Kamis, 03 November 2016

HARTA DALAM RUMAH TANGGA (kajian hadits riwayat Muslim dari A’isyah)

HARTA DALAM RUMAH TANGGA
(kajian hadits riwayat Muslim dari A’isyah)


HARTA DALAM RUMAH TANGGA (kajian hadits riwayat Muslim dari A’isyah)
Teks Hadits dan Tarjamahnya :

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ دَخَلَتْ هِنْدٌ بِنْتُ عُتْبَةَ امْرَأَةُ أَبِي سُفْيَانَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيحٌ لَا يُعْطِينِي مِنْ النَّفَقَةِ مَا يَكْفِينِي وَيَكْفِي بَنِيَّ إِلَّا مَا أَخَذْتُ مِنْ مَالِهِ بِغَيْرِ عِلْمِهِ فَهَلْ عَلَيَّ فِي ذَلِكَ مِنْ جُنَاحٍ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خُذِي مِنْ مَالِهِ بِالْمَعْرُوفِ مَا يَكْفِيكِ وَيَكْفِي بَنِيكِ

Dari ‘A`isyah yang berkata: Hindun binti Utbah istri Abi Sufyan menghadap Rasul SAW, berkata: Wahai Rasul! Sesungguhnya Abu Sufyan itu seorang laki-laki yang sangat kikir. Dia tidak memberi nafaqah padaku dan pada anakku yang mencukupi, kecuali apa yang kau ambil dari hartanya tanpa sepengetahun dia. Apakah aku memikul dosa atas perbuatanku itu? Rasil SAW bersabda: ambilah dari hartanya secara ma’ruf apa yang mencukupi kebutuanmu dan menuckupi kebutuhan anakmu. Hr. Muslim (206-261H).[1]

Syarah Sekilas :

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ dari Aisyah berkata: Kalimat ini menunjukkan bahwa A’syah isteri Rasul SAW yang menjdi rawi shahabi. Beliau adalah shahabat sekaligus Um al-Mu`minin yang banyak meriwayatkan hadits, karena paling lama mendampingi Rasul pada periode Madinah. A’isyah putrid Abu Bakar dan Umm Ruman, dinikah oleh Rasul pada tahun kesebelas kenabian, atau dua tahun sebelum hijrah, dan di Madinah wafat tahun 57H ada pula yang mengatakan tahun 58H.

دَخَلَتْ هِنْدٌ بِنْتُ عُتْبَةَ امْرَأَةُ أَبِي سُفْيَانَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ kata Aisyah; Hindun bin Utbah istri Abi Sufyan menghadap Rasul SAW. Hindun adalah putrid Utbah bin Rabi’ah bin Abd Syams bin Abd Manaf. Ayah Hindun terbunuh di ketika perang Badar bersama pamannya yang bernama Syaibah dan saudarnya yang bernama al-Walid bin Utbah. Sejak saat itu Hindun sangat benci pada kaum Muslimin, hingga mengoyak perut dan menelan ati Hamzah bin Abd al-Muthalib yang gugur di perang Uhud. Pada Futuh Mekah, Hindun masuk Islam dan menjadi pembela kaum muslimin bersama Rasul SAW. Beliau wafat pada bulan Muharram tahun 14H.
فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيحٌ kata Hindun; Wahai Rasul! Sesungguhnya Abu Sufyan itu orang yang sangat kikir. Kepribadian Abu Sufyan diceritakan istrinya kepada Rasul, untuk mendapatkan nasihat hukum. Abu Sufyan bernama asli Shakhr bin Harb binm Umayyah bin Abd Syams termasuk pembesar Quraisy, Mu’awiyah putra beliau merupakan pendiri Dinasti Umayah yang berpusat di Damascus. Abu Sufyan masuk Islam pada peristiwa futuh Mekah tahun 8H, sebelum isterinya, setelah dikejar tentara Muslim dan ditolong oleh Abbas yang membawanya menghadap Rasul SAW.[2]
Setelah itu beliau menjadi pembela Islam, wafat pada tahun 32H pada jaman pemerintahan klhliafah Utsman bin Affan. Hindun sebagai isteri, mengadu pada Rasul SAW tentang suaminya sebagai رَجُلٌ شَحِيحٌ seorang laki-laki yang amat kikir. Perkataan شَحِيحٌ menurut bahasa berarti بخيل حريص kikir yang disertai rakus berkeinginan keras memiliki segalanya.[3]
Kata al-Asqalani أعم من البخل لأن البخل مختص بمنع المال والشح يعم منع كل شيء في جميع الأحوال istilah شَحِيحٌ lebih luas dari bakhil. Bakhil hanya kikir pada harta, sedangkan syahih mencakup kikir dalam segalanya, baik harta, sikap maupun tindakan.[4]
لَا يُعْطِينِي مِنْ النَّفَقَةِ مَا يَكْفِينِي وَيَكْفِي بَنِيَّ dia tidak memberi nafaqah yang menuckupi keperluan saya dan anak-anak saya. Kalimat ini merupakan penjelkasan tentang sifat suaminya, Abu Sufyan yang kikir itu. Hal ini penting disampaikan kepada Rasul SAW oleh Hindun agar mendapat fatwa hukum sesuai faktanya. Dengan demikian, Abu Sufyan bukan berarti tidak pernah memberi nafaqah sama sekali, melainkan hanya sedikit sehingga tidak bisa mencukupi kebutuhan pokok isteri dan anaknya. Kalimat ini juga mengisyaratkan bahwa Hindun telah mengetahui hukum tentang wajibnya seorang suami memberi nafqah untuk memenuhi kebutuhan pokok keluarga. Namun dalam riwayat al-Nasa`iy, redaksinya berbunyi وَلَا يُنْفِقُ عَلَيَّ وَوَلَدِي مَا يَكْفِينِي dia tidak memberi nafqah padaku dan anakku yang mencukupi; bolerhkah aku mengambil sebagian hartanya tanpa ia sadari?[5]
Redaksi ini mengisyaratkan bahwa Hindun minta fatwa tentang boleh atau tidaknya mengambil haknya tanpa sepengetahuan suami.
إِلَّا مَا أَخَذْتُ مِنْ مَالِهِ بِغَيْرِ عِلْمِهِ kecuali apa yang saya ambil dari hartanya tanpa sepengatuan dia. Hindun mengungkapkan bukti kekikiran suaminya, hingga tidak mau memberinya, kecuali bila ia mengambilnya tanpa izin. Dalam riwayat Ahmad ada yang menggunakan redaksi وَلَيْسَ لِي إِلَّا مَا يَدْخُلُ بَيْتِي saya tidak mendapatkan nafaqah kecuali bila ia masuk ke rumahku.[6]
Karena keterpaksaan untuk memenuhi kebutuhan diri dan anaknya sehari-hari, maka Hindun mengambil sebagian harta suaminya tanpa sepengetahunnya dan tanpa izin darinya. Kisah ini juga mengisyaratkan bahwa Abu Sufyan memegang kendali spenuhnya harta keluarga. Dia tidak mempercayakan pengelolaan hartanya kepada istrinya. Dengan kata lain Abu Sufyan yang mencari nafqah, dan sekaligus mengelola dan mengaturnya dalam rumah tangga.
فَهَلْ عَلَيَّ فِي ذَلِكَ مِنْ جُنَاحٍ apakah perbuatan tersebut tidak menjadi dosa atasku? Redaksi ini mengisyaratkan bahwa Hindun suka melakukan pengambilan harta suaminya, tanpa izin. Beliau merasa takut berdosa atas tindakannya, apakah termasuk mencuri. Namun dalam riwayat al-Nasa`iy pertanyaan Hindun itu berbunyi أَفَآخُذُ مِنْ مَالِهِ وَلَا يَشْعُرُ bolehkah aku mengambil sebagian hartanya tanpa ia sadari?[7]
فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خُذِي مِنْ مَالِهِ بِالْمَعْرُوفِ مَا يَكْفِيكِ وَيَكْفِي بَنِيكِ Rasul SAW bersabda: ambilah olehmu sebagian dari hartanya secara ma’ruf apa yang menucukupi kebutuhanmu dan kebeutiuhan anakmu. Rasul SAW ternyata tidak mengomentari kebijaksanaan Abu Sufyan yang memegang kendali penuh harta keluarganya. Beliau mempercayai apa yang diungkapkan Hindun, dan kemudian memberi petunjik padanya. Terdapat beberapa redaksi antara lain (1) خُذِي أَنْتِ وَبَنُوكِ مَا يَكْفِيكِ بِالْمَعْرُوفِ (2) خُذِي مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ Hr. Ibn Majah.[8]
Petunjuk Rasul SAW tersebut mengandung arti antara lain (1) dalam harta suami terdapat bagian isteri dan anak, (2) mengambil hak sendiri tidak menjadi dosa, (3) yang boleh diambil dari harta suami adalah sebatas kebutuhan, bukan mengikuti yang diinginkan, (4) ukuran yang diambil mesti berpedoman pada hukum ma’ruf, atau atas dasar kesepakatan sebelumnya dalam pengelolaan harta, (5) bolehnya istri mengambil harta suami, selama tidak memberi nafqah. Jika ternyata suaminya sudah memberi nafqah, maka istri tidak mempunyai hak mengambil harta suaminya, (6) baik suami maupun istri mempunyai hak milik masing-masing, (7) apa yang belum diberikan pada istrinya, maka statusnya masih menjadi milik suami.
Beberapa Ibrah Bolehnya mengungkapkan keburukan tatkala sangat diperlukan. Dalam hadits ini tersirat adanya menceritakan keburukan seseorang karena situasi tertentu. Hindun menceritakan suaminya kepada Rasul SAW, sehingga kekurangan Abu Sufyan diketahui umat. Namun ternyata Rasul SAW tidak menyalahkan Hindun. Jika tindakan Hindun itu salah, tentu Rasul SAW akan menegurnya. Taqrir (pembiaran) Rasul SAW tersebut memberi isyarat bolehnya menyampaikan keburukan seseorang dalam meminta fatwa hukum atau konsultasi pada halinya. Al-Nawawi (631-676H), mengungkapkan bahwa ghibah iatu ada yang diperbolehkan syari’ah antara lain: (1) Orang yang dianiaya atau dizhalimi, atau tidak dipenuhi haknya, kemudian mengadu pada aparat hukum, supaya mendapatkan keadilan. (2) Minta bantuan dalam mencegah kemunkaran. Umpanya seseorang melihat kawannya berbuat munkar, tapi sulit mencegahnya, maka minta bantuan orang lain yang diperkirakan mampu. (3) Minta fatwa hukum, baik dalam perselisihan, ataupun perbuatan yang diperikarakan buruk, yang memerlukan penjelasan rinci. (4) Memberikan peringatan kepada sesame muslim untuk bersikap waspada terhadap yang suka berbuat buruk, seperti tukang bohong demi menghindari adanya korban penipuan atau pemalsuan. Inilah yang dilakukan oleh para peneliti hadits yang tidak segan-segan mengungkapkan fakta kesalahan atau kelemahan rawi yang dla’if. (5) Mengungkapkan kejelekan orang yang suka berbuat durhaka secara terang-terangan, seperti pemabuk, pezina, pembunuh. Orang yang merasa bangga dengan kedurhakaan atau kema’shiatannya, tidak perlu ditutupi keburukannya. Allah SWT juga mengungkap keburukan Abu Lahab damn istri nabi Luth. (6) Untuk memberikan petunjuk yang jelas terhadap orang tertentu supaya berbeda dengan yang lainnya. Misalkan di satu kampung terdapat beberapa orang yang namanya sama, maka diperlukan menyebut cirri hasnya, seperti yang tubuh pendek, atau tinggi, atau pesek atau pecak. Bila tidak disebut, umpamnya menyulitkan penentuan suatu kasus atau memberi petunjuk pada yang bertanya.[9]
Di samping itu, tidak disalahkan mengungkapkan kejahatan pemimpin yang tidak adil, demi membela kemaslahatan umat, sebagaimana al-Qur`an menjelekan Fir’aun. Hal semacam ini sangat penting, utamanya dalam pemilihan pemimpin.
Suami dilarang kikir pada istri dan keluarganya. Rasul SAW sampai mempersilakan Hindun mangambil harta Abi Sufyan yang kikir. Allah SWT mengecam keras orang yang kikir. Firman-Nya: الَّذِينَ يَبْخَلُونَ وَيَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبُخْلِ وَيَكْتُمُونَ مَا آَتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا مُهِينًا orang-orang yang kikir, dan menyuruh orang lain berbuat kikir dan menyembunyikan karunia Allah yang telah diberikan-Nya kepada mereka. Dan kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir siksa yang menghinakan. Qs.4:37. Dalam ayat ini ditegaskan bahwa yang kikir itu bakal masuk neraka.
Wajibnya suami mencukupi kebutuhan fisik minimum anak dan isteri. Allah SWT berfirman: وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ Suami berkewajiban memberi nafqah berupa kebutuhan makan dan pakaian untuk istrinya secara patut. Qs.2:233. jika tidak memberi kecukupan, padahal dia memilikinya, maka bisa diminta paksa.
Dalam harta hasil suami terdapat hak anak dan istri. Tindakan Hindun yang mengambil sebagian harta suaminya, oleh Rasul dianggap tidak mencuri. Hal ini mengisyaratkan bahwa dalam harta yng dimiliki suami terdapat hak melekat yang dimiliki istrinya.
Isteri boleh mengambil harta suami yang kikir tanpa sepengetahuannya, secara ma’ruf. Ma’ruf adalah yang dianggap baik oleh aturan manusia dan tidak bertentangan dengan syari’ah. Yang termasuk ma’ruf (1) kepentingan kiswah, nafaqah, suknah istri dan anak, (2) kewajiban seperti zakat, (3) shadaqah yang tidak mengganggu keburuhan pokok. Rasul SAW bersabda: إِذَا أَنْفَقَتْ الْمَرْأَةُ مِنْ طَعَامِ بَيْتِهَا غَيْرَ مُفْسِدَةٍ كَانَ لَهَا أَجْرُهَا بِمَا أَنْفَقَتْ وَلِزَوْجِهَا أَجْرُهُ بِمَا كَسَبَ وَلِلْخَازِنِ مِثْلُ ذَلِكَ لَا يَنْقُصُ بَعْضُهُمْ أَجْرَ بَعْضٍ شَيْئًا jika seorang wanita berinfaq dari harta rumah tangganya sepanjang tidak menimbulkan kerusakan, maka pahalanya adalah untuknya dan untik suaminya. Dia dapat pahala karena berinfaq, dan suaminya dapat pahala karena telah mencarikan nafqah. Demikian pula seorang bendahara, akan mendapat pahala yang tidak dikurangi.Hr.Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud.[10]
Hadits ini memberikan jaminan bagi seorang istri yang berinfaq dari harta rumah tangganya, asalkan tidak menimbulkan masalah, bahwa mereka bakal mendapat pahala. Hal ini memberikan isyarat agar setiap suami memberikan wewenang pada istrinya untuk berinfaq, karena pahalanya akan didapat oleh keduanya.Seorang ibu ikut tanggung jawab tentang kebutuhan anaknya. Rasul SAW mempersilakan Hindun mengambil sebagian harta suaminya untuk memenuhi kebutuhan anaknya. Dengan demikian ibu memiliki tanggung jawab tentang kesejahteraan anak.
7.Boleh memvonis in absensia bila sudah diketahui faktanya. Rasul SAW tidak memanggil Abu Sufyan untuk klarifikasi laporan Hindun. Dengan demikian jika dudah jelas faktanya, hakim bisa saja memvonis tanpa kehadiran terdakwa. Namun bila belum diketahui faktanya secara jelas, maka hakim mesti kelarifikasi yang diadukan terlebih dahulu sebelum menjatuhkan vonis salah atau benar. Rasul SAW bersabda: إِذَا تَقَاضَى إِلَيْكَ رَجُلَانِ فَلَا تَقْضِ لِلْأَوَّلِ حَتَّى تَسْمَعَ كَلَامَ الْآخَرِ فَسَوْفَ تَدْرِي كَيْفَ تَقْضِي jika ada dua orang mengadu padamu, maka janganlah kamu memutuskan pada fihak pertama sebelum mendengar pandangan yang lain, yang diadukan, maka kamu akan tahu bagaimana menetapkan putusan. Hr. Ahmad dan al-Tirmidzi.[11]
Pengelola harta dalam rumah tangga, tidak dipersoalkan, siapa yang mengendalikan. Rasul SAW tidak mempermasalahkan tentang tindakan Abu Sufyan memegang kendali harta keluarga. Dengan demikian dalam kehidupan berumah tangga, pengelola harta tidak diatur secara kaku; tergantung pada kesepakatan bersama. Namun seharusnya yang memegang kendali harta rumah tangga itu adalah yang benar-benar bisa mengelolanya secara baiuk dan benar. Allah SWT telah memberikan bimbingan tentang halk ini,. Firman-Nya: وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِيَامًا وَارْزُقُوهُمْ فِيهَا وَاكْسُوهُمْ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلًا مَعْرُوفًا Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik. Qs.4:5 Ayat ini berlaku umum, siapa pun yang memiliki tanggung jawab mengurus harta, jangan menyerahkan kepercayaannya kepada yang belum memilki kemampuan pengelolaan secara baik. Kedudukan harta dalam rumah tangga, baik pengelolaannya, maupun penggunaannya, apakah menjadi milik suami sepenuhnya, atau milik bersama yang seimbang, atau istri yang lebih banyak sangat tergantung pada kesepakatan bersama. Isyarat hokum dalam hadits ini, setiap suami wajib memneuhi kebutuhan anak dan istri. Jika suami tidak memenuhi kebutuhan istri dan anaknya, padahal dia mampu, maka sanga istri boleh memaksanya dan mengadukan ke aparat berwenang.
Dalam kehidupan rumah tangga, baik suami maupun istri mempunyai hak milik. Ketetapan tersebut tersirat pula dalam firman Allah SWT: لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبُوا وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبْنَ (kaum lelaki memiliki hak milik sesuai dengan apa yang mereka usahakan, kaum perempuan mempunyai hak milik sesuai dengan apa yang mereka usahakan.Qs.4:32). Harta bawaan atau hasil usaha suami tetap menjadi milik suami, kecuali bila telah diberikan pada istrinya. Demikian pula harta istri tetap menjadi miliknya sendiri, kecuali bila telah diberikan pada suaminya. Prosentase kepemilikan hasil usaha bersama ditentukan oleh kesepakatan bersama. Oleh karena itu bila suami istri bercerai atau salah seorang meninggal dunia, maka kepemilikan harta yang masih campur mesti dipisahkan sesuai hasil ksepekatan dan/ atau ditetapkan oleh pengadilan.



[1] Shahih Muslim, III h.1338, no3233
[2] Awn al-Ma’bud, IX h.325
[3] Nayl al-Awthar, VII h.131
[4] Fath al-Bari, IX h.508
[5] Sunan al-Nasa`iy, hadits n.5325
[6] Musnad Ahmad, hadits no.22988
[7] Sunan al-Nasa`iy, hadits n.5325
[8] Sunan Ibn Majah, hadits no.2284
[9] Abu Zakariya Yahya al-Nawawi, Syarh al-Nawawi ala Shahih Muslim, XVI h.142-143
[10] Shahih al-Bukhari, no.1336, Shahih Muslim, no.1700, Sunan Abi Dawud, no.1435
[11] Musnad Ahmad, no.652, Sunan al-Tirmidzi, no.1252.

Tidak ada komentar: