HARTA DALAM
RUMAH TANGGA
(kajian hadits
riwayat Muslim dari A’isyah)
HARTA
DALAM RUMAH TANGGA (kajian hadits riwayat Muslim dari A’isyah)
Teks
Hadits dan Tarjamahnya :
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ
دَخَلَتْ هِنْدٌ بِنْتُ عُتْبَةَ امْرَأَةُ أَبِي سُفْيَانَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَبَا
سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيحٌ لَا يُعْطِينِي مِنْ النَّفَقَةِ مَا يَكْفِينِي
وَيَكْفِي بَنِيَّ إِلَّا مَا أَخَذْتُ مِنْ مَالِهِ بِغَيْرِ عِلْمِهِ فَهَلْ
عَلَيَّ فِي ذَلِكَ مِنْ جُنَاحٍ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ خُذِي مِنْ مَالِهِ بِالْمَعْرُوفِ مَا يَكْفِيكِ وَيَكْفِي بَنِيكِ
Dari
‘A`isyah yang berkata: Hindun binti Utbah istri Abi Sufyan menghadap Rasul SAW,
berkata: Wahai Rasul! Sesungguhnya Abu Sufyan itu seorang laki-laki yang sangat
kikir. Dia tidak memberi nafaqah padaku dan pada anakku yang mencukupi, kecuali
apa yang kau ambil dari hartanya tanpa sepengetahun dia. Apakah aku memikul
dosa atas perbuatanku itu? Rasil SAW bersabda: ambilah dari hartanya secara
ma’ruf apa yang mencukupi kebutuanmu dan menuckupi kebutuhan anakmu. Hr. Muslim
(206-261H).[1]
Syarah
Sekilas :
عَنْ
عَائِشَةَ قَالَتْ dari
Aisyah berkata: Kalimat ini menunjukkan bahwa A’syah isteri Rasul SAW yang
menjdi rawi shahabi. Beliau adalah shahabat sekaligus Um al-Mu`minin yang
banyak meriwayatkan hadits, karena paling lama mendampingi Rasul pada periode
Madinah. A’isyah putrid Abu Bakar dan Umm Ruman, dinikah oleh Rasul pada tahun
kesebelas kenabian, atau dua tahun sebelum hijrah, dan di Madinah wafat tahun
57H ada pula yang mengatakan tahun 58H.
دَخَلَتْ
هِنْدٌ بِنْتُ عُتْبَةَ امْرَأَةُ أَبِي سُفْيَانَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ kata Aisyah; Hindun bin Utbah istri Abi Sufyan menghadap Rasul SAW.
Hindun adalah putrid Utbah bin Rabi’ah bin Abd Syams bin Abd Manaf. Ayah Hindun
terbunuh di ketika perang Badar bersama pamannya yang bernama Syaibah dan
saudarnya yang bernama al-Walid bin Utbah. Sejak saat itu Hindun sangat benci
pada kaum Muslimin, hingga mengoyak perut dan menelan ati Hamzah bin Abd
al-Muthalib yang gugur di perang Uhud. Pada Futuh Mekah, Hindun masuk Islam dan
menjadi pembela kaum muslimin bersama Rasul SAW. Beliau wafat pada bulan
Muharram tahun 14H.
فَقَالَتْ
يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيحٌ kata Hindun; Wahai Rasul! Sesungguhnya Abu Sufyan itu orang yang
sangat kikir. Kepribadian Abu Sufyan diceritakan istrinya kepada Rasul, untuk
mendapatkan nasihat hukum. Abu Sufyan bernama asli Shakhr bin Harb binm Umayyah
bin Abd Syams termasuk pembesar Quraisy, Mu’awiyah putra beliau merupakan
pendiri Dinasti Umayah yang berpusat di Damascus. Abu Sufyan masuk Islam pada
peristiwa futuh Mekah tahun 8H, sebelum isterinya, setelah dikejar tentara
Muslim dan ditolong oleh Abbas yang membawanya menghadap Rasul SAW.[2]
Setelah
itu beliau menjadi pembela Islam, wafat pada tahun 32H pada jaman pemerintahan
klhliafah Utsman bin Affan. Hindun sebagai isteri, mengadu pada Rasul SAW
tentang suaminya sebagai رَجُلٌ شَحِيحٌ seorang laki-laki yang amat kikir. Perkataan شَحِيحٌ menurut bahasa berarti بخيل حريص kikir yang disertai rakus berkeinginan keras
memiliki segalanya.[3]
Kata
al-Asqalani أعم من البخل لأن البخل مختص بمنع المال والشح يعم منع كل شيء في جميع
الأحوال istilah شَحِيحٌ lebih luas dari bakhil. Bakhil hanya kikir
pada harta, sedangkan syahih mencakup kikir dalam segalanya, baik harta, sikap
maupun tindakan.[4]
لَا يُعْطِينِي
مِنْ النَّفَقَةِ مَا يَكْفِينِي وَيَكْفِي بَنِيَّ dia tidak memberi nafaqah yang menuckupi keperluan saya dan
anak-anak saya. Kalimat ini merupakan penjelkasan tentang sifat suaminya, Abu
Sufyan yang kikir itu. Hal ini penting disampaikan kepada Rasul SAW oleh Hindun
agar mendapat fatwa hukum sesuai faktanya. Dengan demikian, Abu Sufyan bukan berarti
tidak pernah memberi nafaqah sama sekali, melainkan hanya sedikit sehingga
tidak bisa mencukupi kebutuhan pokok isteri dan anaknya. Kalimat ini juga
mengisyaratkan bahwa Hindun telah mengetahui hukum tentang wajibnya seorang
suami memberi nafqah untuk memenuhi kebutuhan pokok keluarga. Namun dalam
riwayat al-Nasa`iy, redaksinya berbunyi وَلَا يُنْفِقُ عَلَيَّ وَوَلَدِي مَا
يَكْفِينِي dia tidak
memberi nafqah padaku dan anakku yang mencukupi; bolerhkah aku mengambil
sebagian hartanya tanpa ia sadari?[5]
Redaksi
ini mengisyaratkan bahwa Hindun minta fatwa tentang boleh atau tidaknya
mengambil haknya tanpa sepengetahuan suami.
إِلَّا مَا أَخَذْتُ
مِنْ مَالِهِ بِغَيْرِ عِلْمِهِ kecuali apa yang saya ambil dari hartanya tanpa sepengatuan
dia. Hindun mengungkapkan bukti kekikiran suaminya, hingga tidak mau
memberinya, kecuali bila ia mengambilnya tanpa izin. Dalam riwayat Ahmad ada
yang menggunakan redaksi وَلَيْسَ لِي إِلَّا مَا يَدْخُلُ بَيْتِي saya tidak mendapatkan nafaqah kecuali bila
ia masuk ke rumahku.[6]
Karena
keterpaksaan untuk memenuhi kebutuhan diri dan anaknya sehari-hari, maka Hindun
mengambil sebagian harta suaminya tanpa sepengetahunnya dan tanpa izin darinya.
Kisah ini juga mengisyaratkan bahwa Abu Sufyan memegang kendali spenuhnya harta
keluarga. Dia tidak mempercayakan pengelolaan hartanya kepada istrinya. Dengan
kata lain Abu Sufyan yang mencari nafqah, dan sekaligus mengelola dan
mengaturnya dalam rumah tangga.
فَهَلْ عَلَيَّ
فِي ذَلِكَ مِنْ جُنَاحٍ
apakah perbuatan tersebut tidak menjadi dosa atasku? Redaksi ini mengisyaratkan
bahwa Hindun suka melakukan pengambilan harta suaminya, tanpa izin. Beliau
merasa takut berdosa atas tindakannya, apakah termasuk mencuri. Namun dalam
riwayat al-Nasa`iy pertanyaan Hindun itu berbunyi أَفَآخُذُ مِنْ
مَالِهِ وَلَا يَشْعُرُ
bolehkah aku mengambil sebagian hartanya tanpa ia sadari?[7]
فَقَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خُذِي مِنْ مَالِهِ بِالْمَعْرُوفِ مَا
يَكْفِيكِ وَيَكْفِي بَنِيكِ
Rasul SAW bersabda: ambilah olehmu sebagian dari hartanya secara ma’ruf apa
yang menucukupi kebutuhanmu dan kebeutiuhan anakmu. Rasul SAW ternyata tidak
mengomentari kebijaksanaan Abu Sufyan yang memegang kendali penuh harta keluarganya.
Beliau mempercayai apa yang diungkapkan Hindun, dan kemudian memberi petunjik
padanya. Terdapat beberapa redaksi antara lain (1) خُذِي أَنْتِ وَبَنُوكِ
مَا يَكْفِيكِ بِالْمَعْرُوفِ (2) خُذِي مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ Hr. Ibn Majah.[8]
Petunjuk
Rasul SAW tersebut mengandung arti antara lain (1) dalam harta suami terdapat
bagian isteri dan anak, (2) mengambil hak sendiri tidak menjadi dosa, (3) yang
boleh diambil dari harta suami adalah sebatas kebutuhan, bukan mengikuti yang
diinginkan, (4) ukuran yang diambil mesti berpedoman pada hukum ma’ruf, atau
atas dasar kesepakatan sebelumnya dalam pengelolaan harta, (5) bolehnya istri
mengambil harta suami, selama tidak memberi nafqah. Jika ternyata suaminya
sudah memberi nafqah, maka istri tidak mempunyai hak mengambil harta suaminya,
(6) baik suami maupun istri mempunyai hak milik masing-masing, (7) apa yang
belum diberikan pada istrinya, maka statusnya masih menjadi milik suami.
Beberapa
Ibrah Bolehnya mengungkapkan keburukan tatkala sangat diperlukan. Dalam hadits
ini tersirat adanya menceritakan keburukan seseorang karena situasi tertentu.
Hindun menceritakan suaminya kepada Rasul SAW, sehingga kekurangan Abu Sufyan
diketahui umat. Namun ternyata Rasul SAW tidak menyalahkan Hindun. Jika tindakan
Hindun itu salah, tentu Rasul SAW akan menegurnya. Taqrir (pembiaran) Rasul SAW
tersebut memberi isyarat bolehnya menyampaikan keburukan seseorang dalam
meminta fatwa hukum atau konsultasi pada halinya. Al-Nawawi (631-676H),
mengungkapkan bahwa ghibah iatu ada yang diperbolehkan syari’ah antara lain:
(1) Orang yang dianiaya atau dizhalimi, atau tidak dipenuhi haknya, kemudian
mengadu pada aparat hukum, supaya mendapatkan keadilan. (2) Minta bantuan dalam
mencegah kemunkaran. Umpanya seseorang melihat kawannya berbuat munkar, tapi
sulit mencegahnya, maka minta bantuan orang lain yang diperkirakan mampu. (3)
Minta fatwa hukum, baik dalam perselisihan, ataupun perbuatan yang
diperikarakan buruk, yang memerlukan penjelasan rinci. (4) Memberikan
peringatan kepada sesame muslim untuk bersikap waspada terhadap yang suka
berbuat buruk, seperti tukang bohong demi menghindari adanya korban penipuan
atau pemalsuan. Inilah yang dilakukan oleh para peneliti hadits yang tidak
segan-segan mengungkapkan fakta kesalahan atau kelemahan rawi yang dla’if. (5)
Mengungkapkan kejelekan orang yang suka berbuat durhaka secara terang-terangan,
seperti pemabuk, pezina, pembunuh. Orang yang merasa bangga dengan kedurhakaan
atau kema’shiatannya, tidak perlu ditutupi keburukannya. Allah SWT juga
mengungkap keburukan Abu Lahab damn istri nabi Luth. (6) Untuk memberikan
petunjuk yang jelas terhadap orang tertentu supaya berbeda dengan yang lainnya.
Misalkan di satu kampung terdapat beberapa orang yang namanya sama, maka
diperlukan menyebut cirri hasnya, seperti yang tubuh pendek, atau tinggi, atau
pesek atau pecak. Bila tidak disebut, umpamnya menyulitkan penentuan suatu
kasus atau memberi petunjuk pada yang bertanya.[9]
Di
samping itu, tidak disalahkan mengungkapkan kejahatan pemimpin yang tidak adil,
demi membela kemaslahatan umat, sebagaimana al-Qur`an menjelekan Fir’aun. Hal
semacam ini sangat penting, utamanya dalam pemilihan pemimpin.
Suami
dilarang kikir pada istri dan keluarganya. Rasul SAW sampai mempersilakan
Hindun mangambil harta Abi Sufyan yang kikir. Allah SWT mengecam keras orang
yang kikir. Firman-Nya: الَّذِينَ يَبْخَلُونَ وَيَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبُخْلِ
وَيَكْتُمُونَ مَا آَتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا
مُهِينًا orang-orang
yang kikir, dan menyuruh orang lain berbuat kikir dan menyembunyikan karunia
Allah yang telah diberikan-Nya kepada mereka. Dan kami telah menyediakan untuk
orang-orang kafir siksa yang menghinakan. Qs.4:37. Dalam ayat ini ditegaskan
bahwa yang kikir itu bakal masuk neraka.
Wajibnya
suami mencukupi kebutuhan fisik minimum anak dan isteri. Allah SWT berfirman: وَعَلَى الْمَوْلُودِ
لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ Suami berkewajiban memberi nafqah berupa kebutuhan makan dan
pakaian untuk istrinya secara patut. Qs.2:233. jika tidak memberi kecukupan,
padahal dia memilikinya, maka bisa diminta paksa.
Dalam
harta hasil suami terdapat hak anak dan istri. Tindakan Hindun yang mengambil
sebagian harta suaminya, oleh Rasul dianggap tidak mencuri. Hal ini
mengisyaratkan bahwa dalam harta yng dimiliki suami terdapat hak melekat yang
dimiliki istrinya.
Isteri
boleh mengambil harta suami yang kikir tanpa sepengetahuannya, secara ma’ruf.
Ma’ruf adalah yang dianggap baik oleh aturan manusia dan tidak bertentangan
dengan syari’ah. Yang termasuk ma’ruf (1) kepentingan kiswah, nafaqah, suknah
istri dan anak, (2) kewajiban seperti zakat, (3) shadaqah yang tidak mengganggu
keburuhan pokok. Rasul SAW bersabda: إِذَا أَنْفَقَتْ الْمَرْأَةُ مِنْ طَعَامِ
بَيْتِهَا غَيْرَ مُفْسِدَةٍ كَانَ لَهَا أَجْرُهَا بِمَا أَنْفَقَتْ وَلِزَوْجِهَا
أَجْرُهُ بِمَا كَسَبَ وَلِلْخَازِنِ مِثْلُ ذَلِكَ لَا يَنْقُصُ بَعْضُهُمْ أَجْرَ
بَعْضٍ شَيْئًا
jika seorang wanita berinfaq dari harta rumah tangganya sepanjang tidak
menimbulkan kerusakan, maka pahalanya adalah untuknya dan untik suaminya. Dia
dapat pahala karena berinfaq, dan suaminya dapat pahala karena telah mencarikan
nafqah. Demikian pula seorang bendahara, akan mendapat pahala yang tidak
dikurangi.Hr.Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud.[10]
Hadits
ini memberikan jaminan bagi seorang istri yang berinfaq dari harta rumah
tangganya, asalkan tidak menimbulkan masalah, bahwa mereka bakal mendapat
pahala. Hal ini memberikan isyarat agar setiap suami memberikan wewenang pada
istrinya untuk berinfaq, karena pahalanya akan didapat oleh keduanya.Seorang
ibu ikut tanggung jawab tentang kebutuhan anaknya. Rasul SAW mempersilakan
Hindun mengambil sebagian harta suaminya untuk memenuhi kebutuhan anaknya.
Dengan demikian ibu memiliki tanggung jawab tentang kesejahteraan anak.
7.Boleh
memvonis in absensia bila sudah diketahui faktanya. Rasul SAW tidak memanggil
Abu Sufyan untuk klarifikasi laporan Hindun. Dengan demikian jika dudah jelas
faktanya, hakim bisa saja memvonis tanpa kehadiran terdakwa. Namun bila belum
diketahui faktanya secara jelas, maka hakim mesti kelarifikasi yang diadukan
terlebih dahulu sebelum menjatuhkan vonis salah atau benar. Rasul SAW bersabda:
إِذَا تَقَاضَى
إِلَيْكَ رَجُلَانِ فَلَا تَقْضِ لِلْأَوَّلِ حَتَّى تَسْمَعَ كَلَامَ الْآخَرِ فَسَوْفَ
تَدْرِي كَيْفَ تَقْضِي
jika ada dua orang mengadu padamu, maka janganlah kamu memutuskan pada fihak
pertama sebelum mendengar pandangan yang lain, yang diadukan, maka kamu akan
tahu bagaimana menetapkan putusan. Hr. Ahmad dan al-Tirmidzi.[11]
Pengelola
harta dalam rumah tangga, tidak dipersoalkan, siapa yang mengendalikan. Rasul
SAW tidak mempermasalahkan tentang tindakan Abu Sufyan memegang kendali harta
keluarga. Dengan demikian dalam kehidupan berumah tangga, pengelola harta tidak
diatur secara kaku; tergantung pada kesepakatan bersama. Namun seharusnya yang
memegang kendali harta rumah tangga itu adalah yang benar-benar bisa
mengelolanya secara baiuk dan benar. Allah SWT telah memberikan bimbingan
tentang halk ini,. Firman-Nya: وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ
الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِيَامًا وَارْزُقُوهُمْ فِيهَا وَاكْسُوهُمْ وَقُولُوا
لَهُمْ قَوْلًا مَعْرُوفًا
Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya,
harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok
kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan
ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik. Qs.4:5 Ayat ini berlaku umum,
siapa pun yang memiliki tanggung jawab mengurus harta, jangan menyerahkan
kepercayaannya kepada yang belum memilki kemampuan pengelolaan secara baik. Kedudukan
harta dalam rumah tangga, baik pengelolaannya, maupun penggunaannya, apakah
menjadi milik suami sepenuhnya, atau milik bersama yang seimbang, atau istri
yang lebih banyak sangat tergantung pada kesepakatan bersama. Isyarat hokum
dalam hadits ini, setiap suami wajib memneuhi kebutuhan anak dan istri. Jika
suami tidak memenuhi kebutuhan istri dan anaknya, padahal dia mampu, maka sanga
istri boleh memaksanya dan mengadukan ke aparat berwenang.
Dalam
kehidupan rumah tangga, baik suami maupun istri mempunyai hak milik. Ketetapan
tersebut tersirat pula dalam firman Allah SWT: لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبُوا
وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبْنَ (kaum lelaki memiliki hak milik sesuai dengan apa yang mereka
usahakan, kaum perempuan mempunyai hak milik sesuai dengan apa yang mereka
usahakan.Qs.4:32). Harta bawaan atau hasil usaha suami tetap menjadi milik
suami, kecuali bila telah diberikan pada istrinya. Demikian pula harta istri
tetap menjadi miliknya sendiri, kecuali bila telah diberikan pada suaminya.
Prosentase kepemilikan hasil usaha bersama ditentukan oleh kesepakatan bersama.
Oleh karena itu bila suami istri bercerai atau salah seorang meninggal dunia,
maka kepemilikan harta yang masih campur mesti dipisahkan sesuai hasil
ksepekatan dan/ atau ditetapkan oleh pengadilan.
[1] Shahih
Muslim, III h.1338, no3233
[2] Awn al-Ma’bud, IX h.325
[3] Nayl
al-Awthar, VII h.131
[4] Fath
al-Bari, IX h.508
[5] Sunan
al-Nasa`iy, hadits n.5325
[6] Musnad
Ahmad, hadits no.22988
[7] Sunan
al-Nasa`iy, hadits n.5325
[8] Sunan Ibn Majah, hadits no.2284
[9] Abu
Zakariya Yahya al-Nawawi, Syarh al-Nawawi ala Shahih Muslim, XVI h.142-143
[10]
Shahih al-Bukhari, no.1336, Shahih Muslim, no.1700, Sunan Abi Dawud, no.1435
[11]
Musnad Ahmad, no.652, Sunan al-Tirmidzi, no.1252.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar