadap barang yang dititipkan. Pada saat itu wadii’ tidak dapat
membatalkan akad ini secara sepihak karena dia sudah dibayar.
Ulama juga berbeda pendapat mengenai
pengambilan laba atau bonusnya, perbedaan itu adalah:
a)
Menurut ulama Syafi’iyah, tidak boleh mengambil
keuntungan atau bonus yang tidak disyaratkan diawal akad dari pemanfaatan
barang yang dititipkan dan akadnya bisa gugur.
b)
Sedangkan menurut ulama Hanafiyah dan
Malikiyah boleh menerima laba yang diberikan oleh orang yang dititipi.
c)
Sedangkan apabila imbalan yang diterima dari
bank berupa bunga, maka ulama Hanafiah mengatakan keuntungan tersebut harus
disedekahkan, sedangkan menurut ulama Maliki keuntungan tersebut harus
diserahkan ke baitul mal (kas negara).
Menurut Undang-undang No. 21 Tahun 2008,
disebutkan bahwa bank syariah adalah bank yang menjalankan kegiatan usahanya
berdasarkan prinsip syariah yang terdiri atas Bank Umum Syariah (BUS) dan Bank
Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS). Sedangkan prinsip syariah adalah prinsip
hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh
lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah. Karim
(2011) membagi produk perbankan syariah menjadi 3 bagian besar, yaitu:
1.
Penyaluran Dana
Dalam menyalurkan dananya pada nasabah, secara
garis besar produk pembiayaan bank syariah terbagi kedalam empat kategori yang
dibedakan berdasarkan tujuan penggunaannya, yaitu:
a)
Pembiayaan dengan prinsip jual-beli,
pembiayaan dengan prinsip jual-beli ditujukan untuk membeli barang. Pada
prinsip ini terjadi perpindahan kepemilikan barang atau benda, tingkat keuntungan
bank ditentukan didepan dan menjadi bagian harga atas barang yang dijual.
b)
Prinsip sewa (ijarah), transaksi ijarah
dilandasi adanya perpindahan manfaat. Prinsip ini hampir sama dengan dengan
prinsip jual-beli, perbedaaannya terletak pada objek transaksinya. Bila pada
jual-beli objek transaksinya barang, sedangkan pada ijarah objek
transaksinya adalah jasa.
c)
Prinsip bagi hasil (Syirkah), pada
prinsip ini dilandasi karena adanya keinginan para pihak yang bekerjasama untuk
meningkatkan nilai aset yang mereka miliki secara bersama-sama.
d)
Akad pelengkap (tabarru’), untuk
mempermudah pelaksanaan pembiayaan, biasanya bank juga memerlukan akad
pelengkap. Akad ini tidak ditujukan untuk mencari keuntungan, tetapi ditujukan
untuk mempermudah pelaksanaan pembiayaan. Bank dapat meminta pengganti
biaya-biaya yang dikeluarkan untuk melaksanakan akad ini, tetapi besarnya
pengganti biaya ini sekadar untuk menutupi biaya yang benar-benar timbul.
2.
Penghimpunan Dana
Penghimpunan dana di bank syariah dapat
berbentuk giro, tabungan dan deposito. Prinsip operasional bank syariah yang
diterapkan dalam menghimpun dana masyarakat adalah prinsip wadi’ah dan mudharabah.
a)
Prinsip wadi’ah, prinsip wadi’ah yang
diterapkan adalah wadi’ah yad dhamanah yang diterapkan pada produk
rekening giro. Jadi, pihak yang dititipi (bank) bertanggung jawab atas
keutuhan harta titipan sehingga Ia boleh memanfaatkan harta titipan
tersebut.
b)
Prinsip mudharabah, dalam hal ini
penyimpan atau deposan bertindak sebagai shahibul maal (pemilik
modal) dan bank sebagai mudharib (pengelola dana).
c)
Akad pelengkap.
3.
Jasa Perbankan
Selain berfungsi sebagai intermediares (penghubung)
antara pihak yang membutuhkan dana dengan pihak yang kelebihan dana, bank
syariah dapat pula melakukan berbagai pelayanan jasa perbankan kepada nasabah
dengan mendapat imbalan berupa sewa atau keuntungan. Jasa perbankan tersebut
antara lain:
a)
Sharf (jual beli valuta asing), jual beli mata
uang yang tidak sejenis, penyerahannya harus dilakukan pada waktu yang sama (spot).
b)
Ijarah (sewa). Jenis kegiatan
ijarah antara lain penyewaan kotak simpanan (safe deposit box) dan jasa
tata laksana administrasi dokumen (custodian).
Adapun Secara umum terdapat dua jenis Al-wadi’ah
yaitu wadi’ah yad al-amanah dan Wadi’ah yad dhamanah:
1.
Wadi’ah Yad Al-Amanah yaitu merupakan
titipan murni dimana barang yang dititipkan tidak boleh digunakan (diambil
manfaatnya) oleh penitip, dan sewaktu barang titipan dikembalikan harus dalam
keadaan utuh baik nilai maupun fisik barangnya, jika selama dalam penitipan
terjadi kerusakan maka pihak yang menerima titipan tidak dibebani tanggung
jawab sedangkan sebagai kompensasi atas tanggung jawab pemeliharaan dapat dikenakan
biaya petitipan.
2.
Wadi’ah Yad
Dhamanah yaitu merupakan pengembangan dari wadi’ah yad al
amanah yang disesuaikan dengan aktifitas perekonomian. Penerima titipan
diberi izin untuk menggunakan dan mengambil manfaat dari titipan tersebut.
Penyimpan mempunyai kewajiban untuk bertanggung jawab terhadap kehilangan atau
kerusakan barang titipan tersebut. Semua keuntungan yang diperoleh dari
pemanfaatan barang titipan tersebut menjadi hak penerima titipan. Sebagai
imbalan kepada pemilik barang atau dana dapat diberikan
semacam insentif berupa bonus yang tidak disyaratkan sebelumnya.[3]
Melihat definisi dan penjelasan wadi’ah diatas
jenis produk perbankan yang dapat diaplikasikan dengan menggunakan akad wadi’ah
adalah giro bank (Current Account). Karena giro bank pada dasarnya
adalah penitipan dana masyarakat di bank untuk tujuan pembayaran dan
penarikannya dapat dilakukan setiap saat. Bentuk dana pihak ketiga lain yang
dapat dikelompokkan ke dalam akad wadi’ah adalah rekening tabungan (Saving
Account) yang memberlakukan ketentuan dapat ditarik setiap saat. Bank
memperlakukan giro dan tabungan sebagai titipan wadi’ah yad dhamanah. Dana
titipan ini dapat dipergunakan oleh bank sebagai penerima titipan selama dana
tersebut mengendap di bank. Tetapi bank punya kewajiban untuk membayarnya
setiap saat jika nasabah mengambil dana titipan tersebut. Sebagai imbalan dari
titipan yang dimanfaatkan oleh bank, nasabah dapat menerima imbal jasa dari
pemanfaatan dana yang mengendap di bank dalam bentuk bonus. Bonus ini tidak
boleh diperjanjikan sebelumnya dan merupakan hak penuh bank untuk memberikannya
atau tidak.
Adapun karakteristik akad wadi’ah yad
dhamanah adalah sebagai berikut:
a)
Bank sebagai penerima titipan dan nasabah
sebagai penitip dana.
b)
Harta dan barang yang dititipkan boleh dan
dapat dimanfaatkan oleh pihak bank.
c)
Bank bertanggung jawab atas barang titipan,
bila terjadi kerusakan atau kehilangan.
d)
Karena dimanfaatkan, barang dan harta yang
dititipkan tersebut tentu dapat menghasilkan manfaat. Meskipun demikian tidak
ada keharusan bagi pihak bank untuk memberikan hasil pemanfaatan kepada
nasabah.
e)
Pemberian bonus tidak boleh disebutkan dalam
kontrak ataupun dijanjikan dalam akad, tetapi benar-benar pemberian sepihak
sebagai tanda terima kasih dari pihak bank.
f)
Jumlah pemberian bonus sepenuhnya merupakan
kewenangan manajemen bank, karena pada prinsipnya dalam akad ini penekanannya
adalah titipan[4]
gambaran
umum proses wadi’ah yang terjadi di bank adalah sebagai berikut;
|
Ø Nasabah
Ø pemilik barang
Ø penitip
|
Ø
Nasabah
pengguna modal/barang titipan
|
3. bagi hasil
|
4. beri
bonus
|
Keterangan
:
Ø Dengan konsep Wadi’ah yad
dhamanah, pihak yang menerima titipan boleh menggunakan dan
memanfaatkan dana yang dititipkan. Dalam hal ini pihak bank mendapatkan
hasil dari penggunaan dana.
Ø Bank dapat memberikan insentif kepada
nasabah dalam bentuk bonus.
|
2. pemanfaatan dana
|
1.titip barang/dana
|
Ø
Penyimpan
Ø
Wadii
Ø
bank
|
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari pembahasan diatas penulis dapat
menyimpulkan bahwasanya Wadi’ah adalah akad seseorang kepada pihak lain dengan menitipkan
suatu barang untuk dijaga secara layak (menurut kebiasaan) atau memberikan kekuasaan kepada orang lain untuk menjaga hartanya/ barangnya dengan secara
terang-terangan atau dengan isyarat yang semakna dengan itu. Al-wadiah adalah amanat bagi orang yang menerima titipan dan ia
wajib mengembalikanya pada waktu pemilik meminta kembali.
Secara
umum terdapat dua jenis Al-wadi’ah yaitu wadi’ah yad al-amanah dan
Wadi’ah yad dhamanah. Wadi’ah Yad
Al-Amanah yaitu
merupakan titipan murni dimana barang yang dititipkan tidak boleh digunakan
(diambil manfaatnya) oleh penitip, dan sewaktu barang titipan dikembalikan
harus dalam keadaan utuh baik nilai maupun fisik barangnya, sedangkan Wadi’ah
Yad Dhamanah yaitu merupakan pengembangan dari wadi’ah
yad al amanah yang disesuaikan dengan aktifitas perekonomian. Penerima
titipan diberi izin untuk menggunakan dan mengambil manfaat dari titipan
tersebut. Adapun rukun wadiah ada tiga yakni;
1.
Orang
yang berakad
2.
Shighat
3.
Wadi’ah/barang
titipan
Daftar Pustaka
Syafi’i Antonio, Muhammad, “Bank Syariah Dalam Teori ke Praktik”, Jakarta, Gema Insani, 2001.
A. Gani, Bustami Dkk, “Al-qur’an dan Tafsirnya” Semarang:
CV. Wicaksana, 1993.
Wiroso, “Penghimpunan Dana dan Distribusi Hasil Usaha Bank
Syari’ah”, Jakarta: PT. Grasindo, 2005
[1] Muhammad Syafi’i Antonio, “Bank Syariah Dalam Teori ke Praktik”, (Jakarta ,Gema Insani, 2001), hlm 85.
[2]Bustami A. Gani
Dkk, Al-qur’an dan Tafsirnya: jilid II juz 4,5,6, (Semarang: CV. Wicaksana,
1993), hlm. 209.
[3]Wiroso, Penghimpunan
Dana dan Distribusi Hasil Usaha Bank Syari’ah, (Jakarta: PT. Grasindo, 2005),
hlm. 20-23
[4]
Muhammad
Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah :Dari Teori ke Praktek, (Jakarta : Gema
Insani, 2001), hlm. 149.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar