Minggu, 18 November 2018

Istihsan dan Maslahah Mursalah


PEMBAHASAN

A.    Istihsan

1.      Pengertian istihsan
Istihsan menurut bahasa berarti memandang baik sesuatu, sesuatu yang digemari dan disenangi manusia. Menurut istilah terdapat beberapa rumusan dari para ulama:
a.       Menurut Abdul Wahab Khallaf, istihsan ialah pindahnya seorang mujtahid dari tuntunan qiyas jail kepada tuntunan qiyas khafi, atau dari hukum kully kepada hukum istitsana’I berdasarkan dalil.
b.      Menurut al-Bazdawi, istihsan ialah perpindahan dari tuntunan suatu qiyas kepada qiyas yang lain yang lebih kuat atau men-takhsih qiyas dengan dalil yang lebih kuat.
c.       Imam Malik mendefinisikan isthsan adalah beramal dengan salah satu dari dua dalil yang paling kuat atau mengambil maslahah juz’iyah dalam berhadapan dengan dalil kulli.
Istihsan merupakan dalil yang diperselisihkan di antara para ulama. Menurut ulama Hanafiyah, Malikiyah dan sebagian Hanabilah, istihsan merupakan dalil yang kuat dalam menetapkan hukum syara’. Mereka memperkuat penggunaan istihsan dengan dalil-dalil, baik dari Al-Qur’an, Sunnah maupun hasil penelitian terhadap nash. Namun mereka berbeda-beda dalam penetapan istihsan dalam hirarki sumber / dalil hukum Islam dan intensitas penggunaannya. Ulama yang terkenal banyak menggunakan dalil istihsan diantaranya Imam Abu Hanifah dan Imam Malik. Bahkan Imam Malik pernah mengatakan bahwa istihsan Sembilan per sepuluhnya ilmu. Namun demikian, mereka berbeda dalam membagi istihsan. Ulama Malikiyah membagi istihsan menjadi empat, yaitu istihsan dengan urf, istihsan dengan maslahat, istihsan dengan ijma’, istihsan dengan kaidah raf’ al-haraj wa al-masyaqqat. Sedangkan istihsan dengan qiyas kahfi tidak dikenal dalam Ushul Fiqih Maliki. Sedang Imam Hanafi membagi istihsan menjadi empat, yaitu istihsan dengan nash, istihsan dengan ijma’, istihsan dengan darurat dan istihsan dengan qiyas kahfi, walaupun dalam perkembangannya ulama Hanafiyah juga menggunakan istihsan maslahat dan urf.
Di antara ulama yang menolak istihsan sebagai dalil adalah ulama Syafi’iyah, Zahiriyah, Syi’ah dan Mu’tazilah. Bahkan al-Imam al-Syafi’I menyusun argumentasi secara detil untuk menolak eksistensi istihsan:
a.       Syari’at itu ditetapkan dengan nash dan qiyas. Istihsan bukan nash dan bukan pula qiyas. Jika begitu menggunakan istihsan berarti mengakui adanya hukum-hukum yang belum ditetapkan oleh nash dan qiyas dan ini bertentangan dengan ayat Al-Qur’an yang artinya “Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan saja (tanpa pertanggung jawaban).”
b.      Banyak ayat Al-Qur’an yang menyuruh menaati Allah dan Rasulnya dan jika terjadi perselisihan hendaknya dikembalikan kepada Allah dan Rasul. Sedangkan istihsan tidak termasuk kitab dan sunnah dan juga tidak menunjukkan Al-Qur’an dan Sunnah.
c.       Nabi SAW. tidak pernah berfatwa berdasarkan istihsan. Ketika ditanya berbagai kasus beliau tidak memberikan jawaban berdasarkan istihsan melainkan menunggu wahyu.
d.      Nabi menolak fatwa sebagian sahabat berdasarkan istihsan ketika berada jauh dari Nabi.
e.       Istihsan itu tidak menjadi kriteria dan tolak ukur untuk membedakan yang hak dan yang batil sebagaimana qiyas.
f.       Jika istihsan diperbolehkan, padahal ia bukan nash dan juga tidak merujuk kepada nash, berarti ia menetapkan hukum berdasarkan akal semata. Dan hal ini tidak dibenarkan.
Muhammad Abu Zahrah seperti dikutip Nasrun Haroen, berpendapat bahwa penolakan Imam Syafi’I terhadap istihsan tidak bersifat menyeluruh. Penolakan itu menurutnya hanya berlaku pada istihsan yang disebarkan pada urf dan maslalaha mursalah. Ini sejalan dengan prinsip ulama Syafi’iyah yang menolak eksistensi urf dan maslalah mursalah sebagai dalil.

2.      Dasar-Dasar Isihsan
Dasar-dasar istihsan terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadist Rasulullah SAW. antara lain:
a.       Dasarnya dalam Al-Qur’an:
Artinya “Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi oleh Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang berakal.”
b.      Dasarnya dalam Hadist:
Artinya “Anas RA, berkata, “Rasulullah SAW. bersabda, “Sebaik-baik agamamu adalah yang lebih mudah ajarannya; dan sebaik-baik ibadahmu adalah yang dipahami syarat-syarat dan rukun-rukunnya.”” (HR. Ibnu Abdul Barr).

3.      Pembagian Istihsan
a.       Berdasarkan proses perpindahannya, istihsan dibagi dua, yaitu:
1)      Mendahulukan qiyas kahfi dari qiyas jail karena ada alasan yang dibenarkan syara’.
2)      Mengecualikan hukum juz’I dari hukum kully dengan dalil.
b.      Berdasarkan sandarannya, istihsan dibagi menjadi enam, yaitu:
1)      Istihsan berdasarkan nash, yaitu adanya ayat atau hadist tentang hukum suatu kasus yang berbeda dengan ketentuan kaidah umum.
2)      Istihsan bi al-Ijma’ ialah meninggalkannya qiyas dalam suatau masalah berdasarkan ijma’ yang menetapkan hukum berbeda dengan hukum yang ditunjukkan oleh qiyas.
3)      Istihsan berdasarkan qiyas khafi.
4)      Istihsan bi al-Maslahah ialah istihsan berdasarkan maslahah.
5)      Istihsan bi al-‘adah au al-urf ialah istihsan berdasarkan kebiasaan yang berlaku umum.
6)      Istihsan bi al-Darurah ialah ada keadaan-keadaan darurat yang menyebabkan seseorang mujtahid tidak memberlakukan kaidah umum atau qiyas.
4.      Perbedaan Istihsan dengan Qiyas dan Maslahah Mursalah
Istihsan berbeda dengan qiyas dan juga maslahah mursalah. Perbedaan istihsan denag qiyas menyamakan kasus yang belum ada ketentuan hukumnya berdasarkan nash atau ijma’ dengan kasus yang sudah ada ketetapan hukumnya berdasarkan nash atau ijma’. Istihsan adalah perpindahan dari kasus yang didasarkan pada dalil kepada kasus lain berdasarkan dalil yang lebih kuat, seperti berpindah dari nash umum atau qiyas kepada nash khusus, atau kepada qiyas kahfi krena adanya kemaslahatan yang hendak direalisasikan atau mafsadah (kerusakan) yang ingin dihindarkan. Persamaan antara keduanya adalah sama-sama didasarkan pada dalil. Sedang maslahah mursalah adalah penetapan hukum yang semata-mata didasarkan pada pertimbangan mewujudkan kemaslahatan atau menghindarkan kerusakan, serta tidak memiliki dasar nash.

B.      Maslahah Mursalah
1.      Pengertian Maslahah Mursalah
Salah satu metode yang dikembangkan ulama Ushul Fiqih dalam mengistinbathkan hukum Islam dari nash adalah maslahah mursalah. Penggunaan maslahah mursalah seagai hujjah didasarkan pada pandangan tentang adanya illat dalam suatu hukum.
Menurut bahasa, maslahah berarti manfa’at dan kebaikan, sedang mursalah berarti melepas. Menurut istilah maslahah mursalah ialah kemaslahatan yang tidak ditetapkan oleh syara’ dalam peneapan hukum dan tidak ada dalil yang menyuruh mengambil atau menolaknya. Pada umumnya maslahah mempunyai dua sisi, yaitu sisi positif (ijabi) dan sisi negative (salabi). Sisi positif berupa merealisasikan kebaikan (ijad al-manfa’ah). Sedang sisi negative menolak kerusakan atau bahaya (daf’ al-mafsadah).

2.      Kehujjahana Maslahah Mursalah
Sebagai hujjah, maslahah diperselisihkan para ulama. Dalam masalah ini ulama terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu:
a.       Menurut Jumhur ulama maslahah mursalah tidak dapat dijadikan dalil/hujjah. Mereka mengemukakan beberapa argument, yaitu:
1)      Allah telah mensyari’atkan untuk para hamba hukum-hukum yang memenuhi tuntunan kemaslahatan mereka Ia tidak luoa dan tidak meninggalkan satu kemaslahatan pun, tanpa mengundangkannya. Berpedoman pada maslahah mursalah berarti menganggap Allah meninggalkan sebagian kemaslahatan hamba-Nya, dan ini bertentangan dengan nash.
2)      Maslahah mursalah itu berada di antara maslahah mu’tabarah dan maslahah mulghah, di mana menyamaknnya dengan maslahah mu’tabarah belum tentu lebih sesuai dari pada menyamaknnya dengan maslahah mulghah, karenanya tidak pantas dijadikan hujjah.
3)      Berhujjah dengan maslahah mursalah dapat mendorong orang-orang tidak berilmu untuk membuat hukum berdasarkan hawa nafsu dan membela kepentingan penguasa.
b.      Menurut Imam Malik maslahah mursalah adalah dalil hukum syara’. Pendapat ini juga diikuti oleh Imam Haramain. Mereka mengemukakan argument sebagai berikut:
1)      Nash-nash syara’ menetapkan bahwa syari’at itu diundangkan untuk merealisasikan kemaslahatan manusia, karenanya berhujjah dengan mslahah mursalah sejalan dengan karakter syara’ dan prinsip-prinsip yang mendasarinya serta tujuan pensyari’atannya.
2)      Kemaslahatan manusia serta sarana mencapai kemaslahatan itu berubah karena perbedaan tempat, keadaan, dan zaman. Jika hanya berpegang pada kemaslahatan yang ditetapkan berdasarkan nash saja, maka berarti mempersempit sesuatu yang Allah telah lapangkan dan mengabadikan banyak kemaslahatan bagi manusia, dan ini tidak sesuai dengan prinsip-prinsip umum syari’at.
3)      Para mujtahid dari kalangan sahabat dan generasi sesudahnya banya melakukan ijtihad berdasarkan maslahah dan tidak ditentang oleh seorang pun dari mereka. Karenanya ini merupakan ijma’.
c.       Menurut al-Ghazali, maslahah mursalah yang dapat dijadikan dalil hanya maslahah dharuruiyah. Sedangkan maslahah hijaiyah  dan maslahah tahsiniyah tidak dapat dijadikan dalil.

3.      Syarat-Syarat Maslahah Mursalah
Maslahah mursalah dapat dijadikan dijadikan sebagai dalil dengansyarat:
a.       Maslahah tersebut harus maslahah yang hakiki, bukan sekedar maslahah yang diduga atau diasumsikan.
b.      Kemaslahatan tersebut harus kemaslahatan umum, bukan kemaslahatan pibadi atau kemaslahatan khusus.
c.       Kemaslahatan tersebut sesuai dengan maqashid al-Syari’ah dan tidak bertentangan dengan dalil-dalil syara’.
d.      Kemaslahatn tersebut harus selaras dan sejalan dengan akal sehat. Artinya kemaslahatan tersebut tidak boleh bertentangan dengan akal sehat.
e.       Pengambilan kemaslahatan tersebut harus untuk merealisasikan kemaslahatan dharuriyah, bukan kemaslahatan hijaiyah atau tahsiniyah.

4.      Pembagian Maslahah
a.       Dari segi pandangan syara’ terhadapnya, maslahah dibagi menjadi tiga, yaitu:
1)      Maslahah mu’tabarah, yaitu kemaslahatan yang didukung oleh Syari’ (Allah) dan dijadikan dasar dalam pencapaian hukum.
2)      Maslahah mulghah, yaitu kemaslahatan yang ditolak oleh Syari’ (Allah), dan Syari’ menetapkan kemaslahatan lain selain ini.
3)      Maslahah mursalah, yaitu kemaslahatan yang belum diakomodir dalam nash atau ijma’, serta tidak ditemukan nash atau ijma’ yang melarang atau memerintahkan mengambilnya. Kemaslahatan ini dilepaskan (dibiarkan) oleh Syari’ dan diserahkan kepada manusia untuk mengambil atau tidak mengambilnya.
b.      Berdasarkan tingkatannya, maslahah mursalah dapat dibagi kedalam tiga tingkatan, yaitu:
1)      Maslahah dharuriyah, yaitu segala hal yang menjadi sendi eksistensi kehidupan manusia, harus ada demi kemaslahatan mereka. Pengabaian terhadap maslahah dharuriyah dapat berakibat pada terganggunya kehidupan dunia, hilangnya kenikmatan dan turunnya azab di akhirat.
2)      Maslahah hijaiyah, yaitu segala sesuatu yang sangat dihajatkan oleh manusia untuk menghilangkan kesulitan dan menolak segala halangan. Pengabaian terhadap maslahah hijaiyah tidak menimbulkan ancaman bagi keberlangsungan hidup manusia, tetapi akan menimbulkan kesulitan dan kesempitan.
3)      Maslahah tahsiniyah, yaitu tindakan atau sifat-sifat yang ada pada prinsipnya berhubungan dengan makarimul akhlak serta memelihara keutamaan dalam bidang ibadah, adat dan muamalat. Misalnya mengenakan pakaian-pakaian yang bagus-bagus saat shalat, memakai wewangian pada laki-laki ketika berkumpul bersama orang banyak, pengharaman makanan-makanan yang buruk atau menjijikan, larangan wanita menikahkan dirinya sendiri kepada laki-laki yang dicintainya dan lain-lain.
c.       Pembagian maslahah dari segi syara’.
1)      Maslahah mu’tabarah, yaitu kemaslahatan yang didukung oleh syari’ (Allah) dan dijadikan dasar dalam penetapan hukum. Misalnya kewajiban puasa pada bulan ramadhan, kemaslahatannya yaitu mendidik jasmani dan rohani manusia.
2)      Maslahah mulghah, yaitu maslahah yang ditolak Allah namun juga menetapkan kemaslahahtan selain itu. Misalnya diharamkannya mencuri namun tetap ada kemaslahahtan bagi seorang pencuri.
3)      Maslahah mursalah, yaitu kemaslahahtan yang belum ditetapkan dalam nash dan ijma’ serta tidak ditemukan nash atau ijma’ yang melarang atau memerintahkan mengambilnya. Kemashlahatan ini dibiarkan oleh syari’ dan diserahkan oleh manusia untuk menentukan mengambil atau meninggalaknnya dengan melihat kemashlahatan yang sesuai dengan dirinya ,Misalnya menjatuhkan talak dalam perkawinan.


Tidak ada komentar: