KATA PENGANTAR
Puji
syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas semua limpahan rahmat dan karunianya
sehingga makalah ini sanggup tersusun hingga selesai. Tidak lupa
kami mengucapkan begitu banyak terimakasih atas uluran tangan dan bantuan
berasal dari pihak yang telah bersedia berkontribusi bersama dengan
mengimbuhkan sumbangan baik anggapan maupun materi yang telah mereka
kontribusikan.
Dan kita
semua berharap semoga makalah ini mampu menambah pengalaman serta ilmu
bagi para pembaca. Sehingga untuk ke depannya sanggup memperbaiki bentuk maupun
tingkatkan isikan makalah sehingga menjadi makalah yang miliki wawasan yang
luas dan lebih baik lagi.
Karena
keterbatasan ilmu maupun pengalaman kami, Kami percaya tetap banyak kekurangan
dalam makalah ini, Oleh karena itu kami sangat berharap saran dan kritik
yang membangun berasal dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Ponorogo, Juni 2018
Afif Izam Taufik
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR......................................................................................................2
DAFTAR ISI.....................................................................................................................3
BAB I
PENDAHULUAN.................................................................................................4
A. Latar Belakang...............................................................................................4
B. Rumusan
Masalah..........................................................................................4
C. Tujuan.............................................................................................................4
BAB II
PEMBAHASAN..................................................................................................5
A. Metodologi Pemikiran An-Na’im.................................................................5
B.
Implementasi Pemikiran An-Na’im.............................................................6
C.
Konsep-konsep Pemikiran An-na’im...........................................................7
BAB III
PENUTUP.........................................................................................................11
A. Kesimpulan....................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................12
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Abdullah Ahmed An-Na’im, lahir di
Sudan pada tahun 1946. ia meyelesaikan pendidikan S1 di Universitas Khartoum
Sudan dan mendapat gelar LL.B dengan predikat cumlaude. Tiga tahun kemudian
pada tahun 1973 An-Na’im mendapat tiga gelar sekaligus LL.B., LL.M., dan M.A.
(diploma dalam bidang kriminologi) dari University of Cambridge, English. Pada
tahun 1976, dia mendapat gelar Ph.D., dalam bidang hukum dari University of
Edinburgh, Scotland, dengan disertasi tentang perbandingan prosedur
prapercobaan kriminal (hukum Inggris, Skotlandia, Amerika, dan Sudan).
Pada bulan November 1976 sampai Juni
1985, An-Na’im menjadi staf pengajar ilmu Hukum di Universitas Khartoum, Sudan.
Pada tahun yang sama (1979-1985) An-Na’im menjadi ketua jurusan hukum publik di
almamater yang sama. Pada bulan Agustus tahun 1985-Juni 1992 An-Na’im menjadi
profesor tamu Olof Palme di Fakultas Hukum, Universitas Upshala, Swedia. Pada
bulan Juli 1992-1993 menjadi sarjana, tinggal di kantor The Ford Foundation
untuk Timur Tengah dan Afrika Utara, di Kairo, Mesir. Pada bulan Juli
1993-April 1995 menjadi Direktur Eksekutif Pengawas HAM di Washington D.C. Dan
sejak Juni 1985 sampai sekarang menjadi profesor hukum di Universitas Emory,
Atalanta, GA., Amerika Serikat
B. Rumusan Masalah
1.
Metodologi Menurut
Pemikiran An-Na’im
2.
Implementasi Pemikiran
An-na’im
3.
Konsep-Konsep Pemikiran
An-na’im
C. Tujuan
1.
Untuk Mengetahui Bagaimana
Metodologi Menurut Pemikiran An-Na’im
2.
Untuk Mengetahui
Implementasi Pemikiran An-Na’im
3.
Untuk Mengetahui
Konsep-Konsep Pemikiran An-Na’im
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Metodologi Pemikiran An-Na’im
Reformasi Islam atau dekonstruksi
syari’ah yang digagas an-Na’im yang kemudian terkenal ke seluruh penjuru dunia
sebagai respon terhadap pemikirannya bermaksud memberikan solusi bagi proses
perubahan persepsi, sikap dan kebijakan umat Islam atas dasar-dasar Islam dan
bukan sekuler. Tesisnya mengatakan bahwa jika tidak dibangun dasar pembaruan
modernis murni yang dapat diterima secara keagamaan, maka umat Islam sekarang
dan akan datang hanya punya dua alternative, yaitu mengimplementasikan syari’ah
dengan segala kelemahan dalam menjawab dinamika zaman dan masalahnya, atau
meninggalkannya dan memilih hukum publik sekuler”.
Menurut an-Na’im, selama umat Islam
tetap setia pada kerangka kerja syari’ah historis, mereka tidak akan pernah
benar-benar mencapai tingkat keharusan pembaruan yang mendesak sepaya hukum
publik Islam bisa berfungsi sekarang”.
Selanjutnya an-Na’im mengambil
metode gurunya, yaitu metodologi pembaharuan yang revolusioner, yang
digambarkan sebagai evolusi legislasi Islam (modern mistical approach), yang
intinya suatu ajakan untuk membangun prinsip penafsiran baru yang
memperbolehkan penerapan ayat-ayat al-Qur’an dan Sunnah. Pendekatan ini jika
diterapkan akan mampu memecahkan kebuntuan antara tujuan pembaruan,
keterbatasan konsep dan teknik syari’ah historis.
Prinsip naskh pembatalan teks
al-Qur’an dan Sunnah tertentu untuk tujuan-tujuan penetapan hukum oleh
teks-teks al-Qur’an dan Sunnah untuk tujuan-tujuan penetapan hukum oleh teks
al-Qur’an dan Sunnah yang lain sangat menentukan bagi validitas teoritik dan
kelangsungan praktek dari pendekatan evolusioner. Kemudian memadukan teori
naskh tersebut dengan prinsip-prinsip umum tentang analisa kongkret terhadap
implikasi-implikasi hukum publik Islam. Utamanya terhadap keseimbangan hak-hak
muslim dan non-muslim serta laki-laki dan perempuan dalam menentukan nasib
sendiri. Inilah harga kemanusian yang tertimbun dalam formulasi teoritik
syari’ah tradisional.
B.
Implementasi Pemikiran An-Na’im
Pemikiran an-Na’im adalah formulasi
yang menyeluruh, mencakup struktur politik, sosial, hukum pidana, hukum
internasional, dan hak-hak asasi manusia. Dalam bukunya Dekonstruksi Syari’ah
an-Na’im lebih memfokuskan pada tiga masalah pokok, yaitu perbudakan, gender
dan non-muslim. Dari tiga pokok masalah tersebut dijabarkan dalam beberapa hal,
diantaranya berikut ini:
1) Syari’ah dan Konstitusional Modern
Istilah konstitusionalisme mengimplikasikan pembatasan hukum atas
kekuasan penguasa dan pertanggungjawaban politiknya terhadap sekelompok manusia
lain. Beberapa ulama telah menyatakan pendangan bahwa karena Tuhan sendiri
pembuat undang-undang dalam Islam, maka tidak ada ruang abadi legislasi atau
kekuasan legislatif di bawah syari’ah. Hal ini dibantah oleh an-Na’im bahwa
pertimbangan manusia harus tetap digunakan dalam menentukan prinsip-prinsip dan
aturan-aturan syari’ah yang bisa diterapkan. Baik al-Qur’an maupun Sunnah harus
ditafsirkan untuk mengembangkan prinsip-prinsip dan aturan-aturan hukum.
1)
Syari’ah
dan Hak Asasi Manusia
Ada suatu prinsip normatif umum yang dimiliki oleh semua tradisi
kebudayaan besar yang mampu menopang standar universal hak-hak asasi manusia.
Prinsip itu menyatakan bahwa seseorang harus memperlakukan orang lain sama
seperti ia mengharapkan diperlakukan orang lain. Aturan yang teramat indah ini
mengacu pada prinsip resiprositas yang sesungguhnya dimiliki oleh semua tradisi
agama besar di dunia. Selain itu kekuatan moral dan logika dari proposisi yang
sederhana ini dapat dengan mudah diapresiasi oleh semua umat manusia, baik
tradisi kultural maupun persuasi filosofis.
Menurut Taha bahwa prinsip murni dalam Islam adalah kebebasan.
Perbudakan bukan ajaran murni Islam. Diskriminasi laki-laki dan perempuan bukan
ajaran murni Islam, poligami bukan ajaran murni Islam dan perceraian juga bukan
ajaran murni Islam.
Problem berkenaan dengan penggunaan prinsip resiprositas dalam
konteks ini adalah kecendrungan tradisi kultural, khususnya agama, untuk
membatasi penerapan prinsip terhadap keanggotaan tradisi kultural dan agama
yang lain, bahkan pada kelompok tertentu dalam tradisi atau agama itu sendiri.
Konsepsi prinsip resiprositas historis berdasarkan syari’ah tidak berlaku bagi
perempuan dan non-muslim sebagaimana untuk laki-laki muslim. Intinya menurut
an-Na’im bahwa hak-hak asasi manusia didasarkan pada kedua kekuatan utama yang
memotivasi seluruh tingkah laku manusia, kehendak untuk hidup dan kehendak
untuk bebas. Melalui kehendak untuk hidup, umat manusia selalu berusaha keras
untuk menjamin kebutuhan makan, perumahan dan apa saja yang berkaitan dengan
pemeliharaan hidup.
Penghapusan perbudakan mungkin baik sebagai contoh pertama dari
penerimaan hak-hak asasi internasional sebagai suatu batasan terhadap
jurisdiksi domestik. An-Na’im menegaskan disini dengan alasan bahwa pandangan
syari’ah yang membatasi hak asasi manusia dibenarkan oleh konteks historis,
tetapi tidak untuk mengatakan bahwa pandangan itu masih dibenarkan karena
konteks historis sekarang sudah berbeda sama sekali. Hukum Islam modern tidak
dapat mengesampingkan konsep hak-hak asasi manusia mutakhir jika ia harus
diterapkan sekarang.
C.
Konsep-konsep Pemikiran An-na’im
1) Reformasi
Syariah
Istilah ini digunakan oleh an-Na’im untuk menyebut Syariat Islam.
Menurut Na’im, umat Islam sedunia boleh menerapkan hukum Islam, asal tidak
melanggar hak orang dan kelompok lain, baik di dalam maupun di luar komunitas
Islam. Tapi menurutnya jika syariat historis ini diterapkan kan menimbulkan
masalah serius menyangkut masalah-masalah konstitusionalisme, hukum pidana,
hubungan internasional dan hak-hak asasi manusia.
Untuk mengatasi persoalan tersebut, ia menulis dalam bukunya yang
berjudul Toward an Islamic Reformation yang menyerukan perubahan hukum
Islam terkait dengan konstitusionalisme, hukum kriminal, hubungan
internasional, dan hak-hak asasi manusia (HAM). Dia berkeyakinan bahwa hukum
Islam dalam bidang ini bertentangan secara diametrikal dengan prinsip hak asasi
manusia dan standar hukum international.
Dalam konteks masyarakat pluralistik, syariah harus mampu mengakomodasi
kepentingan-kepentingan kaum minoritas, menghormatinya sebagai bagian dari
hak-hak dasar yang harus diakuinya.
2)
Evolutionary
Approach (evolusi syari’at)
Penggunaan hermeneutika Na’im telah menghasilkan sebuah pendekatan
baru yang disebutnya dengan ‘Evolutionary Approach’, sebuah pendekatan
yang pada awalnya dibangun dan dikembangkan oleh gurunya Mahmud Muhammad Taha
dalam bukunya Al-Risalah al-Tsaniyah. Esensi pendekatan ini adalah “reversing
the process of naskh or abrogation so that those texts wich were abrogated in
the past can be enacted into law now, with the consequent abrogatin of text
that used to be enacted as shari’a.”
Di tempat lain dia menegaskan: “To achieve that degree of
reform, we must be able to set aside clear and definite texts of the Qur’an and
Sunna of Medina as having served their transitional purpose and implement those
texts of the Meccan stage wich were previously inappropriate for practical
application but are now the only way to proceed”. (Untuk mencapai tahap
reformasi tersebut, kita harus sanggup menyingkirkan teks-teks al-Qur’an dan
Sunnah Madinah yang jelas dan definitif karena mereka telah melaksanakan fungsi
transisinya, dan selanjutnya mengimplementasikan teks-teks periode Mekkah yang
sebelumnya tidak sesuai untuk tujuan aplikasi praktis akan tetapi sekarang
menjadi satu-satunya yang harus ditempuh).
Metodologi ini kemudian disebut evolusi syari’at yaitu “tafsir modern
dan evolusioner terhadap al-Qur’an.” Secara ringkas evolusi syari’at bisa
dijelaskan sebagai berikut:
a) Ia adalah suatu pengujian secara terbuka terhadap isi al-Qur’an dan
as-Sunnah yang melahirkan dua tingkat atau tahap risalah Islam, yaitu periode
awal Makkah dan berikutnya Madinah.
b) Pesan Makkah bersifat abadi, fundamental dan universal; sedang
pesan Madinah sebaliknya.
c) Syari’at historis menjadikan ayat-ayat Madinah sebagai basis
legislasi syari’at dengan me-naskh (menunda pelaksanaan) ayat-ayat Makkah yang
belum bisa diaplikasikan.
d) Ayat-ayat Madinah saat ini tidak bisa diaplikasikan lagi karena
bertentangan dengan nilai-nilai modern.
e) Ayat-ayat Makkah harus difungsikan kembali sebagai basis legislasi
syari’at yang baru dengan me-naskh ayat-ayat Madinah.
f) Di atas basis legislasi baru itu dibangun versi hukum publik Islam
yang sesuai dengan nilai-nilai modern yang tidak lain adalah pencapaian
masyarakat Barat saat ini.
Menurut Na’im pendekatan ini perlu dilakukan karena pesan-pesan
fundamental Islam itu terkandung dalam ayat-ayat makkiyyah, bukan madaniyyah.
Adapun praktek hukum dan politik yang ditetapkan dalam al-Qur’an dan Sunnah
periode Madinah, menurutnya, tidak semestiya merefleksikan pesan-pesan
ayat-ayat makkiyyah.
Dan untuk membangun metodologi evolusi syariatnya, an-Na’im
menggunakan konsep makkiyyah-madaniyyah dan konsep naskh.An-Na’im memahami
konsep makkiyah dan madaniyah dengan pandangan yang berbeda dengan jumhur
ulama, Menurutnya, ayat-ayat Makkiyyah dan ayat-ayat Madaniyyah merupakan dua paket
(tahapan) yang terpisah, yang satu dengan yang lain tidak saling terkait. Ia
berbeda bukan saja terkait perbedaan masa turunnya, tetapi juga terkait dengan
perbedaan tema dan misi yang dibawa, sasaran ( khitab) nya, dan watak
universalnya.
Dari sini kamudian Na’im menyimpulkan bahwa ayat-ayat Makkiyyah
membawa tema dan misi yang fundamental dan abadi, ia berbicara kepada semua
manusia tanpa diskriminasi, melintasi batas dimensi waktu dan tempat. Sedangkan
ayat-ayat Madaniyyah membawa misi sementara, diturunkan untuk masyarakat
tertentu sesuai dengan kondisi manusia abad VII sehingga tidak bisa difungsikan
lagi pada saat ini. Selanjutnya dengan menggunakan konsep naskh, ia melakukan
generalisasi, ayat-ayat Makkiyyah me- naskh ayat-ayat Madaniyyah.
Namun jika kita merujuk pada buku-buku yang membahas ilmu al-Quran
seperti buku ‘Ulum al-Quran’ karangan Manna’ Khalil Qatthan dan Subhi Shalih
kita akan menemukan penjelasan yang sangat berbeda dengan pandangan an-Na’im
dan kita akan menemukan bahwa Makkiyah dan Madaniha tidak terpisah dan juga di
antara keduanya tidak ada yang lebih unggul dibanding lainnya. Justru di antara
keduanya ada hubungan yang sangat erat, saling terkait dan berkesinambungan.
Masing-masing memang memiliki gaya bahasa dan tema-tema khasnya masing-masing,
karena itu sesuai dengan sasarannya. Dan dengan itu bisa diambil pelajaran
tentang metode dakwah dan tahapan-tahapan dakwah. Ayat-ayat makkiyyah turun
lebih dahulu dengan tema seputar akidah, kisah-kisah umat terdahulu dan
dalil-dalil ayat.
kauniyyah yang rasional, menjadi dasar keimanan umat yang kokoh
untuk membangun nilai-nilai agama di masa Madinah. Periode Mekkah adalah
periode tarbiyah (pendidikan) dan I’dad (persiapan) serta penanaman tauhid
untuk pada saatnya nanti menjadi pondasi yang kokoh bagi pembangunan masyarakat
Madinah. Ayat-ayat Madinah tidak bisa tegak bila tanpa ditopang ayat-ayat
Makkiyyah terlebih dulu.
Selain dengan konsep Makkiyyah-Madaniyyah nya yang nyleneh, Na’im
juga membangun metodologi evolusi syari’atnya dengan konsepnaskh. Pengertian
naskh yang umum dikenal kaum muslimin terutama para ulamanya adalah proses
penghapusan atau pembatalan hukum syar’I yang telah ada (lama/terdahulu) untuk
kemudian digantikan dengan hukum syar’I yang lain (baru) berdasarkan dalil syar’I
yang datang kemudian.
Pengertian di atas dapat membantah anggapan Na’im bahwa ulama
generasi awal menerapkan konsep naskh dengan menghapus ayat-ayat Makkiyyah agar
ayat-ayat Madaniyyah bisa diberlakukan. Konsep naskh adalah jalan terakhir
ketika ayat-ayat tersebut tidak bisa dikompromikan dengan jalan lain. Jadi
tidak bisa langsung dan asal me-naskh ayat-ayatMakkiyyah dengan ayat-ayat
Madaniyyah . Apalagi model konsep naskh -nya Na’im yang membalik proses naskh,
ayat yang turun lebih awal ( makkiyyah) men-naskh ayat yang turun belakangan (
madaniyyah). Ini tentu sulit diterima.
Pendekatan Na’im ini juga sangat problematik sekali. Karena disini
Na‘im sepertinya menggambarkan tidak adanya konsistensi dan kesinambungan
ayat-ayat dalam al-Qur’an. Katanya “the specific political and legal norms of
the Qur’an and Sunna of Medina did not always reflect the exact meaning and
implications of the message as revealed in Mecca .” (norma-norma politik dan
hukum al-Qur’an dan Sunnah yang turun di Madinah tidak selalu merefleksikan
arti serta implikasi yang pasti dari pesan yang diturunkan di Mekkah).
3.
Negara Sekuler
Konsep pemikiran an-Na’im terhadap Negara sekuler bahwa
seorangmuslim membutuhkan negara sekuler untuk menjadi muslim yang lebih baik.
Artinya, memerlukan negara yang membiarkan saya sendiri dan bukan memaksakan
agama terhadap saya. Sehingga saya bisa menjadi seorang muslim sesuai pilihan
saya. Jika negara memaksakan pandangan Islamnya terhadap saya, maka saya tidak
bebas memilih bagaimana saya menjadi muslim. Bukan karena saya tidak punya
pilihan.
Islam sebagai rahmatan lil alamin menurut an-Na’im
adalahnilai-nilai Islam hanya bisa dihormati oleh penganutnya dan bukan oleh
negara. Rahmatan lil alamin hanya bisa tercipta oleh masyarakat yang hidup
dalam nilai-nilai Islam dan bukan dipaksakan oleh negara. Baginya dalam
Al-Quran tidak ada konsep negara.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1) Reformasi Islam atau dekonstruksi syari’ah yang digagas an-Na’im
yang kemudian terkenal ke seluruh penjuru dunia sebagai respon terhadap
pemikirannya bermaksud memberikan solusi bagi proses perubahan persepsi, sikap
dan kebijakan umat Islam atas dasar-dasar Islam dan bukan sekuler.
2) Menurut an-Na’im, selama umat Islam tetap setia pada kerangka kerja
syari’ah historis, mereka tidak akan pernah benar-benar mencapai tingkat
keharusan pembaruan yang mendesak sepaya hukum publik Islam bisa berfungsi
sekarang”
3) Pemikiran an-Na’im adalah formulasi yang menyeluruh, mencakup
struktur politik, sosial, hukum pidana, hukum internasional, dan hak-hak asasi
manusia. Dalam bukunya Dekonstruksi Syari’ah an-Na’im lebih memfokuskan pada
tiga masalah pokok, yaitu perbudakan, gender dan non-muslim.Dari tiga pokok
masalah tersebut dijabarkan dalam beberapa hal, diantaranya berikut ini:
a. Syari’ah dan Konstitusional Modern
b. Syari’ah dan Hak Asasi Manusia
4) Konsep-konsep Pemikiran Abdullah Ahmed An-Na’im:
a. Reformasi Syariah
b. Evolutionary Approach (evolusi syari’at)
c. Negara Sekuler
DAFTAR PUSTAKA
http://haniffatkhuraziz.blogspot.sg/2016/03/abdullah-ahmad-naim-dan
pemikirannya.html?m=1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar