Minggu, 18 November 2018

PEMIKIRAN HUKUM ISLAM ABDULLAH AHMAD ANNA’IM


KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas semua limpahan rahmat dan karunianya sehingga makalah ini sanggup tersusun hingga selesai. Tidak lupa kami mengucapkan begitu banyak terimakasih atas uluran tangan dan bantuan berasal dari pihak yang telah bersedia berkontribusi bersama dengan mengimbuhkan sumbangan baik anggapan maupun materi yang telah mereka kontribusikan.
Dan kita semua berharap semoga makalah ini mampu menambah pengalaman serta ilmu bagi para pembaca. Sehingga untuk ke depannya sanggup memperbaiki bentuk maupun tingkatkan isikan makalah sehingga menjadi makalah yang miliki wawasan yang luas dan lebih baik lagi.
Karena keterbatasan ilmu maupun pengalaman kami, Kami percaya tetap banyak kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu kami sangat berharap saran dan kritik yang membangun berasal dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Ponorogo, Juni 2018
Afif Izam Taufik







DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR......................................................................................................2
DAFTAR ISI.....................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................4
A.    Latar Belakang...............................................................................................4
B.     Rumusan Masalah..........................................................................................4
C.    Tujuan.............................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN..................................................................................................5
A.    Metodologi Pemikiran An-Na’im.................................................................5
B.     Implementasi Pemikiran An-Na’im.............................................................6
C.    Konsep-konsep Pemikiran An-na’im...........................................................7
BAB III PENUTUP.........................................................................................................11
A.    Kesimpulan....................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................12









BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Abdullah Ahmed An-Na’im, lahir di Sudan pada tahun 1946. ia meyelesaikan pendidikan S1 di Universitas Khartoum Sudan dan mendapat gelar LL.B dengan predikat cumlaude. Tiga tahun kemudian pada tahun 1973 An-Na’im mendapat tiga gelar sekaligus LL.B., LL.M., dan M.A. (diploma dalam bidang kriminologi) dari University of Cambridge, English. Pada tahun 1976, dia mendapat gelar Ph.D., dalam bidang hukum dari University of Edinburgh, Scotland, dengan disertasi tentang perbandingan prosedur prapercobaan kriminal (hukum Inggris, Skotlandia, Amerika, dan Sudan).
Pada bulan November 1976 sampai Juni 1985, An-Na’im menjadi staf pengajar ilmu Hukum di Universitas Khartoum, Sudan. Pada tahun yang sama (1979-1985) An-Na’im menjadi ketua jurusan hukum publik di almamater yang sama. Pada bulan Agustus tahun 1985-Juni 1992 An-Na’im menjadi profesor tamu Olof Palme di Fakultas Hukum, Universitas Upshala, Swedia. Pada bulan Juli 1992-1993 menjadi sarjana, tinggal di kantor The Ford Foundation untuk Timur Tengah dan Afrika Utara, di Kairo, Mesir. Pada bulan Juli 1993-April 1995 menjadi Direktur Eksekutif Pengawas HAM di Washington D.C. Dan sejak Juni 1985 sampai sekarang menjadi profesor hukum di Universitas Emory, Atalanta, GA., Amerika Serikat
B.     Rumusan Masalah
1.      Metodologi Menurut Pemikiran An-Na’im
2.      Implementasi Pemikiran An-na’im
3.      Konsep-Konsep Pemikiran An-na’im
C.    Tujuan
1.      Untuk Mengetahui Bagaimana Metodologi Menurut Pemikiran An-Na’im
2.      Untuk Mengetahui Implementasi Pemikiran An-Na’im
3.      Untuk Mengetahui Konsep-Konsep Pemikiran An-Na’im

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Metodologi Pemikiran An-Na’im
Reformasi Islam atau dekonstruksi syari’ah yang digagas an-Na’im yang kemudian terkenal ke seluruh penjuru dunia sebagai respon terhadap pemikirannya bermaksud memberikan solusi bagi proses perubahan persepsi, sikap dan kebijakan umat Islam atas dasar-dasar Islam dan bukan sekuler. Tesisnya mengatakan bahwa jika tidak dibangun dasar pembaruan modernis murni yang dapat diterima secara keagamaan, maka umat Islam sekarang dan akan datang hanya punya dua alternative, yaitu mengimplementasikan syari’ah dengan segala kelemahan dalam menjawab dinamika zaman dan masalahnya, atau meninggalkannya dan memilih hukum publik sekuler”.
Menurut an-Na’im, selama umat Islam tetap setia pada kerangka kerja syari’ah historis, mereka tidak akan pernah benar-benar mencapai tingkat keharusan pembaruan yang mendesak sepaya hukum publik Islam bisa berfungsi sekarang”.
Selanjutnya an-Na’im mengambil metode gurunya, yaitu metodologi pembaharuan yang revolusioner, yang digambarkan sebagai evolusi legislasi Islam (modern mistical approach), yang intinya suatu ajakan untuk membangun prinsip penafsiran baru yang memperbolehkan penerapan ayat-ayat al-Qur’an dan Sunnah. Pendekatan ini jika diterapkan akan mampu memecahkan kebuntuan antara tujuan pembaruan, keterbatasan konsep dan teknik syari’ah historis.
Prinsip naskh pembatalan teks al-Qur’an dan Sunnah tertentu untuk tujuan-tujuan penetapan hukum oleh teks-teks al-Qur’an dan Sunnah untuk tujuan-tujuan penetapan hukum oleh teks al-Qur’an dan Sunnah yang lain sangat menentukan bagi validitas teoritik dan kelangsungan praktek dari pendekatan evolusioner. Kemudian memadukan teori naskh tersebut dengan prinsip-prinsip umum tentang analisa kongkret terhadap implikasi-implikasi hukum publik Islam. Utamanya terhadap keseimbangan hak-hak muslim dan non-muslim serta laki-laki dan perempuan dalam menentukan nasib sendiri. Inilah harga kemanusian yang tertimbun dalam formulasi teoritik syari’ah tradisional.


B.     Implementasi Pemikiran An-Na’im
Pemikiran an-Na’im adalah formulasi yang menyeluruh, mencakup struktur politik, sosial, hukum pidana, hukum internasional, dan hak-hak asasi manusia. Dalam bukunya Dekonstruksi Syari’ah an-Na’im lebih memfokuskan pada tiga masalah pokok, yaitu perbudakan, gender dan non-muslim. Dari tiga pokok masalah tersebut dijabarkan dalam beberapa hal, diantaranya berikut ini:
1)      Syari’ah dan Konstitusional Modern
Istilah konstitusionalisme mengimplikasikan pembatasan hukum atas kekuasan penguasa dan pertanggungjawaban politiknya terhadap sekelompok manusia lain. Beberapa ulama telah menyatakan pendangan bahwa karena Tuhan sendiri pembuat undang-undang dalam Islam, maka tidak ada ruang abadi legislasi atau kekuasan legislatif di bawah syari’ah. Hal ini dibantah oleh an-Na’im bahwa pertimbangan manusia harus tetap digunakan dalam menentukan prinsip-prinsip dan aturan-aturan syari’ah yang bisa diterapkan. Baik al-Qur’an maupun Sunnah harus ditafsirkan untuk mengembangkan prinsip-prinsip dan aturan-aturan hukum.
1)      Syari’ah dan Hak Asasi Manusia
Ada suatu prinsip normatif umum yang dimiliki oleh semua tradisi kebudayaan besar yang mampu menopang standar universal hak-hak asasi manusia. Prinsip itu menyatakan bahwa seseorang harus memperlakukan orang lain sama seperti ia mengharapkan diperlakukan orang lain. Aturan yang teramat indah ini mengacu pada prinsip resiprositas yang sesungguhnya dimiliki oleh semua tradisi agama besar di dunia. Selain itu kekuatan moral dan logika dari proposisi yang sederhana ini dapat dengan mudah diapresiasi oleh semua umat manusia, baik tradisi kultural maupun persuasi filosofis.
Menurut Taha bahwa prinsip murni dalam Islam adalah kebebasan. Perbudakan bukan ajaran murni Islam. Diskriminasi laki-laki dan perempuan bukan ajaran murni Islam, poligami bukan ajaran murni Islam dan perceraian juga bukan ajaran murni Islam.
Problem berkenaan dengan penggunaan prinsip resiprositas dalam konteks ini adalah kecendrungan tradisi kultural, khususnya agama, untuk membatasi penerapan prinsip terhadap keanggotaan tradisi kultural dan agama yang lain, bahkan pada kelompok tertentu dalam tradisi atau agama itu sendiri. Konsepsi prinsip resiprositas historis berdasarkan syari’ah tidak berlaku bagi perempuan dan non-muslim sebagaimana untuk laki-laki muslim. Intinya menurut an-Na’im bahwa hak-hak asasi manusia didasarkan pada kedua kekuatan utama yang memotivasi seluruh tingkah laku manusia, kehendak untuk hidup dan kehendak untuk bebas. Melalui kehendak untuk hidup, umat manusia selalu berusaha keras untuk menjamin kebutuhan makan, perumahan dan apa saja yang berkaitan dengan pemeliharaan hidup.
Penghapusan perbudakan mungkin baik sebagai contoh pertama dari penerimaan hak-hak asasi internasional sebagai suatu batasan terhadap jurisdiksi domestik. An-Na’im menegaskan disini dengan alasan bahwa pandangan syari’ah yang membatasi hak asasi manusia dibenarkan oleh konteks historis, tetapi tidak untuk mengatakan bahwa pandangan itu masih dibenarkan karena konteks historis sekarang sudah berbeda sama sekali. Hukum Islam modern tidak dapat mengesampingkan konsep hak-hak asasi manusia mutakhir jika ia harus diterapkan sekarang.
C.    Konsep-konsep Pemikiran An-na’im
1)      Reformasi Syariah
Istilah ini digunakan oleh an-Na’im untuk menyebut Syariat Islam. Menurut Na’im, umat Islam sedunia boleh menerapkan hukum Islam, asal tidak melanggar hak orang dan kelompok lain, baik di dalam maupun di luar komunitas Islam. Tapi menurutnya jika syariat historis ini diterapkan kan menimbulkan masalah serius menyangkut masalah-masalah konstitusionalisme, hukum pidana, hubungan internasional dan hak-hak asasi manusia.
Untuk mengatasi persoalan tersebut, ia menulis dalam bukunya yang berjudul Toward an Islamic Reformation yang menyerukan perubahan hukum Islam terkait dengan konstitusionalisme, hukum kriminal, hubungan internasional, dan hak-hak asasi manusia (HAM). Dia berkeyakinan bahwa hukum Islam dalam bidang ini bertentangan secara diametrikal dengan prinsip hak asasi manusia dan standar hukum international.
Dalam konteks masyarakat pluralistik, syariah harus mampu mengakomodasi kepentingan-kepentingan kaum minoritas, menghormatinya sebagai bagian dari hak-hak dasar yang harus diakuinya.
2)      Evolutionary Approach (evolusi syari’at)
Penggunaan hermeneutika Na’im telah menghasilkan sebuah pendekatan baru yang disebutnya dengan ‘Evolutionary Approach’, sebuah pendekatan yang pada awalnya dibangun dan dikembangkan oleh gurunya Mahmud Muhammad Taha dalam bukunya Al-Risalah al-Tsaniyah. Esensi pendekatan ini adalah “reversing the process of naskh or abrogation so that those texts wich were abrogated in the past can be enacted into law now, with the consequent abrogatin of text that used to be enacted as shari’a.”
Di tempat lain dia menegaskan: “To achieve that degree of reform, we must be able to set aside clear and definite texts of the Qur’an and Sunna of Medina as having served their transitional purpose and implement those texts of the Meccan stage wich were previously inappropriate for practical application but are now the only way to proceed”. (Untuk mencapai tahap reformasi tersebut, kita harus sanggup menyingkirkan teks-teks al-Qur’an dan Sunnah Madinah yang jelas dan definitif karena mereka telah melaksanakan fungsi transisinya, dan selanjutnya mengimplementasikan teks-teks periode Mekkah yang sebelumnya tidak sesuai untuk tujuan aplikasi praktis akan tetapi sekarang menjadi satu-satunya yang harus ditempuh).
Metodologi ini kemudian disebut evolusi syari’at yaitu “tafsir modern dan evolusioner terhadap al-Qur’an.” Secara ringkas evolusi syari’at bisa dijelaskan sebagai berikut:
a)      Ia adalah suatu pengujian secara terbuka terhadap isi al-Qur’an dan as-Sunnah yang melahirkan dua tingkat atau tahap risalah Islam, yaitu periode awal Makkah dan berikutnya Madinah.
b)      Pesan Makkah bersifat abadi, fundamental dan universal; sedang pesan Madinah sebaliknya.
c)      Syari’at historis menjadikan ayat-ayat Madinah sebagai basis legislasi syari’at dengan me-naskh (menunda pelaksanaan) ayat-ayat Makkah yang belum bisa diaplikasikan.
d)     Ayat-ayat Madinah saat ini tidak bisa diaplikasikan lagi karena bertentangan dengan nilai-nilai modern.
e)      Ayat-ayat Makkah harus difungsikan kembali sebagai basis legislasi syari’at yang baru dengan me-naskh ayat-ayat Madinah.
f)       Di atas basis legislasi baru itu dibangun versi hukum publik Islam yang sesuai dengan nilai-nilai modern yang tidak lain adalah pencapaian masyarakat Barat saat ini.
Menurut Na’im pendekatan ini perlu dilakukan karena pesan-pesan fundamental Islam itu terkandung dalam ayat-ayat makkiyyah, bukan madaniyyah. Adapun praktek hukum dan politik yang ditetapkan dalam al-Qur’an dan Sunnah periode Madinah, menurutnya, tidak semestiya merefleksikan pesan-pesan ayat-ayat makkiyyah.
Dan untuk membangun metodologi evolusi syariatnya, an-Na’im menggunakan konsep makkiyyah-madaniyyah dan konsep naskh.An-Na’im memahami konsep makkiyah dan madaniyah dengan pandangan yang berbeda dengan jumhur ulama, Menurutnya, ayat-ayat Makkiyyah dan ayat-ayat Madaniyyah merupakan dua paket (tahapan) yang terpisah, yang satu dengan yang lain tidak saling terkait. Ia berbeda bukan saja terkait perbedaan masa turunnya, tetapi juga terkait dengan perbedaan tema dan misi yang dibawa, sasaran ( khitab) nya, dan watak universalnya.
Dari sini kamudian Na’im menyimpulkan bahwa ayat-ayat Makkiyyah membawa tema dan misi yang fundamental dan abadi, ia berbicara kepada semua manusia tanpa diskriminasi, melintasi batas dimensi waktu dan tempat. Sedangkan ayat-ayat Madaniyyah membawa misi sementara, diturunkan untuk masyarakat tertentu sesuai dengan kondisi manusia abad VII sehingga tidak bisa difungsikan lagi pada saat ini. Selanjutnya dengan menggunakan konsep naskh, ia melakukan generalisasi, ayat-ayat Makkiyyah me- naskh ayat-ayat Madaniyyah.
Namun jika kita merujuk pada buku-buku yang membahas ilmu al-Quran seperti buku ‘Ulum al-Quran’ karangan Manna’ Khalil Qatthan dan Subhi Shalih kita akan menemukan penjelasan yang sangat berbeda dengan pandangan an-Na’im dan kita akan menemukan bahwa Makkiyah dan Madaniha tidak terpisah dan juga di antara keduanya tidak ada yang lebih unggul dibanding lainnya. Justru di antara keduanya ada hubungan yang sangat erat, saling terkait dan berkesinambungan. Masing-masing memang memiliki gaya bahasa dan tema-tema khasnya masing-masing, karena itu sesuai dengan sasarannya. Dan dengan itu bisa diambil pelajaran tentang metode dakwah dan tahapan-tahapan dakwah. Ayat-ayat makkiyyah turun lebih dahulu dengan tema seputar akidah, kisah-kisah umat terdahulu dan dalil-dalil ayat.
kauniyyah yang rasional, menjadi dasar keimanan umat yang kokoh untuk membangun nilai-nilai agama di masa Madinah. Periode Mekkah adalah periode tarbiyah (pendidikan) dan I’dad (persiapan) serta penanaman tauhid untuk pada saatnya nanti menjadi pondasi yang kokoh bagi pembangunan masyarakat Madinah. Ayat-ayat Madinah tidak bisa tegak bila tanpa ditopang ayat-ayat Makkiyyah terlebih dulu.
Selain dengan konsep Makkiyyah-Madaniyyah nya yang nyleneh, Na’im juga membangun metodologi evolusi syari’atnya dengan konsepnaskh. Pengertian naskh yang umum dikenal kaum muslimin terutama para ulamanya adalah proses penghapusan atau pembatalan hukum syar’I yang telah ada (lama/terdahulu) untuk kemudian digantikan dengan hukum syar’I yang lain (baru) berdasarkan dalil syar’I yang datang kemudian.
Pengertian di atas dapat membantah anggapan Na’im bahwa ulama generasi awal menerapkan konsep naskh dengan menghapus ayat-ayat Makkiyyah agar ayat-ayat Madaniyyah bisa diberlakukan. Konsep naskh adalah jalan terakhir ketika ayat-ayat tersebut tidak bisa dikompromikan dengan jalan lain. Jadi tidak bisa langsung dan asal me-naskh ayat-ayatMakkiyyah dengan ayat-ayat Madaniyyah . Apalagi model konsep naskh -nya Na’im yang membalik proses naskh, ayat yang turun lebih awal ( makkiyyah) men-naskh ayat yang turun belakangan ( madaniyyah). Ini tentu sulit diterima.
Pendekatan Na’im ini juga sangat problematik sekali. Karena disini Na‘im sepertinya menggambarkan tidak adanya konsistensi dan kesinambungan ayat-ayat dalam al-Qur’an. Katanya “the specific political and legal norms of the Qur’an and Sunna of Medina did not always reflect the exact meaning and implications of the message as revealed in Mecca .” (norma-norma politik dan hukum al-Qur’an dan Sunnah yang turun di Madinah tidak selalu merefleksikan arti serta implikasi yang pasti dari pesan yang diturunkan di Mekkah).
3. Negara Sekuler
Konsep pemikiran an-Na’im terhadap Negara sekuler bahwa seorangmuslim membutuhkan negara sekuler untuk menjadi muslim yang lebih baik. Artinya, memerlukan negara yang membiarkan saya sendiri dan bukan memaksakan agama terhadap saya. Sehingga saya bisa menjadi seorang muslim sesuai pilihan saya. Jika negara memaksakan pandangan Islamnya terhadap saya, maka saya tidak bebas memilih bagaimana saya menjadi muslim. Bukan karena saya tidak punya pilihan.
Islam sebagai rahmatan lil alamin menurut an-Na’im adalahnilai-nilai Islam hanya bisa dihormati oleh penganutnya dan bukan oleh negara. Rahmatan lil alamin hanya bisa tercipta oleh masyarakat yang hidup dalam nilai-nilai Islam dan bukan dipaksakan oleh negara. Baginya dalam Al-Quran tidak ada konsep negara.
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1)      Reformasi Islam atau dekonstruksi syari’ah yang digagas an-Na’im yang kemudian terkenal ke seluruh penjuru dunia sebagai respon terhadap pemikirannya bermaksud memberikan solusi bagi proses perubahan persepsi, sikap dan kebijakan umat Islam atas dasar-dasar Islam dan bukan sekuler.
2)      Menurut an-Na’im, selama umat Islam tetap setia pada kerangka kerja syari’ah historis, mereka tidak akan pernah benar-benar mencapai tingkat keharusan pembaruan yang mendesak sepaya hukum publik Islam bisa berfungsi sekarang”
3)      Pemikiran an-Na’im adalah formulasi yang menyeluruh, mencakup struktur politik, sosial, hukum pidana, hukum internasional, dan hak-hak asasi manusia. Dalam bukunya Dekonstruksi Syari’ah an-Na’im lebih memfokuskan pada tiga masalah pokok, yaitu perbudakan, gender dan non-muslim.Dari tiga pokok masalah tersebut dijabarkan dalam beberapa hal, diantaranya berikut ini:
a.       Syari’ah dan Konstitusional Modern
b.      Syari’ah dan Hak Asasi Manusia
4)      Konsep-konsep Pemikiran Abdullah Ahmed An-Na’im:
a.       Reformasi Syariah
b.      Evolutionary Approach (evolusi syari’at)
c.       Negara Sekuler








DAFTAR PUSTAKA
http://haniffatkhuraziz.blogspot.sg/2016/03/abdullah-ahmad-naim-dan pemikirannya.html?m=1






Tidak ada komentar: