Kamis, 03 November 2016

PENDISTRIBUSIAN ZAKAT PRODUKTIF

PENDISTRIBUSIAN ZAKAT PRODUKTIF
A.    Pendistribusian Zakat Secara Produktif dalam Islam
Sebelum menjelaskan tentang pengertian zakat produktif dan landasan hukumnya, ada baiknya dikemukakan terlebih dahulu penuturan al-Quran dan sunah tentang zakat. Dalam al-Quran terdapat 30 lafaz al-zakah dalam bentuk ma‘rifah di antaranya beriringan dengan kata salat, sebanyak 12 kali diulang sebutannya dengan memakai kata sinonim dengannya, yaitu sadaqah. Dari 30 kata zakat yang disebutkan itu, 8 di antaranya terdapat dalam surah-surah Makiyah, dan selebihnya terdapat dalam surah-surah Madaniyah.3
Namun, masalah pendistribusian dan syarat-syarat yang harus dipenuhi, tidak terdapat penjelasan secara rinci baik dalam al-Quran, Hadis maupun ijma’, maka perlu adanya pertimbangan tujuan dan maslahat (I‘tibar al-Maqasid wa al-Masalih) sebagaimana yang telah disebutkan pada bab pertama. Menurut Yusuf al-Qaradawi, syariat Islam ini bersumber dari nilai-nilai ilahiyah, dan dari hasil penelitian terhadap ketetapan hukum-hukumnya, maka dapat dikatakan bahwa di mana ada syariat di situ ada kemaslahatan. 4 Hal tersebut dapat dipahami sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Al-Syatibi, bahwa tujuan disyariatkan hukum adalah untuk kemaslahatan hamba. Maslahat yang ingin dicapai dalam tasyri‘ hanyalah yang bersifat umum secara mutlak, bukan yang bersifat khusus, yaitu tujuan hukum adalah kemaslahatan umat manusia dalam arti yang hakiki, yaitu merealisasikan kemaslahatan hamba, dan menolak kerusakan untuk kesempurnaan hidup di dunia dan akhirat, bukan kemaslahatan yang berdasarkan hawa nafsu atau tradisi. Oleh karena itu, ajaran zakat yang merupakan ibadah di bidang muamalah (sosial kemasyarakatan), di samping adanya prinsip-prinsip dasar yang telah ditegaskan oleh al-Quran dan Hadis, juga diberikan kebebasan kepada hamba untuk mengkaji maksud dan manfaat yang terkandung di dalamnya dalam merealisasi tujuan syariat. Berbeda halnya dengan ibadah murni (ibadah mahdah) yang harus dipatuhi secara mutlak sesuai dengan bunyi nas yang telah ditetapkan secara pasti oleh pembuat hukum (syari‘) tanpa melihat maksudnya. Maka ajaran zakat sekalipun disebutkan beriringan dengan ibadah salat, bukanlah ibadah murni semata, melainkan juga mengandung masalah yang mengatur hubungan antar sesama manusia di bidang 3 kehidupan sosial, yaitu menghubungkan antara negara dengan pemilik harta serta menghubungkan orang kaya dengan orang miskin. Karena itu Yusuf al-Qaradawi melakukan istinbat hukum untuk mencari dalil tentang pendistribusian zakat secara produtif, dapat diklasifikasikan kepada dua kategori, yaitu: pertama, dengan jalan tarjih, yaitu memilih salah satu pendapat Di antara pendapat yang ada dalam fikih berdasarkan analisa dalil yang terkuat, atau memilih pendapat yang terkuat dan dipandang lebih sesuai dengan maksud syari‘, kepentingan masyarakat, dan kondisi zaman, yang disebut juga dengan ijtihad selektif atau ijtihād intiqā‘ī. Kedua, upaya melahirkan hukum baru atau mengambil konklusi hukum baru dalam suatu permasalahan yang belum pernah dikemukakan oleh ulama terdahulu melalui pemahaman nas, qiyas, dan pertimbangan maslahat,7 yang disebut juga dengan ijtihād insya’i.
Zakat produktif adalah zakat yang didistribusikan kepada mustahik dengan dikelola dan dikembangkan melalui perilaku-perilaku bisnis. Indikasinya adalah harta tersebut dimanfaatkan sebagai modal yang diharapkan dapat meningkatkan taraf ekonomi mustahik. Termasuk juga dalam pengertian zakat produktif jika harta zakat dikelola dan dikembangkan oleh amil yang hasilnya disalurkan kepada mustahik secara berkala. Lebih tegasnya zakat produktif adalah zakat yang disalurkan kepada mustahik dengan cara yang tepat guna, efektif manfaatnya dengan sistem yang serba guna dan produktif, sesuai dengan pesan syariat dan peran serta fungsi sosial ekonomis dari zakat.
Mustahik yang mendapatkan penyaluran zakat secara produktif, mereka tidak menghabiskannya melainkan mengembangkannya dan menggunakannya untuk membantu usaha mereka, sehingga dengan dana zakat tersebut dapat membuat mereka menghasilkan sesuatu secara berkelanjutan.
Pendistribusian zakat secara produktif terbagi kepada dua bentuk yaitu:
Pertama, zakat diserahkan langsung kepada mustahik untuk dikembangkan, artinya ‘ayn al-zakah yang ditamlikkan kepada mustahik sehingga zakat tersebut menjadi hak milik penuh mustahik.
Kepemilikan harta zakat secara kolektif ini, dikemukakan oleh al-Tabari bahwa, “Ashab Syafii telah berpegang teguh bahwa Allah swt. menyandarkan zakat dengan lam (li) yang menunjukkan pada pemilikan (li al-fuqara’ wa al-masakin) terhadap mustahiknya, sehingga menunjukkan kebolehan adanya pemilikan dengan cara bersyarikat.
Yusuf al-Qaradawi mengemukakan bahwa, untuk memberdayakan orang miskin, dibolehkan kepada institusi zakat untuk mengembangkan dana zakat jika kutipannya banyak. Baik dengan cara mendirikan pabrik-pabrik atau industri, membeli tanah pertanian, membangun bangunan sebagai tempat perniagaan dan usaha-usaha lain yang bertujuan untuk menambah sumber pendapatan untuk dihakmilikkan kepada fakir miskin agar mereka memiliki penghasilan yang tetap.
Kebolehan distribusi zakat secara produktif ini harus disertai oleh beberapa syarat, yaitu: izin dari mustahik bahwa haknya akan dijadikan sebagai modal, tidak adanya keperluan mustahik yang mendesak yang harus segera menggunakan dana, adanya jaminan terhadap keutuhan harta zakat, serta adanya kemaslahatan dalam melakukan tindakannya itu. Akan tetapi apabila kemaslahatan tersebut dibarengi dengan kemelaratan (mudarat), haram hukumnya mengembangkan harta zakat.
Contoh kemudharatan yang paling nyata adalah kondisi masyarakat muslim, masih banyak di antara mereka yang membutuhkan bantuan mendesak yang perlu segera dibantu. Hal ini karena masih banyaknya masyarakat muslim yang hidup di bawah garis kemiskinan, maka pendistribusian zakat secara produktif dalam bentuk investasi sangat kontradiksi dengan kondisi masyarakat muslim hari ini yang sangat membutuhkan.
Perlu diingat, bahwa pengelolaan zakat yang bersifat produktif, harus dilakukan pembinaan dan pendampingan kepada para mustahik agar kegiatan usahanya dapat berjalan dengan baik. Karena tujuan utama pengelolaan zakat secara produktif adalah untuk mentransformasikan seorang mustahik (orang yang berhak mendapatkan zakat) menjadi seorang muzaki (orang yang berkewajiban mengeluarkan zakat).
Bila ditinjau kembali hukum asal muamalah adalah mubah selama tidak ada nas yang melarang praktek muamalah tersebut, sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah Hadis Rasulullah saw.
Artinya: “Dari Abi Tha‘labah al-Khuthani berkata: Rasulullah saw. telah bersabda: “Sesungguhnya Allah ‘azza wajalla telah memfardukan beberapa ketentuan, jangan kamu sia-siakan (hilangkan). Dia mengharamkan beberapa perkara yang diharamkan, jangan kamu melanggar. Dia telah menetapkan ḥudūd jangan kamu melampauinya, dan Dia mendiamkan (tidak menentukan hukum) pada banyak perkara bukan (karena) kelupaan, jangan kamu membahasnya.” (HR. al-Daruqutni) 20
Namun, kebolehan praktek muamalah di sini yaitu distribusi zakat yang dilakukan secara produktif, harus memenuhi beberapa syarat. Ini merupakan hasil keputusan yang dihasilkan melalui pertemuan ulama di Kuwait pada tahun 1413 H-1992 M, yang disponsori oleh lembaga zakat Internasional Kuwait. Syarat-syarat tersebut di antaranya sebagai berikut:
a.       Tidak adanya keperluan mendesak yang harus menggunakan dana segera.
b.      Penyaluran zakat untuk usaha produktif, yang dilakukan dalam bentuk investasi harus sesuai dengan ketentuan syarak.
c.       Adanya jaminan keamanan bagi utuhnya dana zakat.
d.      Adanya jaminan bahwa modal tersebut dapat ditarik jika terdapat keperluan yang mendesak dari para mustahik zakat.
e.       Adanya jaminan bahwa usaha produktif dilakukan dengan sungguh-sungguh, professional dan amanah.
f.       Adanya keputusan dan pertimbangan pemerintah terhadap lembaga amil dalam penyaluran dana zakat untuk usaha produkif, dan juga adanya pengawasan yang ketat agar dana zakat diberikan kepada orang yang memiliki kecakapan, berpengalaman dan bersikap amanah.

Berdasarkan beberapa persyaratan yang tertera di atas, menurut penulis ada satu persyaratan lain yang perlu dimasukkan, dan itu sangat menentukan sah atau tidak sahnya muamalah yang dimaksud, yaitu dana zakat tersebut ditamlikkan terlebih dahulu kepada mustahik, kemudian diminta izin kembali kepada mereka karena bagiannya tidak disalurkan secara langsung, melainkan dijadikan sebagai saham yang dimiliki oleh semua mustahik.
Selanjutnya, kebolehan penyaluran zakat sacara produktif ini, apabila kebutuhan konsumtif para mustahik sudah terpenuhi dan modal tersebut dikelola secara professional agar memperoleh keuntungan. Di samping itu juga harus mampu melakukan pembinaan dan pendampingan pada mustahik agar usahanya dapat berjalan dengan baik dan tujuan penyaluran zakat tercapai serta memberikan pembinaan ruhani dan intelektual keagamaannya, agar semakin meningkat keimanan dan keislamannya. Selain beberapa argumen yang telah disebutkan di atas, al-Quran juga tidak menjelaskan bagaimana teknik penyaluran zakat secara terperinci.
Karena itu menurut Sjechul Hadi Permono, ada empat hal yang perlu diperhatikan, yaitu:
a.       Allah swt. tidak menetapkan perbandingan yang tetap antara bagian masing-masing mustahik yang delapan.
b.      Allah swt. tidak menetapkan zakat harus disalurkan kepada delapan senif semuanya. Akan tetapi Allah hanya menetapkan zakat dibagi kepada delapan senif dan tidak boleh keluar dari delapan tersebut.

c.       Allah swt. juga tidak menjelaskan bahwa zakat yang diserahterimakan kepada mustahik itu berupa in cash (uang tunai) atau in kind (natura).

Tidak ada komentar: