BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tindak pidana korupsi merupakan salah satu bagian dari hukum
pidana khusus di samping mempunyai spesifikasi tertentu yang berbeda dengan
hukum pidana khusus, seperti adanya penyimpangan hukum acara serta apabila
ditinjau dari materi yang diatur maka tindak pidana korupsi secara langsung
maupun tidak langsung dimaksudkan menekan seminimal mungkin terjadinya
kebocoran dan penyimpangan terhadap keuangan dan perekonomian negara. Dengan
diantisipasi sedini dan seminimal mungkin penyimpangan tersebut, diharapkan roda
perekonomian dan pembangunan dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya sehingga
lambat laun akan membawa daampak adanya peningkatan pembangunan dan
kesejahteraan masyarakat pada umumnya.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa dampak yang diakibatkan oleh tindak pidana korupsi?
2.
Bagaimana upaya memberantas tindak pidana korupsi di
Indonesia?
3. Apa yang dimaksud dengan pengadilan HAM UU No. 26 Th 2000?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengadilan Tipikor
Pengertian
Korupsi
Korupsi berasal
dari kata Latin “Corruptio” atau “Corruptus” yang kemudian muncul dalam bahasa
Inggris dan Prancis “Corruption”, dalam bahasa Belanda “Korruptie” dan
selanjutnya dalam bahasa Indonesia dengan sebutan “Korupsi” (Dr. Andi Hamzah,
S.H., 1985: 143). Korupsi secara harfiah berarti jahat atau busuk (John M.
Echols dan Hassan Shadily, 1977: 149), sedangkan A.I.N Kramer ST.
menerjemahkannya sebagai busuk, rusak, atau dapat disuapi (A.I.N. Kramer ST.
1997: 62). Oleh karena itu, tindak pidana korupsi berarti suatu delik akibat
perbuatan buruk, busuk, jahat, rusak atau suap.[1]
Korupsi dikenal
pembuktian terbalik terbatas yaitu orang yang diperiksa harta bendanya oleh
pengadilan tinggi wajib memberikan keterangan secukupnya yaitu mengenai harta
benda sendiri dan harta benda orang lain yang dipandang erat hubungannnya
menurut ketentuan pengadilan tinggi.[2]
Jika
membicarakan tentang korupsi memang akan menemukan kenyataan semacam itu karena
korupsi menyangkut segi-segi moral, sifat dan keadaan yang busuk, jabatan dalam
instansi atau aparatur pemerintah, penyelewengan kekuasaan dalam jabatan karena
pemberian, faktor ekonomi dan politik, serta penempatan keluarga atau golongan
ke dalam kediaansan di bawah kekuasaan jabatannya. Dengan demikian, secara
harfiah dapat ditarik kesimpulan bahwa sesungguhnya istilah korupsi memiliki
arti yang sangat luas.
1.
Korupsi, penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan dan
sebagainya) untuk kepentingan pribadi dan orang lain.
2.
Korupsi: busuk; rusak; suka memakai barang atau uang yang dipercayakan
kepadanya; dapat disogok (melalui kekuasaannya untuk kepentingan pribadi).
B.
Dampak yang Diakibatkan Oleh Tindak Pidana Korupsi
1.
Bidang Demokrasi
Korupsi
menunjukan tantangan serius terhadap pembangunan. Di dalam dunia politik,
korupsi mempersulit demokrasi dan tata pemerintahan yang baik (good governance)
dengan cara menghancurkan proses formal. Korupsi di pemilihan umum dan di badan
legislatif mengurangi akuntabilitas dan perwakilan di pembentukan
kebijaksanaan; korupsi di sistem pengadilan menghentikan ketertiban hukum; dan
korupsi di pemerintahan publik menghasilkan ketidakseimbangan dalam pelayanan
masyarakat. Secara umum, korupsi mengkikis kemampuan institusi dari pemerintah,
karena pengabaian prosedur, penyedotan sumber daya, dan pejabat diangkat atau
dinaikan jabatan bukan karena prestasi. Pada saat yang bersamaan, korupsi
mempersulit legitimasi pemerintahan dan nilai demokrasi seperti kepercayaan dan
toleransi.
2.
Bidang Ekonomi
Korupsi juga
mempersulit pembangunan ekonomi dan mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan.
Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi dengan membuat distorsi dan
ketidak efisienan yang tinggi. Dalam sektor privat, korupsi meningkatkan ongkos
niaga karena kerugian dari pembayaran ilegal, ongkos manajemen dalam negosiasi
dengan pejabat korup, dan risiko pembatalan perjanjian atau karena
penyelidikan. Walaupun ada yang menyatakan bahwa korupsi mengurangi ongkos
(niaga) dengan mempermudah birokrasi, konsensus yang baru muncul berkesimpulan
bahwa ketersediaan sogokan menyebabkan pejabat untuk membuat aturan- aturan
baru dan hambatan baru. Dimana korupsi menyebabkan inflasi ongkos niaga,
korupsi juga mengacaukan "lapangan perniagaan". Perusahaan yang
memiliki koneksi dilindungi dari persaingan dan sebagai hasilnya mempertahankan
perusahaan-perusahaan yang tidak efisien. Korupsi menimbulkan distorsi
(kekacauan) di dalam sektor publik dengan mengalihkan investasi publik ke
proyek-proyek masyarakat yang mana sogokan dan upah tersedia lebih banyak.
Pejabat mungkin menambah kompleksitas proyek masyarakat untuk menyembunyikan
praktek korupsi, yang akhirnya menghasilkan lebih banyak kekacauan. Korupsi
juga mengurangi pemenuhan syarat-syarat keamanan bangunan, lingkungan hidup,
atau aturan-aturan lain. Korupsi juga mengurangi kualitas pelayanan
pemerintahan dan infrastruktur; dan menambahkan tekanan-tekanan terhadap
anggaran pemerintah.
3.
Bidang Kesejahteraan Negara
Korupsi politis
ada dibanyak negara, dan memberikan ancaman besar bagi warga negaranya. Korupsi
politis berarti kebijaksanaan pemerintah sering menguntungkan pemberi sogok,
bukannya rakyat luas. Satu contoh lagi adalah bagaimana politikus membuat
peraturan yang melindungi perusahaan besar, namun merugikan
perusahaan-perusahaan kecil. Politikus-politikus "pro-bisnis" ini
hanya mengembalikan pertolongan kepada perusahaan besar yang memberikan
sumbangan besar kepada kampanye pemilu mereka.
C.
Cara atau Upaya Memberantas Tindak Pidana Korupsi
1.
Strategi Preventif
Strategi ini harus
dibuat dan dilaksanakan dengan diarahkan pada hal-hal yang menjadi penyebab
timbulnya korupsi. Setiap penyebab yang terindikasi harus dibuat upaya
preventifnya, sehingga dapat meminimalkan penyebab korupsi. Disamping itu perlu
dibuat upaya yang dapat meminimalkan peluang untuk melakukan korupsi dan upaya
ini melibatkan banyak pihak dalam pelaksanaanya agar dapat berhasil dan mampu
mencegah adanya korupsi.
2.
Strategi Deduktif
Strategi ini
harus dibuat dan dilaksanakan terutama dengan diarahkan agar apabila suatu
perbuatan korupsi terlanjur terjadi, maka perbuatan tersebut akan dapat
diketahui dalam waktu yang sesingkat-singkatnya dan seakurat-akuratnya,
sehingga dapat ditindaklanjuti dengan tepat. Dengan dasar pemikiran ini banyak
sistem yang harus dibenahi, sehingga sistem- sistem tersebut akan dapat
berfungsi sebagai aturan yang cukup tepat memberikan sinyal apabila terjadi
suatu perbuatan korupsi. Hal ini sangat membutuhkan adanya berbagai disiplin
ilmu baik itu ilmu hukum, ekonomi maupun ilmu politik dan sosial.
3.
Strategi Represif
Strategi ini
harus dibuat dan dilaksanakan terutama dengan diarahkan untuk memberikan sanksi
hukum yang setimpal secara cepat dan tepat kepada pihak-pihak yang terlibat
dalam korupsi. Dengan dasar pemikiran ini proses penanganan korupsi sejak dari
tahap penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sampai dengan peradilan perlu
dikaji untuk dapat disempurnakan di segala aspeknya, sehingga proses penanganan
tersebut dapat dilakukan secara cepat dan tepat. Namun implementasinya harus
dilakukan secara terintregasi.
Bagi pemerintah
banyak pilihan yang dapat dilakukan sesuai dengan strategi yang hendak
dilaksanakan. Bahkan dari masyarakat dan para pemerhati / pengamat masalah
korupsi banyak memberikan sumbangan pemikiran dan opini strategi pemberantasan
korupsi secara preventif maupun
secara represif
antara lain :
1.
Konsep “carrot and stick” yaitu konsep pemberantasan korupsi yang sederhana
yang keberhasilannya sudah dibuktikan di Negara RRC dan Singapura. Carrot
adalah pendapatan netto pegawai negeri, TNI dan Polri yang cukup untuk hidup
dengan standar sesuai pendidikan, pengetahuan, kepemimpinan, pangkat dan
martabatnya, sehingga dapat hidup layak bahkan cukup untuk hidup dengan “gaya”
dan “gagah”. Sedangkan Stick adalah bila semua sudah dicukupi dan masih ada
yang berani korupsi, maka hukumannya tidak tanggung-tanggung, karena tidak ada
alasan sedikitpun untuk melakukan korupsi, bilamana perlu dijatuhi hukuman
mati.
2.
Gerakan “Masyarakat Anti Korupsi” yaitu pemberantasan korupsi di Indonesia saat
ini perlu adanya tekanan kuat dari masyarakat luas dengan mengefektifkan
gerakan rakyat anti korupsi, LSM, ICW, Ulama NU dan Muhammadiyah ataupun ormas
yang lain perlu bekerjasama dalam upaya memberantas korupsi, serta kemungkinan
dibentuknya koalisi dari partai politik untuk melawan korupsi. Selama ini
pemberantasan korupsi hanya dijadikan sebagai bahan kampanye untuk mencari
dukungan saja tanpa ada realisasinya dari partai politik yang bersangkutan.
Gerakan rakyat ini diperlukan untuk menekan pemerintah dan sekaligus memberikan
dukungan moral agar pemerintah bangkit memberantas korupsi.
3.
Gerakan “Pembersihan” yaitu menciptakan semua aparat hukum (KPK, Kepolisian,
Kejaksaan, Pengadilan) yang bersih, jujur, disiplin, dan bertanggungjawab serta
memiliki komitmen yang tinggi dan berani melakukan pemberantasan korupsi tanpa
memandang status sosial untuk menegakkan hukum dan keadilan. Hal ini dapat
dilakukan dengan membenahi sistem organisasi yang ada dengan menekankan prosedur
structure follows strategy yaitu dengan menggambar struktur organisasi yang
sudah ada terlebih dahulu kemudian menempatkan orang-orang sesuai posisinya
masing-masing dalam struktur organisasi tersebut.
4. Gerakan
“Moral” yang secara terus menerus mensosialisasikan bahwa korupsi adalah
kejahatan besar bagi kemanusiaan yang melanggar harkat dan martabat manusia.
Melalui gerakan moral diharapkan tercipta kondisi lingkungan sosial masyarakat
yang sangat menolak, menentang, dan menghukum perbuatan korupsi dan akan
menerima, mendukung, dan menghargai perilaku anti korupsi. Langkah ini antara
lain dapat dilakukan melalui lembaga pendidikan, sehingga dapat terjangkau
seluruh lapisan masyarakat terutama generasi muda sebagai langlah yang efektif
membangun peradaban bangsa yang bersih dari moral korup.
5. Gerakan
“Pengefektifan Birokrasi” yaitu dengan menyusutkan jumlah pegawai dalam
pemerintahan agar didapat hasil kerja yang optimal dengan jalan menempatkan
orang yang sesuai dengan kemampuan dan keahliannya. Dan apabila masih ada
pegawai yang melakukan korupsi, dilakukan tindakan tegas dan keras kepada
mereka yang telah terbukti bersalah dan bilamana perlu dihukum mati karena
korupsi adalah kejahatan terbesar bagi kemanusiaan dan siapa saja yang
melakukan korupsi berarti melanggar harkat dan martabat kehidupan.
Pemerintah setiap negara pada
umumnya pasti telah melakukan langkah-langkah untuk memberantas korupsi dengan
membuat undang-undang. Indonesia juga membuat undang-undang tentang
pemberantasan tindak pidana korupsi yaitu Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan mengalami perubahan yaitu
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.Pengadilan
Hak Asasi Manusia merupakan pengadilan yang memeriksa dan
B. Pengadilan HAM (UU No. 26 th 2000)
Pengadilan Hak Asasi Manusia merupakan pengadilan
yang memeriksa danmengutus segala bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang
berat, pelanggaran hak asasi manusia terdiri dari genosida dan kejahatan kemanusiaan.
Pasal 8 UndangUndangNomor 26 tahun 2000, Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia
memberikandefinisi tentang kejahatan genosida. Genosida adalah setiap perbuatan
yangdilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh
atausebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis kelompok agama, dengan cara:
a. Membunuh anggota kelompok;
b. Mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang
berat terhadap anggota-anggota
kelompok;
c. Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan
mengakibatkan kemusnahan
secara fisik baik seluruh maupun
sebagian.
d. Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan
mencegah kelahiran didalam
kelompok; atau
e. Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok
tertentu ke kelompok lain.
Pasal 9 Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 memberikan definisi
terhadapkejahatan kemanusiaan kejahatan terhadap kemanusiaan adalah suatu
perbuatan yangdilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau
sistematik yangdiketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung
terhadap penduduksipil, berupa :
a.
Pembunuhan;
b.
Pemusnahan;
c.
Perbudakan;
d.
Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
e.
Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara
sewenangwenangyang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional.
f. Penyiksaan;
g. Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa,
pemaksaan kehamilan,pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk
kekerasan seksuallain yang setara;
h. Penganiyaan terhadap suatu kelompok tertentu atau
perkumpulan yang didasaripersamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis,
budaya, agama , jenis kelaminatau alasan lain yang telah diakui secara
universal sebagai hal yang dilarangmenurut hukum internasional;
i. Penghilangan orang secara paksa;
atau
j. Kejahatan appertheid.
Pengertian Genosida dan kejahatan kemanusiaan
mengandung anasiranasiryang dapat dikatagorikan sebagai tindak pidana. Lembaga
pengadilan hak asasi manusia merupakan pengadilan khususyang selanjutnya
disebut dengan pengadilan HAM yang berada dalam lingkunganPeradilan Umum yang
dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000tentang pengadilan hak
asasi manusia. Pembentukan pengadilan hak asasi manusiamerupakan wujud nyata
yang dilakukan pemerintah Indonesia dalam rangkaperlindungan terhadap hak asasi
manusia dari segala ancaman mengingat bahwa hakasasi manusia merupakan hak
asasi yang bersifat fundamental yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apapun. Perlindungan terhadap
hak asasi manusia yangdimiliki oleh warga negara indonesia merupakan kewajiban
konstitusional negara sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 ayat 3
Undang-Undang Dasar NegaraRepublik Indonesia yang mengatur bahwa Negara wajib
melindungi hak asasi seluruhwarganya guna terciptanya ketentraman, keadilan
serta mewujudkan negara hukumyang sesungguhnya. Simposium tentang “Indonesia
adalah negara hukum” yang
diselenggarakan Fakultas Hukum Universitas Indonesia
pada permulaan orde barutanggal 8 Mei 1966 menggaris bawahi bahwa ciri khas
negara hukum salah satunyaadalah pengakuan dan perlindungan Hak-Hak asasi yang
mengandung persamaandalam bidang politik, hukum, sosial dan kebudayaan.
Berdasarkan penjelesan umum
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang PengadilanHak Asasi Manusia
memberikan pertimabangan bahwa pembentukan pengadilan hak asasimanusia
didasarkan pada :
1. Pelanggaran hak asasi manusia yang berat merupakan
“extra ordinary crimes”dan berdampak secara luas baik pada tingkat nasional
maupun internasional danbukan merupakan tindak pidana yang diatur dalam Kitab
Undang-Undang HukumPidana serta menimbulkan kerugian baik materiil maupun
immateriil yangmengakibatkan perasaan tidak aman baik terhadap perseorangan
maupunmasyarakat, sehingga perlu segera dipulihkan dalam mewujudkan
supremasihukum untuk mencapai kedamaian, ketertiban, ketentrman, keadilan,
dankesejahteraan bagi seluruh masyarakat Indonesia.
2. Terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat
diperlkan langkah-langkahpenyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan
yang bersifat khusus.Kekhususan dalam penanganan pelanggaran hak asasi manusia
yang berat adalah:
a. Diperlukan penyelidik dengan membentuk tim ad hoc,
penyidik ad hoc,penuntut ad hoc, dan hakim ad hoc.
b. Diperlukan penegasan bahwa penyelidikan hanya
dilakukan oleh KomisiNasional Hak Asasi Manusia sedangkan penyidik tidak
berwenang menerima laporan atau pengaduan sebagaimana yang diatur dalam
KitabUndang-Undang Hukum Acara Pidana.
c. Diperlukan ketentuan mengenai tenggang waktu
tertentu melakukanpenyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di perngadilan.
d. Diperlukan ketentuan mengenai perlindungan korban
dan saksi.
e. Diperlukan ketentuan yang menegaskan tidak ada
kadaluwarsa bagipelanggaran hak asasi manusia yang berat.
Pembentukan dari Undang-Undang
Nomor 26 tahun 2000, Tentang pengadilanHak Asasi Manusia memiliki tujuan antara
lain :[3]
a. Tujuan idiil :
1) Untuk ikut memelihara perdamaian dunia;
2) Menjamin pelaksanaan Hak Asasi Manusia;
3) Memberi perlindungan, kepastian, keadilan dan
perasaan perorangan ataupunmasyarakat.
b. Tujuan praktis
Untuk menyelesaikan pelanggaran Hak Asasi Manusia
yang berat karenaextra ordinary crimes dan berdampak luas, pada tingkat
nasional mapuninternasional. Perkara yang diadili dalam Pengadilan Hak Asasi
Manusia bukanmerpakan tindak pidana yang diatur dalam KUHP, melainkan perbatan
yang
menimbulkan korban dan kerugian yang sangat besar,
dan mengakibatkan perasaantidak aman, baik terhadap perseorangan maupun
masyarakat. Oleh karena itu,keadaan perlu dipulihkan ntuk mewujudkan supremasi
hukum untuk mencapaikedamaian, ketentraman, keadilan, dan kesejahteraan bagi
seluruh masyarakatIndonesia.
Beberapa prinsip penting dalam
Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000,tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia adalah:[4]
a) Hanya mengadili pelanggaran hak asasi manusia yang
berat (Pasal 4)
Pengadilan Hak Asasi Manusia didirikan hanya untuk
mengadili pelanggaran HakAsasi manusia yang berat saja, yakni Genosida dan
pelanggaran kejahatankemanusiaan. Sementara kejahatan terhadap Hak Asasi
Manusia yangdikualifikasi dengan ringan diadili di sidang pengadilan pidana
biasa, di
Pengadilan Negeri atau Pengadilan Militer sesai
dengan status hukumterdakwanya.
b) Kejahatan Universal (Pasal 5)
Pengadilan Hak Asasi Manusia berwenang memeriksa dan
mengutus perkarapelanggaran Hak Asasi manusia yang berat yang dilakukan di luar
batas territorial negara Republik Indonesia oleh warga negara Indonesia.
c) Genosida dan Kejahatan Kemanusiaan (Pasal 7)
Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat menurut
Undang-Undang Nomor 26tahun 2000 hanya menyangkut Genosida dan Kejahatan
Kemanusiaan saja.
d) Jaksa Agung sebagai penyidik dan Penuntut Umum
(Pasal 11, Pasal 23)
Dalam perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia penyidik
dan penuntut ummadalah jaksa penuntut umum/penyidik.
e) Pejabat ad hoc
Dalam Pengadilan Hak Asasi Manusia dikenal Penyidik
ad hoc, (Pasal 18 ayat(2)), Penuntut Umum ad hoc (Pasal 21 ayat (8)), dan Hakim
ad hoc (Pasal 2 ayat(2)). Majelis Hakim Pengadilan Hak Asasi Manusia terdiri
atas 5(lima) orang,yakni 2 (dua) orang Hakim karier dan 3 (tiga) orang Hakim ad
hoc, yang diangkatoleh Presiden.
f) Pemeriksaan Banding dan kasasi bersifat limitatif
(Pasal 32, Pasal 33).
Tenggang waktu pemeriksaan banding dan kasasi
dibatasi paling lama hanyadalam waktu 90 (sembilan puluh) hari.
g) Perlindungan Korban dan Saksi (Pasal 34)
Dalam perkara pelangaran Hak Asasi Manusia, korban
dan saksi dilindungi olehkepolisian.
h) Dikenal kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi
Korban (Pasal 35)
Kepada korban pelanggaran Hak Asasi Manusia yang
berat dapat diberikanKompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi.
i) Ancaman Hukuman diperberat (Pasal 36, Pasal 37)
Dalam pelanggaran Hak Asasi Manusia ancaman
hukumannya berupa hukumanmati, seumur hidup, penjara 25 (dua puluh lima) tahun
(maksimum) dan minimum10 (sepuluh) tahun. Hukuman ini lebih berat dari
ketentuan Kitab Undang-UndangHukum Pidana (KUHP) yang menentukan hukuman
penjara paling lama 20 (duapuluh) tahun.
j) Tanggung Jawab Komandan dan Atasan (Pasal 42).
Dalam perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia yang
berat dikenal tanggung jawab komandan atau atasan atas pelanggaran Hak Asasi
Manusia yang dilakukanoleh bawahan.
k) Retroaktif (Pasal 43)
Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat dilakukan
sebelm berlakunyaUndang-Undang Nomor 26 Tahun 2000, tentang Pengadilan Hak
Asasi Manusiadiadili oleh Pengadilan Hak Asasi Manusia, yang dibentuk atas
usulan DewanPerwakilan Rakyat Republik Indonesia dan ditetapkan dengan
Keputusan
Presiden secara kasus per-kasus.
l) Tidak ada kadaluwarsa (Pasal 46)
Perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat
tidak mengenal tenggangwaktu kadaluwarsa. Oleh karena itu sewaktu-waktu dapat
saja disidik, didakwaatau diadili.
m)Komisi Nasional Hak Asasi Manusia sebagai
penyelidik (Pasal 18)
Untuk pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat
penyelidikannya dilakukanoleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.Dalam
perjalanan penegakan atas pelanggaran hak asasi manusia serta
kejahatankemanusiaan banyak pihak yang menyangsikan terbentuknya pengadilan Hak
asasi Manusiaakan menyelesaikan berbagai kasus di Indonesia karena substansi
dari dasar terbentuknyapengadilan Hak Asasi Manusia ini, yaitu Undang-Undang
No. 26 tahun 2000 tentangpengadilan Hak Asasi manusia.
Hak Asasi Manusia masih mengandung
kelemahan yang mendasar yang dapatmenghambat prosesnya yaitu Pasal 28I Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesiatahun 1945 yang bersifat absolut dengan
menerapkan prinsip legalistik, Pasal ini menganutasas non retroaktif (tidak
berlaku surut) yang akan menghalangi sejumlah kasus dimasalampau.[5]
Indriyanto seno adji berpendapat bahwa Penerapan asas
retroaktiif menjelamakanasas lex-talionis (pembalasan) yang dapat menimbulkan
bias hukum, tidak ada kepastianhukum dan menimbulkan kesewenang-wenangan dari
para pihak pelaksana hukum dan elitepolitik dengan eksesif adanya suatu political
revenge (balas dendam politik) yangberkepanjangan dan mengandung subjektivitas
tinggi.
Asas retroaktif yang dianut oleh Undang-Undang Nomor
26 tahun 2000 menjadi suatuujian bagi pengadilan HAM dalam menjalankan fungsi
dan tugasnya. Dalam Pasal 43 ayat 1Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 mengatur
bahwa pelanggaran hak asasi manusiayang berat yang terjadi pada saat sebelum di
undangkannya Undang-Undang Nomor 26tahun 2000 tentang pengadilan HAM diperiksa
dan diutus oleh pengadilan HAM ad hoc.Berdasarkan Pasal 43 Undang-Undang Nomor
26 Tahun 2000 jika kita interpretasikansecara grmatikal maka sangatlah jelas
bahwa pengadilan HAM menganut asas retroaktif.
Penerapan asas retroaktif ini perlulah dikaji lebih
jauh dengan melihat Pasal 7Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004 tentang
pembentukan peraturan perundangundanganbahwa secara tegas mengatur hierarki
perundang-undangan yaitu :[6]
1. Undang-Undang dasar 1945
2. Undang-Undang / Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang
3. Peraturan pemerintah
4. Peraturan Presiden
5. Peraturan Daerah
Dari hierarki peraturan perundang-undangan tersebut
pada sesungguhnyaterdapat asas berlakunya undang-undang yaitu lex superior
derograt legi inferior yangartinya adalah peraturan perundang-undang yang lebih
tinggi mengalahkan peraturanperundang-undangan yang lebih rendah.Munculnya asas
retroaktif ini telah mengundang pandangan yang kontra terhadap keberadaanasas
tersebut, sebagaimana yang dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief yang
berpendirianbahwa pemberlakuan asas retroaktif sangat bertentangan dengan ide
perlindungan hak asasimanusia yang diatur dalam Pasal 11 Universal Declaration
of Human Rights (UDHR), Pasal 15ayat (1) International Covenant on Civil and
Political Rights (ICCPR), Pasal 22 ayat (1) danPasal 24 ayat (1) Statuta Roma
tentang International Criminal Court 5.
Demikian dapat dikatakan bahwa
pemberlakuan asas retroaktif yang memungkinkan dibukanyakembali kasus-kasus
pelanggaran hak asasi manusia berat yang dilakukan sebelumdiundangkannnya
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM merupakanpenyimpangan
terhadap asas legalitas dari sisi hukum positif Indonesia (KUHP), akan tetapi
darisisi lain, menurut Hukum Pidana Internasional pemberlakuan asas retroaktif
sangat dimungkinkanuntuk mencapai keadilan yang diwujudkan dengan pembentukan
pengadilan tribunal.Menurut bagir manan semua aturan hukum hanya berlaku
kedepan (prospektif).
Hal ini berkaitan dengan salah satu prinsip negara
hukum. Suatu hubungan atau peristwahukum hanya akan mempunyai akibat hukum,
berdasarkan aturan hukum (positif) yangada pada saat hubungan atau peristiwa
hukum itu terjadi. Walaupun demikian, dalam halhalterbatas, dimungkinkan
penerapan hukum berlaku surut, antara lain:
(a) Penerapan hukum secara berlaku
surut akan memberikan manfaat(menguntungkan) seperti keringanan hukuman,
penerimaan pendapatan(kenaikan gaji yang berlak surut) bagi mereka yang terkena
aturan tersebut.Aturan hukum tidak boleh berlaku surut apabila menimbulkan
beban (baruatau lebih berat) bagi yang terkena.
(b) Penerapan hukum secara berlaku
surut diperlukan sebagai cara memulihkandanmenegakkan keadilan atas berbagai
tindakan yang sangat merugikan ataumelukai secara mendalam rasa kemanusiaan
suatu lingkungan masyarakat.Inilah dasar yang memungkinkan penerapan hukum
berlaku surut ataspelanggaran HAM berat (gross violation of human right)
dimasa-masa lalu.Namun, untuk mencegah kesewenang-wenangan, penerapannya
harusditentukan secara ketat baik mengenai perbuatan maupun tata
carapelaksanaannya. Tanpa pembatasan-pembatasan tersebut
menimbulkankesewenang-wenangan dalam penerapan (khusus penegakan) hukum
(c) Penerapan hukum secara berlaku
surut hanya dapat dilakukan berdasarkanperatura undang-undang. Tidak ada beleid
dalam penerapan hukum secaraberlaku surut. Undang-Undang harus mengatur secara
rinci obyek dan tata carapenerapan hukum berlaku surut.
Menurut Muladi ada dua alasan dimasukannya asas
retroaktif kedalam Undan-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak
Asasi Manusia, yakni :
(1) Jauh sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor
26 tahun 2000 TentangPengadilan HAM, belum dikenal jenis kejahatan genosida dan
kejahatan terhadapkemanusiaan.
(2) Asas retroaktif dalam Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2000 Tentang PengadilanHAM merupakan political wisdom (kebijakan politik)
dari DPR ntukmerekomendasikan kepada presiden dengan pertimbangan bahwa kedua
jeniskejahatan tersebut merupakan extra ordinary crimes (kejahatan luar biasa)
yangdikutuk secara internasional sebagai enemies of all mankind (hotis humani
generis)Dan dirumuskan sebagai kejahatan internasional (international crimes)
Asas retroaktif yang dianut dalam Undang-Undang Nomor
26 tahun 2000 jelas tidakhanya sekedar tulisan belaka sudah terbukti
berdasarkan fakta hukum yang terjadi bahwadiundangkannya Undang-Undang Nomor 26
tahun 2000 membawa mantan gubernur timortimurAbilio Jose Osorio Soares serta
mantan wakil penglima pasukan pejuang IntegrasiEurico Guterres kedalam
pengadilan HAM atas dasar pelangggaran Hak Asasi Manusiayang berat , selain itu
asas retroaktif juga membawa sejumlah pihak yang terkait dalampelanggaran HAM
berat Tanjung Priok antara lain Rudolf adolf Butar Butar (mantanKomandan Kodim
0502 Jakarta Utara), Mayjend Pranowo (mantan Kapondam V Jaya),Mayjend Sriyanto
(mantan Kasi 2 / Ops kodim 0502 Jakarta Utara). Jika dilihat dari
sifatretroaktif dan tidak mengenal kadaluwarsa penuntutan yang dianut dalam
Undang-UndangNomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, maka
segala bentukpelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan oleh
siapapun yang berumurdiatas 18 tahun sebelum Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000
Tentang Pengadilan HakAsasi Manusia diundangkan kedalam Lembaran Negara dapat
dituntut dengan UndangUndangini. Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang
terjadi di Indonesia pada masapenjajahan pun apabila dimungkinkan dapat
dituntut dengan Undang-Undang Nomor 26Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Korupsi dikenal pembuktian terbalik terbatas yaitu orang yang diperiksa
harta bendanya oleh pengadilan tinggi wajib memberikan keterangan secukupnya
yaitu mengenai harta benda sendiri dan harta benda orang lain yang dipandang
erat hubungannnya menurut ketentuan pengadilan tinggi.
Pengadilan Hak Asasi Manusia merupakan pengadilan
yang memeriksa danmengutus segala bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang
berat, pelanggaran hakasasi manusia terdiri dari genosida dan kejahatan
kemanusiaan. Pasal 8 UndangUndangNomor 26 tahun 2000, Tentang Pengadilan Hak
Asasi Manusia memberikandefinisi tentang kejahatan genosida. Genosida adalah
setiap perbuatan yangdilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau
memusnahkan seluruh atausebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis kelompok
agama
DAFTAR PUSTAKA
Hamzah, Jur Andi. Pemberantasan Korupsi. Jakarta. PT. Raja
Grafindo Persada. 2005.
Prinst, Darwan. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Bandung:PT.
Citra Aditya Bakti. 2002.
Binsar Gultom., Pelanggaran HAM Dalam Hukum
Keadaan Darurat Di Indonesia, Jakarta: PT.
Gramedia, 2010.
Jakarta: kontras 2009
[1]
Darwan Prinst,S.H., Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, (Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti, 2002), hlm 1.
[2]Prof. Dr. Jur. Andi Hamzah, Pemberantasan
Korupsi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), hlm 55.
[3]Binsar Gultom., Pelanggaran HAM Dalam Hukum Keadaan
Darurat Di Indonesia, (Jakarta: PT.
Gramedia, 2010 hlm
237
[4]
Ibid hlm 238
[5]Edwin Partogi, Haris Azhar, Indria F
Alphasonny,Muhammad Islah., Stagnanzi Hak Asasi Manusia, (Jakarta: Kontras,
2009) hlm 63
[6]Prof.
Dr. Soedjono Dirdjosisworo., Pengadilan Hak Asasi Manusia Indonesia, (Bandung:
PT Citra Aditya Bakti, 2009), hlm 6
Tidak ada komentar:
Posting Komentar