A.
Latar
Belakang Masalah
Rasulullah Saw. memerintahkan para
sahabat untuk berhati-hati dan memeriksa benar-benar suatu Hadis yang hendak
disampaikan kepada orang lain. Oleh karena itu, setelah wafatnya Nabi Muhammad
Saw. para sahabatpun sedikit demi sedikit menyampaikan Hadis kepada orang lain.
Para sahabat setelah wafatnya Rasul tidak lagi berdiam di kota Madinah, mereka
pergi kekota-kota lain. Maka penduduk kota lainpun mulai menerima Hadis dan
para Tabi’in mempelajari Hadis dari para sahabat itu. Dengan demikian mulailah
berkembang riwayat dalam kalangan Tabi’in.
Riwayat
Hadis pada permulaan periode sahabat masih sangat terbatas, hanya disampaikan
kepada yang memerlukan saja dan bila perlu saja, belum bersifat pelajaran. Bagi
orang islam, hadits adalah sumber ajaran islam disamping Al_ Qur’an. Tanpa
menggunakan hadits, syariat islam tidak dapat dimengerti secara utuh dan tidak
dapat dilaksanakan. Untuk memahami ayat Al Qur’an, sering kali diperlukan
peninjaun bagaimana kondisi dan keadaan masyarakat ketika ayat itu turun. Mengingat
demikian banyaknya hadits yang ada serta periode dan sejarah hadits yang
berbeda dimasanya. Maka penulis berkeinginan untuk menyusun sebuah makalah yang
berjudul “PERKEMBANGAN HADITS PADA MASA SAHABAT DAN TABI’IN “. Untuk mengetahui
perbedaan perkembangan hadits dari masa sahabat dan tabi’in.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Siapa
yang disebut Sahabat dan Tabi’in?
2.
Bagaimana
perkembangan hadits pada masa sahabat?
3.
Bagaimana
perkembangan hadits pada masa tabi’in?
PERKEMBAN
HADITS pada MASA SAHABAT dan TABI’IN
A.
SAHABAT
DAN TABI’IN
1.
Sahabat
Periode kedua sejarah
perkembangan hadis, adalah masa sahabat yang berlangsung sekitar tahun 11 H
sampai dengan 40 H masa ini disebut dengan masa sahabat besar.[1]
etelah mengetahui sejerah perkembangan hadis yang kedua adalah pariode sahabat
maka akan timbul pertanyaan “siapa yang disebut sahabat” maka jawabannya antara
lain:
1. Orang yang pernah
berjumpah dengan Nabi Muhammad Saw dengan beriman kepadanya dan mati sebagai
orang islam.
2. Orang yang lama
menemani Nabi Muhammad Saw. Dan berulang kali mengadakan perjumpaan dengannya
dalam rangka mengikuti dan mengambil pelajaran darinya.
3. Orang islam yang pernah
menemani Nabi Muhammad Saw. Atau melihatnya.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa sahabat itu mempunyai
unsur bergaul dengan Nabi dan mereka beragama Islam. Jika periode Rasul adalah
periode ketika Rasul masih hidup, yang sering disebut periode wahyu dan
pembentukan tata aturan isalam, maka yang disebut periode sahabat adalah
periode sesudah Nabi Muhammad Saw. wafat.[2]
Begitu banyaknya sahabat nabi sehingga tidak dapat dihitung secara pasti.
Mereka juga tidak bersamaan masuk islam sehingga pengelompokan sahabat ini
dapat dilihat dari tingkat keutamaannya.
Ø Sahabat yang masuk islam di Mekkah, seperti Abu Bakar, Umar, Usman.
Ø Sahabat yang tergabung dalam Dar al nadwah.
Ø Sahabat yang turut hijrah bersama Nabi Muhammad Saw.
Ø Sahabat yang membai’at Nabi Saw. di Aqabat al-Ula.
Ø Sahabat yang ikut berperang bersama Nabi Saw. (perang Badar)
Ø Para remaja dan anak-anak
yang sempat melihat Rasulullah.[3]
2.
Tabi’in
Tabi'in
artinya pengikut, yaitu orang Islam yang masa hidupnya setelah para Sahabat
Nabi dan tidak mengalami masa hidup Nabi Muhammad. Usianya tentu saja lebih
muda dari Sahabat Nabi bahkan ada yang masih anak-anak atau remaja pada masa
Sahabat masih hidup. Tabi'in disebut juga sebagai murid Sahabat Nabi. Seperti
Al- Qaasim bin Muhammad bin Abi Bakar Ash-Shiddiq, Al-Hasan Al-Bashriy, Abu
Hanifah Umar bin Abdul Aziz.[4]
B.
Hadist
pada Masa Sahabat
Periode kedua sejarah perkembangan
hadits adalah masa sahabat, khususnya
adalah Khulafa al-Rasyidun (Abu Bakar al-Shiddiq, Umar bin Khathab, Ustman bin
Affan, dan Ali bin Abi Thalib), sehingga masa ini dikenal dengan masa sahabat
besar.[5]
Periode ini juga dikenal dengan zaman Al-Tasabbut wa al-Iqlal min al-Riwayah
yaitu periode membatasi hadits dan menyedikitkan riwayat. Hal ini disebabkan
karena para sahabat pada masa ini lebih mencurahkan perhatiannya kepada
pemeliharaan dan penyebaran Al-Qur’an. Akibatnya periwayatan haditspun kurang
mendapat perhatian, bahkan mereka berusaha untuk bersikap hati - hati dan
membatasi dalam meriwayatkan hadits. Kehati - hatian dan usaha membatasi
periwayatan dan penulisan hadits yang dilakukan para sahabat, disebabkan karena
mereka khawatir terjadinya kekeliruan dan kebohongan atas nama Rasul SAW,
karena hadits adalah sumber ajaran setelah Al-Qur’an.[6]
Keberadaan hadits yang demikian harus
dijaga keautentikannya sebagaimana penjagaan terhadap Al-Qur’an. Oleh karena itu, para sahabat khususnya Khulafa
al-Rasyidin, dan sahabat lainnya seperti Al - zubair, Ibn Abbas, dan Abu
Ubaidah berusaha keras untuk memperketat periwayatan hadits. Berikut ini akan
diuraikan periwayatan hadis pada masa sahabat.
1.
Abu
Bakar al-Shiddiq
Abu Bakar sebagai
khalifah yang pertama menunjukkan perhatiannya dalam memelihara Hadis. Menurut
Al-Dzahabi, Abu Bakar adalah sahabat yang pertama kali menerima Hadis dengan
hati-hati, Misalnya Abu Bakar meminta pengukuhan sahabat lain ketika seorang
nenek datang kepadanya mengatakan “Saya mempunyai hak atas harta yang ditinggal
oleh putra anak laki-laki saya .” kata
Abu Bakar, “ Saya tidak melihat ketentuan seperti itu, baik dari al-qur’an
maupun dari Rasul.” Lebih lanjut khalifah berkata, “ siapa diantara kalian yang
mendengar ketentuan itu dari Rasul?” maka tampillah Muhammad bin Maslamah
sebagai saksi bahwa seorang nenek seperti kasus tersebut mendapat bagian
seperenam (1/6) harta peninggalan cucu dari anak laki-lakinya. Kemudian Abu
Bakar memberikan bagian tersebut.[7]
Pada masa pemerintahan
Abu Bakar, periwayatan hadits dilakukan dengan sangat hati - hati. Bahkan
menurut Muhammad bin Ahmad al-Dzahabi (wafat 748H/1347M), sahabat Nabi yang pertama - tama menunjukkan
sikap kehati - hatiannya dalam meriwayatkan hadits adalah Abu Bakar al-Shiddiq.
Sikap ketat dan kehati - hatian Abu Bakar tersebut juga ditunjukkan dengan
tindakan konkrit beliau, yaitu dengan membakar catatan-catatan hadits yang
dimilikinya. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Aisyah (putri Abu Bakar) bahwa
Abu Bakar telah membakar catatan yang berisi sekitar lima ratus hadist.
Tindakan Abu Bakar tersebut lebih dilatarbelakangi oleh karena beliau merasa
khawatir berbuat salah dalam meriwayatkan hadits Sehingga, tidak mengherankan
jika jumlah hadits yang diriwayatkannya juga tidak banyak. Padahal, jika
dilihat dari intensitasnya bersama Nabi, beliau dikatakan sebagai sahabat yang
paling lama bersama Nabi, mulai dari zaman sebelum Nabi hijrah ke Madinah
hingga Nabi wafat. Selain sebab - sebab di atas, menurut Suhudi Ismail, setidaknya
ada tiga factor yang menyebabkan sahabat Abu Bakar tidak banyak meriwayatkan
hadits, yaitu (1) dia selalu dalam keadaan sibuk ketika menjabat sebagai
khalifah; (2) kebutuhan akan hadits tidak sebanyak pada sesudahnya; dan (3)
jarak waktu antara kewafatannya dengan kewafatan Nabi sangat singkat. Dengan
demikian, dapat dimaklumi kalau sekiranya aktifitas periwayatan hadits pada
masa Khalifah Abu Bakar masih sangat terbatas dan belum menonjol, karena pada
masa ini umat Islam masih dihadapkan oleh adanya beberapa kenyataan yang sangat
menyita waktu, berupa pemberontakan-pemberontakan yang dapat membahayakan
kewibawaan pemerintah setelah meninggalnya
Rasulullah SAW baik yang datang dari dalam (intern) maupun dari luar
(ekstern). Meskipun demikian, kesemuanya tetap dapat diatasi oleh pasukan Abu
Bakar dengan baik.
2.
Umar
ibn al-Khathab
Sikap kehati-hatian juga
ditunjukkan oleh Umar bin Khattab. Ia seperti halnya Abu Bakar, suka meminta
diajukan saksi jika ada orang yang meriwayatkan hadis. Perlu pula dijelaskan
bahwa, pada masa Umar bin Khattab belum ada usaha secara resmi untuk menghimpun hadis dalam suatu kitab
seperti Al-qur’an. Hal ini disebabkan agar tidak memalingkan perhatian atau
kekhususan mereka (umat islam) dalam mempelajari Al-qur’an. Alasan kedua, para
sahabat banyak menerima hadis dari Rasul SAW. sudah tersebar keberbagai daerah
kekuasaan islam, dengan kesibuknnya masing-masing sebagai pembina masyarakat.
Sehingga dengan kondisi seperti ini ada kesulitan untuk mengumpulkan mereka
secara lengkap. Pertimbangan lainnya, bahwa soal pembukuan hadis, dikalangan
para sahabat sendiri terjadi terjadi perselisihan pendapat. Belum lagi
terjadinya perselisihan soal lafadz dan kesahihannya.[8]
Abu Hurairah seorang sahabat terbanyak meriwayatkan hadis, pernah ditanya oleh
Abu Salamah, apakah ia banyak meriwayatkan hadis dimasa Umar, lalu menjawab “
sekiranya aku meriwayatkan hadis dimasa umar bin khattab seperti aku
meriwayatkannya kepadamu, niscaya Umar akan mencambukku dengan cambuknya.[9]Tindakan
hati - hati yang dilakukan oleh Abu Bakar al-Shiddiq, juga diikuti oleh sahabat
Umar bin Khathab. Umar dalam hal ini juga terkenal sebagai orang yang sangat
berhati-hati di dalam meriwayatkan sebuah hadits. Beliau tidak mau menerima
suatu riwayat apabila tidak disaksikan oleh sahabat yang lainnya. Hal ini
memang dapat dipahami, karena memang pada masa itu, terutama masa khalifah Abu
Bakar dan khalifah Umar bi al-Khathab naskah Al-Qur’an masih sangat terbatas
jumlahnya, dan karena itu belum menyebar ke daerah - daerah kekuasaan Islam.
Sehingga dikhawatirkan umat Islam yang baru memeluk Islam saat itu tidak bisa
membedakan antara Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Pada periode ini menyusun catatan-catatan terdahulu juga dilarang,
karena dari catatan tersebut tidak dapat diketahui mana yang haq dan mana yang
bathil, demikian pula dengan pencatat ilmu juga dilarang. Meskipun demikian,
pada masa Umar ini periwayatan hadits juga banyak dilakukan oleh umat Islam.
Tentu dalam periwayatan tersebut tetap memegang prinsip kehati-hatian.
3.
Utsman
Ibn Affan
Pada masa Usman Ibn
Affan, periwayatan hadits dilakukan dengan cara yang sama dengan dua khalifah
sebelumnya. Hanya saja, usaha yang dilakukan oleh Utsman Ibn Affan ini tidaklah
setegas yang dilakukan oleh Umar bin al-Khathab. Meskipun Utsman melalui khutbahnya telah menyampaikan seruan
agar umat Islam berhati-hati dalam meriwayatkan hadits. Namun pada zaman ini, kegiatan umat Islam
dalam periwayatan hadist telah lebih banyak bila dibandingkan dengan kegiatan
periwayatan pada zaman dua khalifah sebelumnya. Sebab, seruannya itu ternyata
tidak begitu besar pengaruhnya terhadap para periwayat yang bersikap “longgar”
dalam periwayatan hadist. Hal ini lebih disebabkan karena selain pribadi Utsman
yang tidak sekeras pribadi Umar, juga karena wilayah Islam telah bertambah
makin luas. Yang mengakibatkan bertambahnya kesulitan pengendalian kegiatan
periwayatan hadis secara ketat.
4.
Ali
bin Abi Thalib
Khalifah Ali bin Abi
Thalib dalam meriwayatkan hadits tidak jauh berbeda dengan para khalifah
pendahulunya. Artinya, Ali dalam hal ini juga tetap berhati-hati didalam
meriwayatkan hadits. Dan diperoleh pula atsar yang menyatakan bahwa Ali r.a
tidak menerima hadits sebelum yang
meriwayatkannya itu disumpah.[10]
Hanya saja, kepada orang-orang yang benar-benar dipercayainya, Ali tidak meminta mereka untuk bersumpah. Dengan
demikian, fungsi sumpah dalam periwayatan hadits bagi Ali tidaklah sebagai
syarat mutlak keabsahan periwayatan hadits. Sumpah dianggap tidak perlu,
apabila orang yang menyampaikan riwayat hadits telah benar-benar diyakini tidak
mungkin keliru.
Ali bin Abi Thalib
sendiri cukup banyak meriwayatkan hadits Nabi. Hadits yang diriwayatkannya,
selain dalam bentuk lisan, juga dalam bentuk tulisan (catatan). Hadits yang
berupa catatan, isinya berkisar tentang: [1] hukuman denda (diyat); [2]
pembebasan orang Islam yang ditawan oleh orang kafir; dan [3] larangan
melakukan hukum (qishash) terhadap orang Islam yang membunuh orang kafir. Dalam
Musnad Ahmad, Ali bin Abi Thalib merupakan periwayat hadist yang terbanyak bila
dibandingkan dengan ketiga khalifah pendahulunya.
C.
Hadist
pada Masa Tabi’in
Pada dasarnya periwayatan yang
dilakukan kalangan tabi’in tidak berbeda dengan yang dilakukan para sahabat.
Mereka, bagaimanapun, mengukuti jejak para sahabat sebagai guru – guru mereka.
Hanya saja persoalan yang dihadapi mereka agak berbeda yang dihadapi para
sahabat. Pada masa ini Al Qur’an sudah dikumpulkan dalam satu mushaf. Dipihak
lain, usah yang taelah dirintis oleh paara sahabat, pada masa khulafa’
Al-Rasyidin, khususnya masa kekhalifahan Ustman para sahabat ahli hadiast
menyebar keberapa wilayah kekuasaan Islam. Kepeda merekalah para tabi’in
mempelajari hadits.[11]
a.
Pusat
– pusat Pembinaan Hadits
Tercatat beberapa kota
sebagai pusat pembinaan dalam periwayatan hadits, sebagai tempat tujuan para
tabi’in dalam mencari hadits. Kota - kota tersebut ialah Madinah al-Munawarah,
Makkah al-Mukarramah, Kuffah, Basrah, Syam, Mesir, Magrib dan Andalas, Yaman
dan Khurasan. Dari sejumlah para sahabat pembina hadits pada kota - kota
tersebut, ada beberapa orang yang tercatat meriwayatkan hadist cukup banyak,
antara lain: Abu Hurairah, Abdullah bin Umar, Anas bin Malik, Aisyah, Abdullah
bin Abbas, Jabir bin Abdillah dan Abi Sa’id al-Khudzri.[12]
Tokoh – tokoh dalam
Perkembangan Hadits Sahabat Kecil Pada masa awal perkembangan hadits, sahabat
yang banyak meriwayatkan hadits disebut dengan al-Mukhtsirun fi al-Hadits
mereka adalah: Abu Hurairah meriwayatkan 5374 atau 5364 hadits, Abdullah ibn
Umar meriwayatkan 2630 hadits, Anas ibn Malik meriwayatkan 2276 atau 2236
hadits, Aisyah(istri nabi) meriwayatkan 2210 hadits, Abdullah ibn Abbas
meriwayatkan 1660 hadits, Jabir ibn Abdillah meriwayatkan 1540 hadits, Abu
Sa’id al-Khudzri meriwayatkan 1170 hadits.
Sedangkan dari kalangan
tabi’in besar, tokoh – tokoh periwayatan hadisat sangat banyak sekali,
mengingat banyaknya periwayatan pada masa tersebut, diantaranya:
1.
Madinah,
Abu Bakar ibn Abdu Rahman ibn al-Haris ibn Hisyam, Salim ibn Abdullah ibn Umar
dan Sulaiman ibn Yassar
2.
Makkah,
Ikrimah, Muhammad ibn Muslim, Abu Zubair
3.
Kufah,
Ibrahim an-Nakha’I, Alqamah
4.
Basrah,
Muhammad ibn Sirin, Qatadah
5.
Syam,
Umar ibn Abdul Aziz
6.
Mesir,
YAzid ibn Habib
7.
Yaman,
Thaus ibn Kaisan al-Yamani.[13]
b.
Pergolakan
Politik dan Pemalsuan Hadits
Pergolakan
ini sebenarnya terjadi pada masa sahabat, setelah terjadinya perang Jamal dan
perang Sifin, yaitu ketika kekuasaan dipegang oleh Ali bin Abi Thalib akan
tetapi akibatnya cukup panjang dan berlarut- larut dengan terpecahnya umat
islam kedalam beberapa kelompok ( Khawarij, Syi’ah, Mu’awiyah dan golongan
mayoritas yang tidak masuk kedalam ketiga kelompok tersebut).
Langsung
atau tidak, dari pergolakan politik seperti diatas, cukup memberikan pengaruh
terhadap perkembangan hadits berikutnya. Pengaruh yang langsung yang bersifat
negatif, ialah dengan munculnya hadits – hadits palsu (maudhu’) untuk mendukung
kepentingan politiknya masing – masing kelompok dan untuk menjatuhkan posisi
lawan – lawannya. Adapun pengaruh yang bersifat positif adalah lahirnya rencana
dan usaha yang mendorong diadakannya kodofikasi atau tadwin hadist, sebagai
upaya penyelamatan dari pemusnahan dan pemalsuan, sebagai akibat dari
pergolakan politik tersebut.[14]
DAFTAR PUSTAKA
Drs.
Munzier Suparta, MA., Ilmu Hadis (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003).
Drs.
Munzier Suparta, MA., Ilmu Hadis (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003)
DR.Muh.Zuhri,
Hadis Nabi (Yogyakarta: PT.Tiara Wacana Yogya, 1997). Drs. Munzier Suparta,
MA., Ilmu Hadis (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003).
Ichwan,
Mohammad Nor. 2007. Studi Ilmu Hadist. Semarang: RaSAIL Media.
Muhammad Hasbi
Ash Shiddieqy, Teungku. 1999. Ilmu Hadist. Semarang: Pustaka Rizki Putra.
Rofi’ah,
Khusniati. 2010. Studi Ilmu Hadist. Ponorogo: STAIN PO Press.
Suparta,
Munzier. 2008. Ilmu Hadist. Jakarta: Raja
Graafindo Persada.
Zuhri, Muh.
2003. Hadist Nabi Telaah Historis dan Metodologis. Yogyakarta: Tiara Wacana
Yogya.
[1] Drs. Munzier
Suparta, MA., Ilmu Hadis (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003). hlm. 79
[2] DR.Muh.Zuhri,
Hadis Nabi (Yogyakarta: PT.Tiara Wacana Yogya, 1997). hlm.37-38.
[3] Ibid.
41-42
[4] Drs. Munzier
Suparta, MA., Ilmu Hadis (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003).hlm. 79-81
[5] Mohammad Nor
Ichwan, Studi Ilmu Hadits (Semarang: RaSAIL Media Group, 2007), 79.
[6] Khusniati
Rofiah, Studi Ilmu Hadits (Ponorogo: STAIN PO Press, 2010), 71.
[7] DR.Muh.Zuhri,
Hadis Nabi (Yogyakarta: PT.Tiara Wacana Yogya, 1997).hlm. 38.
[8] Drs. Munzier
Suparta, MA., Ilmu Hadis (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003).hlm. 82
[9] DR.Muh.Zuhri,
Hadis Nabi (Yogyakarta: PT.Tiara Wacana Yogya, 1997).hlm.39.
[10] Teungku Muhammad
Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu Hadits (Semarang: Pustaka
Rizki Putra, 1999), 47
[11] Suparta,
Munzier, Ilmu hadist,(Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2008), 85.
[12] Nor Ikhwan,
Mohammad, Ilmu Hadist,(Semarang:Rasail Media, 2007),87
[13]
Teungku Muhammad
Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu Hadits (Semarang: Pustaka
Rizki Putra, 1999), 48
[14]
Zuhri, Muh. Hadist Nabi Telaah Historis dan Metodologis. Yogyakarta: Tiara
Wacana Yogya.2003
Tidak ada komentar:
Posting Komentar