Rabi’ah Al Adawiyah tergolong dalam kelompok sufi periode awal. Ia memperkaya
literatur Islam dengan kisah-kisah pengalaman mistiknya dalam sajak-sajak
berkualitas tinggi. Rabi’ah dipandang sebagai pelopor tasawuf mahabbah, yaitu
penyerahan diri total kepada “kekasih” (Allah) dan ia pun dikenang sebagai ibu
para sufi besar (The Mother of The Grand Master). Hakikat tasawufnya adalah
habbul-ilāh (mencintai Allah SWT). Ibadah yang ia lakukan bukan terdorong oleh
rasa takut akan siksa neraka atau rasa penuh harap akan pahala atau surga,
melainkan semata-mata terdorong oleh rasa rindu pada Tuhan untuk menyelami
keindahan–Nya yang azali. Mahabbah Rabi’ah merupakan versi baru dalam masalah
ubudiyah kedekatan pada Tuhan.
Rabi’ah adalah seorang zahidah
sejati. Memeluk erat kemiskinan demi cintanya pada Allah. Lebih memilih hidup
dalam kesederhanaan. Definisi cinta menurut Rabi’ah adalah cinta seorang hamba
kepada Allah Tuhannya. Ia mengajarakan bahwa yang pertama, cinta itu harus
menutup yang lain, selain Sang Kekasih atau Yang Dicinta, yaitu bahwa seorang
sufi harus memalingkan punggungnya dari masalah dunia serta segala daya
tariknya. Sedangkan yang kedua, ia mengajarkan bahwa cinta tersebut yang
langsung ditujukan kepada Allah dimana mengesampingkan yang lainnya, harus tidak
ada pamrih sama sekali. Ia harus tidak mengharapkan balasan apa-apa. Dengan
Cinta yang demikian itu, setelah melewati tahap-tahap sebelumnya, seorang sufi
mampu meraih ma’rifat sufistik dari “hati yang telah dipenuhi oleh rahmat-Nya”.
Pengetahuan itu datang langsung sebagai pemberian dari Allah dan dari ma’rifat
inilah akan mendahului perenungan terhadap Esensi Allah tanpa hijab. Rabi’ah
merupakan orang pertama yang membawa ajaran cinta sebagai sumber keberagamaan
dalam sejarah tradisi sufi Islam.
Cinta Rabi’ah merupakan cinta yang
tidak mengharap balasan. Justru, yang dia tempuh adalah perjalan mencapai
ketulusan. Sesuatu yang diangap sebagai ladang subur bagi pemuas rasa cintanya
yang luas, dan sering tak terkendali tersebut. Lewat sebuah doa yang mirip
syair, ia berujar:
Wahai Tuhanku, jika aku menyembah-Mu
karena takut neraka, bakarlah aku di neraka. Jika aku menyembah-Mu karena
surga, jangan masukkan ke dalamnya. Tapi, jika aku menyembah-Mu demi Engkau
semata, jangan sembunyikan dariku keindahan abadi-Mu.
Dalam fase selanjutnya, hidup
Rabia'ah hanya diisi dengan dzikir, tilawah, dan wirid. Duduknya hanya untuk
menerima kedatangan muridnya yang terdiri dari kaum sufi yang memohon restu dan
fatwanya. Rabi'ah berusaha mengajarkan generasi Muslim sesudahnya sehingga
mereka mampu mengangkat derajat mereka dari nafsu rendah. Sebab kondisi
masyarakat Basrah pada waktu itu terlena dalam kehidupan duniawi, berpaling
dari Allah Swt dan menjauhi orang-orang yang mencintai Allah serta segala
sesuatu yang dapat mendekatkan diri pada Allah Swt. Mengajarkan pada manusia
arti cinta ilahi dengan mendidik manusia dengan akhlaq yang mulia sehingga
mendapatkan kedudukan tinggi. Hidup Rabi'ah penuh untuk beribadah kepada Tuhan
hingga akhir hayatnya.
Cinta Ilahi (al-Hubb al-Ilah) dalam
pandangan kaum sufi memiliki nilai tertinggi. Bahkan kedudukan mahabbah dalam
sebuah maqamat sufi tak ubahnya dengan maqam ma’rifat, atau antara mahabbah dan
ma’rifat merupakan kembar dua yang satu sama lain tidak bisa dipisahkan. Abu
Nashr as-Sarraj ath-Thusi mengatakan, cinta para sufi dan ma’rifat itu timbul
dari pandangan dan pengetahuan mereka tentang cinta abadi dan tanpa pamrih
kepada Allah. Cinta itu timbul tanpa ada maksud dan tujuan apa pun.
Apa yang diajarkan Rabi’ah melalui
mahabbah-nya, sebenarnya tak berbeda jauh dengan yang diajarkan Hasan al-Bashri
dengan konsep khauf (takut) dan raja’ (harapan). Hanya saja, jika Hasan
al-Bahsri mengabdi kepada Allah didasarkan atas ketakutan masuk neraka dan
harapan untuk masuk surga, maka mahabbah Rabi’ah justru sebaliknya. Ia mengabdi
kepada Allah bukan lantaran takut neraka maupun mengharapkan balasan surga,
namun ia mencinta Allah lebih karena Allah semata. Sikap cinta kepada dan
karena Allah semata ini misalnya tergambar dalam sya’ir Rabi’ah sebagai
berikut:
Ya Allah, jika
aku menyembah-Mu,
karena takut
pada neraka,
maka bakarlah
aku di dalam neraka.
Dan jika aku
menyembah-Mu karena mengharapkan surga,
campakkanlah
aku dari dalam surga.
Tetapi jika aku
menyembah-Mu, demi Engkau,
janganlah
Engkau enggan memperlihatkan keindahan wajah-Mu,
yang Abadi kepadaku.
Cinta Rabi’ah kepada Allah sebegitu
kuat membelenggu hatinya, sehingga hatinya pun tak mampu untuk berpaling kepada
selain Allah. Pernah suatu ketika Rabi’ah ditanya, “Apakah Rabi’ah tidak
mencintai Rasul?” Ia menjawab, “Ya, aku sangat mencintainya, tetapi cintaku
kepada Pencipta membuat aku berpaling dari mencintai makhluknya.” Rabi’ah juga
ditanya tentang eksistensi syetan dan apakah ia membencinya? Ia menjawab, “Tidak,
cintaku kepada Tuhan tidak meninggalkan ruang kosong sedikit pun dalam diriku
untuk rasa membenci syetan.”
Allah adalah
teman sekaligus Kekasih dirinya, sehingga ke mana saja Rabi’ah pergi, hanya
Allah saja yang ada dalam hatinya. Ia mencintai Allah dengan sesungguh hati dan
keimanan. Karena itu, ia sering jadikan Kekasihnya itu sebagai teman bercakap
dalam hidup. Dalam salah satu sya’ir berikut jelas tergambar bagaimana Cinta
Rbi’ah kepada Teman dan Kekasihnya itu:
Kujadikan
Engkau teman bercakap dalam hatiku,
Tubuh kasarku
biar bercakap dengan yang duduk.
Jisimku biar
bercengkerama dengan Tuhanku,
Isi hatiku
hanya tetap Engkau sendiri.
Menurut kaum sufi, proses perjalanan
ruhani Rabi’ah telah sampai kepada maqam mahabbah dan ma’rifat. Namun begitu,
sebelum sampai ke tahapan maqam tersebut, Rabi’ah terlebih dahulu melampaui
tahapan-tahapan lain, antara lain tobat, sabar dan syukur. Tahapan-tahapan ini
ia lampaui seiring dengan perwujudan Cintanya kepada Tuhan. Tapi pada tahap
tertentu, Cinta Rabi’ah kepada Tuhannya seakan masih belum terpuaskan, meski
hijab penyaksian telah disibakkan. Oleh karena itu, Rabi’ah tak henti-hentinya
memohon kepada Kekasihnya itu agar ia bisa terus mencintai-Nya dan Dia pun
Cinta kepadanya.
Dalam kegamangannya itu, Rabi’ah tak
putus-putusnya berdoa dan bermunajat kepada Allah. Bahkan dalam doanya itu ia
berharap agar tetap mencintai Allah hingga Allah memenuhi ruang hatinya.
Doanya:
Tuhanku, malam
telah berlalu dan
siang segera
menampakkan diri.
Aku gelisah
apakah amalanku Engkau terima,
hingga aku
merasa bahagia,
Ataukah Engkau
tolak hingga sehingga aku merasa bersedih,
Demi ke-Maha
Kuasaan-Mu, inilah yang akan kulakukan.
Selama Engkau
beri aku hayat,
sekiranya
Engkau usir dari depan pintu-Mu,
aku tidak akan
pergi karena cintaku pada-Mu,
telah memenuhi
hatiku.
Cinta bagi Rabi’ah telah
mempesonakan dirinya hingga ia telah melupakan segalanya selain Allah. Tapi
bagi Rabi’ah, Cinta tentu saja bukan tujuan, tetapi lebih dari itu Cinta adalah
jalan keabadian untuk menuju Tuhan sehingga Dia ridla kepada hamba yang
mencintai-Nya. Dan dengan jalan Cinta itu pula Rabi’ah berupaya agar Tuhan
ridla kepadanya dan kepada amalan-amalan baiknya. Harapan yang lebih jauh dari
Cintanya kepada Tuhan tak lain agar Tuhan lebih dekat dengan dirinya, dan
kemudian Tuhan sanggup membukakan hijab kebaikan-Nya di dunia dan juga di
akhirat kelak. Ia mengatakan, dengan jalan Cinta itu dirinya berharap Tuhan
memperlihatkan wajah yang selalu dirindukannya. Dalam sya’irnya Rabi’ah
mengatakan :
Aku
mencintai-Mu dengan dua macam Cinta,
Cinta rindu dan
Cinta karena Engkau layak dicinta,
Dengan Cinta
rindu,
kusibukan
diriku dengan mengingat-ingat-Mu selalu,
Dan bukan
selain-Mu.
Sedangkan Cinta
karena Engkau layak dicinta,
di sanalah Kau
menyingkap hijab-Mu,
agar aku dapat
memandangmu.
Namun, tak ada
pujian dalam ini atau itu,
segala pujian
hanya untuk-Mu dalam ini atau itu.[1]
Abu
Thalib al-Makki dalam mengomentari sya’ir di atas mengatakan, dalam Cinta rindu
itu, Rabi’ah telah melihat Allah dan mencintai-Nya dengan merenungi esensi
kepastian, dan tidak melalui cerita orang lain. Ia telah mendapat kepastian
(jaminan) berupa rahmat dan kebaikan Allah kepadanya. Cintanya telah menyatu
melalui hubungan pribadi, dan ia telah berada dekat sekali dengan-Nya dan
terbang meninggalkan dunia ini serta menyibukkan dirinya hanya dengan-Nya,
menanggalkan duniawi kecuali hanya kepada-Nya. Sebelumnya ia masih memiliki
nafsu keduniawian, tetapi setelah menatap Allah, ia tanggalkan nafsu-nafsu
tersebut dan Dia menjadi keseluruhan di dalam hatnya dan Dia satu-satunya yang
ia cintai. Allah telah memebaskan hatinya dari keinginan duniawi, kecuali hanya
diri-Nya, dan dengan ini meskipun ia masih belum pantas memiliki Cinta itu dan
masih belum sesuai untuk dianggap menatap Allah pada akhirnya, hijab tersingkap
sudah dan ia berada di tempat yang mulia. Cintanya kepada Allah tidak
memerlukan balasan dari-Nya, meskipun ia merasa harus mencintai-Nya. Al-Makki
melanjutkan, bagi Allah, sudah selayaknya Dia menampakkan rahmat-Nya di muka
bumi ini karena doa-doa Rabi’ah (yaitu pada saat ia melintasi Jalan itu) dan
rahmat Allah itu akan tampak juga di akhirat nanti (yaitu pada saat Tujuan
akhir itu telah dicapainya dan ia akan melihat wajah Allah tanpa ada hijab,
berhadap-hadapan). Tak ada lagi pujian yang layak bagi-Nya di sini atau di sana
nanti, sebab Allah sendiri yang telah membawanya di antara dua tingkatan itu
(dunia dan akhirat).[2]
Sosok sufi perempuan ini sangat
dikenal dalam dunia tasawuf. Ia hidup di abad kedua Hijriah, dan meninggal pada
tahun 185 H. Meski ia hidup di Bashrah sebagai seorang hamba sahaya dari
keluarga Atiq, hal itu tidak menghalanginya tumbuh menjadi seorang sufi yang
disegani di zamannya, bahkan hingga di zaman modern sekarang ini.[1]
Corak tasawuf
Rabi’ah yang begitu menonjolkan cinta kepada Tuhan tanpa pamrih apapun
merupakan suatu corak tasawuf yang baru di zamannya. Pada saat itu, tasawuf
lebih didominasi corak kehidupan zuhud (asketisme) yang sebelumnya dikembangkan
oleh Hasan al-Bashri yang mendasarkan ajarannya pada rasa takut (khauf) kepada
Allah. Corak tasawuf yang dikembangkan oleh Rabi’ah tersebut kelak membuatnya
begitu dikenal dan menduduki posisi penting dalam dunia tasawuf.[2]
Sedemikian
tulusnya cinta kepada Allah yang dikembangkan oleh Rabi’ah, bisa dilihat,
misalnya, dalam sebuah munajat yang ia panjatkan: “Tuhanku, sekiranya aku
beribadah kepada-Mu karena takut neraka-Mu, biarlah diriku terbakar api
jahanam. Dan sekiranya aku beribadah kepada-u karena mengharap surga-Mu,
jauhkan aku darinya. Tapi, sekiranya aku beribadah kepada-Mu hanya semata cinta
kepada-Mu, Tuhanku, janganlah Kauhalangi aku melihat keindahan-Mu yang abadi.”[3]
Saking besar dan tulusnya cinta
Rabi’ah kepada Allah, maka seolah cintanya telah memenuhi seluruh kalbunya. Tak
ada lagi tersisa ruang di hatinya untuk mencintai selain Allah, bahkan kepada
Nabi Muhammad sekalipun. Pun, tak ada ruang lagi di kalbunya untuk membenci
apapun, bahkan kepada setan sekalipun. Seluruh hatinya telah penuh dengan cinta
kepada Tuhan semata. Hal ini juga Rabi’ah tunjukkan dengan memutuskan untuk
tidak menikah sepanjang hidupnya, karena ia menganggap seluruh diri dan hidupnya
hanya untuk Allah semata.[4]
[1] Ibn al-Mulqin, Thabaqat al-Auliya, (format e-book Program al-Maktabah
asy-Syamilah), juz 1, hal. 68.
[3] Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, Suatu
Pengantar tentang Tasawuf, terj. Ahmad Rofi’ Utsmani, (Bandung: Pustaka,
1985). Hal 86
Tidak ada komentar:
Posting Komentar