A.
Asal Usul Bangsa Arab
Bangsa
Arab berasal dari ras Samiyah dan terbagi kepada dua suku. Pertama, suku Arab al-Baidah , yaitu bangsa Arab yang sudah punah
seperti kaum ‘Ad dan Tsamud. Kedua,
suku Arab al-Baqiyah, yaitu bangsa Arab yang masih hidup sampai sekarang,
terdiri dari keturunan Qahthan dan Adnan.
Negeri
asli keturunan Qahthan adalah Arabia Selatan, di antara mereka ada yang muncul
menjadi Raja, seperti Raja Yaman, Raja Saba’ dan Raja Himyar. Tetapi semenjak
bendungan Saba’ rusak, di antara mereka ada yang mengembara ke utara dan
malahan dapat membentuk kerajaankerajaan, seperti Hirah dan Ghasasinah.
Termasuk suku Aus dan Khazraj yang mendiami Madinah juga berasal dari suku
Qahthan ini.
Adapun
keturunan Adnan, mereka disebut juga Arab Musta’ribah artinya percampuran antara
darah Arab asli yang mendiami Makkah dengan darah pendatang, yaitu Nabi Isma’il
AS. Salah satu anaknya adalah Adnan yang menurunkan keturunan Quraisy, kemudian
keturunan Abd al-Muthalib, kakek Nabi Muhammad
SAW yang lebih dikenal dengan keturunan bani Hasyim. Itulah sebabnya silsilah Nabi Muhammad s.a.w.
dapat ditelusuri sampai ke atas terus kepada Nabi Isma’il AS
B.
Agama dan Kepercayaan
Mayoritas
penduduk Jazirah Arab di masa Jahiliyah menyembah berhala, sedangkan minoritas di antara mereka ada
orang Yahudi di Yatsrib, orang Kristen Najran di Arabia Selatan dan sedikit
yang beragama Hanif di Makkah. Agama berhala dibawa pertama kali dari Syam ke
Makkah oleh ‘Amru bin Luhay, dan diterima sebagai agama baru oleh Bani
Khuza’ah, satu keturunan dengan ‘Amru, di saat itu pemegang kendali Ka’bah.
Kemudian agama berhala ini berkembang pesat sehingga menjadi agama mayoritas
penduduk kota Makkah. Setiap kabilah
mempunyai berhala sendiri. Jenis dan bentuk berhala bermacam-macam, tergantung
pada persepsi mereka tentang tuhannya. Berhala-berhala tersebut dipusatkan
mereka di Ka’bah. Di kalangan orang Badwi, mereka menyembah pohon, bulan dan
bintang, sebab menurut mereka kehidupan mereka diatur oleh bulan dan bintang
bukan matahari, bahkan matahari menurut mereka merusak tanaman dan ternak
mereka.
C.
Pemerintahan
Terdapat
dua Negara adi kuasa di masa Jahiliyah, yaitu kerajaan Bizantium Romawi di
barat dan kerajaan Persia di timur. Selama zaman Jahiliyah, seluruh Simenanjung
Arabia, menikmati kemerdekaan penuh, kecuali daerah utara (Palestina, Libanon,
Yordania dan Syam) berada dibawah kekuasaan Bizantium dan Irak berada di bawah
kekuasaan Persia. Mungkin karena kegersangannya, dua negara adi kuasa Bizantium
dan Persia tidak tertarik menjajah Arab, kecuali daerah utara yang tunduk di
bawah kekuasaan mereka.
Di
kalangan orang Arab Badwi tidak ada pemerintahan. Kesatuan politik mereka
bukanlah bangsa, tetapi suku yang dipimpin kepala suku yang disebut Syaikh.
Mereka sangat menekankan hubungan kesukuan sehingga kesetiaan atau solidaritas
kelompok menjadi sumber kekuatan bagi suatu kabilah atau suku. Bagi
masing-masing suku terdapat seorang pemimpin (Syaikh). Dalam memilih pemimpin
kriteria yang dipakai adalah pemberani, pemurah, cerdas, arief dan bijaksana.
Karena tidak adanya pemerintahan pusat hubungan antar suku selalu dalam
konflik. Peperangan antara suku sering terjadi.
D.
Ekonomi
Pada
masa pemerintahan kerajaan Saba’ dan Himyar di Jazirah Arab selatan, kegiatan
perdagangan orang Arab meliputi laut dan darat. Kegiatan perdagangan di laut
mereka pergi ke India, Tiongkok dan Sumatera dan kegiatan perdagangan di darat
ialah di Jazirah Arab.
Akan tetapi setelah Yaman dijajah oleh bangsa
Habsyi dan bangsa Persia, maka kaum penjajah itu menguasai kegiatan perdagangan
di laut, sedangkan perdagangan di darat berpindah ke tangan orang Makkah. Ada
beberapa faktor yang menyebabkan Makkah berkembang menjadi kota perdagangan. Pertama, orang Yaman banyak yang
berpindah ke Yaman, sedang mereka telah berpengalaman dalam perdagangan. Kedua, di kota Makkah dibangun Ka’bah
setiap tahun jama’ah-jama’ah berdatangan ke Makkah melakukan haji yang membuat
Makkah semakin masyhur. Ketiga, letak
Kota Makkah berada di tengah-tengah tanah Arab antara utara dengan selatan. Keempat, daerahnya yang gersang membuat
penduduknya suka merantau untuk berdagang.
Ada empat putera Abd al-Manaf yang selalu
mengadakan perjalanan dagang ke empat tempat terpenting, yaitu Hasyim
mengadakan perjalanan ke negeri Syam, Abd Syam ke Habsyi, Abd al-Muththalib ke
Yaman dan Naufal ke Persia. Perdagangan-perdagangan orang Quraisy yang pergi ke
negeri-negeri tersebut mendapat perlindungan dari keempat putera Abd al-Manaf
itu, karena itu tidak ada seorangpun yang berani mengganggu mereka.
Dengan demikian, terdapat empat tempat
perdagangan orang Quraisy, yaitu ke utara dan selatan, mereka pergi ke Syam dan
Yaman, kemudian ke barat dan timur, mereka pergi ke Habsyi dan Persia.
Sedangkan pusat perdagangan mereka berada di Makkah.
Hasyim
bin Abdi Manaf bin Qushai adalah seorang negarawan yang cakap, dia melakukan
usaha-usaha memperkembangkan pemerintahan Quraisy. Mengadakan
persetujuan-persetujuan dagang dengan Negara-negara tetangga, seperti Ghassani
dan Bizantium, juga membuka jalur perdagangan baru dan membentuk dua qabilah
dagang yang dikirim, masing-masing ke Yaman pada musim dingin dan ke Syria pada
musim panas.
Di
Yaman, pada musim dingin kafilah dagang bangsa Arab membawa minyak wangi,
kemenyan, kain sutera, kulit, senjata, rempah-rempah, cengkeh, palawija dan
lain-lain. Di antara barang-barang tersebut ada yang dihasilkan di Yaman, ada
pula yang di datangkan dari Indonesia, India dan Tiongkok.
Di Syria atau Syam, kafilah-kafilah dagang
tersebut di atas membawa barang-barang dagangan mereka ke Syam. Di waktu
kembali, kafilah-kafilah itu membawa gandum, minyak zaitun, beras, jagung dan
tekstil dari Syam. Abu Thalib, paman Nabi juga pernah membawa Muhammad
berdagang ke Syam. Selain itu, Muhammad juga membawa barang dagangan Khadijah
ke Syam yang ditemani oleh hamba sahayanya, Maisyarah.
Adapun
barang-barang perdagangan terpenting dalam jalur perdagangan timur barat,
kafilah-kafilah dagang Arab membawa rempah-rempah dari Habsyi untuk
diperdagangkan di Persia, juga mereka berdagang mutiara di Persia yang
dikeluarkan dari Selat Persia.
E.
Sosial Budaya
Kaum
wanita dianggap sebagai benda mati yang tidak mempunyai hak apapun, termasuk
hak untuk dihormati. Seseorang bisa mengawini wanita berapa pun dia suka, dan
dapat menceraikannya kapan saja dia mau. Bila seorang ayah diberi tahu bahwa
anaknya yang lahir seorang wanita, dia sedih bercampur marah. Kadang-kadang
bayi wanita itu dikubur hidup-hidup. Kehidupan yang keras dan menantang
mendorong mereka untuk memiliki anak laki-laki saja. Walaupun begitu, tidak
semua perempuan mereka bunuh.
Wanita
boleh menikah lebih dari seorang suami (poliandri). Sedang wanita bersuami
memperbolehkan suaminya berhubungan dengan wanita lain untuk memperoleh
keturunan. Ibu tiri kadangkadang dikawini anak tirinya. Saudara laki-laki
terkadang mengawini saudari perempuannya. Gadis-gadis nakal terbiasa pergi ke
daerah-daerah pinggiran untuk bersenang-senang dengan laki-laki lain.
Memiliki
hamba sahaya menjadi salah satu ciri masyarakat Arab. Mereka memperlakukan
hamba sahaya secara tidak manusiawi. Karena mereka memiliki hak penuh atas
hidup matinya, fisik maupun mentalnya. Kehidupan jahiliyah sesungguhnya
manifestasi dari kehidupan barbarisme, karena ketimpangan sosial, penganiayaan,
meminum minuman keras, perjudian, pelacuran dan pembunuhan merupakan
pemandangan yang biasa dalam kehidupan sosial mereka sehari-hari.
Dalam
bidang budaya, bangsa Arab terkenal dengan kefasihan lidahnya. Ciri khas
manusia ideal bangsa Arab, adalah “kefasihan lidah, pengetahuan tentang senjata
dan kemahiran menunggang kuda”. Maka tidak mengherankan bila seni sastra,
terutama puisi sangat berkembang pesat di kala itu.
1.
SEJARAH NABI MUHAMMAD SAW
A.
Periode Makkah
1)
Sebelum Diangkat Menjadi Rasul
Nabi
Muhammad s.a.w lahir pada hari Senin tanggal 20 April 571 M tahun Gajah di
suatu tempat yang tidak jauh dari Ka’bah, ia berasal dari kalangan bangsawan
Quraisy dari Bani Hasyim, sementara masih ada bangsawan Quraisy yang lain,
yaitu Bani Umaiyah. Tapi Bani Hasyim
lebih mulia dari Bani Umaiyah. Ayahnya Abdullah bin Abdul Muththalib dan
ibunya Aminah binti Wahab. Garis nasab ayah dan ibunya bertemu pada Kilab bin
Murrah. Apabila ditarik ke atas, silsilah keturunan beliau baik dari ayah
maupun ibunya sampai kepada Nabi Isma’il AS dan Nabi Ibrahim AS.
Ketika
ia masih tiga bulan dalam kandungan Ayahnya meninggal dunia pada saat pergi
berniaga ke Yatsrib, sementara ibunya Aminah wafat di Abwa sewaktu pulang dari
menziarahi makam Abdullah, ketika itu ia berusia 6 tahun. Kakeknya Abdul
Muthalib mengasuhnya selama dua tahun, kemudian kakeknya itu pun meninggal
dunia pula dalam usianya 8 tahun, dan ia diasuh oleh pamannya Abu Thalib. Dari
kisah Nabi tersebut dapat diketahui bahwa tanggung jawab hak asuh anak apabila
ayahnya meninggal berturut-turut dari ibu ke kakek,
kemudian ke paman.
Ada
dua jenis pekerjaan yang dilakukannya sebelum menjadi Rasul. Pertama, mengembala kambing ketika ia
bersama ibu susuannya Halimahtus Sa’diyah tinggal di desa. Kedua, berdagang ketika ia tinggal bersama pamannya, ia mengikuti
pemannya berdagang ke negeri Syam, sampai ia dewasa dan dapat berdiri sendiri.
Sebagai
seorang pedagang, selainia berdagang dengan pamannya,ia juga melakukan
kerjasama dagang dengan Khadijah, seorang janda kaya. Khadijah memberinya modal
untuk berdagang ke negeri Syam, dan beliau memperoleh untung besar. Khadijah
tertarik pada kejujuran dan akhlaknya yang baik, dan ingin menjadi suaminya,
setelah sebelumnyaia berkali-kali menolak pinangan bangsawan Quraisy.
Dari
dua pekerjaan yang dilakukan Nabi menjelang usiannya 25 tahun memberi modal
kepadanya untuk dapat hidup lebih mandiri kelak. Mengembala kambing adalah
pekerjaan yang memerlukan kesabaran kuat, sementara berdagang melatih kejujuran
di saat sulitnya mencari orang yang jujur waktu itu. Dalam usia 25 tahun, Abu
Thalib menawarkan keponakannya itu kepada Khadijah binti Khuwailid. Tawaran Abu
Thalib diterima Khadijah. Pernikahan Nabi dengan Khadijah binti Khuwailid
berlangsung ketika Muhammad berusia 25 tahun dan Khadijah 40 tahun dengan mahar
20 ekor unta.
2)
Diangkat Menjadi Rosul
Menjelang
usia 40 tahun, selama satu bulan dalam setiap tahun Muhammad mengasingkan diri
ke Gua Hira’ untuk merenungi alam dengan ciptaannya. Istrinya Khadijah memberi
dukungan penuh terhadap keinginannya tersebut. Disediakannya makanan untuk
dibawa suaminya Muhammad sebagai bekal ke Gua Hira’ itu.
Demikianlah
dilakukan Muhammad setiap tahun. Ketika usianya 40 tahun, pada tanggal 17
Ramadhan 611 M, malaikat Jibril mendatanginya menyampaikan wahyu Allah yang
pertama surat al-Alaq (ayat 1-5). Berarti secara simbolis Muhammad telah
dilantik sebagai Nabi akhir zaman.
3)
Tahap-Tahap Dakwah
Rasulullah
berdakwah melalui beberapa tahap. Pertama,
secara diam-diam di lingkungan keluarga dan sahabat dekatnya. Diterima oleh
istrinya Khadijah, anak pamannya Ali, anak angkatnya Zaid bin Hãritsah, serta
sahabat dekatnya Abu Bakar. Melalui Abu Bakar, masuk Islam pula Utsman bin
Affan, Zubeir bin Awwam, Saad bin Abi Waqqas, Abdurrahman bin Auf, Talhah bin Ubaidillah,
Abu Ubaidah bin Jarrah, dan beberapa budak dan fakir miskin. Dakwah ini
berlangsung selama tiga tahun.
Kedua, dakwah kepada
keturunan Abdul Muthalib. Hal ini dilakukan setelah turunnya wahyu ketiga,
sûrah AlSyu’ara’ (ayat 214). Nabi mengumpulkan dan mengajak mereka supaya
beriman. Akan tetapi Abu Lahab beserta istrinya mengutuk Nabi, sehingga turun
Sûrah al-Masad (ayat 1-5).
Ketiga, dakwah kepada
semua orang setelah wahyu Allah sûrah al-Hijir (ayat 94). Pada tahap ini dakwah
ditujukan kepada semua lapisan masyarakat, tidak terbatas hanya kepada penduduk
Makkah saja, tetapi juga termasuk orangorang yang mengunjungi kota itu.
4)
Tantangan Kaum Quraisy
Kaum
Quraisy menentang dakwah Nabi dengan bertahap. Pertama, membujuk, karena kekuatan Nabi terletak pada perlindungan
Abu Thalib yang amat disegani itu. mereka meminta Abu Thalib memilih satu di
antara dua: yaitu memerintahkan Muhammad agar berhenti dari dakwahnya atau
menyerahkannya kepada mereka untuk dibunuh. Abu Thalib mengharapkan Muhammad
agar menghentikan dakwahnya. Namun Nabi menolak dengan mengatakan “Demi Allah
saya tidak akan berhenti memperjuangkan amanat Allah ini. Walaupun seluruh
anggota keluarga dan sanak saudara mengucilkan saya”. Abu Thalib sangat terharu
mendengarkan jawaban keponakannya itu, kemudian ia berkata “Teruskanlah, demi
Allah aku akan terus membelamu”.
Merasa
gagal dengan cara ini, kaum Quraisy kemudian mengutus Walid bin Mughirah dengan
membawa Umarah bin Walid, seorang pemuda yang gagah dan tampan untuk
dipertukarkan dengan Nabi Muhammad s.a.w. Walid bin Mughirah berkata kepada Abu
Thalib “Ambillah dia menjadi anak saudara, tetapi serahkan Muhammad kepada kami
untuk kami bunuh”. Usul ini langsung ditolak keras oleh Abu Thalib.
B.
Periode Madinah
1)
Hijrah ke Yatsrib
Setelah
mendapat perintah hijrah dari Allah Swt. Rasulullah menemui sahabatnya Abu
Bakar agar mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan dalam perjalanan. Nabi
juga menemui Ali dan meminta kepadanya agar tidur di kamarnya guna mengelabui
musuh yang berencana membunuhnya. Senin malam Selasa itu, Nabi ditemani Abu Bakar dalam perjalanan menuju
Yatsrib. Keduanya singgah di Gua Tsur, arah selatan Makkah untuk menghindar
dari pengejaran orang kafir Quraisy. Mereka bersembunyi di situ selama tiga
malam.
Pada
malam ketiga mereka keluar dari persembunyiannya dan melanjutkan perjalanan
menuju Yatsrib bergerak ke arah barat menuju laut merah melawati jalan yang
tidak biasa dilewati qabilah dagang ketika itu. Setelah tujuh hari dalam
perjalanan Nabi Muhammad s.a.w, dan Abu Bakar sampai di Quba. Ketika tiba
di Quba, sebuah desa yang jaraknya
sekitar 10 Km dari Yatsrib, Nabi istirahat beberapa hari lamanya. Ia menginap
di rumah Kalsum bin Hindun.
Di
halaman rumah ini Nabi membangun sebuah mesjid yang pertama kali dibangunnya
yang dikenal dengan masjid Quba. Tak lama kemudian Ali Makkah, sementara itu
penduduk Yatsrib menunggu-nunggu kedatangan mereka, akhirnya yang mereka tunggu
itu datang mereka sambut dengan penuh sukacita.
Pada
hari Jum’at 12 Rabiulawwal 13 Kenabian / 24 September 622 M, Nabi meninggalkan
Quba, di tengah perjalanan di perkampungan Bani Salim, Nabi melaksanakan shalat
Jum’at pertama di dalam sejarah Islam. Sesudah melaksanakan shalat Jum’at, Nabi
melanjutkan perjalanan menuju Yatsrib dan disambut oleh Bani Najjar.
2)
Membangun Masyarakat Islam
Guna
membina masyarakat yang baru itu, Nabi meletakkan dasar-dasar kehidupan
bermasyarakat di kalangan internal umat Islam. Pertama, pembangunan mesjid. Setiap kabilah sebelum Islam datang,
mereka memiliki tempat pertemuan sendiri-sendiri. Nabi menginginkan agar
seluruh umat Islam hanya memiliki satu tempat pertemuan.
Maka
beliau membangun sebuah masjid yang diberi nama “Baitullah”. Di masjid ini,
selain dijadikan tempat shalat, juga
belajar, tempat bermusyawarah merundingkan masalah-masalah yang dihadapi,
bahkan juga berfungsi sebagai pusat pemerintahan.
Kedua, Nabi
mempersaudarakan antara golongan Muhajirin (muslim asal Makkah) dan kaum Ansar
(muslim Madinah). Dengan demikian, setiap muslim terikat dalam suatu persaudaraan
dan kekeluargaan. Abu Bakar, misalnya, dipersaudarakan Nabi dengan Kharijah bin
Zaid, Ja’far bin Abi Thalib dengan Mu’az bin Jabal. Hal ini berarti Rasulullah
menciptakan suatu bentuk persaudaraan yang baru, berdasarkan agama,
menggantikan persaudaraan berdasarkan kesukuan, di zaman jahiliah.
3)
Mengadakan Perjanjian Dengan Non-Muslim/ Konstitusi Madinah
Penduduk
Madinah di awal kedatangan Rasulullah terdiri dari tiga kelompok, yaitu bangsa
Arab muslim, bangsa Arab non-muslim dan orang Yahudi. Untuk menyelaraskan
hubungan antara tiga kelompok itu, Nabi mengadakan perjanjian dalam piagam yang
disebut “Konstitusi Madinah”, yang isinya antara lain:
Pertama, Semua
kelompok yang menandatangani piagam merupakan suatu bangsa.
Kedua, Bila salah satu kelompok diserang musuh, maka kelompok lain wajib untuk
membelanya.
Ketiga, Masing-masing kelompok tidak dibenarkan
membuat perjanjian dalam bentuk apapun dengan orang Quraisy.
Keempat, Masing-masing
kelompok bebas menjalankan ajaran agamanya tanpa campur tangan kelompok lain.
Kelima, Kewajiban
penduduk Madinah, baik kaum Muslimin, non-Muslim, ataupun bangsa Yahudi, saling
bantu membantu moril dan materiil.
Keenam, Nabi Muhammad
adalah pemimpin seluruh penduduk Madinah dan dia menyelesaikan masalah yang timbul
antar kelompok.
Berdasarkan
konstitusi di atas, dapat diketahui bahwa Nabi telah membentuk negara Islam di
Madinah dan Rasulullah menjadi kepala pemerintahannya yang mempunyai otoritas
untuk menyelesaikan segala masalah yang timbul berdasarkan konsitusi.
4)
Permusuhan Kafir Quraisy dengan
Nabi
Meskipun
Nabi dan umat Islam telah meninggalkan Makkah, tetapi kafir Quraisy tidak
menghentikan permusuhannya karena jika Islam berkembang di Madinah bukan hanya
mengancam kepercayaan mereka tetapi juga ekonomi. Sebab letak Madinah berada di
jalur dagang mereka ke Syam.
Maka
tidak mengherankan jika terjadi peperangan antara umat Islam dengan kafir
Quraisy selama 8 tahun dalam puluhan kali pertempuran. Yang terpenting di
antaranya adalah: Perang Badar, Perang Uhud, Perang Ahzab, Perjainjian
Hudaibiyah, Masa Gencatan Senjata, Penaklukan Kota Makkah.
5)
Permusuhan Yahudi dengan Nabi
Seperti
telah disebutkan bahwa pada mulanya
orang Yahudi termasuk di antara orang
yang menantinantikan kedatangan Nabi Muhammad s.a.w., tetapi karena Nabi
berasal dari bangsa Arab, mereka menolaknya. Sewaktu Rasulullah mengadakan
konstitusi Madinah mereka termasuk yang ikut serta menandatangani perjanjian
tersebut, tetapi tidak dengan hati yang jujur dan melanggarnya. Kedengkian
mereka semakin bertambah kepada umat Islam setelah mereka menyaksikan pesatnya
perkembangan Islam di Madinah.
Mereka
memusuhi Islam dengan bertahap. Mula-mula bergabung dengan orang Quraisy,
dengan tipu muslihat agar orang Arab sendiri yang menghancurkan orang Arab dengan
pedang mereka. Kemudian mereka dengan terang-terangan memusuhi Islam.
6)
Nabi Wafat
Tiga
bulan setelah Nabi kembali ke Madinah, beliau menderita sakit. Abu Bakar
disuruh Nabi mengimami kaum muslimin dalam sholat sebanyak tiga kali, bila
beliau tidak sanggup melakukannya. Sakit Nabi itu berlangsung selama 14 hari.
Akhirnya beliau menghembuskan nafas terakhir pada hari Senin, 12 Rabiul Awwal
11 H, dalam usia 63 tahun di rumah istrinya ‘Aisyah.
Kaum
muslimin yang diberitahukan atas wafatnya Nabi itu dicekam kebingungan, tetapi
Abu Bakar tampil membacakan ayat al-Qur’an Surat Ali ‘Imran ayat 144, dan
berpidato: “wahai manusia, barang siapa memuja Nabi Muhammad, maka Nabi
Muhammad telah wafat. Tetapi barang siapa memuja Allah Swt. maka Allah Swt.
hidup selama-lamanya.
Dari perjalanan sejarah Rasulullah
di atas, dapat disimpulkan bahwa Nabi Muhammad s.a.w. di Makkah hanya sebagai
seorang Rasul. Sedang di Madinah selain sebagai Rasul pemimpin agama, Nabi juga
seorang Kepala Negara, komandan perang, pemimpin politik dan adminstrator yang
cakap, sehingga dalam waktu 10 tahun beliau berhasil mewujudkan penduduk sahara
itu ke dalam kekuasaannya. Wa Allah A’lam.
2.
KHULAFA’ RASYIDUN
A.
Abu Bakar Siddiq (11-13 H / 632 – 634 M)
1)
Riwayat Singkat
Nama lengkapnya adalah Abdullah bin
Utsman bin ‘Amir bin ‘Amr bin Ka’ab bin Sa’id bin Taim bin Murrah alTamimi,
yang lebih dikenal dengan Abd al-Ka’bah di masa Jahiliyah. Dia dilahirkan di
Makkah dua tahun beberapa bulan setelah tahun gajah, berarti beliau lebih muda
dua tahun dari Rasulullah s.a.w. Dia terkenal sebagai seorang yang berprilaku
terpuji, tidak pernah minum khamar dan selalu menjaga kehormatan diri.
2)
Diangkat Menjadi Khalifah
Abu
Bakar mengusulkan agar pemimpin baru itu dijabat oleh orang Muhajirin dan
wakilnya dari kaum Anshar, tetapi orang Anshar menolak usul itu. mereka
mengusulkan agar diangkat dua orang pemimpin dari dua kelompok itu. Abu Bakar
tidak menerima usul itu dengan alasan bisa membawa perpecahan. Kemudian Abu
Bakar mengingatkan kaum Anshar terhadap hadits Nabi yang mengatakan “Pemimpin
itu dari orang Quraisy”.
Oleh
sebab itu beliau mengusulkan agar Umar bin Khaththab diangkat menjadi khalifah,
usul itu tidak diterima Umar dan mengatakan jika Abu Bakar masih ada beliaulah
yang paling pantas menjadi khalifah. Akhirnya Abu Bakar terpilih sebagai
pemimpin atas usul Umar bin Khaththab, ketika itu usia Abu Bakar 61 tahun.
Rupanya,
semangat keagamaan Abu Bakar mendapat penghargaan yang tinggi dari umat Islam.
sehingga masingmasing pihak menerima dan
membai’atnya
sebagai pemimpin umat Islam pengganti Rasulullah yang dalam perkembangan
selanjutnya disebut “Khalifah” saja.
3)
Abu Bakar Wafat
Pada saat pasukan Islam sedang
berada di luar kota Abu Bakar sakit selama satu minggu. Pada saat sakit itu,
dia bermusyawarah dengan para sahabat terkemuka, yang berhasil menetapkan
penggantinya Umar bin Khaththab sebagai khalifah kedua. Abu Bakar meninggal
dunia dalam usia 63 tahun beberapa bulan, setelah memerintah selama dua tahun
beberapa bulan.
B.
Umar Bin Khattab
1)
Riwayat Singkat
Nama
lengkapnya adalah Umar bin Khaththab bin Nafil bin Abd al-Uzza bin Rabah bin
Ka’ab bin Luay alQuraisy. Silsilah Umar bertemu dengan Rasulullah pada kakek
ketujuh, sedangkan dari pihak ibunya pada kakek keenam.
Umar
dilahirkan di Makkah empat tahun sebelum perang Fijar, tetapi menurut Ibn Atsir
dia dilahirkan tiga belas tahun sesudah kelahiran Rasulullah s.a.w. Hal ini
berarti beliau lebih muda tiga belas tahun dari Nabi Muhammad s.a.w. Dia fasih
berbicara, tegas dalam menyatakan pendapat dan membela yang hak.
2)
Diangkat Menjadi Khalifah
Ketika Abu Bakar sakit, dia
memperhatikan sahabatnya, siapa di antara mereka yang sesuai diangkat menjadi
khalifah, “yang tegas tidak kejam dan
yang lembut tidak lemah”. Dia mendapatkan kriteria pilihannya itu, di
antara dua sahabat, yaitu antara Umar
bin Khaththab dan Ali bin Abi Thalib.
Tetapi kemudian pilihannya jatuh kepada Umar.
Kemudian Abu Bakar bermusyawarah
dengan sahabat-sahabatnya untuk menuliskan bahwa Umar adalah pengganti dirinya
menjadi khalifah nanti, berikut teks pernyataanya:
“Bismillahirrahmanirrahim. Ini adalah pernyataan Abu Bakar,
Khalifah penerus kepemimpinan Muhammad – Rasulullah s.a.w., saat dia mengakhiri
kehidupannya di dunia dan saat dia memulai kehidupannya di akhirat. Dalam
keadaan dipercayai oleh orang kafir dan ditakuti oleh orang durhaka,
sesungguhnya aku mengangkat Umar bin Kaththab, sebagai pemimpin kalian;
bahwasanya dia adalah orang baik dan adil. Hal ini sejauh sepengetahuan dan
penilaian diriku tentang dia. Bilamana ternyata dikemudian hari dia seorang
pendurhaka dan zhalim, sungguh aku tidak pernah tahu akan hal yang bersifat
ghaib. Sungguh aku bermaksud baik dan segala sesuatu tergantung atas apa yang
dilakukan..”
Dengan demikian, Penetapan Umar
sebagai khalifah ditulis pada suatu piagam pengangkatan. Pengangkatan Umar ini
bermaksud untuk mencegah kemungkinan terjadinya perselisihan dan perpecahan di
kalangan umat Islam di kemudian hari. Kebijakan Abu Bakar tersebut ternyata
diterima masyarakat dan mereka secara beramairamai membai’at Umar sebagai
khalifah kedua dalam usia 53 tahun. Kemudian Umar memperkenalkan istilah
“Amirul Mukminin” (komandan orang-orang yang beriman) bukan khalifah.
3) Umar Bin
Khattab Wafat
pribadi yang mengagumkan dan
mempesona itu akhirnya terbunuh di tangan budak Persia, bernama Abu Lu’lu’ (Abd
Mughiroh). Karena orang-orang Persia sangat merasa dendam kepada Umar yang
menaklukkan dan telah menghancurkan negeri mereka, dan sebab itu mereka
mempergunakan budak tersebut untuk membunuhnya. Umar meninggal dunia dalam usia
63 tahun, setelah memerintah selama sepuluh tahun.
C. Utsman
Bin Affan
1) Riwayat
Singkat
Nama
lengkapnya Utsman bin Affan bin Abu al-Ash bin Umayah bin Abd al-Syams bin Abd
al-Manaf bin Qushai. Lahir pada tahun kelima dari kelahiran Rasulullah s.a.w.
Tapi ada yang mengatakan dia lahir pada tahun keenam sesudah tahun gajah.
Utsman
masuk Islam melalui Abu Bakar dan dinikahkan Nabi dengan puterinya Rukaiyah bin
Muhammad s.a.w. Utsman tercatat sebagai orang yang pertama memimpin hijrah
bersama isterinya ke Habsyi untuk kemudian hijrah pula ke Madinah.
Perlu
dicatat bahwa Utsman selalu ikut dalam berbagai perang, kecuali perang Badar,
karena dia sibuk menemani dan merawat isterinya Rukaiyah yang sedang sakit
sampai wafat dan dimakamkan pada hari kemengan kaum muslimin. Kemudian Utsman
dinikahkan Rasulullah dengan puterinya Ummu Kalsum, itulah sebabnya dia
digelari Dzunnurain.
2) Diangkat
Menjadi Khalifah
Para
sahabat terkemuka meminta Umar agar menetapkan penggantinya sebagai khalifah
bila dia meninggal dunia. Dia menolak karena orang yang dipandangnya cakap Abu
Ubaidah bin Jarrah telah meninggal dunia. Ada usul agar anaknya Abdullah bin
Umar dapat diangkat, itu pun ditolaknya juga. Akhirnya dia membentuk “Panitian
Enam” (Ashab al-Sittah) dan diberi tugas untuk memilih penggantinya. Mereka itu
adalah Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Thalhah bin Ubaidillah, Zubeir bin
Awwam, Abd. Rahman bin Auf, dan Saad bin Abi Waqqash.
Mereka
bersidang sesudah Umar wafat. Dalam sidang itu mulai nampak persaingan antara
Bani Hasyim dengan Bani Umayah. Dua keturunan yang juga bersaing di masa
jahiliyah. Kedua keturunan itu kini terwakili dalam diri Ali dan Utsman yang
merupakan calon terkuat. Berdasarkan hasil sidang dan pendapat di kalangan
masyarakat, Abd. Rahman sebagai ketua sidang menetapkan Utsman sebagai khalifah
ketiga dalam usia 70 tahun setelah empat hari Umar wafat, dengan tiga
pertimbangan;
Pertama, dari segi
senioritas bila Ali diangkat menjadi khalifah tidak ada lagi kesempatan buat
Utsman sesudahnya.
Kedua, masyarakat
telah jenuh dengan pola kepemimpinan Umar yang serba disiplin dan keras bila
Ali diangkat akan terulang seperti itu.
Ketiga, menarik
jabatan khalifah dari Ali sebagai keluarga Nabi jauh lebih sulit dibandingkan
dengan Utsman. Ali bin Abi Thalib dengan pendukungnya turut memberikan bai’at
mereka kepada Utsman.
Utsman
melanjutkan perluasan wilayah yang dilakukan khalifah Umar. Di fron utara
Armenia direbut dari orang-orang Bizantium. Demikian juga pulau Cyprus, pulau
Rhodes di fron timur, Thabaristan, Khurasan, dan bagian yang tersisa dari
Persia. Di fron barat Tunisia direbut dari Romawi. Sampai di sini ekspansi
pertama dalam Islam terhenti, karena disibukkan menhadapi pergolakan dalam
negeri pada masa pemerintahan Ali.
3)
Utsman Bin Affan Wafat
Para pemberontak mengepung rumah
Utsman selama 40 hari, dalam pada itu salah seorang di antara mereka terkena
panah yang datang dari kediaman khalifah. Mereka mendesak agar si pemanah
diserahkan kepada mereka. Namun tidak juga dipenuhi khalifah. Akhirnya mereka
menyerbu kediaman khalifah dan membunuhnya dalam usia sekitar 82 tahun.
D.
Ali Bin Abi Thallib
1)
Riwayat Singkat
Nama
lengkapnya adalah Ali bin Abi Thalib bin Abd al-Muththalib bin Hasyim bin Abd
al-Manaf bin Luay bin Kilab bin Qushai. Dia dilahirkan di Makkah sepuluh tahun
sebelum kerasulan Nabi Muhammad s.a.w. Ibunya bernama Fathimah binti Asad bin
Hasyim bin Abd al-Manaf.
Abu Thalib dikenal mempunyai banyak
anak. Ketika Makkah dilanda paceklik, Rasulullah mengajak pamannya Abbas untuk
bersama-sama meringankan beban Abu Thalib dengan mengasuh sebagian di antara
anaknya. Mereka berdua mendatangi Abu Thalib untuk menawarkan bantuan
kepadanya, tawaran tersebut diterima Abu Thalib. Abbas mengambil Ja’far dan
Rasulullah mengambil Ali.
Ali
adalah orang pertama yang masuk Islam dari kalangan anak-anak, pada saat itu
umurnya belum genap berusia tiga belas tahun. Ali adalah orang yang tidur di
tempat Nabi, waktu malam beliau hijrah dari Makkah ke Yatsrib dan menyusul Nabi
ke Yatsrib setelah menunaikan segala amanah yang dipercayakan Nabi kepadanya.
2)
Diangkat Menjadi Khalifah
Kaum
pemberontak menguasai Madinah dan orangorang Bani Umayyah banyak yang
meninggalkan ibu kota itu, di antaranya Marwan bin Al-Hakam yang berhasil
menyelundupkan baju Utsman yang berlumuran darah ke Makkah.
Kaum
pemberontak mendesak Ali supaya bersedia diangkat menjadi khalifah, tetapi
ditolaknya, dan dia menegaskan bahwa masalah itu bukanlah urusan mereka, tetapi
urusan para pejuang perang Badr. Mana Thalhah, Zubeir, dan mana Sa’ad, tanya
Ali kepada mereka. Karena ditolak Ali, mereka kemudian meminta kesediaan Sa’ad
bin Abi Waqqash dan Abdurrahman bin Auf. Tetapi masingmasing dari mereka juga
menolak.
Kaum
pemberontak kembali mendesak Ali supaya bersedia diangkat menjadi khalifah. Ali
akhirnya menerima jabatan itu dengan ketentuan dia diberi kesempatan memerintah
sesuai dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul. Ia memangku jabatan khalifah itu
mulai 24 Juni 656 M. atau tahun 35 H. dalam usia 58 tahun.
3)
Sayyiduna Ali Wafat
Peristiwa
tahkim telah menimbulkan perpecahan di kalangan tentara Ali karena mereka tidak
menerima hasil tahkim. Selain itu Ali pun tidak menerima hasil tahkim karena
kedua hakam telah menyimpang dari Kitabullah dan Sunnah Rasul. Oleh karena itu
Ali tetap merasa dirinya sebagai khalifah dan Muawiyah sebagai pembangkang.
Dengan
sisa kekuatan yang ada, Ali bertekad memerangi Muawiyah sekali lagi. Untuk itu
ia berhasil menggugah hati 65.000 orang berperang. Dalam perjalanan menuju
Syam, ada berita dari Nahrawan bahwa orangorang Khawarij melakukan berbagai
tindak kekerasan, yaitu penyiksaan dan pembunuhan. Ali terpaksa membatalkan
perjalanan ke Syam dan dialihkan menuju Nahrawan. Di sini Ali kembali
ditinggalkan sebagian besar tentaranya.
Tentara
Ali yang masih tinggal, mengusulkan agar kembali dulu ke Kufah untuk menyiapkan
persenjataan yang lebih baik. Ali menerima usul itu. akan tetapi upaya Ali
mengumpulkan mereka kembali tidak mereka indahkan.
Keengganan mereka berperang bersama
Ali karena beberapa sebab, antara lain. Ali hanya menghalalkan darah musuh,
tetapi tidak boleh mengambil harta rampasan dari mereka. Kemungkinan lain,
karena Ali tidak bisa memberikan finansial yang cukup bagi mereka. Suatu hal
yang menjadi kelemahan Ali. Menurut riwayat, banyak prjurit Ali yang menderita
akibat peperangan, namun Ali tidak dapat turun tangan untuk meringankan beban
hidup mereka.
Secara
militer, posisi Ali sudah lemah. Kesempatan itu digunakan Muawiyah merebut
Mesir dan mengangkat Amr bin Ash menjadi gubernur di situ. Jabatan yang dulu
pernah dipangkunya di masa Umar bin Khaththab. Sesudah itu, Muawiyah pun
merebut Madinah dan Yaman, tetapi penduduk Makkah menolak mengakui Muawiyah.
Sementara
itu kaum Khawarij berpendapat bahwa biang keladi perpecahan umat Islam adalah
Ali, Muawiyah dan Amr bin al-Ash. Oleh sebab itu mereka sepakat membunuh ketiga
tokoh itu pada waktu yang sama.
Abdurrahman bin Muljan berhasil
menikam Ali dalam shalat subuh di mesjid Kufah. Barak bin Abdillah al-Tamimi
berhasil menikam Muawiyah tetapi hanya terluka dan tidak membahayakannya. ‘Amr
bin Bakr alTamimi tidak berhasil menikam ‘Amr karena sakit tidak keluar pada waktu subuh itu. Orang yang terbunuh
adalah yang menggantikannya sebagai imam shalat.
Peristiwa itu terjadi pada bulan
Ramadhan 40 H (Januari 661 M). Dalam beberapa hari setelah penikaman itu, Ali
meninggal dunia dalam usia enam puluh tiga tahun, setelah memerintah selama
lima tahun. Dengan wafatnya khalifah keempat itu berakhirlah pemerintahan
al-Khulafa’ al-Rasyidun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar