BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Merupakan fakta dan sejarah bahwa jauh sebelum pemerintah Belanda
menginjakkan kakinya di Indonesia telah terbentuk masyarakat Islam.
Muawiyah (tahun 661-690) khalifah pertama Bani Umayyah yang
kemudian dilanjutkan oleh Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik telah mengadakan
misi suci agama Islam. Mereka dapat mengajak Raja Sriwijaya di Jambi Sri
Maharaja Lokitawarman dan Sri Maharaja Sri Indrawarman di Palembang masuk Islam
menganut mazhab Ahlu Sunnah Wal Jamaah dalam tahun 99 H atau 86 tahun sesudah
wafat Nabi Muhammad SAW. Demikian juga seorang Raja Jepara (Jawa Timur) Ratu
Simon, sebagaimana ditulis dan tersimpan baik di Granada Spanyol sampai
sekarang.[1]
Rumusan
Masalah
1.
Bagaaimana Hukum Islam Pasca Kemerdekaan?
2.
Bagaimana Hukum Islam pada Masa Orde Lama?
3.
Bagaimana Hukum Islam pada Masa Orde Baru?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hukum Islam di Era Kemerdekaan
Setelah Indonesia merdeka 17 Agustus
1945, atas usul menteri Agama yang disetujui oleh menteri Kehakiman, pemerintah
menetapkan bahwan Pengadilan Agama diserahkan dari kekuasaan Kementrian
Kehakiman kepada Kementrian Agama dengan ketetapan pemerintah nomor 5/SD
tanggal 25 Maret 1946.
Sebelum medeka pegawai pengadilan
agama dan hakim tidak mendapat gaji tetap dan honorarium dari pemerintah, maka
setelah merdeka anggaran belanja pengadilan agama disediakan oleh pemerintah.
Meski ketua pengadilan mendapat gaji pada masa kolonial Belanda, tetapai ketika
itu gaji itu diberikan bukan atas nama sebagai pegawai pengadilan agama, tetapi
menerima gaji sebagai Islamitisch Adviseur
pada Landraad.
Sejalan dengan pasal II Aturan
Peralihan UUD 1945, dasar dan wewenang kekuasaan peradilan agama masih tetap
berlaku sebagaimana sebelum proklamasi, baik di Jawa dan Madura, di Kalimantan
Selatan maupun didaerah-daerah lain.
Selama revolusi fisik pada umumnya
tidak ada perubahan tentang dasar peraturan peradilan agama secara prinsipil,
selain usaha-usaha pelestarian peradilan agama itu sendiri. Selama revolusi fisik yang patut yang
dicermati adalah;
Pertama, keluarnya UU
Nomor 22 tahun 1946 tentang pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk menggantikan
ordonansi NTR dahulu, karena berdasarkan pertimbangan bahwa peraturan nikah.
Dengan keluarnya UU No. 22 Tahun 1946 tentang pencatatan Nikah, Talak dan
Rujuk, maka segera diambil tindakan dengan jalan memisahkan urusan Pendaftaran
Nikah, talak dan Rujuk dari pengadilan agama. Penghulu kepala yang tadinya
merangkap Ketua Pengadilan Agama tidak lagi mencampuri urusan pengadilan dan
boleh sebab itu terbentuklah penghulu kabupaten yang diserahi kepenghuluan
disamping Penghulu Hakim yang dikhususkan menangani pengadilan agama saja
dengan mendapat gaji dan tingkat serta kedudukan sebagai penghulu Kepala.
Seluruh biaya tata usaha pengadilan menjadi tanggungan Negara, sedangkan
pegawai-peawainya panitera dibayar dengan gaji tetap dan ongkos perkara harus
disetorkan ke kas Negara.[2]
Kedua, keluarnya penetapan Menteri Agama Nomor 6 tahun 1947 tentang
penetapan formasi pengadilan agama terpisah dari penghulu Kabupaten, dengan
kata lain pemisahan tugas antara Penghulu Kabupaten sebagai kepala Pegawai
Pencatat Nikah dan urusan kepenghuluan lainnya, dengan penghulu hakim sebagai
ketua pengadilan agama, juga sebagai Qadhi hakim syari’.
Ketiga, keluarnya UU Nomor 19 tahun 1948 yang tidak pernah dinyatakan
berlaku, isinya antara lain dihapuskannya susunan pengadilan agama yang telah
ada selama ini, tetapi menteri hukum yang menjadi wewenangnya ditampung dan
dimasukkan dipengadilan negeri yang secaara istimewa diputus oleh dua orang
hakim ahli agama disamping hakim yang beragama Islam sebagai ketua. Kewenangan
Pengadilan Agama dimasukkan dalam pengadilan Umum secara istimewa yang diatur
dalam pasal 35 ayat (2), pasal 75 dan pasal 33. Undang-undang ini merupakan
aturan yang penting tentang pengadilan dalam masa pemerintahan RI Yogyakarta. Undang-undang ini bermaksud
mengatur mengenai peradilan dan sekaligus
mencambut serta menyempurnakan ii UU Nomor 7 tahun 1947 tentang susunan dan
kekuasaan Mahkamah Agung dan Kejaksaan yang mulai berlaku pada tanggal 3 Maret
1947.
Ketentuan diatas ternyata tidak ada lingkungan tersendiri dari
peradilan Agama. Lalu bagaimana dengan Peradilan Agama yang pada waktu itu
telah ada? Tidak ada ketentuan yang
tegas menghapuskan peradilan Agama. Dalam pasal 35 ayat (2) dinyatakan bahwa
perkara perdata antara orng Islam yang menurut hukum yang hidup harus diperiksa
dan diputus menurut hukum agamanya, harus diperiksa oleh Pengadilan Negeri,
yang terdiri dari seorang hakim yang beragama Islam, sebagai Ketua dan dua
orang Hakim ahli agama Islam sebaggai anggota yang diangkat oleh presiden atas
usul Menteri Agama dengan persetujuan Menteri Kehakiman.
Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung, ada
suatu bagian yang memeriksa dan memutus
perkara-perkara yang sebelumnya diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Negeri
dalam pengadilan tingkat pertama, Pengadilan Tinggi dalam peradilan tingkat
banding dan Mahkamah Agung dalam peradilan kasasi.
Keempat, keputusan
Recomba Jawa Barat No. Rec. Wj 229/72
tanggal 2 April 1948 dan peraturan yang tercantum dalam Javaassche Courant 1946
No. 32 dan 39 tahun 1948 No. 25 dan 1949 No.29 dan 65 menentukan bahwa
didaerah-daerah yang dikuasai tentara sekutu dan Belanda, instansi yang
dinamakan Priesterraad diuubah menjadi penghulu Gerecht. Mungkin
berdasarkan peraturan Darurat Markas Besar Komando Jawqa No. 46/MBKD/49 tentang
pengadilan pemerintah militer, atas kebijaksanaan komandan sub teritorial
comando dibentuk pengadilan agama darurat dibeberapa tempat. Di samping itu
juga dibentuk Majelis Ulama yang bertindak sebagai pengadilan Bandingan
mengimbangi Mahkamah Islam Tinggi yang ketika itu suudah pindah di Surakarta.
Itulah sebabnya di Jawa tergabung dengan
Mahkamah Islam Tinggi sebelum agresi miliiter 1 tahun 1947, setelah prjanjian
Reville jumlah pengadilan agama itu 41 buah pengadilan.[3]
Sedangkan yang terjadi diluar Jawa dan Madura pada saat itu dpat
dilihat dari indikasi berikut. Partama, dibeberapa daerah Sumatera sebagai
hasil revolusi kemerdekaan, semenjak 1 Agustus 1946 terbentuk Mahkamah
Syari’iyah didaerah Aceh, Tpanuli, Sumatera Tengah, Jambi, Palembang dan Lampung,
yang semua itu oleh pemerintah pusat darurat di Pematang Siantar diakui sah
dengan surat kawatna 13 Januari 1947. Kedua, didaerah-daerah lain seperti
Kalimantan barat dan kalimantan Timur yang masing-masing dengan Mahkamah Balai
Agamanya dan Majelis Agama Islamnya, di Sunggara dan Sulawesi, di Nusatenggara
dan di Maluku semuanya dengan Hakim syara’nya baik yang berasal dari Godsdientige
Rechters maupun dari Mohammedaansche Godsdientige Beambte, dasar
pelestarian peradilan agamanya berdasarkan peraturan swapraja dan peraturan
adat meskipun atas kuasa sempat termasuk Kerapatan Qadi di Kalimantan Selatan.[4]
Dengan penyerahan kedaulatan 27
Desember 1949 oleh Belanda kepada Indonesia kemudian terbentuk Negara Kesatuan
RI pada 17 Agustus 1950. Maka berdasarkan pasal 192 UUD R.I.S dan pasal 142 UUD
sementara RI, keduanya tentang peraturan perlihan, selanjutnya atas dasar
ketentuan Peralihan Pemulihan, yakni UU No.8 Tahun 1950, semua peraturan
darurat itu dihapuskan yang pada akhirnya tetap berlaku.
Perdilan agama sebagai pelaksanaan
UU Darurat adalah badan-badan peradilan agama yang ada dalam lingkungan peradilan
Swapraja dan peradilan adat, jika peradilan agama itu menurut hukum yang hidup
tersendiri dari kedua pengadilan tersebut tidak turut di hapus, melainkan oleh
pemerintah daerah diserahkan pengurusannya kepada Departemen Agama, selanjutnya
diatur berdasarkan peraturan pemerintah. Untuk mengimbangi situasi politik
pemerintahan, tahun 1957 diajukan usul pembentukan Mahkamah Syari’iyah didaerah
Aceh yang ternyata mendapat restu pemerintah dengan keluarnya PP. No. 29 tahun
1957 tanggal 6 Juni 1957. Kemudian agar cepat diselesaikan peradilan agamma
diluar Jawa dan Madura seluruhnya, pemerintah dalam sidang kabinetnya 26
Agustus 1957 menyetujui dikeluarkannya PP. No. 45 tahun 1957 tentang pengadilan
agama/Mahkamah Syari’iyah yang berlaku diluar Jawa dan Madura selain daerah
Kalimantan Selatan.[5]
Perkembangan selanjutnya setelah PP. No. 45 tahuun 1957 dapat
dilihat dari beberapa kebijakan yang muncul kemudian, sebagai peraturan yang
memberikan yurisdiksi yang lebih besar kepada pengadilan diluar Jawa dan
Madura, yaitu:
1.
Penetapan
Menteri Agama No. 58 tahun 1957 tentang pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah
Syari’iyah di Sumatera yaitu:
1)
di
daerah Aceh, dengan Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’iyah propinsinya di
Kutaraja (Banda Aceh);
2)
daerah
Sumatera Utara, dengan Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’iyah propinsinya di
Medan;
3)
daerah
Sumatera Barat, Jambi dan Riau, dengan Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’iyah
propinsinya di Padang;
4)
di
daerah Sumatera Selatan, Bengkulu dan Lampung, dengan Pengadilan Agama/Mahkamah
Syari’iyah proppinsinya di Palembang.
2.
Penetapan
Menteri Agama No. 4 tahun 1958 tentang pembentukan pengadilan Agama/Mahkamah
Syari’iyah didaerah Kalimantan (minus daerah Kerapatan Qadli). Dengan
Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’iyah propinsinya di Banjarmasin.
3.
Penetapan
Menteri No. 5 tahun 1958, tentang pembentukan
Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’iyah didaerah Sulawesi, Nusatenggara,
Maluku dan Irian Jaya, dengan Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’iyah propinsinya
di Ujungpandang.
Pada tahun 1970, pemerintah lebih mempertegas
keberadaan Pengadilan Agama dengan dikeluarkannya UU No.14 tahun 1970 tentang
ketentuan-ketentuan pokok Kekuasaan Kehakiman. Dalam pasal 10 disebutkan; ada
empat lingkungan perradilan di Indonesia, yaitu Peradilan Umum, Peradilan
Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara. Seluruh pengadilan tersebut disejajarkan posisinya
secara hukum dan berinduk kepada Mahkamah Agung. Dengan adanya UU No. 14 tahun
1970 ini, maka kekuatan Peradilan Agama sama dengan pengadilan-pengadilan
lainnya yang ada diwilayah yurisdiksi Indonesia. Pada tahun 1977 Mahkamah Agung
mengeluarkan peraturan yang memperkuat
bagi kedudukan Pengadilan Agama, yaitu dengan diberikan hak bagi Pengadilan
Agama untuk mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.
Dalam
pelaksanaannya di Peradilan Agama dikeluarkan Peraturan Pemerintah No. 45 tahun
1957 tentang Pembentukan Peradilan Agama di Luar Jawa dan Madura dengan nama
Mahkamah Syari’iyah tingkat pertama dikabupaten dan tingkat banding diibu kota
propinsi. Pasal 10 mengatur bahwa disamping peradilan umun ada peradilan agama.
Dengan demikian, hukum islam dianggap berlaku di Indonesia berdasarkan kekuatan
hukum islam itu sendiri bersandar kepada Pasal 29 UUD 1945, bukan lagi dengan
Pasal 134 ayat (2) Indische Staats Regeling.
Peraturan
pelaksanaannya diatur dengan Peraturann Pemerintah No. 9 Tahun 1975. Peraturan
Menteri Aggama Tahun 1975, bahwa oleh Sayuti Thalib, Dosen Fakultas Hukum
Universitas Indonesia. Setelah Indonesia merdeka berdasarkan Pasal 29 UUD 1945
diintroduksi satu teori yang dinamakan Receptio a Conttrario Theorie.
Teori itu mengatakan bahwa hukum adat baru berlaku apabila diterima oleh hukum
Islam, hukum Islam baru berlaku apabila berdasarkan al-qur’an (hukum adat
bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah).[6]
Pada sisi untuk
memperbaiki kekurangan Pengadilan Agama untuk menegakkan hukum islam Islam
berlaku secara yurdis formal, 8 Desember 1988 Presiden RI menyampaikan RUUPA
kepada DPR untuk dibicarakan dan disetujui menjadi UU menggantikan semua
peraturan yang tidak sesuai dengan UUD 1945 UUPK No. 14 tahun 1970. Setelah
melalui perdebatan yang cukup panjang,
14 Desember 1989 RUUPA disetujui menjadi UU, yang mengatur secara khusus
pengadilan agama di Indonesia, kemudian dikenal dengan UU No.7 tahun 1989.
Dengan UU ini semakin mantap kedudukan Penggadilan Agama sebagai satu badan
pelaksana kekuasaan kehakiman yang mandiri dalam rangka menegakkan Hukum Islam
bagi pencari keadilan yang beragama Islam,mengenai perkawinan, warisan, wasiat,
hibah, wakaf dan sedekah yang telah mejadi hukum poositif. Ini berarti
Pengadilan Agama sebagai peradilan Negara telah sama dan sederajat kedudukannya
dengan semua peradilan umum, militer, tata usaha negara di Indonesia, dengan
alat perlengkapan yang sama pula. Nama, susunan, kekuasaan dan hukum acaranya
telah seragam untuk seluruh Indonesia.
Perkembangan
berikutnya dengan lahirnya UU Pokok Perbankan 1998 yang telah memberi peluang
bagi bank-bank konvensional untuk membuka sistem Perbankan Syari’ah. Begitu
pula dengan lahirnya UU No. 37 tahun 1999 tentang penyelenggara Haji, UU No. 38
tahun 1999 tentang Zakat.
B.
Hukum Islam pada Masa Orde Lama
Selama hampir lima tahun setelah proklamasi kemerdekaan, Indonesia
memasuki masa-masa revolusi (1945-1950). Menyusul kekalahan Jepang oleh
tentara-tentara sekutu, Belanda ingin menduduki kepulauan Nusantara. Dari
beberapa pertempuran , Belanda berhasil menguasai beberapa wilayah Indonesia.
Di wilayah ini, Belanda mendirikan negara-negara kecil yang dimaksudkan untuk
mengepung Republik Indonesia. Berbagai perundingan dan untuk memilih dan
membentuk Majlis Konstituante pada akhir tahun 1955. Majllis yang terdiri dari
514 orang itu kemudian dilantik oleh Presiden Soekarno pada 10 November 1956.
Namun, delapan bulan sebelum batas akhir masa kerjanya, Majlis ini dibubarkan
melalui Dekrit Presiden yang dikeluarkan pada tannggal 5 Juli 1959. Hal penting
terkait dengan hukum islam dalam peristiwa Dekrit ini adalah konsiderannya yang
menyatakan bahwa “Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni menjiwai UUD 1945” dan
merupakan “suatu kesatuan dengan konstitusi tersebut”. Hal ini tentu saja
mengangkat dan memperjelas posisi Hukum Islam dalam UUD.[7]
D.
Hukum Islam pada Masa Orde Baru
Dengan gagalny kudeta PKI pada 1965 dan berkuasanya Orde Baru,
banyak pemimpin Islam Indonesia yang menaruh harapa besar untuk mendudukkan
Islam sebagaimana mestinya dalam tatanan politik maupun hukum di Indonesia.
Pemerintah Orde Baru membebaskan bekas tokoh-tokoh Masyumi yang sebelumnya
dipenjara oleh Soekarno. Namun, harapan tersebut kandas, saat Orde Baru
menegaskan perannya sebagai pembela Pancasila dan UUD 1945. Di awal 1967,
Soeharto menegaskan bahwa militer tidak akan menyetujui upaya rahabilitasi
kembali partai Masyumi.[8]
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Setelah
Indonesia merdeka 17 Agustus 1945,matas usul Menteri Agama yang disetujui Menteri Kehakiman, selama
revolusi fisik pada umumnya tidak ada perubahan tentang dasar peraturan
peradilan agama secara prinsipil, selama revolusi fisik yang patut dicermati
adalah:
1.
Keluarnya
UU Nomor 22 tahun 1946 tentang peraturan Nikah, Talak dan Rujuk.
2.
Keluarnya
ketetapan Menteri Agama Nomor 6 tahun 1947 tentang penetapan formasi pengadilan
agama terpisah dari penghulu kabupaten.
3.
Keluarnya
UU Nomor 19 tahun 1948 yang tidak pernah dinyatakan berlaku.
4.
Keputusan
Recomba Jawa Barat No. Rec. Wj 229/72 tanggal 2 April 1948.
Perkembangan selanjutnya setelah PP. No. 45 tahun 1957 dapat
dilihat dari beberapa kebijakan yang muncul kemudian, sebagai peraturan yang
memberikan yurisdiksi yang lebih besar kepada pengadilan diluar Jawa dan
Madura, yaitu:
1.
Penetapan
Menteri Agama No. 58 tahun 1957 tantang pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah
Syari’iyah di Sumatera.
2.
Penetapan
Menteri Agama No. 4 tahun 1958 tentang pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah
Syari’iyah di Kalimantan.
3.
Penetapan
Menteri Agama No. 5 tahun 1958 tentang pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah
Syari’iyah di Sulawesi.
Dalam
Pasal 10 disebutkan ada empat peradilan di Indonesia yaitu:
1.
Peradilan
Umum
2.
Peradilan
Agama
3.
Peradilan
Militer
4.
Peradilan
Tata Usaha.
DAFTAR
PUSTAKA
Halim Abdul, Politik Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Ciputat
Press, 2005
Junaidy
Basith Abd, Studi Hukum Islam, Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press,2011
Ramulyo
Idris. Mohd, Asas-asas Hukum Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2004
[1][1][1]
Mohd. Idris Ramulyo, Asas-Asas Hukum Islam (Jakarta: Sinar Grafika,
2004), hlm. 38
[2] Abdil
Halim, Politik Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Ciputat Pres, 2005),
hlm. 75
[3] Ibid.,
hlm. 78
[4] Ibid,.
Hlm. 79
[5] Ibid,.
Hlm. 79
[6] Mohd.
Idris Ramulyo, hlm. 43
[7] Abd.
Basith Junaidy, Studi Hukum Islam (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press,
2011), hlm. 311
[8] Ibid.,
313
Tidak ada komentar:
Posting Komentar