A.
Sejarah Perkembangan Hadits
Sejarah perkembangan hadis
merupakan masa atau periode yang telah dilalui oleh hadis dari masa lahirnya
dan tumbuh dalam pengenalan, penghayatan, dan pengamalan umat dari generasi ke
generasi.[1]Dengan
memerhatikan masa yang telah dilalui hadis sejak masa timbulnya/lahirnya di
zaman Nabi SAW meneliti dan membina hadis, serta segala hal yang memengaruhi
hadis tersebut. Para ulama Muhaditsin membagi sejarah hadis dalam beberapa
periode. Adapun para`ulama penulis sejarah hadis berbeda-beda dalam membagi
periode sejarah hadis. Ada yan membagi dalam tiga periode, lima periode, dan
tujuh periode.[2]
1.
Periode Pertama: Perkembangan
Hadis pada Masa Rasulutlah SAW.
Periode ini disebut `Ashr
Al-Wahyi wa At-Taqwin' (masa turunnya wahyu dan pembentukan masyarakat
Islam). Pada periode inilah, hadis lahir berupa sabda (aqwal), af’al, dan taqrir Nabi
yang berfungsi menerangkan AI-Quran untuk menegakkan syariat.
Para sahabat menerima hadis
secara langsung dan tidak langsung. Penerimaan secara langsung misalnya saat
Nabi SAW. mennheri ceramah, pengajian, khotbah, atau penjelasan terhadap
pertanyaan para sahabat. Adapun penerimaan secara tidak langsung adalah
mendengar dari sahabat yang lain atau dari utusan-utusan, baik dari utusan yang
dikirim oleh nabi ke daerah daerah atau utusan daerah yang datang kepada nabi.
Pada masa Nabi SAW, kepandaian
baca tulis di kalangan para sahabat sudah bermunculan, hanya saja terbatas
sekali. Karena kecakapan baca tulis di kalangan sahabat masih kurang, Nabi
mene¬kankan untuk menghapal, memahami, memelihara, mematerikan, dan memantapkan
hadis dalam amalan sehari- hari, serta mentablighkannya kepada orang lain. Nabi
Muhammad SAW menjadi pusat perhatian para sahabat apa pun yang di datangkan
oleh Nabi Muhammad SAW baik berupa ucapan, perbuatan maupun ketetapan merupakan
referensi yang di buat pedoman dalam kehidupan sahabat. Setiap
sahabat mempunyai kedudukan tersendiri dihadapan Rasulullah SAW adakalanya
disebut dengan “al-sabiqun al-awwalin” yakni para sahabat yang pertama masuk
islam, seperti khulafaur rasyidin dan Abdullah Bin Mas’ud.Ada juga sahabat yang
sungguh- sungguh menghafal hadist misalnya Abu Hurairah. Dan ada juga yang
usianya lebih panjang dari sahabat yang lain yang mana mereka lebih banyak
menghafalkannya seperti annas bin malik. Demikian juga ada sahabat yang dekat
sama rasulullah seperti Aisyah, Ummu Salamah, dan khulafaur rasidin semakin
erat dan lama bergaul semakin banyak pula hadist yang diriwayatkan dan
validitasnya tidak diragukan. Namun demikian sahabat juga adalah manusia biasa,
harus mengurus rumah tangga, bekerja untuk memenuhi kebuthan keluarganya, maka
tidak setiap kali lahir sebuah hadist di skasikan langsung oleh seluruh
sahabat, sehingga sahabat mendegar sebagian hadist dari mendengar kepada
sahabat yang lainnya atau langssung dari rasulullah SAW. Apalagi Sahabat nabi
yang berdomisili di daerah yang jauh dari madinah seringkali hanya memperoleh
hadist dari sesama sahabat.[3]
Rasul
membina umatnya selama 23 Tahun. Masa ini merupakan kurun waktu turunnya wahyu
dan sekaligus di wurudkannya hadist. Untuk lebih memahami kondisi/ keadaan
hadist pada zaman nabi SAW berikut ini penulis akan diuraikan beberapa hal yang
berkaitan:
1. Cara Rasulullah
menyampaikan hadist
Rasulullah dan para
sahabat hidup bersama tanpa penghalang apapun, mereka selalu berkumpul untuk
belajar kepada Nabi Saw. di masjid, pasar, rumah,dalam perjalanan dan di
majelis ta’lim. Ucapan dan perilaku beliau selalu
direkam dan dijadikan uswah (suri tauladan) bagi para sahabat
dalam urusan agama dan dunia. Selain para sahabat yang tidak berkumpul dalam
majelis Nabi Saw. untuk memperoleh patuah-patuah Rasulullah, karena tempat
tingal mereka berjauhan, ada di kota dan di desa begitu juga profesi mereka
berbeda, sebagai pedagang, buruh dll. Kecuali mereka berkumpul bersama Nabi
Saw. pada saat-saat tertentu seperti hari jumat dan hari raya. Cara rasulullah
menyampaikan tausiahnya kepada sahabat kemudian sahabat menyampaikan tausiah
tersebut kepada sahabat lain yang tidak bisa hadir (ikhadz)
2. Keadaan
para sahabat dalam menerima dan menguasai hadist
Kebiasaan para sahabat dalam menerima
hadits bertanya langsung kepada Nabi Saw. dalam problematika yang
dihadapi oleh mereka, Seperti masalah hukum syara’ dan teologi. Diriwayatkan
oleh imam Bukhari dalam kitabnya dari ‘Uqbah bin al-Harits tentang masalah
pernikahan satu saudara karena radla’ (sepersusuan).
Tapi perlu diketahui, tidak selamanya para sahabat bertanya langsung. Apa bila
masalah biologis dan rumah tangga, mereka bertanya kepada istri-istri beliau
melalui utusan istri mereka, seperti masalah suami mencium istrinya dalam
keadaan puasa. Telah kita ketahui, bahwa kebanyakan sahabat untuk menguasai
hadist Nabi Saw., melalui hafalan tidak melalui tulisan, karena difokuskan
untuk mengumpulkan al-Quran dan dikhawatirkan apabila hadist ditulis maka
timbul kesamaran dengan al-Quran.[4]
3. Larangan
menulis hadis dimasa nabi Muhammad SAW
Hadis pada zaman nabi Muhammad saw belum
ditulis secara umum sebagaimana al-Quran. Hal ini disebabkan oleh dua factor ; para
sahabat mengandalkan kekuatan hafalan dan kecerdasan otaknya, disamping
alat-alat tulis masih kuarang. karena adanya larangan menulis hadis nabi. Abu sa’id al-khudri berkata bahwa rosululloh
saw bersabda: Janganlah menulis sesuatu dariku selain al-Qua’an, dan barang
siapa yang menulis dariku hendaklah ia menghapusnya. ( H.R Muslim ) Larangan
tersebut disebabkan karena adanya kekawatiran bercampur aduknya hadis dengan
al-Qur’an, atau mereka bisa melalaikan al-Qua’an, atau larangan khusus bagi
orang yang dipercaya hafalannya. Tetapi bagi orang yang tidak lagi
dikawatirkan, seperti yang pandai baca tulis, atau mereka kawatir akan lupa,
maka penulisan hadis bagi sahabat tertentu diperbolehkan.
4. Aktifitas
menulis hadist.
Bahwasanya sebagian sahabat telah menulis
hadist pada masa Rasulullah, ada yang mendapatkan izin khusus dari Nabi
Saw.,hanya saja kebanyakan dari mereka yang senang dan kompeten menulis
hadist menjelang akhir kehidupan Rasulullah.[5]Keadaan
Sunnah pada masa Nabi SAW belum ditulis (dibukukan) secara resmi, walaupun ada
beberapa sahabat yang menulisnya. Hal ini dikarenakan ada larangan penulisan
hadist dari Nabi Saw. penulis akan mengutip satu hadist hadist yang lebih
shahih dari hadist tentang larangan menulis. Rasulullah Saw. bersabda:
لاتكتبو اعنّى شيئا غير القران فمن
كتب عنىّ شيئا غير القر ان فليمحه.
” jangan menulis apa-apa selain Al-Qur’an dari
saya, barang siapa yang menulis dari saya selain Al-Qur’an hendaklah
menghapusnya”.(HR. Muslim dari Abu Sa;id Al-Khudry) Tetapi disamping ada hadist
yang melarang penulisan ada juga hadist yang membolehkan penulisan hadist,
hadist yang diceritakan oleh Abdullah bin Amr, Nabi Saw. Bersabda
اكتب فو الذى نفسى بيده ما خرج منه
الاالحق
” tulislah!,
demi Dzat yang diriku didalam kekuasaan-Nya, tidak keluar dariku
kecuali yang hak”.(Sunan al-Darimi)
Dua hadist diatas tampaknya bertentangan,
maka para ulama mengkompromikannya sebagai berikut: Bahwa larangan menulis hadist itu terjadi pada awal-awal Islam untuk
memelihara agar hadist tidak tercampur dengan al-Quran. Tetapi setelah itu
jumlah kaum muslimin semakin banyak dan telah banyak yang mengenal Al-Quran,
maka hukum larangan menulisnya telah dinaskhkan dengan perintah yang
membolehkannya.
`Bahwa larangan menulis
hadist itu bersifat umum, sedang perizinan menulisnya bersifat khusus bagi
orang yang memiliki keahlian tulis menulis. Hingga terjaga dari kekeliruan
dalam menulisnya, dan tidak akan dikhawatirkan salah seperti Abdullah bin Amr
bin Ash.
Bahwa larangan menulis
hadist ditujukan pada orang yang kuat hafalannya dari pada menulis, sedangkan
perizinan menulisnya diberikan kepada orang yang tidak kuat hafalannya.
2.
Periode Kedua: Perkembangan
Hadis pada Masa Khulafa' Ar-Rasyidin (11 H-40 H)
Periode ini disebut ‘Ashr-At-Tatsabbut wa Al-Iqlal
min Al-Riwayah’ (masa membatasi dan menyedikitkan riwayat). Nabi SAW wafat
pada tahun 11 H. Kepada umatnya, beliau meninggalkan dua pegangan sebagai dasar
bagi pedoman hidup, yaitu Al-Quran dan hadis (As-Sunnah yang harus dipegangi
dalam seluruh aspek kehidupan umat.
Pada masa Khalifah Abu Bakar
dan Umar, periwayatan hadis tersebar secara terbatas. Penulisan hadis pun masih
terbatas dan belum dilakukan secara resmi. Bahkan, pada masa itu, Umar melarang
para sahabat untuk memperbanyak meriwayatkan hadis,dan sebaliknya,
Umar menekankan agar para sahabat mengerahkan perhatiannya untuk
menyebarluaskan Al-Quran. Dalam praktiknya, ada dua sahabat yang meriwayatkan
hadis, yakni:
1.
Dengan
lafazh asli, yakni menurut lafazh yang mereka terima dari Nabi SAW yang mereka
hapal benar lafazh dari Nabi.
2.
Dengan
maknanya saja; yakni mereka merivttayatkan maknanya karena tidak hapal lafazh
asli dari Nabi SAW.
3.
Periode Ketiga: Perkembangan
pada Masa Sahabat Kecil dan Tabiin
Periode ini disebut ‘Ashr Intisyar al-Riwayah
ila Al-Amslaar’ (masa berkembang dan meluasnya periwayatan hadis).[6]Pada
masa ini, daerah Islam sudah meluas, yakni ke negeri Syam, Irak, Mesir,
Samarkand, bahkan pada tahun 93 H, meluas sampai ke Spanyol. Hal ini bersamaan
dengan berangkatnya para sahabat ke daerah-daerah tersebut, terutama dalam
rangka tugas memangku jabatan pemerintahan dan penyebaran ilmu hadis.Para
sahabat kecil dan tabiin yang ingin mengetahui hadis-hadis Nabi SAW diharuskan
berangkat ke seluruh pelosok wilayah Daulah Islamiyah untuk menanyakan hadis
kepada sahabat-sahabat besar yang sudah tersebar di wilayah tersebut. Dengan
demikiari, pada masa ini, di samping tersebarnya periwayatan hadis ke
pelosok-pelosok daerah Jazirah Arab, perlawatan untuk mencari hadis pun menjadi
ramai. Karena meningkatnya periwayatan hadis, muncullah bendaharawan dan
lembaga-lembaga (Centrum Perkembangan) hadis di berbagai daerah di
seluruh negeri. Adapun lembaga-lembaga hadis yang menjadi pusat bagi usaha
penggalian, pendidikan,dan pengembangan hadis terdapat di: Madinah, Mekah,
Bashrah, Syam, dan Mesir, Pada periode ketiga ini mulai muncul usaha
pemalsuan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Hal ini terjadi
setelah wafatnya Ali r.a. Pada masa ini, umat Islam mulai terpecah-pecah menjadi
beberapa golongan: Pertama, golongan ‘Ali Ibn Abi Thalib, yang
kemudian dinamakan golongan Syi'ah. Kedua, golongan khawarij,
yang menentang ‘Ali, dan golongan Mu'awiyah, dan ketiga; golongan
jumhur (golongan pemerintah pada masa itu). Terpecahnya umat Islam
tersebut, memacu orang-orang yang tidak bertanggung jawab untuk mendatangkan
keterangan-keterangan yang berasal dari Rasulullah SAW. untuk mendukung
golongan mereka. Oleh sebab itulah, mereka membuat hadis palsu
dan menyebarkannya kepada masyarakat.
4.
Periode Keempat: Perkembangan
Hadis pada Abad II dan III Hijriah
Periode ini disebut Ashr Al-Kitabah wa
Al-Tadwin (masa penulisan dan pembukuan). Maksudnya,
penulisandan pembukuan secara resmi, yakni yang diselenggarakan oleh
atau atas inisiatif pemerintah. Adapun kalau secara perseorangan, sebelum abad
II H hadis sudah banyak ditulis, baik pada masa tabiin, sahabat kecil, sahabat
besar, bahkan masa Nabi SAW Masa pembukuan secara resmi dimulai pada awal abad
II H, yakni pada masa pemerintahan Khalifah Umar Ibn Abdul Azis tahun 101 H,[7] Sebagai
khalifah, Umar Ibn Aziz sadar bahwa para perawi yang menghimpun hadis dalam
hapalannya semakin banyak yang meninggal. Beliau khawatir apabila tidak
membukukandan mengumpulkan dalam buku-buku hadis dari para perawinya, ada
kemungkinan hadis-hadis tersebut akan lenyap dari permukaan bumi bersamaan
dengan kepergian para penghapalnya ke alam barzakh. Untuk mewujudkan maksud
tersebut, pada tahun 100 H, Khalifah meminta kepada Gubernur Madinah, Abu Bakr
Ibn Muhammad Ibn Amr Ibn Hazmin (120 H) yang menjadi guru Ma'mar- Al-Laits,
Al-Auza'i, Malik, Ibnu Ishaq, dan Ibnu Abi Dzi'bin untuk membukukan hadis Rasul
yang terdapat pada penghapal wanita yang terkenal, yaitu Amrah binti Abdir
Rahman Ibn Sa'ad Ibn Zurarah Ibn `Ades, seorang ahli fiqh, murid `Aisyah r.a.
(20 H/642 M-98 H/716 M atau 106 H/ 724 M), dan hadis-hadis yang ada pada
Al-Qasim Ibn Muhammad Ibn Abi Bakr Ash-Shiddieq (107 H/725 M), seorang pemuka
tabiin dan salah seorang fuqaha Madinah yang tujuh. Di samping
itu, Umar mengirimkan surat-surat kepada gubernur yang ada di bawah
kekuasaannya untuk membukukan hadis yang ada pada ulama yang tinggal di wilayah
mereka masing-masing. Di antara ulama besar yang membukukan hadis atas kemauan
Khalifah adalah Abu Bakr Muhammad Ibn Muslim ibn Ubaidillah Ibn Syihab
Az-Zuhri, seorang tabiin yang ahli dalam urusan fiqh dan hadits. Mereka inilah
ulama yang mula-mula membukukan hadis atas anjuran Khalifah. Pembukuan seluruh
hadist yang ada di Madinah dilakukan oleh Imam Muhammad Ibn Muslim Ibn Syihab
Az-Zuhri, yang memang terkenal sebagai seorang ulama besar dari ulama-ulama
hadist pada masanya. Setelah itu, para ulama besar berlomba-lomba membukulcan
hadist atas anjuran Abu `Abbas As-Saffah dan anak-anaknya dari khalifah-khalifah
‘Abbasiyah.
Berikut tempat dan nama-nama
tokoh dalam pengumpulan hadits :
a)
Pengumpul pertama di kota Mekah, Ibnu Juraij
(80-150 H)
b)
Pengumpul pertama di kota Madinah, Ibnu Ishaq
(w. 150 H)
c)
Pengumpul pertama di kota Bashrah, Al-Rabi'
Ibrl Shabih (w.160 H)
d)
Pengumpul pertama di Kuffah, Sufyan Ats-Tsaury
(w. 161 H.)
e)
Pengumpul pertama di Syam, Al-Auza'i (w. 95 H)
f)
Pengumpul pertama di Wasith, Husyain
Al-Wasithy (104-188 H)
g)
Pengumpul pertama diYaman, Ma'mar al-Azdy
(95-153 H)
h)
Pengumpul pertama di Rei, Jarir Adh-Dhabby
(110-188 H)
i)
Pengumpul pertama di Khurasan, Ibn Mubarak (11
-181 H)
j)
Pengumpul pertama di Mesir, Al-Laits Ibn Sa'ad
(w. 175 H).
Semua
ulama yang membukukan hadis ini terdiri dari ahli-ahli pada abad kedua Hijriah.
Kitab-kitab hadis yang telah dibukukan dan dikumpulkan dalam abad kedua ini,
jumlahnya cukup banyak. Akan tetapi, yang rnasyhur di kalangan ahli hadis
adalah: Al-Muwaththa', susurran Imam Malik (95 H-179 H); Al-Maghazi
wal Siyar, susunan Muhammad ibn Ishaq (150 H) Al-jami', susunan
Abdul Razzaq As-San'any (211 H) Al-Mushannaf, susunan Sy'bah Ibn Hajjaj
(160 H) Al-Mushannaf, susunan Sufyan ibn 'Uyainah (198 H) Al-Mushannaf,
susunan Al-Laits Ibn Sa'ad (175 H) Al-Mushannaf, susnan Al-Auza'i (150
H) Al-Mushannaf, susunan Al-Humaidy (219 H) Al-Maghazin Nabawiyah,
susunan Muhammad Ibn Waqid Al¬Aslamy. A1-Musnad, susunan Abu Hanifah
(150 H). Al-Musnad, susunan Zaid Ibn Ali. Al-Musnad, susunan
Al-Imam Asy-Syafi'i (204 H). Mukhtalif Al-Hadis, susunan Al-Imam
Asy-Syafi'i.
Tokoh-tokoh yang masyhur pada abad kedua
hijriah adalah Malik,Yahya ibn Sa'id AI-Qaththan, Waki Ibn Al-Jarrah, Sufyan
Ats-Tsauri, Ibnu Uyainah, Syu'bah Ibnu Hajjaj, Abdul Ar-Rahman ibn Mahdi,
Al-Auza'i, Al-Laits, Abu Hanifah, dan Asy-Syafi'i.
B.
Fase Pengumpulan dan Penulisan
Hadits
a.
Pengumpulan Hadis
Pada abad pertama Hijriah, yakni masa
Rasulullah SAW., Khulafaar Rasyidin,dan sebagian besar masa Bani
Umayyah hingga akhir abad pertama Hijrah, hadis-hadis itu
berpindah-pindahdan disampaikan dari mulut ke mulut. Masing-masing
perawi pada waktu itu meriwayatkan hadis berdasarkan kekuatan hapalannya.
Hapalan mereka terkenal kuat sehingga mampu mengeluarkan kembali hadis-hadis
yang pernah direkam dalam ingatannya. Ide penghimpunan hadis Nabi secara
tertulis untuk pertama kalinya dikemukakan oleh Khalifah Umar bin Khaththab (w.
23 H/644 M). Namun, ide tersebut tidak dilaksanakan oleh Umar karena khawatir
bila umat Islam terganggu perhatiannya dalam mempelajari Al-Quran. Pada masa
pemerintahan Khalifah Umar bin.Abdul Aziz yang dinobatkan akhir abad pertama
Hijriah, yakni tahun 99 Hijriah, datanglah angin segar yang mendukung
kelestarian hadist. Umar bin Abdul Azis terkenal sebagai seorang khalifah dari
Bani Umayyah yang terkenal adil dan wara' sehingga dipandang sebagai khalifah
Rasyidin yang kelima. Beliau sangat waspada dan sadar bahwa para
perawi yang mengumpulkan hadist dalam ingatannya semakin sedikit jumlahnya
karena meninggal dunia. Beliau khawatir apabila tidak segera dikumpulkan
dan dibukukan dalam buku-buku hadis dari para perawinya, mungkin
hadis-hadis itu akan lenyap bersama lenyapnya para penghapalnya. Tergeraklah
hatinya untuk mengumpulkan hadis-hadis Nabi dari para penghapal yang masih
hidup. Pada tahun 100 H, Khalifah Umar bin Abdul Azis memerintahkah kepada
Gubernur Madinah, Abu Bakar bin Muhammad bin Amer bin Hazm untuk membukukan
hadis-hadis Nabi dari para penghapal. Umar bin Abdul Azis menulis surat kepada
Abu Bakar bin Hazm, yaitu,"Perhatikanlah apa yang dapat diperoleh dari
hadis Rasul lalu tulislah karena aku takut akan lenyap ilmu disebabkan
menin,;galnya ulama, dan jangan diterima selain hadis Rasul SAW., dan
hercdaklah disebarluaskan ilmu dan diadakan majelis-majelis ilmu supaya orzng
yang tidak mengetahuinya dapat mengetahuinya, maka sesungguhnya ilmu itu
dirahasiakan."
Selain kepada Gubernur Madinah, khalifah juga
menulis surat kepada Gubernur lain agar mengusahakan pembukuan hadis. Khalifah
juga secara khusus menulis surat kepada Abu Bakar Muhammad bin Muslim bin
Ubaidillah bin Syihab Az-Zuhri. Kemudian, Syihab Az-Zuhri mulai melaksanakan
perintah khalifah tersebut sehingga menjadi salah satu ulama yang pertama kali
membukukan hadis. Setelah generasi Az-Zuhri, pembukuan hadis dilanjutkan oleh
Ibn Juraij (w. 150 H.), Ar-Rabi' bin Shabih (w. 160 H), dan masih banyak lagi
ulama lainnya. Sebagaimana telah disebutkan bahwa pembukuan hadis dimulai sejak
akhir masa pemerintahan Bani Umayyah, tetapi belum begitu sempurna. Pada masa
pemerintahan Bani Abbasiyah, yaitu pada pertengahan abad II H, dilakukan upaya
penyempunaan. Sejak saat itu, tampak gerakan secara aktif untuk membukukan ilmu
pengetahuan, termasuk pembukuandan penulisan hadis-hadis Rasul SAW
Kitab-kitab yang terkenal pada waktu itu yang ada hingga sekarang dan sampai
kepada kita, antara lain Al-Muwatha' oleh Imam Malikdan Al-Musnad oleh
Imam Asy-Syafi'i (w. 204 H). Pembukuan hadis itu kemudian dilanjutkan secara
lebih teliti oleh imam-imam ahli hadis, seperti Bukhari, Muslim, Tirmizi,
Nasai, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan lain-lain.
Dari mereka itu, kita kenal Kutubus Sittah (kitab-kitab)
enam, yaitu Sahih Al-Bukhari, Sahih Muslim, Sunan An-Nasal, dan
At-Tirmizi. Tidak sedikit pada masa berikutnya dari para ulama yang
menaruh perhatian besar pada Kutubus Sittah tersebut beserta
kitab Muwatha' dengan cara mensyarahinya dan memberi catatan
kaki, meringkas atau meneliti sanad dan matan-matannya.[8]
b.
Penulisan Hadis
Sebelum agama Islam datang, bangsa Arab tidak
mengenal kemampuan membaca dan menulis. Mereka lebih dikenal sebagai bangsa
yang ummi (tidak bisa membaca dan menulis). Namun, ini tidak berarti bahwa
tidak ada seorang pun yang bisa menulisdan membaca. Keadaan ini
hanyalah sebagai ciri kebanyakan mereka. Sejarah telah mencatat sejumlah orang
yang mampu membaca dan menulis. Adiy bin Zaid Al-Adi (w. 35 H) misalnya, sudah
belajar menulis hingga menguasainya, dan merupakan orang pertama yang menulis
dengan bahasa Arab dalam surat yang ditujukan kepada Kisra. Sebagian
orangYahudi juga mengajari anak-anak di Madinah untuk menulis Arab. Kota Mekah
dengan pusat perdagangannya sebelum kenabian, menjadi saksi adanya para penulis
dan orang yang mampu membaca. Sebagaimana dinyatakan bahwa orang yang mampu
membaca dan menulis di kota Mekah hanya sekitar 10 orang. Inilah yang dimaksud
bahwa orang Arab adalah bangsa yang ummi.[9]
[1] Endang soetari,ilmu hadist: kajian riwayah dan dirayah. Bandung ;Mimbar Pustaka.2005, halaman 29
[3] Muh.Zuhri, hadist nabi telaah historis dan metodologis (cet 11 yogyakarta
tiara yogya 2009) hal 29
[6] Ketujuh Fuqaha Madinah
adalah AI-Qasim, `Urwah Ibn Zubair, Abu Bakr Ibn Abdir Rahman, Sa'id Ibn
Musavyab, Abdillah Ibn Abdullah Ibn `Utbah Ibn Mas'ud, Kharijah Ibn Zaid
IbnTsabit, dan Sulaiman IbnYassar. LihatAsh-Shidieqy. hlm. 79
[7] Az-Zuhri menerima hadits dari Ibnu ‘Umar, Sahel ibn
Sa’ad, Anas ibn Malik, Mahmud Ibn al-Rabi’, Said Ibn Musaiyab, dan Abu Umamah
ibn Sahel
[9] Al-Qaththan. Mabahits
fi `Ulum Al-Hadits. Terj. Mifdhol Abdurrahman. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
2005.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar