PEMBAHASAN
A. Istihsan
1.
Pengertian istihsan
Istihsan
menurut bahasa berarti memandang baik sesuatu, sesuatu yang digemari dan
disenangi manusia. Menurut istilah terdapat beberapa rumusan
dari para ulama:
a. Menurut Abdul Wahab Khallaf, istihsan ialah pindahnya seorang
mujtahid dari tuntunan qiyas jail kepada tuntunan qiyas khafi, atau
dari hukum kully kepada hukum istitsana’I berdasarkan dalil.
b. Menurut al-Bazdawi, istihsan ialah perpindahan dari tuntunan
suatu qiyas kepada qiyas yang lain yang lebih kuat atau men-takhsih
qiyas dengan dalil yang lebih kuat.
c. Imam Malik mendefinisikan isthsan adalah beramal dengan salah
satu dari dua dalil yang paling kuat atau mengambil maslahah juz’iyah dalam
berhadapan dengan dalil kulli.
Istihsan
merupakan dalil yang diperselisihkan di antara para ulama. Menurut
ulama Hanafiyah, Malikiyah dan sebagian Hanabilah, istihsan merupakan
dalil yang kuat dalam menetapkan hukum syara’. Mereka memperkuat penggunaan istihsan
dengan dalil-dalil, baik dari Al-Qur’an, Sunnah maupun hasil penelitian
terhadap nash. Namun mereka berbeda-beda dalam penetapan istihsan dalam
hirarki sumber / dalil hukum Islam dan intensitas penggunaannya. Ulama yang
terkenal banyak menggunakan dalil istihsan diantaranya Imam Abu Hanifah
dan Imam Malik. Bahkan Imam Malik pernah mengatakan bahwa istihsan Sembilan
per sepuluhnya ilmu. Namun demikian, mereka berbeda dalam membagi istihsan.
Ulama Malikiyah membagi istihsan menjadi empat, yaitu istihsan dengan
urf, istihsan dengan maslahat, istihsan dengan ijma’, istihsan
dengan kaidah raf’ al-haraj wa al-masyaqqat. Sedangkan istihsan dengan
qiyas kahfi tidak dikenal dalam Ushul Fiqih Maliki. Sedang Imam Hanafi
membagi istihsan menjadi empat, yaitu istihsan dengan nash,
istihsan dengan ijma’, istihsan dengan darurat dan istihsan dengan
qiyas kahfi, walaupun dalam perkembangannya ulama Hanafiyah juga
menggunakan istihsan maslahat dan urf.
Di
antara ulama yang menolak istihsan sebagai dalil adalah ulama
Syafi’iyah, Zahiriyah, Syi’ah dan Mu’tazilah. Bahkan al-Imam al-Syafi’I
menyusun argumentasi secara detil untuk menolak eksistensi istihsan:
a.
Syari’at itu ditetapkan dengan nash dan qiyas. Istihsan bukan
nash dan bukan pula qiyas. Jika begitu menggunakan istihsan berarti
mengakui adanya hukum-hukum yang belum ditetapkan oleh nash dan qiyas
dan ini bertentangan dengan ayat Al-Qur’an yang artinya “Apakah manusia
mengira, bahwa ia akan dibiarkan saja (tanpa pertanggung jawaban).”
b.
Banyak ayat Al-Qur’an yang menyuruh
menaati Allah dan Rasulnya dan jika terjadi perselisihan hendaknya dikembalikan
kepada Allah dan Rasul. Sedangkan istihsan tidak termasuk
kitab dan sunnah dan juga tidak menunjukkan Al-Qur’an dan Sunnah.
c.
Nabi SAW. tidak pernah berfatwa berdasarkan istihsan. Ketika
ditanya berbagai kasus beliau tidak memberikan jawaban berdasarkan istihsan melainkan
menunggu wahyu.
d.
Nabi menolak fatwa sebagian sahabat berdasarkan istihsan ketika
berada jauh dari Nabi.
e.
Istihsan itu tidak menjadi kriteria dan tolak ukur
untuk membedakan yang hak dan yang batil sebagaimana qiyas.
f.
Jika istihsan diperbolehkan,
padahal ia bukan nash dan juga tidak merujuk kepada nash, berarti
ia menetapkan hukum berdasarkan akal semata. Dan hal ini tidak dibenarkan.
Muhammad
Abu Zahrah seperti dikutip Nasrun Haroen, berpendapat bahwa penolakan Imam
Syafi’I terhadap istihsan tidak bersifat menyeluruh. Penolakan itu
menurutnya hanya berlaku pada istihsan yang disebarkan pada urf dan
maslalaha mursalah. Ini sejalan dengan prinsip ulama Syafi’iyah yang
menolak eksistensi urf dan maslalah mursalah sebagai dalil.
2.
Dasar-Dasar Isihsan
Dasar-dasar istihsan terdapat dalam
Al-Qur’an dan Hadist Rasulullah SAW. antara lain:
a.
Dasarnya dalam Al-Qur’an:
Artinya “Yang mendengarkan perkataan lalu
mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang
telah diberi oleh Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang berakal.”
b.
Dasarnya dalam Hadist:
Artinya “Anas RA, berkata, “Rasulullah SAW. bersabda, “Sebaik-baik
agamamu adalah yang lebih mudah ajarannya; dan sebaik-baik ibadahmu adalah yang
dipahami syarat-syarat dan rukun-rukunnya.”” (HR. Ibnu Abdul Barr).
3.
Pembagian
Istihsan
a.
Berdasarkan proses perpindahannya, istihsan
dibagi dua, yaitu:
1)
Mendahulukan qiyas kahfi dari
qiyas jail karena ada alasan yang dibenarkan syara’.
2)
Mengecualikan hukum juz’I dari hukum kully dengan dalil.
b.
Berdasarkan sandarannya, istihsan dibagi menjadi enam, yaitu:
1)
Istihsan berdasarkan nash, yaitu adanya ayat
atau hadist tentang hukum suatu kasus yang berbeda dengan ketentuan kaidah
umum.
2)
Istihsan bi al-Ijma’ ialah
meninggalkannya qiyas dalam suatau masalah berdasarkan ijma’ yang
menetapkan hukum berbeda dengan hukum yang ditunjukkan oleh qiyas.
3)
Istihsan berdasarkan qiyas khafi.
4)
Istihsan bi al-Maslahah ialah istihsan
berdasarkan maslahah.
5)
Istihsan bi al-‘adah au al-urf ialah istihsan berdasarkan kebiasaan yang berlaku umum.
6)
Istihsan bi al-Darurah ialah ada
keadaan-keadaan darurat yang menyebabkan seseorang mujtahid tidak memberlakukan
kaidah umum atau qiyas.
4.
Perbedaan Istihsan dengan Qiyas dan Maslahah Mursalah
Istihsan berbeda dengan qiyas dan juga maslahah mursalah. Perbedaan
istihsan denag qiyas menyamakan kasus yang belum ada ketentuan
hukumnya berdasarkan nash atau ijma’ dengan kasus yang sudah ada
ketetapan hukumnya berdasarkan nash atau ijma’. Istihsan
adalah perpindahan dari kasus yang didasarkan pada dalil kepada kasus lain
berdasarkan dalil yang lebih kuat, seperti berpindah dari nash umum atau
qiyas kepada nash khusus, atau kepada qiyas kahfi krena
adanya kemaslahatan yang hendak direalisasikan atau mafsadah (kerusakan) yang
ingin dihindarkan. Persamaan antara keduanya adalah sama-sama didasarkan pada
dalil. Sedang maslahah mursalah adalah penetapan hukum yang semata-mata
didasarkan pada pertimbangan mewujudkan kemaslahatan atau menghindarkan
kerusakan, serta tidak memiliki dasar nash.
B. Maslahah Mursalah
1.
Pengertian Maslahah Mursalah
Salah satu metode yang dikembangkan ulama
Ushul Fiqih dalam mengistinbathkan hukum Islam dari nash adalah maslahah
mursalah. Penggunaan maslahah mursalah seagai hujjah didasarkan pada
pandangan tentang adanya illat dalam suatu hukum.
Menurut bahasa, maslahah berarti manfa’at dan
kebaikan, sedang mursalah berarti melepas. Menurut istilah maslahah
mursalah ialah kemaslahatan yang tidak ditetapkan oleh syara’ dalam
peneapan hukum dan tidak ada dalil yang menyuruh mengambil atau menolaknya. Pada
umumnya maslahah mempunyai dua sisi, yaitu sisi positif (ijabi)
dan sisi negative (salabi). Sisi positif berupa merealisasikan kebaikan
(ijad al-manfa’ah). Sedang sisi negative menolak kerusakan atau bahaya (daf’
al-mafsadah).
2.
Kehujjahana Maslahah Mursalah
Sebagai hujjah, maslahah diperselisihkan para
ulama. Dalam masalah ini ulama terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu:
a. Menurut Jumhur ulama maslahah mursalah tidak
dapat dijadikan dalil/hujjah. Mereka mengemukakan beberapa argument, yaitu:
1) Allah telah mensyari’atkan untuk para hamba
hukum-hukum yang memenuhi tuntunan kemaslahatan mereka Ia tidak luoa dan tidak
meninggalkan satu kemaslahatan pun, tanpa mengundangkannya. Berpedoman pada maslahah
mursalah berarti menganggap Allah meninggalkan sebagian kemaslahatan
hamba-Nya, dan ini bertentangan dengan nash.
2) Maslahah mursalah itu berada di antara maslahah mu’tabarah dan maslahah
mulghah, di mana menyamaknnya dengan maslahah mu’tabarah belum tentu
lebih sesuai dari pada menyamaknnya dengan maslahah mulghah, karenanya
tidak pantas dijadikan hujjah.
3) Berhujjah dengan maslahah
mursalah dapat mendorong orang-orang tidak berilmu untuk membuat hukum
berdasarkan hawa nafsu dan membela kepentingan penguasa.
b. Menurut Imam Malik maslahah mursalah adalah
dalil hukum syara’. Pendapat ini juga diikuti oleh Imam Haramain. Mereka
mengemukakan argument sebagai berikut:
1) Nash-nash syara’ menetapkan bahwa syari’at itu diundangkan untuk merealisasikan
kemaslahatan manusia, karenanya berhujjah dengan mslahah mursalah sejalan
dengan karakter syara’ dan prinsip-prinsip yang mendasarinya serta tujuan
pensyari’atannya.
2) Kemaslahatan manusia serta sarana mencapai
kemaslahatan itu berubah karena perbedaan tempat, keadaan, dan zaman. Jika
hanya berpegang pada kemaslahatan yang ditetapkan berdasarkan nash saja,
maka berarti mempersempit sesuatu yang Allah telah lapangkan dan mengabadikan
banyak kemaslahatan bagi manusia, dan ini tidak sesuai dengan prinsip-prinsip
umum syari’at.
3) Para mujtahid dari kalangan sahabat dan
generasi sesudahnya banya melakukan ijtihad berdasarkan maslahah dan
tidak ditentang oleh seorang pun dari mereka. Karenanya ini merupakan ijma’.
c. Menurut al-Ghazali, maslahah mursalah yang
dapat dijadikan dalil hanya maslahah dharuruiyah. Sedangkan maslahah
hijaiyah dan maslahah tahsiniyah tidak
dapat dijadikan dalil.
3. Syarat-Syarat Maslahah Mursalah
Maslahah mursalah dapat dijadikan dijadikan sebagai dalil dengansyarat:
a. Maslahah tersebut harus maslahah yang hakiki, bukan sekedar maslahah yang
diduga atau diasumsikan.
b. Kemaslahatan tersebut harus kemaslahatan
umum, bukan kemaslahatan pibadi atau kemaslahatan khusus.
c. Kemaslahatan tersebut sesuai dengan maqashid
al-Syari’ah dan tidak bertentangan dengan dalil-dalil syara’.
d. Kemaslahatn tersebut harus selaras dan
sejalan dengan akal sehat. Artinya kemaslahatan tersebut tidak boleh
bertentangan dengan akal sehat.
e. Pengambilan kemaslahatan tersebut harus
untuk merealisasikan kemaslahatan dharuriyah, bukan kemaslahatan hijaiyah
atau tahsiniyah.
4. Pembagian Maslahah
a. Dari segi pandangan syara’ terhadapnya, maslahah
dibagi menjadi tiga, yaitu:
1) Maslahah mu’tabarah, yaitu kemaslahatan yang didukung oleh Syari’ (Allah)
dan dijadikan dasar dalam pencapaian hukum.
2) Maslahah mulghah, yaitu kemaslahatan yang ditolak oleh Syari’ (Allah),
dan Syari’ menetapkan kemaslahatan lain selain ini.
3) Maslahah mursalah, yaitu kemaslahatan yang belum diakomodir dalam nash
atau ijma’, serta tidak ditemukan nash atau ijma’ yang
melarang atau memerintahkan mengambilnya. Kemaslahatan ini dilepaskan
(dibiarkan) oleh Syari’ dan diserahkan kepada manusia untuk mengambil atau
tidak mengambilnya.
b. Berdasarkan tingkatannya, maslahah
mursalah dapat dibagi kedalam tiga tingkatan, yaitu:
1) Maslahah dharuriyah, yaitu segala hal yang menjadi sendi eksistensi kehidupan
manusia, harus ada demi kemaslahatan mereka. Pengabaian terhadap maslahah
dharuriyah dapat berakibat pada terganggunya kehidupan dunia, hilangnya
kenikmatan dan turunnya azab di akhirat.
2) Maslahah hijaiyah, yaitu segala sesuatu yang sangat dihajatkan oleh
manusia untuk menghilangkan kesulitan dan menolak segala halangan. Pengabaian
terhadap maslahah hijaiyah tidak menimbulkan ancaman bagi
keberlangsungan hidup manusia, tetapi akan menimbulkan kesulitan dan
kesempitan.
3) Maslahah tahsiniyah, yaitu tindakan atau sifat-sifat yang ada pada
prinsipnya berhubungan dengan makarimul akhlak serta memelihara keutamaan dalam
bidang ibadah, adat dan muamalat. Misalnya mengenakan pakaian-pakaian yang
bagus-bagus saat shalat, memakai wewangian pada laki-laki ketika berkumpul
bersama orang banyak, pengharaman makanan-makanan yang buruk atau menjijikan,
larangan wanita menikahkan dirinya sendiri kepada laki-laki yang dicintainya
dan lain-lain.
c.
Pembagian maslahah dari segi syara’.
1)
Maslahah mu’tabarah, yaitu kemaslahatan yang didukung oleh syari’
(Allah) dan dijadikan dasar dalam penetapan hukum. Misalnya kewajiban puasa
pada bulan ramadhan, kemaslahatannya yaitu mendidik jasmani dan rohani manusia.
2)
Maslahah mulghah, yaitu maslahah
yang ditolak Allah namun juga menetapkan kemaslahahtan selain itu. Misalnya diharamkannya mencuri namun tetap ada kemaslahahtan
bagi seorang pencuri.
3)
Maslahah mursalah, yaitu
kemaslahahtan yang belum ditetapkan dalam nash dan ijma’ serta tidak ditemukan
nash atau ijma’ yang melarang atau memerintahkan mengambilnya. Kemashlahatan
ini dibiarkan oleh syari’ dan diserahkan oleh manusia untuk menentukan
mengambil atau meninggalaknnya dengan melihat kemashlahatan yang sesuai dengan dirinya ,Misalnya menjatuhkan talak dalam perkawinan.