BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Adat adalah sesuatu yang dikerjakan berulang-ulang tanpa adanya
hubungan rasional.Sedangkan urf adalah segala sesuatu yang telah dikenal
dan menjadikan kebiasaan manusia baik berupa ucapan. Ada sebagian jumhur yang
mengatakan bahwa adat dan urf itu berbeda ada juga yang mengatakan sama.
Sedangkan istishab adalah menetapkan sesuatu menurut keadaan sebelumnya
sampai ada dalil yang merubah keadaanya atau menjadikan hukum yang ditetapkan
terdahulu tetap berlaku pada masa sekarang sampai ada dalil yang merubah
keadaanya. Di era yang moderen ini banyak masyarakat yang belum mengetahui
secara detail tentang urf dan istishab. Maka dari itu disini
penulis akan membuat makalah yang berjudul “Sumber dan Dalil Hukum Urf dan
Istishab”.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana penjelasn tentang Urf?
2.
Bagaimana penjelasan tentang Istishab?
C.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui apa itu Urf
2.
Untuk mengetahui apa itu Istishab
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Urf
1.
Pengertian Urf
Menurut
bahasa, Urf berarti sesuatu yang dikenal. Menurut istilah ialah segala sesuatu
yang telah dikenal dan menjadikan kebiasaan manusia baik berupa ucapan,
perbuatan atau tidak melakukan sesuatu.[1]
Sebagian ushuliyyin, seperti al-Nasafi dari kalangan Hanafi, Ibnu Abidin, al-Rahawi
dalam Syarh kitab al-Mannar dan Ibnu Nujaim dari kitab al-Asyibah wa
al-Nazha’ir berpendapat bahwa urf sama dengan adat. Tidak ada perbedaan
diantara keduanya. Namun, sebagian ushuliyyin, seperti Ibnu Humam dan
al-Badzawi membedakan antara adat dan urf dalam membahas kedudukannya
salah satu dalil untuk menetapkan hukum syara’. Adat didefinisikan sebagai
sesuatu yang dikerjakan berulang-ulang tanpa adanya hubungan rasional.
Sedangkan urf ialah kebiasaan mayoritas kaum, baik dalam perkataan atau
perbuatan. Dalam pengertian ini adat lebih luas dibanding urf,tetapi
tidak sebaliknya. Kebisaan individu-individu atau kelompok tertentu dalam
makan, berpakaian, tidur dan sebagainya dinamakan adat, tetapi tidak disebut urf.
Tetapi dari sisi yang lain, urf lebih umum dibanding adat, sebab
adat hanya mencakup perbuatan, sedang urf mencakup perbuatan serta
ucapan sekaligus.
2.
Pembagian Urf
a. Dilihat dari
segi objeknya, urf dibagi dua, yaitu urf lafzhi dan urf amali.
1)
Urf lafzhi qauli ialah
kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan lafadz tertentu dalam mengungkapkan
sesuatu, sehingga makna ungkapan itulah yang dipahami dan terlindas di pikiran
masyarakat. Seperti kebiasaan masyarakat Arab menggunakan kata “walad” untuk
anak laki-laki dan anak perempuan. Demikian juga kebiasaan mereka menggunakan
kata “lahm” untuk daging binatang darat, padahal Al-qur’an menggunakan kata itu
untuk semua jenis daging, termasuk daging ikan[2].
2)
Urf amali ialah
kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan biasa atau muamalah
keperadaban. Seperti kebiasaan masyarakat melakukan jual beli dengan tanpa akad
(bai’ al-ta’athi), kebiasaan sewa kamar tanpa dibatasi waktu dan juq
3)
mlah air yang digunakan, kebiasaan sewa menyewa perabot rumah,
penyajian hidangan bagi tamu untuk dimakan, dan lain-lain.
b.
Dari segi cakupnya urf dibagi dua, yaitu urf amm dan urf
khash.
1)
Urf amm ialah
kebiasaan tertentu yang berlaku secara luas di seluruh masyarakat dan seluruh
daerah. Misalnya dalam jual beli mobil, seluruh alat yang diperlukan untuk
memperbaiki mobil, seperti kunci, dongkrak dan ban serepntermasuk dalam harga
jual, tanpa akad tersendiri dan biaya tambahan.
2)
Urf khas ialah
kebiasaan yang berlaku di daerah dan masyarakat tertentu, seperti kebiasaan
masyarakat Jawa merayakan lebaran ketupat, sakatenan, atau kebiasaan masyarakat
Bengkulu merayakan tabot pada bulan Muharram. Dan menurut Mustafa Ahmad Zarqa
seperti dikutip Haroen, bahwa urf khas ini tidak terhitung jumlahnya
dan senantiasa berkembang sesuai situasi
dan kondisi masyarakat.[3]
c.
Dilihat dari segi diterima atau tidaknya urf dibagi dua
yaitu:
1)
Urf Sahih ialah
urf yang tidak bertentangan dengan salah satu dalil syara’ dan dapat
diterima karena tidak bertentangan dengan syara’. Misalnya mengadakan
pertunangan sebelum akad nikah atau kebiasaan masyarakat bersalaman denagan
teman sesame jenis kelamin kala bertemu.
2)
Urf Fasid ialah
urf yang tidak baik dan tidak dapat diterima karena bertentangan dengan
syara’. Misalnya seperti kebiasaan para pedagang mengurangi timbangan.
Hukum urf yang sahih harus dipelihara dan dilestarikan
sebagai bagian dari hukum Islam. Sedangkan urf fasid harus ditinggalkan
karena bertentangan dengan dalil dan semangat hukum Islam dalam membina
masyarakat.
3)
Legalitas Al-‘Urf
Jumhur Fuqaha’ mengatakan
bahwa Al-‘Urf merupakan hujjah dan diangggap sebagai salah satu sumber
hukum syari’at. Mereka bersandar pada dalil-dalil sebagai berikut:
a.
Firman Allah
“Jadilah engkau
pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf”. (QS. Al-A’raf (7): 199).
Ayat ini
menjelaskan tentang wajibnya mengamalkan adat, sebab jika tidak wajib pastilah
Allah tidak akan menyuruh Rasulullah.
b.
Hadist Rasulullah SAW, “Apa yang dilihat kaum muslimin baik maka ia
juga baik disisi Allah”. Hadist ini menunjukkan bahwa setiap yang dianggap baik
oleh kaum muslimin maka hal itu juga baik disisi Allah dan jika memang begitu
maka wajib diamalkan dan dijadikan sandaran hukum.
c.
Syariat Islam sangat memperhatikan aspek adat kebiasaan orang Arab
dalam menetapkan hukum. Semua ditetapkan demi mewujudkan kemaslahatan bagi
khalayak ramai, seperti akad salam dan memajukan denda kepada pembunuh yang
tisdak disengaja. Selain itu, Islam juga tidak membatalkan beberapa tradisi
buruk yang membahayakan, seperti mengubur anak perempuan dan menjauhkan kaum
wanita dari harta warisan. Semua ini adalah bukti nyata bahwa syariat Islam
mengakui keberadaan adat istiadat yang baik.[4]
d.
Syariat Islam memili prinsip menghilangkan segala kesusahan dan
memudhkan urusan manusia dan mewajibkan orang untuk meninggalkan sesuatu yang
sudah mejnjadi adat kebiasaan mereka karena sama artinya dengan menjerumuskan
mereka kedalam jurang kesulitan. Agar mereka tidak terjatuh dalam jurang ini,
kita harus mengakui adat kebiasaan mereka sebagai mana firman Allah:
“Dan Dia
sekali-sekali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan”. (QS.
Al-Hajj (22): 78).
4)
Syarat-syarat Urf
Oleh
karena itu urf bukan merupakan dalil yang berdiri sendiri, melainkan
tergantung oleh dalil asli hukum syara’, maka ada sejumlah persyaratan yang
harus dipenuhi bagi penggunaan urf tersebut, yaitu:
a.
Urf tersebut harus
benar-benar merupakan kebiasan masyarakat. Maksudnya kebiasaan sejumlah orang
tertentu dalam masyarakat tidak dikatakan urf. Adanya sejumlah lain yang
tidak melakukan kebiasaan itu menunjukkan adanya pertentangan di dalam
masyarakat itu sendiri dalam memandang kebiasaan masyarakat tersebut. Jika
demikian, berarti kebaikan dari kemaslahatan itu hanya diterima oleh sebagian
masyarakat, sedang sebagian yang lain menolaknya. Karena, urf semacam
ini belum dapat dijadikan hujjah.
b.
Urf tersebut harus
masih tetap berlaku pada saat hukum yang didasarkan pada urf tersebut
ditetapkan. Jika urf telah berubah, maka hukum tidak dapat dibangun di
atas urf tersebut.
c.
Tidak terjadi kesepakatan untuk tidak memberlakukan urf oleh
pihak-pihak yang terlibat didalamnya. Misalnya kalau dua orang membuat kontrak,
dan didalam kontraknya itu dia sepakat untuk tidak menggunakan urf tetapi
menggunakan hukum lain yang disepakatinya, maka urf dalam hal lain tidak
mengikat pihak-pihak tersebut.
5)
Urf dalam Penerapan Hukum
Disamping
memiliki kedudukan penting dalam penetapan hukum urf juga memiliki
kedudukan penting dalam menerapkan suatu hukum. Sebagaimana diketahui hukum
Islam memiliki dua sisi, yaitu sisi penetapan (istinbath) dan sisi penerapan
(tathbiq). Keduanya bisa berjalan paralel juga bisa, bisa juga tidak.
Misalnya
dalam surah At-Thalaq ayat (2) Allah menegaskan persyaratan saksi adalah orang
yang memiliki sikap adil. Secara penetapan ayat tersebut sudah jelas dan tidak
meninmbulkan masalah. Orang yang adil adalah orang yang padanya melekat sikap
taqwa dan mura’ah. Orang yang tidak memiliki ketaqwaan dan tidak menjaga
mura’ah bukanlah orang yang adil. Namun dalam penerapannya, ukuran orang yang
menjaga muru’ah itu berbeda beda sesuai perbedaan waktu dan tempat. tidak
menutup kepala misalnya, disatu tempat dipandang menghilakan mura’ah, tetapi
ditempat yang lain tidak. Demikian juga kewajiban suami memberi nafkah istri
secara ma’ruf yang terdapat dalam surah Al-Baqarah ayat (233), ukuran ma’ruf
disini berbeda beda sesuai kemampuan suami, sebab tidak ada nas yang
menjeklaskan berapa kadar nafkah yang ma’ruf itu. Segala sesuatu yang
diwajibkan oleh Allah, dan Allah tidak menjelaskan kadarnya, maka ukurannya
dikembalikan kepada urf, seperti ukuran besarnya mahar.
6)
Perubahan Hukum karena Perubahan Urf
Diantara
hukum Islam terdapat hukum yang disyariatkan berdasarka urf tertentu.
Hukum-hukum yang demikian dapat berubah manakala urf yant menjadi dasar
penetapan hukum tersebut berubah. Misalnya kebiasaan pesta ulang tahun yang
diselenggarakan oleh kalangan tertentu dengan dansa dan minuman keras adalah
haram hukunya. Tetapi jika perayaan ulang tahun dilakukan untuk mensyukuri
kelahirannya dan sebagai manifestasi rasa hormat kepada orang tua yang telah
bersusah payah mengandung dan melahirkannya, maka hukumnya boleh. Demikian juga
kebiasaan orang jahiliyah yang melakukan ziarah kubur dengan melakukan
kesyirikan didalamnya, dilarang oleh Rasulullah. Tetapi, ketika tradisi
tersebut berubah menjadi sarana mendoakan orang yang sudah meniggal dan
mengingatkan peziarah pada kematian, maka dibolehkan. [6]
7)
Qaidah-Qaidah yang Berkaitan dengan ‘Urf
a. Adat itu dapat
dijadikan hukum
b. Apa yang biasa diperbuat
orang banyak, merupakan hujjah yang wajib diamalkan
c. Adat yang
diperhitungkan hanyalah adat yang biasa berlaku atau dominan berlaku
d. Adat yang
diperhitungkan adalah adat yang dominan, bukan yang jarang
e. Hakikat itu
dapat ditinggalkan dengan petunjuk adat
f. Tulisan itu
seperti ucapan
g. Isyarat orang
bisu yang dapat dipahami itu seperti keterangan lisan
h. Yang dianggap
baik oleh adat itu seperti sesuatu yang disyaratkan
i.
Penentuan sesuatu berdasarkan ‘urf itu seperi penentuan dengan nash
j.
Sesuatu yang dipersyaratkan diantara para pedagang itu sama dengan
sesuatu yang dipersyaratkan diantara mereka
k. Tidak dapat
dipungkiri terjadinya perubahan hukum disebabkan perubahan masa [7]
B.
Istishab
1.
Pengertian Istishab
Istishab menurut bahasa adalah menemani sesuatu. Sedangkan menurut istilah ushuliyyin
ialah menetapkan sesuatu menurut keadaan sebelumnya sampai ada dalil yang
merubah keadaanya atau menjadikan hukum yang ditetapkan terdahulu tetap berlaku
pada masa sekarang sampai ada dalil yang merubah keadaanya. [8]
2.
Kehujjahan Istishab
Istisahab
adalah salah satu dalil yang diperselisihkan oleh para ulama. Sebagian ulama
seperti Hanafiah berpendapat bahwa istishab adalah dalil hukum Islam
dalam hal menetapkan atau melestarikan apa yang sudah ada dan menolak apa yang
berbeda dengannya. Sebaliknya, menurut Hanabilah dan Syafi’iyah istishab
adalah dalil dalam menolak dan menetapkan sesuatu. Perbedaan kedua konsep
tersebut akan lebih jelas dengan contoh kasus orang yang hilang dan tak
diketahui keberadaan dan keadaanya. Menurut Hanafiyah orang tersebut tetap dihukumi
masih hidup dalam kaitannya dengan harta serta hak-hak yang melekat padanya
pada saat orang tersebut hilang. Karena itu, hartanya tidak dapat diwarisi dan
istrinya tak dapat ditalak bain. Tetapi, keadaan hidup menurut hukum tersebut
tidak dapat dijadikan dasar menerima atau memperoleh hak baru, seperti menerima
warisan dari keluarganya yang meninggal lebih dulu darinya. Namun, menurut
pendapat Hanabilah dan Syafi’iyah ia boleh menerima harta warisan dari
keluarganya yang meninggal lenbih dahulu. Sebagian ulama yang menggunakan
istishab sebagai hujjah mengemukakan dalil dari surah Al-Baqarah ayat (29) yang
artinya “Dialah Allah yang menjadikan segala yang ada dibumi untuk kamu”.
Istishab pada
hakikatnya tidaklah menetapkan hukum baru, tetapi hanya melestarikan atau
mempertahankan hukum yang sudah ada agar tetap berlaku sampai ada dalil lain
yang merubahnya. Karena itu istishab sesungguhnya bukanlah dalil atau
sumber hukum Islam, namun hanya merupakan indicator tetap berlakunya hukum yang
ditetapkan berdasarkan dalil syar’i. karena itu, istishab hanya boleh
digunakan dimana dalam satu masalah tidak ditemukan dalil yang khusus.[9]
3. Pembagian
Istishab
a.
Dari segi bentuknya, istishab dapat dibedakan menjadi lima,
yaitu:
1)
Melestarikan hukum boleh pada segala sesuatau yang menurut asalnya
boleh (tidak dilarang), seperti kebolehan memakan makanan yang baik-baik,
memakai pakaian yang indah-indah
2)
Melestarikan hukum yang berlaku umum sampai ada dalil yang
menghususkan dan memberlakukan suatu nas sebelum ada dalil lain yang
menasikhkannya
3)
Melestarikan sesuatu yang ditetapkan oleh akal dan syara’, seperti
adanya hak milik harta berdasarkan akad. Keberadaan hak milik harta sebagai
akibat dari adanya akad tersebut diakui oeleh akal dan syara’.
4)
Melestarikan hukum ketiadaan sesuatu yang menurut asalnya memang
tidak ada, seperti tidak adanya keterikatan kita pada syari’at umat sebelum
kita. Karena menurut asalnya, syari’at umat sebelum kita tersebut tidak
diwajibkan bagi kita.
5)
Melestarikan hukum yang ditetapkan berdasarkan ijma’ yang
diperselisihkan para ulama, seperti sesuatu yang disepakati para mujtahid, kemudian sifat atau keadaan
sesuatu yang di ijma’kan tersebut berubah.
b.
Dari segi dasar pengambilannya istishab dapat dikelompokkan
menjadi dua macam, yaitu:
1)
Istishab berdasarkan
hukum akal dalam hal ibahah atau bara’ah asliyah. Ini terkaiit
dengan prinsip bahwa segala sesuatu di muka bumi ini pada dasarnya adalah
halal, samapai ada dalil yang mengharamkannya atau melarangnya. Contoh ibahah
misalnya, setiap makanan dan minuman yang tidak ditunjuk oleh dalil yang
mengharamkannya adalah mubah. Contoh bara’ah asliyah adalah jika dua
orang melakukan perjanjian kerjasama satu pihak sebagai modal (Sahibal-Mal) dan
pihak yang lain sebagai pekerja (Mudharib), jika mudharib mengklaim bahwa
usahanya belum mendatangkan keuntungan, sementara sahib al-mal-nya
mengklaim sebaliknya, maka berdasarkan bara’ah asliyah klaim mudharib
yang dimenangkan, sampai ada bukti bahwa usahanya benar-benar untung.
2)
Istishab berdasarkan
hukum syara’ yang sudah ada dalilnya dan tidak ada suatu dalilpun yang
merubahnya. Misalnya jika seseorang sudah dalam keadaan suci, maka dia
diperbolehkan melakukan shalat. Jika pada waktu berikutnya dia ragu apakah
sudah batal ataukah masih suci, maka orang tersebut tetap dihukumi suci, sampai
ada bukti bahwa yang bersangkutan sudah batal wudhunya.[10]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Menurut bahasa, Urf berarti sesuatu yang dikenal. Menurut
istilah ialah segala sesuatu yang telah dikenal dan menjadikan kebiasaan
manusia baik berupa ucapan, perbuatan atau tidak melakukan sesuatu. Dilihat
dari segi objeknya, urf dibagi dua; a) Urf lafzhi qauli, b) Urf
amali. Dari segi cakupnya urf dibagi dua, yaitu urf amm dan urf
khash.Dilihat dari segi diterima atau tidaknya urf dibagi dua yaitu:
a) Urf Sahih, b)Urf Fasid. persyaratan yang harus dipenuhi bagi
penggunaan urf, yaitu: a) Urf tersebut harus benar-benar
merupakan kebiasan masyarakat. b) Urf tersebut harus masih tetap berlaku
pada saat hukum yang didasarkan pada urf tersebut ditetapkan. c) Tidak
terjadi kesepakatan untuk tidak memberlakukan urf oleh pihak-pihak yang
terlibat didalamnya. d) Urf tersebut tidak bertentangan dengan nash atau
prinsip-prinsipbumum syariat. Dan memiliki 11 qaidah.
Istishab
menurut bahasa adalah menemani sesuatu. Sedangkan menurut istilah ushuliyyin
ialah menetapkan sesuatu menurut keadaan sebelumnya sampai ada dalil yang
merubah keadaanya atau menjadikan hukum yang ditetapkan terdahulu tetap berlaku
pada masa sekarang sampai ada dalil yang merubah keadaanya. Dari segi
bentuknya, istishab dapat dibedakan menjadi lima, yaitu: a) Melestarikan
hukum boleh pada segala sesuatau yang menurut asalnya boleh (tidak dilarang),
b)Melestarikan hukum yang berlaku umum sampai ada dalil yang menghususkan dan
memberlakukan suatu nas sebelum ada dalil lain yang menasikhkannya c)
Melestarikan sesuatu yang ditetapkan oleh akal dan syara’, seperti adanya hak
milik harta berdasarkan akad. d) Melestarikan hukum ketiadaan sesuatu yang
menurut asalnya memang tidak ada e) Melestarikan hukum yang ditetapkan
berdasarkan ijma’ yang diperselisihkan para ulama. Dari segi dasar
pengambilannya istishab dapat dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu: a)
Istishab berdasarkan hukum akal dalam hal ibahah atau bara’ah
asliyah.b) Istishab berdasarkan hukum syara’ yang sudah ada dalilnya dan
tidak ada suatu dalilpun yang merubahnya.
Daftar Pustaka
Hasan Rosyad,
Tarikh Tasyri’(Jakarta:Amzah,2016).
Suwarjin, Ushul
Fiqih(Yogyakarta:Teras,2012).
Syukur
Asywadie, Pengantar Ilmu Fikih dan Ushul Fikih(Surabaya: PT. Bina Ilmu,1990).
[1] Suwarjin, Ushul Fiqih(Yogyakarta:Teras,2012), 148.
[2] Ibid.149
[3]Ibid,149-151.
[4] Rosyad Hasan, Tarikh Tasyri’(Jakarta:Amzah,2016), 167.
[5] Ibid, 153-154.
[6] Ibid, 155
[7] Ibid, 157-158.
[8] Asywadie Syukur, Pengantar Ilmu Fikih dan Ushul Fikih(Surabaya: PT.
Bina Ilmu,1990), 116.
[9] Ibid, 165-166.
[10] Ibid, 168.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar