PENDISTRIBUSIAN
ZAKAT PRODUKTIF
A.
Pendistribusian
Zakat Secara Produktif dalam Islam
Sebelum
menjelaskan tentang pengertian zakat produktif dan landasan hukumnya, ada
baiknya dikemukakan terlebih dahulu penuturan al-Quran dan sunah tentang zakat.
Dalam al-Quran terdapat 30 lafaz al-zakah dalam bentuk ma‘rifah di antaranya
beriringan dengan kata salat, sebanyak 12 kali diulang sebutannya dengan
memakai kata sinonim dengannya, yaitu sadaqah. Dari 30 kata zakat yang disebutkan
itu, 8 di antaranya terdapat dalam surah-surah Makiyah, dan selebihnya terdapat
dalam surah-surah Madaniyah.3
Namun, masalah
pendistribusian dan syarat-syarat yang harus dipenuhi, tidak terdapat
penjelasan secara rinci baik dalam al-Quran, Hadis maupun ijma’, maka perlu
adanya pertimbangan tujuan dan maslahat (I‘tibar al-Maqasid wa al-Masalih) sebagaimana
yang telah disebutkan pada bab pertama. Menurut Yusuf al-Qaradawi, syariat
Islam ini bersumber dari nilai-nilai ilahiyah, dan dari hasil penelitian
terhadap ketetapan hukum-hukumnya, maka dapat dikatakan bahwa di mana ada
syariat di situ ada kemaslahatan. 4 Hal tersebut dapat dipahami sebagaimana
yang telah dikemukakan oleh Al-Syatibi, bahwa tujuan disyariatkan hukum adalah
untuk kemaslahatan hamba. Maslahat yang ingin dicapai dalam tasyri‘ hanyalah
yang bersifat umum secara mutlak, bukan yang bersifat khusus, yaitu tujuan
hukum adalah kemaslahatan umat manusia dalam arti yang hakiki, yaitu
merealisasikan kemaslahatan hamba, dan menolak kerusakan untuk kesempurnaan hidup
di dunia dan akhirat, bukan kemaslahatan yang berdasarkan hawa nafsu atau
tradisi. Oleh karena itu, ajaran zakat yang merupakan ibadah di bidang muamalah
(sosial kemasyarakatan), di samping adanya prinsip-prinsip dasar yang telah ditegaskan
oleh al-Quran dan Hadis, juga diberikan kebebasan kepada hamba untuk mengkaji
maksud dan manfaat yang terkandung di dalamnya dalam merealisasi tujuan
syariat. Berbeda halnya dengan ibadah murni (ibadah mahdah) yang harus dipatuhi
secara mutlak sesuai dengan bunyi nas yang telah ditetapkan secara pasti oleh
pembuat hukum (syari‘) tanpa melihat maksudnya. Maka ajaran zakat sekalipun disebutkan
beriringan dengan ibadah salat, bukanlah ibadah murni semata, melainkan juga
mengandung masalah yang mengatur hubungan antar sesama manusia di bidang 3
kehidupan sosial, yaitu menghubungkan antara negara dengan pemilik harta serta menghubungkan
orang kaya dengan orang miskin. Karena itu Yusuf al-Qaradawi melakukan istinbat
hukum untuk mencari dalil tentang pendistribusian zakat secara produtif, dapat
diklasifikasikan kepada dua kategori, yaitu: pertama, dengan jalan tarjih,
yaitu memilih salah satu pendapat Di antara pendapat yang ada dalam fikih
berdasarkan analisa dalil yang terkuat, atau memilih pendapat yang terkuat dan
dipandang lebih sesuai dengan maksud syari‘, kepentingan masyarakat, dan
kondisi zaman, yang disebut juga dengan ijtihad selektif atau ijtihād intiqā‘ī.
Kedua, upaya melahirkan hukum baru atau mengambil konklusi hukum baru dalam
suatu permasalahan yang belum pernah dikemukakan oleh ulama terdahulu melalui
pemahaman nas, qiyas, dan pertimbangan maslahat,7 yang disebut juga dengan
ijtihād insya’i.
Zakat produktif
adalah zakat yang didistribusikan kepada mustahik dengan dikelola dan
dikembangkan melalui perilaku-perilaku bisnis. Indikasinya adalah harta
tersebut dimanfaatkan sebagai modal yang diharapkan dapat meningkatkan taraf
ekonomi mustahik. Termasuk juga dalam pengertian zakat produktif jika harta zakat
dikelola dan dikembangkan oleh amil yang hasilnya disalurkan kepada mustahik
secara berkala. Lebih tegasnya zakat produktif adalah zakat yang disalurkan
kepada mustahik dengan cara yang tepat guna, efektif manfaatnya dengan sistem
yang serba guna dan produktif, sesuai dengan pesan syariat dan peran serta fungsi
sosial ekonomis dari zakat.
Mustahik yang
mendapatkan penyaluran zakat secara produktif, mereka tidak menghabiskannya
melainkan mengembangkannya dan menggunakannya untuk membantu usaha mereka,
sehingga dengan dana zakat tersebut dapat membuat mereka menghasilkan sesuatu
secara berkelanjutan.
Pendistribusian
zakat secara produktif terbagi kepada dua bentuk yaitu:
Pertama, zakat
diserahkan langsung kepada mustahik untuk dikembangkan, artinya ‘ayn al-zakah
yang ditamlikkan kepada mustahik sehingga zakat tersebut menjadi hak milik
penuh mustahik.
Kepemilikan
harta zakat secara kolektif ini, dikemukakan oleh al-Tabari bahwa, “Ashab
Syafii telah berpegang teguh bahwa Allah swt. menyandarkan zakat dengan lam
(li) yang menunjukkan pada pemilikan (li al-fuqara’ wa al-masakin) terhadap
mustahiknya, sehingga menunjukkan kebolehan adanya pemilikan dengan cara
bersyarikat.
Yusuf
al-Qaradawi mengemukakan bahwa, untuk memberdayakan orang miskin, dibolehkan
kepada institusi zakat untuk mengembangkan dana zakat jika kutipannya banyak.
Baik dengan cara mendirikan pabrik-pabrik atau industri, membeli tanah
pertanian, membangun bangunan sebagai tempat perniagaan dan usaha-usaha lain
yang bertujuan untuk menambah sumber pendapatan untuk dihakmilikkan kepada
fakir miskin agar mereka memiliki penghasilan yang tetap.
Kebolehan
distribusi zakat secara produktif ini harus disertai oleh beberapa syarat,
yaitu: izin dari mustahik bahwa haknya akan dijadikan sebagai modal, tidak adanya
keperluan mustahik yang mendesak yang harus segera menggunakan dana, adanya
jaminan terhadap keutuhan harta zakat, serta adanya kemaslahatan dalam melakukan
tindakannya itu. Akan tetapi apabila kemaslahatan tersebut dibarengi dengan
kemelaratan (mudarat), haram hukumnya mengembangkan harta zakat.
Contoh kemudharatan
yang paling nyata adalah kondisi masyarakat muslim, masih banyak di antara
mereka yang membutuhkan bantuan mendesak yang perlu segera dibantu. Hal ini
karena masih banyaknya masyarakat muslim yang hidup di bawah garis kemiskinan,
maka pendistribusian zakat secara produktif dalam bentuk investasi sangat
kontradiksi dengan kondisi masyarakat muslim hari ini yang sangat membutuhkan.
Perlu diingat,
bahwa pengelolaan zakat yang bersifat produktif, harus dilakukan pembinaan dan
pendampingan kepada para mustahik agar kegiatan usahanya dapat berjalan dengan
baik. Karena tujuan utama pengelolaan zakat secara produktif adalah untuk
mentransformasikan seorang mustahik (orang yang berhak mendapatkan zakat)
menjadi seorang muzaki (orang yang berkewajiban mengeluarkan zakat).
Bila ditinjau
kembali hukum asal muamalah adalah mubah selama tidak ada nas yang melarang
praktek muamalah tersebut, sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah Hadis
Rasulullah saw.
Artinya: “Dari
Abi Tha‘labah al-Khuthani berkata: Rasulullah saw. telah bersabda: “Sesungguhnya
Allah ‘azza wajalla telah memfardukan beberapa ketentuan, jangan kamu
sia-siakan (hilangkan). Dia mengharamkan beberapa perkara yang diharamkan,
jangan kamu melanggar. Dia telah menetapkan ḥudūd jangan kamu melampauinya, dan
Dia mendiamkan (tidak menentukan hukum) pada banyak perkara bukan (karena)
kelupaan, jangan kamu membahasnya.” (HR. al-Daruqutni) 20
Namun,
kebolehan praktek muamalah di sini yaitu distribusi zakat yang dilakukan secara
produktif, harus memenuhi beberapa syarat. Ini merupakan hasil keputusan yang
dihasilkan melalui pertemuan ulama di Kuwait pada tahun 1413 H-1992 M, yang
disponsori oleh lembaga zakat Internasional Kuwait. Syarat-syarat tersebut di
antaranya sebagai berikut:
a.
Tidak
adanya keperluan mendesak yang harus menggunakan dana segera.
b.
Penyaluran
zakat untuk usaha produktif, yang dilakukan dalam bentuk investasi harus sesuai
dengan ketentuan syarak.
c.
Adanya
jaminan keamanan bagi utuhnya dana zakat.
d.
Adanya
jaminan bahwa modal tersebut dapat ditarik jika terdapat keperluan yang mendesak
dari para mustahik zakat.
e.
Adanya
jaminan bahwa usaha produktif dilakukan dengan sungguh-sungguh, professional
dan amanah.
f.
Adanya
keputusan dan pertimbangan pemerintah terhadap lembaga amil dalam penyaluran
dana zakat untuk usaha produkif, dan juga adanya pengawasan yang ketat agar
dana zakat diberikan kepada orang yang memiliki kecakapan, berpengalaman dan
bersikap amanah.
Berdasarkan beberapa persyaratan yang tertera di atas, menurut
penulis ada satu persyaratan lain yang perlu dimasukkan, dan itu sangat
menentukan sah atau tidak sahnya muamalah yang dimaksud, yaitu dana zakat
tersebut ditamlikkan terlebih dahulu kepada mustahik, kemudian diminta izin
kembali kepada mereka karena bagiannya tidak disalurkan secara langsung,
melainkan dijadikan sebagai saham yang dimiliki oleh semua mustahik.
Selanjutnya, kebolehan penyaluran zakat sacara produktif ini,
apabila kebutuhan konsumtif para mustahik sudah terpenuhi dan modal tersebut
dikelola secara professional agar memperoleh keuntungan. Di samping itu juga
harus mampu melakukan pembinaan dan pendampingan pada mustahik agar usahanya
dapat berjalan dengan baik dan tujuan penyaluran zakat tercapai serta
memberikan pembinaan ruhani dan intelektual keagamaannya, agar semakin meningkat
keimanan dan keislamannya. Selain beberapa argumen yang telah disebutkan di
atas, al-Quran juga tidak menjelaskan bagaimana teknik penyaluran zakat secara terperinci.
Karena itu menurut Sjechul Hadi Permono, ada empat hal yang perlu
diperhatikan, yaitu:
a.
Allah
swt. tidak menetapkan perbandingan yang tetap antara bagian masing-masing
mustahik yang delapan.
b.
Allah
swt. tidak menetapkan zakat harus disalurkan kepada delapan senif semuanya.
Akan tetapi Allah hanya menetapkan zakat dibagi kepada delapan senif dan tidak
boleh keluar dari delapan tersebut.
c.
Allah
swt. juga tidak menjelaskan bahwa zakat yang diserahterimakan kepada mustahik
itu berupa in cash (uang tunai) atau in kind (natura).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar