Selasa, 03 April 2018

Persekusi menurut Hukum Islam



BAB I
A.    Pendahuluan.
Beberapa hari ini, publik Indonesia disibukkan dengan adanya berita tentang tindakanpersekusi oleh ormas tertentu, sehingga mengakibatkan adanya penetapan tersangka kepada AM (22 tahun) dan M (57 tahun) karena diduga telah melakukan tindakan persekusi terhadap seorang remaja berinisial PMA (15) yang dianggap telah mengolok-olok ulama dalam unggahan di akun media sosial miliknya.
Selain itu, berita yang viral juga adalah tentang seorang dokter bernama Fiera Lovita yang bekerja di RSUD Kota Solok, Sumatera Barat, menjadi korban persekusi berupa teror dan intimidasi setelah menulis status di akun medsos-nya yang bernada sindiran terhadap tokoh tertentu. Penanganan kasus yang berlarut mengakibatkan dicopotnya Kapolres Solok karena dianggap oleh Kapolri tidak tegas dalam menangani kasus tindakan persekusi oleh ormas.
Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFENET) mencatat sejak 27 Januari sampai dengan akhir Mei 2017 terdapat 59 korban persekusi di seluruh Indonesia (Kompas, 4 Juni 2017). Korban pada umumnya dinilai menghina tokoh dari ormas yang melakukan persekusi. Ada korban yang diintimidasi dan akhirnya dipaksa menandatangani permohonan maaf bermaterai. Adapula yang mengalami kekerasan baik fisik maupun psikis.
Dari berabagai permasalahan yang terjadi di masyarakat terkait tindak kekerasan yang di sertai anacaman dan tindakan penganiyaan tersebut, penulis ingin membuat makalah yang berjudul “Persekusi menurut Hukum Islam
B.     Rumusan masalah
Untuk membatasi permasalahan yang akan penulis bahas dalam karya ilmiah ini penulis merumuskan rumusan masalah sebagai berikut :
1.      Apa itu persekusi ?
2.      Bagaimana kasus persekusi yang terjadi di masyarakat ?
3.      Bagaaimana hukum persekusi menurut Islam ?

BAB II
Pembahasan
A.    Pengertia persekusi
Manusia, walaupun pada umumnya dilahirkan seorang diri, namun dia mempunyai naluri untuk selalu hidup dengan orang lain. Di dalam hubungan antara manusia dengan manusia lain yang penting adalah reaksi yang timbul sebagai akibat hubungan-hubungan tadi. Reaksi tersebutlah yang menyebabkan tindakan seseorang menjadi semakin luas. Hal ini terutama disebabkan karena keinginan untuk menjadi satu dengan manusia lain yang berada disekelilingnya (yaitu masyarakat) dan keinginan untuk menjadi satu dengan suasana alam sekelilingnya.
Kesemua ini menimbulkan kelompok-kelompok sosial atau social group didalam kehidupan manusia. Kelompok-kelompok sosial tadi merupakan kesatuan manusia yang hidup bersama karena adanya hubungan antara mereka. Hubungan tersebut antara lain menyangkut hubungan timbal balik yang saling pengaruh mempengaruhi dan juga suatu kesadaran untuk saling tolong menolong.
Interaksi sosial yang dinamis lama kelamaan karena pengalaman, menjadi nilai-nilai sosial yaitu konsepsi-konsepsi abstrak yang hidup didalam alam pikiran bagian terbesar warga masyarakat tentang yang dianggap baik dan tidak baik dalam pergaulan hidup. Nilai-nilai sosial tersebut biasanya telah berkembang sejak lama dan telah mencapai suatu kemantapan dalam jiwa bagian terbesar warga masyarakat dan dianggap sebagai pedoman atau pendorong bagi tata kelakuannya.
Di dalam masyarakat apabila suatu pelanggaran hukum dilakukan oleh satu atau dua orang saja, mudah bagi penegak hukum untuk menerapkan hukum padanya. Kekuatan penegak hukum lebih besar dari kekuatan si pelanggar hukum. Akan tetapi bila yang melanggar hukum itu suatu “massa”, dalam arti banyak orang yang bersama-sama berbuat sesuatu untuk melanggar hukum maka kekuatan penegak hukum (khusus polisi) mungkin sekali tidak cukup untuk menerapkan hukum secara seharusnya.[1]
Kalau perbuatan massa itu merupakan perbuatan temporer saja, seperti perbuatan massa yang marah pada saat unjuk rasa atau perbuatan massa dengan melakukan tindakan penganiayaan atau pembunuhan yang dilakukan dalam berbagai peristiwa main hakim sendiri atau konflik yang terjadi diberbagai daerah seperti apa yang terjadi di negeri ini misalnya di Poso, Sampit dan Maluku yang justru sering memperoleh dukungan dan pengesahan dari lingkungan masyarakat sekitar. Akibatnya, ketika aparat keamanan mengambil tindakan hukum terhadap pelakunya, masyarakat justru memberikan reaksi balik dengan menuntut pembebasan pelaku dan menyerang aparat keamanan. Sepertinya kekerasan merupakan keharusan moral yang harus dilakukan untuk menyelesaikan masalah atau konflik. Sebagaimana juga yang terjadi pada kasus persekusi yang sekarang ini marak di masyarakat.
Istilah persekusi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai tindakan  sewenang-wenang terhadap seseorang atau sekelompok orang dalam artian persekusi adalah pemburuan sewenang-wenang terhadap seorang atau sejumlah warga dan disakiti, dipersusah, atau ditumpas. Dalam ilmu hukum, istilah yang dapat disejajarkan dengan persekusi adalah eigenrichting (Belanda) atau main hakim sendiri. Tindakan Persekusi dilakukan terhadap pemilik akun yang dianggap menghina agama atau ulama di media sosial kemudian diburu oleh beberapa pihak.[2]

B.     Kasus Persekusi di Dalam Masyarakat
Seorang bocah berusia 15 tahun duduk di kelilingi puluhan orang. Dia diam mendengarkan perkataan salah satu anggota Front Pembela Islam (FPI) di kawasan Cipinang Muara, Jakarta Timur. PMA, demikian inisial bocah tersebut, dinilai menghina Rizieq Shihab, pentolan FPI dalam status Facebook miliknya.
“Lo sudah mending enggak diapa-apain, enggak dicolek,” kata salah satu dari mereka.”
“Habib Rizieq itu bukan punya FPI, punya umat.”
“Lo ngerti enggak? Coba ulangi,” kata yang lainnya.
“Habib Rizieq itu bukan punya FPI saja, tapi umat muslim,” kata PMA.
“Lo cerna. Lo cerna dong,” kata lainnya sambil mengepalkan tangan.
Tetapi sikap itu tak jua memuaskan sebagian mereka. Dalam video yang muncul di Youtube atas nama akun Blog Netizen itu, PMA juga mendapatkan pukulan di kepalanya. Tak hanya itu, warga lainnya pun memukul pipinya.
Polda Metro Jaya telah menetapkan anggota Front Pembela Islam (FPI) bernama Abdul Majid dan seorang warga bernama Mat Husin alias Ucin sebagai tersangka setelah terekam video viral di media sosial berisi aksi persekusi terhadap PMA. Akibat ulahnya Abdul Majid dan Ucin dijerat Pasal 80 ayat 1 jo Pasal 76c UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak juncto Pasal 170 KUHP tentang Pengeroyokan dengan ancaman diatas lima tahun penjara.
Sebagaimana juga kasus Dokter Fiera menjadi korban persekusi setelah mengunggah sebuah status di media sosial Facebook tentang pandangan dan pendapatnya mengenai kasus dugaan chat mesum pemimpin Front Pembela Islam, Rizieq Syihab.
 Kasus di atas hanyalah segelintir dari puluhan tindak persekusi yang belakangan terjadi. Maraknya gelombang persekusi tak lepas dari ‘Ahok Effect’ atas kasus penodaan agama yang menjerat mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok
Hal - hal yang menyebabkan tindakan persekusi ini seperti penghinaan di media sosial (yang kebetulan sedang viral beberapa waktu lalu) dimana orang yang merasa terhina atau sakit hati akan langsung mencari orang menuliskan hinaan tersebut dan bisa - bisa orang yang terhina ini melakukan tindakan kriminal seperti menganiaya.
Tindakan persekusi ini juga ada dua elemen yang menjadi incaran dalam tindakannya, yaitu bertujuan untuk menyakiti secara fisik atau psikis (bisa dalam bentuk buly, ancaman, dan lainnya). Dan pada awalnya orang - orang atau kelompok yang akan melakukan tindakan persekusi akan terlebih dahulu menentukan targetnya (analisa). Dalam penentuan target persekusi ini biasanya dilakukan dengan cara mengumumnkan nya di media sosial mereka. Mereka juga akan melakukan screenshot terhadap postingan - postingan yang dianggap menghina dari calon korban persekusi ini.
Permasalahan inilah yang menjadikan Pemerintah Indonesia harus menindak tegas bagi para pelaku persekusi. Para pelaku persekusi dalam mengambil tindakan sangatlah melanggar dan bertentangan dengan aturan hukum, jika memang dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 pada pasal 1 ayat (3) mengatakan bahwa “ Indonesia adalah negara hukum “ maka sudah sepantasnya hukum menjadi panglima tertinggi dalam pengawasan masyarakan negara Indonesia. Persekusi sendiri ini biasanya dipicu oleh suatu tindakan penghinaan kepada tokoh-tokoh tertentu sehingga membuat para pengikut dari tokoh terebut berusaha menghakimi orang yang melakukan penghinaan tersebut. Dengan semakin berkembang dan pesatnya era globalisasi membuat masyarakat dengan mudah untuk melakukan komentar-komentar terhadap suatu permasalahan yang terjadi dan terkadang komentar-komentar tersebut tidak sedikit juga yang bernilai negatif maupun membuat tersinggung perasaan orang.
Apabila individu atau kelompok telah melakukan tindakan diluar jalur hukum, maka disebut tindakan menghakimi sendiri, aksi sepihak atau “eigenrichting”. Tindakan menghakimi sendiri tidak lain merupakan tindakan untuk melaksanakan hak menurut kehendak sendiri yang bersifat sewenang-wenang, tanpa persetujuan pihak lain yang berkepentingan.
Pada hakekatnya tindakan menghakimi sendiri ini merupakan pelaksanaan sanksi/kelompok. Hanya saja sanksi yang dilakukan oleh perorangan maupun kelompok sulit diukur berat ringannya, karena massa terkadang dapat bertindak kalap dan tidak terkendali. Faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya tindakan main hakim sendiri (Eigenrichting) oleh masyarakat yakni:
a)      Ketidakpercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum (law enforcement) oleh aparat penegak hukum,
b)      Faktor psikologi sosial, masyarakat cenderung emosional terhadap pelaku kejahatan.
c)      Masyarakat awam terhadap persoalan hukum, tidak mengetahui kalau tindakan main hakim sendiri itu merupakan suatu bentuk tindak pidana.
Kaitannya dengan masalah main hakim sendiri upaya penegak Hukum dalam mencegah/mengantispasi terjadinya tindakan main hakim sendiri tersebut sangat penting diataranya :
a)      Upaya pencegahan dini yang bisa dilakukan oleh penegak hukum dalam menanamkan nilai atau norma khususnya kepolisian adalah dengan melakukan sosialisasi hukum terhadap masyarakat, mengajak masyarakat untuk taat hukum, menjalin kerjasama dengan masyarakat untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat,
b)      Upaya dalam menghilangkan kesempatan terjadinya kejahatan maka kepolisian harus sigap dalam mencegah terjadinya tindakan main hakim sendiri dengan rutin melakukan patroli untuk mengawasi kondisi keamanan masyarakat.
c)      Penegak hukum harus menangkap dan memidanakan pelaku tindakan main hakim sendiri khususnya pelaku yang diduga menjadi provokator sehingga masyarakat tidak terpancing untuk melakukan tindakan main hakim sendiri.

C.    Persekusi menurut Hukum Islam

Sebagaimana diketahui bahwa untuk menciptakan hidup dan kehidupan yang damai dan tentram, Allah menurunkan aturan-aturan bagi manusia dalam melaksanakan hidup dan kehidupan di dunia. Seluruh perbuatan-perbuatan manusia yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari mempunyai konsekwensi hukum, baik perbuatan yang baik maupun perbuatan yang jelek. Fikih Jinayah merupakan ilmu yang membahas tentang hukum syara’ yang berkaitan dengan masalah perbuatan-perbuatan yang dilarang dan mempunyai konsekwensi hukum.
Hikmah dari adanya konsekwensi hukum terhadap seseorang yang melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang atau jinayah yaitu menghindari dan mencegah manusia dari perbuatan-perbuatan yang membahayakan, dan adanya anarkis, dan membersihkan diri dari perbuatan dosa.[3] Suatu perbuatan dapat dikategorikan jinayah jika perbuatan tersebut mempunyai unsur atau rukun sebagai berikut:[4]
1.       Adanya nash, yang melarang adanya perbuatanperbuatan tertentu yang disertai ancaman hukuman atas perbuatan-perbuatan yang merupakan bentuk jinayah. Unsur ini dikenal dengan istilah “unsur formal (al-rukn al-syar’i).
2.      Adanya unsur perbuatan yang membentuk jinayah, baik berupa melakukan perbuatan yang dilarang atau meninggalkan perbuatan yang diharuskan. Unsur ini dikenal dengan dengan istilah “unsur material” (alrukn al-madi)
3.      Pelaku kejahatan adalah orang yang dapat menerima khitab atau dapat memahami taklif, artinya pelaku kejahatan tadi adalah mukallaf, sehingga mereka dapat dituntut atas kejahatan yang mereka lakukan. Unsur ini dikenal dengan istilah “unsur moral” (alrukn al-adabi)
Secara garis bersar, ada empat perbuatan tindak pidana yang dilarang dan mempunyai konsekwensi hukum, yaitu:
1.      Tindakan pidana atas badan, jiwa, anggota badan, yaitu yang disebut dengan pembunuhan (al-qatl) dan pelukaan (al-jarh).
2.      Tindak pidana atas kelamin, yaitu yang disebut dengan zina dan pelacuran (sifah).
3.      Tindak pidana atas harta.
4.      Tindak pidana atas kehormatan yang disebut dengan qadzf, dan tindak pidana yang memperbolehkan makanan dan minuman yang diharamkan oleh syara’.
Tindakan main hakim sendiri atau persekusi merupakan suatu tindakan yang dilarang menurut peraturan perundang undangan di Indonesia terlebih lagi menurut Syari'at Islam. Karena hal itu, keadilan tidak akan didapatkan. Semisal orang yang mencuri ayam harus mati dihajar massa, seorang jambret dibakar hidup hidup hingga mati dan lain sebagainya. Tentu hal itu bukanlah keadilan yang didapat, bahkan pelaku tindakan main hakim sendiri sudah melakukan perbuatan keji yang sungguh dilarang dalam ajaran Islam, sebagaimana dalam Al-quran surat an-nahl ayat 90.
¨bÎ) ©!$# ããBù'tƒ ÉAôyèø9$$Î/ Ç`»|¡ômM}$#ur Ç!$tGƒÎ)ur ÏŒ 4n1öà)ø9$# 4sS÷Ztƒur Ç`tã Ïä!$t±ósxÿø9$# ̍x6YßJø9$#ur ÄÓøöt7ø9$#ur 4 öNä3ÝàÏètƒ öNà6¯=yès9 šcr㍩.xs? ÇÒÉÈ  
Artinya : Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.

Keadilan adalah sebuah istilah yang menyeluruh, dan termasuk juga segala sifat hati yang bersih dan jujur. Tetapi agama menuntut yang  lebih hangat dan lebih manusiawi, melakukan pekerjaan yang baik, meskipun ini tidak diharuskan secara ketat oleh keadilan, seperti kejahatan yang dibalas dengan kebaikan, atau suka membantu mereka yang dalam bahasa duniawi “tak mempunyai suatu tuntutan” kepada kita; dan sudah tentu pula memenuhi segala tuntutan yang tuntutannya dibenarkan oleh kehidupan sosial. Begitu juga yang sebaliknya hendaknya dihindari: segala yang diakui sebagai perbuatan munkar, dan segala yang benar-benar tidak adil, kekejaman, dan segala kekufuran dan kefasikan terhadap Hukum Allah, atau terhadap kesadaran batin kita sendiri dalam bentuknya yang paling peka. 
Di Indonesia, peraturan perundang-undangan kita, khususnya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) belum mengatur secara khusus mengenai main hakim sendiri. Akan tetapi, bukan berarti KUHP tidak dapat diterapkan sama sekali jika terjadi perbuatan main hakim sendiri. Pasal 49 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) menyatakan, "Barang siapa melakukan perbuatan, yang terpaksa dilakukannya untuk mempertahankan dirinya atau diri orang lain, mempertahankan kehormatan atau harta benda sendiri atau kepunyaan orang lain, dari serangan yang melawan hukum dan mengancam dengan segera pada saat itu juga, tidak boleh dihukum”. 
orang dapat mengatakan bahwa dirinya dalam "keadaan darurat” dan tidak dapat dihukum itu harus dapat memenuhi tiga syarat :
1.      perbuatan itu harus terpaksa untuk mempertahankan (membela). Pertahanan atau pembelaan itu haruslah amat perlu, boleh dikatakan tidak ada jalan lain. Harus ada keseimbangan antara pembelaan yang dilakukan dengan serangannya.
2.      Kedua, pembelaan itu hanya dapat dilakukan terhadap kepentingan-kepentingan yang disebut dalam pasal 49 itu, yaitu badan, kehormatan (dalam arti seksual) dan barang diri sendiri maupun orang lain.
3.      harus ada serangan yang melawan hak dan mengancam dengan sekonyong-konyong atau ketika itu juga.
 Dengan aturan-aturan tersebut sebenarnya hukum pidana memberi suatu sarana normatif kebolehan seseorang membela diri dari suatu serangan yang melawan hukum atau suatu tindak pidana. Namun, tentu saja agar hal itu tidak dilakukan secara semena-mena dan melecehkan hukum serta hak asasi setiap orang, hukum pidana juga memberi batasan normatif.
Namun berbagai faktor eksternal juga berpengaruh. Misalnya kekurang berdayaan petugas dalam melumpuhkan aksi-aksi penjahat, ketidakmampuan sistem peradilan pidana menurunkan atau menekan angka kejahatan, kekurang efektifan lembaga peradilan dalam membuktikan kesalahan pelaku atau kekurang berhasilan lembaga pemasyarakatan dalam meresosialisasi..
Dalam Undang-Undang no. 39 tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia pasal 4 dan 33 ayat (1) yang di mana apabila kedua pasal tersebut disimpulkan bahwa perbuatan main hakim sendiri merupakan suatu tindakan yang bersifat melawan hukum juga dan melanggar hak asasi manusia.







BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Dari pembahasan diatas penulis dapat menyimpulkan bahwasanya tindakan main hakim sendiri atau persekusi yang terjadi pada masyarakat sekarang ini akibat dari kurang percayanya masyarakat terhadap penegak hukum, faktor masyarkat yang emosional/mudah tersulut amarah sehingga melakukan tindakan semena-mena tanpa memikirkan apakah perbuatan tersebut di benarkan oleh hukum atau sebaliknya.
Tindakan main hakim sendiri atau persekusi merupakan suatu tindakan yang dilarang menurut peraturan perundang undangan di Indonesia terlebih lagi menurut Syari'at Islam. Karena hal itu, keadilan tidak akan didapatkan justru sebaliknya dapat mengganggu ketertiban masyarakat dan mengancam keamanan Negara, karena tindakan persekusi akan mencermikan tidak berdayanya penegak hukum dalam mengatasi kekuatan masyarakat sehingga pelaku persekusi kian meluas.
Tindakan persekusi atau main hakim sendiri dapat menimbulkan konsekwensi hukum terhadap seseorang yang melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang atau jinayah dikarenakan perbuatan tersebut melanggar KUHP dan syariat islam sehigga dapat diambil hikmah dilarangya tindakan tersebut yaitu menghindari dan mencegah manusia dari perbuatan-perbuatan yang membahayakan, dan adanya anarkis, dan membersihkan diri dari perbuatan dosa.
Upaya tegas penegak hukum dalam menindak para pelaku main hakim sendiri atau persekusi akan memberikan dampak positif bagi masyarakat, agar terciptanya ketentraman dan ketertiban hukum di masyarakat begitupun juga demikian  masyarakat merasa hak-haknya sebagai warga Negara terlindungi dan HAM di Indonesia di akui dan dilindungi oleh hukum. Namun perlu di ingat bahwa masyarakat juga perlu mengontrol tindakannya agar tidak ada pihak yang merasa dirugikan terutama berkaitan dengan postingan yang ada di akun media sosialnya.  Masyarakat sendiri seharusnya juga dapat mengendalikan emosinya apabila menyangkut hal-hal yang tidak disenanginya.


DAFTAR PUSTAKA

R.  Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,  Politeia, Bogor.
Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuh, Juz. 6, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1989).
www.hukum- online /http. persekusi-bukan-solusi. Diakses tanggal 12 juni 2017 jam 23: 40 WIB.
Anhar, “Fiqih Jinayat”, dalam http://anharululum.blogspot.com/2011/05/fiqih-jinayat.html, diakses tgl 14 juni 2017 jam 22:37 WIB.



[1] R.  Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,  Politeia, Bogor, 1996, hlm. 278-279.
[2] www.hukum- online /http. persekusi-bukan-solusi. Diakses tanggal 14 juni 2017 jam 23: 40 WIB.
[3] Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuh, Juz. 6, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1989), hlm 14
[4] Anhar, “Fiqih Jinayat”, dalam http://anharululum.blogspot.com/2011/05/fiqih-jinayat.html, diakses tgl 14 juni 2017 jam 22:37 WIB.

Tidak ada komentar: