BAB I
A.
Pendahuluan.
Beberapa hari
ini, publik Indonesia disibukkan dengan adanya berita tentang
tindakanpersekusi oleh ormas tertentu, sehingga mengakibatkan adanya
penetapan tersangka kepada AM (22 tahun) dan M (57 tahun) karena diduga telah
melakukan tindakan persekusi terhadap seorang remaja berinisial PMA (15)
yang dianggap telah mengolok-olok ulama dalam unggahan di akun media sosial
miliknya.
Selain itu,
berita yang viral juga adalah tentang seorang dokter bernama Fiera Lovita yang
bekerja di RSUD Kota Solok, Sumatera Barat, menjadi korban persekusi berupa
teror dan intimidasi setelah menulis status di akun medsos-nya yang bernada
sindiran terhadap tokoh tertentu. Penanganan kasus yang berlarut mengakibatkan
dicopotnya Kapolres Solok karena dianggap oleh Kapolri tidak tegas dalam
menangani kasus tindakan persekusi oleh ormas.
Southeast Asia
Freedom of Expression Network (SAFENET) mencatat sejak 27 Januari sampai dengan
akhir Mei 2017 terdapat 59 korban persekusi di seluruh Indonesia
(Kompas, 4 Juni 2017). Korban pada umumnya dinilai menghina tokoh dari ormas
yang melakukan persekusi. Ada korban yang diintimidasi dan akhirnya
dipaksa menandatangani permohonan maaf bermaterai. Adapula yang mengalami
kekerasan baik fisik maupun psikis.
Dari berabagai
permasalahan yang terjadi di masyarakat terkait tindak kekerasan yang di sertai
anacaman dan tindakan penganiyaan tersebut, penulis ingin membuat makalah yang
berjudul “Persekusi menurut Hukum Islam”
B.
Rumusan
masalah
Untuk membatasi
permasalahan yang akan penulis bahas dalam karya ilmiah ini penulis merumuskan
rumusan masalah sebagai berikut :
1.
Apa
itu persekusi ?
2.
Bagaimana
kasus persekusi yang terjadi di masyarakat ?
3.
Bagaaimana
hukum persekusi menurut Islam ?
BAB II
Pembahasan
A.
Pengertia persekusi
Manusia, walaupun pada umumnya dilahirkan seorang diri, namun dia
mempunyai naluri untuk selalu hidup dengan orang lain. Di dalam hubungan antara
manusia dengan manusia lain yang penting adalah reaksi yang timbul sebagai
akibat hubungan-hubungan tadi. Reaksi tersebutlah yang menyebabkan tindakan
seseorang menjadi semakin luas. Hal ini terutama disebabkan karena keinginan untuk
menjadi satu dengan manusia lain yang berada disekelilingnya (yaitu masyarakat)
dan keinginan untuk menjadi satu dengan suasana alam sekelilingnya.
Kesemua ini menimbulkan kelompok-kelompok sosial atau social
group didalam kehidupan manusia. Kelompok-kelompok sosial tadi
merupakan kesatuan manusia yang hidup bersama karena adanya hubungan antara
mereka. Hubungan tersebut antara lain menyangkut hubungan timbal balik yang
saling pengaruh mempengaruhi dan juga suatu kesadaran untuk saling tolong
menolong.
Interaksi sosial yang dinamis lama kelamaan karena pengalaman,
menjadi nilai-nilai sosial yaitu konsepsi-konsepsi abstrak yang hidup didalam
alam pikiran bagian terbesar warga masyarakat tentang yang dianggap baik dan
tidak baik dalam pergaulan hidup. Nilai-nilai sosial tersebut biasanya telah
berkembang sejak lama dan telah mencapai suatu kemantapan dalam jiwa bagian
terbesar warga masyarakat dan dianggap sebagai pedoman atau pendorong bagi tata
kelakuannya.
Di dalam masyarakat apabila suatu pelanggaran hukum dilakukan oleh
satu atau dua orang saja, mudah bagi penegak hukum untuk menerapkan hukum
padanya. Kekuatan penegak hukum lebih besar dari kekuatan si pelanggar hukum.
Akan tetapi bila yang melanggar hukum itu suatu “massa”, dalam arti banyak
orang yang bersama-sama berbuat sesuatu untuk melanggar hukum maka kekuatan
penegak hukum (khusus polisi) mungkin sekali tidak cukup untuk menerapkan hukum
secara seharusnya.[1]
Kalau perbuatan massa itu merupakan perbuatan temporer saja,
seperti perbuatan massa yang marah pada saat unjuk rasa atau perbuatan massa
dengan melakukan tindakan penganiayaan atau pembunuhan yang dilakukan dalam
berbagai peristiwa main hakim sendiri atau konflik yang terjadi diberbagai
daerah seperti apa yang terjadi di negeri ini misalnya di Poso, Sampit dan
Maluku yang justru sering memperoleh dukungan dan pengesahan dari lingkungan
masyarakat sekitar. Akibatnya, ketika aparat keamanan mengambil tindakan hukum
terhadap pelakunya, masyarakat justru memberikan reaksi balik dengan menuntut
pembebasan pelaku dan menyerang aparat keamanan. Sepertinya kekerasan merupakan
keharusan moral yang harus dilakukan untuk menyelesaikan masalah atau konflik.
Sebagaimana juga yang terjadi pada kasus persekusi yang sekarang ini marak di
masyarakat.
Istilah persekusi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
diartikan sebagai tindakan sewenang-wenang terhadap seseorang atau
sekelompok orang dalam artian persekusi adalah pemburuan sewenang-wenang
terhadap seorang atau sejumlah warga dan disakiti, dipersusah, atau ditumpas. Dalam
ilmu hukum, istilah yang dapat disejajarkan dengan persekusi adalah eigenrichting (Belanda)
atau main hakim sendiri. Tindakan Persekusi dilakukan terhadap pemilik
akun yang dianggap menghina agama atau ulama di media sosial kemudian diburu
oleh beberapa pihak.[2]
B.
Kasus Persekusi di Dalam Masyarakat
Seorang bocah berusia 15 tahun duduk di kelilingi puluhan orang.
Dia diam mendengarkan perkataan salah satu anggota Front Pembela Islam (FPI) di
kawasan Cipinang Muara, Jakarta Timur. PMA, demikian inisial bocah tersebut,
dinilai menghina Rizieq Shihab, pentolan FPI dalam status Facebook miliknya.
“Lo sudah mending enggak diapa-apain, enggak dicolek,” kata salah
satu dari mereka.”
“Habib Rizieq itu bukan punya FPI, punya umat.”
“Lo ngerti enggak? Coba ulangi,” kata yang lainnya.
“Habib Rizieq itu bukan punya FPI saja, tapi umat muslim,” kata PMA.
“Lo cerna. Lo cerna dong,” kata lainnya sambil mengepalkan tangan.
Tetapi sikap itu tak jua memuaskan sebagian mereka. Dalam video
yang muncul di Youtube atas nama akun Blog Netizen itu, PMA juga mendapatkan
pukulan di kepalanya. Tak hanya itu, warga lainnya pun memukul pipinya.
Polda Metro Jaya telah menetapkan anggota Front Pembela Islam (FPI)
bernama Abdul Majid dan seorang warga bernama Mat Husin alias Ucin sebagai
tersangka setelah terekam video viral di media sosial berisi
aksi persekusi terhadap PMA. Akibat ulahnya Abdul Majid dan Ucin
dijerat Pasal 80 ayat 1 jo Pasal 76c UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang
Perlindungan Anak juncto Pasal 170 KUHP tentang Pengeroyokan dengan ancaman
diatas lima tahun penjara.
Sebagaimana juga kasus Dokter Fiera menjadi
korban persekusi setelah mengunggah sebuah status di media sosial
Facebook tentang pandangan dan pendapatnya mengenai kasus dugaan chat mesum
pemimpin Front Pembela Islam, Rizieq Syihab.
Kasus di atas hanyalah
segelintir dari puluhan tindak persekusi yang belakangan terjadi. Maraknya
gelombang persekusi tak lepas dari ‘Ahok Effect’ atas kasus penodaan agama yang
menjerat mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok
Hal - hal yang menyebabkan tindakan persekusi ini seperti
penghinaan di media sosial (yang kebetulan sedang viral beberapa waktu lalu)
dimana orang yang merasa terhina atau sakit hati akan langsung mencari orang
menuliskan hinaan tersebut dan bisa - bisa orang yang terhina ini melakukan
tindakan kriminal seperti menganiaya.
Tindakan persekusi ini juga ada dua elemen yang menjadi incaran
dalam tindakannya, yaitu bertujuan untuk menyakiti secara fisik atau psikis
(bisa dalam bentuk buly, ancaman, dan lainnya). Dan pada awalnya orang - orang
atau kelompok yang akan melakukan tindakan persekusi akan terlebih dahulu
menentukan targetnya (analisa). Dalam penentuan target persekusi ini biasanya
dilakukan dengan cara mengumumnkan nya di media sosial mereka. Mereka juga akan
melakukan screenshot terhadap postingan - postingan yang dianggap menghina dari
calon korban persekusi ini.
Permasalahan inilah yang menjadikan Pemerintah Indonesia harus
menindak tegas bagi para pelaku persekusi. Para pelaku persekusi dalam
mengambil tindakan sangatlah melanggar dan bertentangan dengan aturan hukum,
jika memang dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 pada pasal
1 ayat (3) mengatakan bahwa “ Indonesia adalah negara hukum “ maka sudah
sepantasnya hukum menjadi panglima tertinggi dalam pengawasan masyarakan negara
Indonesia. Persekusi sendiri ini biasanya dipicu oleh suatu tindakan penghinaan
kepada tokoh-tokoh tertentu sehingga membuat para pengikut dari tokoh terebut
berusaha menghakimi orang yang melakukan penghinaan tersebut. Dengan semakin
berkembang dan pesatnya era globalisasi membuat masyarakat dengan mudah untuk
melakukan komentar-komentar terhadap suatu permasalahan yang terjadi dan
terkadang komentar-komentar tersebut tidak sedikit juga yang bernilai negatif
maupun membuat tersinggung perasaan orang.
Apabila individu atau kelompok telah melakukan tindakan diluar
jalur hukum, maka disebut tindakan menghakimi sendiri, aksi sepihak atau “eigenrichting”.
Tindakan menghakimi sendiri tidak lain merupakan tindakan untuk melaksanakan
hak menurut kehendak sendiri yang bersifat sewenang-wenang, tanpa persetujuan
pihak lain yang berkepentingan.
Pada hakekatnya tindakan menghakimi sendiri ini merupakan
pelaksanaan sanksi/kelompok. Hanya saja sanksi yang dilakukan oleh perorangan
maupun kelompok sulit diukur berat ringannya, karena massa terkadang dapat
bertindak kalap dan tidak terkendali. Faktor-faktor yang melatarbelakangi
terjadinya tindakan main hakim sendiri (Eigenrichting) oleh masyarakat yakni:
a)
Ketidakpercayaan
masyarakat terhadap penegakan hukum (law enforcement) oleh aparat penegak
hukum,
b)
Faktor
psikologi sosial, masyarakat cenderung emosional terhadap pelaku kejahatan.
c)
Masyarakat
awam terhadap persoalan hukum, tidak mengetahui kalau tindakan main hakim
sendiri itu merupakan suatu bentuk tindak pidana.
Kaitannya dengan masalah main hakim sendiri upaya penegak Hukum
dalam mencegah/mengantispasi terjadinya tindakan main hakim sendiri tersebut
sangat penting diataranya :
a)
Upaya
pencegahan dini yang bisa dilakukan oleh penegak hukum dalam menanamkan nilai
atau norma khususnya kepolisian adalah dengan melakukan sosialisasi hukum
terhadap masyarakat, mengajak masyarakat untuk taat hukum, menjalin kerjasama
dengan masyarakat untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat,
b)
Upaya
dalam menghilangkan kesempatan terjadinya kejahatan maka kepolisian harus sigap
dalam mencegah terjadinya tindakan main hakim sendiri dengan rutin melakukan
patroli untuk mengawasi kondisi keamanan masyarakat.
c)
Penegak
hukum harus menangkap dan memidanakan pelaku tindakan main hakim sendiri
khususnya pelaku yang diduga menjadi provokator sehingga masyarakat tidak
terpancing untuk melakukan tindakan main hakim sendiri.
C.
Persekusi menurut Hukum Islam
Sebagaimana diketahui bahwa untuk menciptakan hidup dan kehidupan
yang damai dan tentram, Allah menurunkan aturan-aturan bagi manusia dalam
melaksanakan hidup dan kehidupan di dunia. Seluruh perbuatan-perbuatan manusia
yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari mempunyai konsekwensi hukum, baik
perbuatan yang baik maupun perbuatan yang jelek. Fikih Jinayah merupakan ilmu
yang membahas tentang hukum syara’ yang berkaitan dengan masalah perbuatan-perbuatan
yang dilarang dan mempunyai konsekwensi hukum.
Hikmah dari adanya konsekwensi hukum terhadap seseorang yang
melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang atau jinayah yaitu menghindari dan
mencegah manusia dari perbuatan-perbuatan yang membahayakan, dan adanya
anarkis, dan membersihkan diri dari perbuatan dosa.[3]
Suatu perbuatan dapat dikategorikan jinayah jika perbuatan tersebut mempunyai
unsur atau rukun sebagai berikut:[4]
1.
Adanya nash, yang melarang adanya
perbuatanperbuatan tertentu yang disertai ancaman hukuman atas
perbuatan-perbuatan yang merupakan bentuk jinayah. Unsur ini dikenal dengan
istilah “unsur formal (al-rukn al-syar’i).
2.
Adanya
unsur perbuatan yang membentuk jinayah, baik berupa melakukan perbuatan yang
dilarang atau meninggalkan perbuatan yang diharuskan. Unsur ini dikenal dengan
dengan istilah “unsur material” (alrukn al-madi)
3.
Pelaku
kejahatan adalah orang yang dapat menerima khitab atau dapat memahami taklif,
artinya pelaku kejahatan tadi adalah mukallaf, sehingga mereka dapat dituntut
atas kejahatan yang mereka lakukan. Unsur ini dikenal dengan istilah “unsur
moral” (alrukn al-adabi)
Secara garis
bersar, ada empat perbuatan tindak pidana yang dilarang dan mempunyai
konsekwensi hukum, yaitu:
1.
Tindakan
pidana atas badan, jiwa, anggota badan, yaitu yang disebut dengan pembunuhan
(al-qatl) dan pelukaan (al-jarh).
2.
Tindak
pidana atas kelamin, yaitu yang disebut dengan zina dan pelacuran (sifah).
3.
Tindak
pidana atas harta.
4.
Tindak
pidana atas kehormatan yang disebut dengan qadzf, dan tindak pidana yang
memperbolehkan makanan dan minuman yang diharamkan oleh syara’.
Tindakan main hakim sendiri atau persekusi merupakan suatu tindakan
yang dilarang menurut peraturan perundang undangan di Indonesia terlebih lagi
menurut Syari'at Islam. Karena hal itu, keadilan tidak akan didapatkan. Semisal
orang yang mencuri ayam harus mati dihajar massa, seorang jambret dibakar hidup
hidup hingga mati dan lain sebagainya. Tentu hal itu bukanlah keadilan yang
didapat, bahkan pelaku tindakan main hakim sendiri sudah melakukan perbuatan
keji yang sungguh dilarang dalam ajaran Islam, sebagaimana dalam Al-quran surat
an-nahl ayat 90.
¨bÎ) ©!$# ããBù't ÉAôyèø9$$Î/ Ç`»|¡ômM}$#ur Ç!$tGÎ)ur Ï 4n1öà)ø9$# 4sS÷Ztur Ç`tã Ïä!$t±ósxÿø9$# Ìx6YßJø9$#ur ÄÓøöt7ø9$#ur 4 öNä3ÝàÏèt öNà6¯=yès9 crã©.xs? ÇÒÉÈ
Artinya : Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat
kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji,
kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat
mengambil pelajaran.
Keadilan adalah sebuah istilah yang menyeluruh, dan termasuk juga
segala sifat hati yang bersih dan jujur. Tetapi agama menuntut yang lebih
hangat dan lebih manusiawi, melakukan pekerjaan yang baik, meskipun ini tidak
diharuskan secara ketat oleh keadilan, seperti kejahatan yang dibalas dengan
kebaikan, atau suka membantu mereka yang dalam bahasa duniawi “tak mempunyai
suatu tuntutan” kepada kita; dan sudah tentu pula memenuhi segala tuntutan yang
tuntutannya dibenarkan oleh kehidupan sosial. Begitu juga yang sebaliknya hendaknya
dihindari: segala yang diakui sebagai perbuatan munkar, dan segala yang
benar-benar tidak adil, kekejaman, dan segala kekufuran dan kefasikan terhadap
Hukum Allah, atau terhadap kesadaran batin kita sendiri dalam bentuknya yang
paling peka.
Di Indonesia, peraturan perundang-undangan kita, khususnya Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) belum mengatur secara khusus mengenai main
hakim sendiri. Akan tetapi, bukan berarti KUHP tidak dapat diterapkan sama
sekali jika terjadi perbuatan main hakim sendiri. Pasal 49 ayat
(1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) menyatakan, "Barang siapa
melakukan perbuatan, yang terpaksa dilakukannya untuk mempertahankan dirinya
atau diri orang lain, mempertahankan kehormatan atau harta benda sendiri atau
kepunyaan orang lain, dari serangan yang melawan hukum dan mengancam dengan
segera pada saat itu juga, tidak boleh dihukum”.
orang dapat mengatakan bahwa dirinya dalam "keadaan darurat”
dan tidak dapat dihukum itu harus dapat memenuhi tiga syarat :
1.
perbuatan
itu harus terpaksa untuk mempertahankan (membela). Pertahanan atau pembelaan
itu haruslah amat perlu, boleh dikatakan tidak ada jalan lain. Harus ada
keseimbangan antara pembelaan yang dilakukan dengan serangannya.
2.
Kedua,
pembelaan itu hanya dapat dilakukan terhadap kepentingan-kepentingan yang
disebut dalam pasal 49 itu, yaitu badan, kehormatan (dalam arti seksual) dan
barang diri sendiri maupun orang lain.
3.
harus
ada serangan yang melawan hak dan mengancam dengan sekonyong-konyong atau
ketika itu juga.
Dengan
aturan-aturan tersebut sebenarnya hukum pidana memberi suatu sarana normatif
kebolehan seseorang membela diri dari suatu serangan yang melawan hukum atau
suatu tindak pidana. Namun, tentu saja agar hal itu tidak dilakukan secara
semena-mena dan melecehkan hukum serta hak asasi setiap orang, hukum pidana
juga memberi batasan normatif.
Namun berbagai
faktor eksternal juga berpengaruh. Misalnya kekurang berdayaan petugas dalam
melumpuhkan aksi-aksi penjahat, ketidakmampuan sistem peradilan pidana
menurunkan atau menekan angka kejahatan, kekurang efektifan lembaga peradilan
dalam membuktikan kesalahan pelaku atau kekurang berhasilan lembaga
pemasyarakatan dalam meresosialisasi..
Dalam Undang-Undang no. 39 tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia pasal
4 dan 33 ayat (1) yang di mana apabila kedua pasal tersebut disimpulkan bahwa
perbuatan main hakim sendiri merupakan suatu tindakan yang bersifat melawan
hukum juga dan melanggar hak asasi manusia.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari pembahasan diatas penulis dapat menyimpulkan bahwasanya tindakan
main hakim sendiri atau persekusi yang terjadi pada masyarakat sekarang ini
akibat dari kurang percayanya masyarakat terhadap penegak hukum, faktor
masyarkat yang emosional/mudah tersulut amarah sehingga melakukan tindakan
semena-mena tanpa memikirkan apakah perbuatan tersebut di benarkan oleh hukum
atau sebaliknya.
Tindakan main hakim sendiri atau persekusi merupakan suatu tindakan
yang dilarang menurut peraturan perundang undangan di Indonesia terlebih lagi
menurut Syari'at Islam. Karena hal itu, keadilan tidak akan didapatkan justru
sebaliknya dapat mengganggu ketertiban masyarakat dan mengancam keamanan
Negara, karena tindakan persekusi akan mencermikan tidak berdayanya penegak
hukum dalam mengatasi kekuatan masyarakat sehingga pelaku persekusi kian
meluas.
Tindakan persekusi atau main hakim sendiri dapat menimbulkan konsekwensi
hukum terhadap seseorang yang melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang atau
jinayah dikarenakan perbuatan tersebut melanggar KUHP dan syariat islam sehigga
dapat diambil hikmah dilarangya tindakan tersebut yaitu menghindari dan
mencegah manusia dari perbuatan-perbuatan yang membahayakan, dan adanya
anarkis, dan membersihkan diri dari perbuatan dosa.
Upaya
tegas penegak hukum dalam menindak para pelaku main hakim sendiri atau
persekusi akan memberikan dampak positif bagi masyarakat, agar terciptanya
ketentraman dan ketertiban hukum di masyarakat begitupun juga demikian masyarakat merasa hak-haknya sebagai warga
Negara terlindungi dan HAM di Indonesia di akui dan dilindungi oleh hukum.
Namun perlu di ingat bahwa masyarakat juga perlu mengontrol tindakannya agar
tidak ada pihak yang merasa dirugikan terutama berkaitan dengan postingan yang
ada di akun media sosialnya. Masyarakat
sendiri seharusnya juga dapat mengendalikan emosinya apabila menyangkut hal-hal
yang tidak disenanginya.
DAFTAR PUSTAKA
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,
Politeia, Bogor.
Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuh, Juz. 6, (Beirut:
Dar Al-Fikr, 1989).
www.hukum- online /http. persekusi-bukan-solusi. Diakses tanggal 12
juni 2017 jam 23: 40 WIB.
Anhar, “Fiqih Jinayat”, dalam
http://anharululum.blogspot.com/2011/05/fiqih-jinayat.html, diakses tgl 14 juni
2017 jam 22:37 WIB.
[1]
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Politeia,
Bogor, 1996, hlm. 278-279.
[2] www.hukum-
online /http. persekusi-bukan-solusi. Diakses tanggal 14 juni 2017 jam 23: 40
WIB.
[3]
Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuh, Juz. 6, (Beirut: Dar
Al-Fikr, 1989), hlm 14
[4] Anhar,
“Fiqih Jinayat”, dalam
http://anharululum.blogspot.com/2011/05/fiqih-jinayat.html, diakses tgl 14 juni
2017 jam 22:37 WIB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar