Senin, 09 Oktober 2017

TASYRI’ DI INDONESIA PADA MASA KEMERDEKAAN

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Merupakan fakta dan sejarah bahwa jauh sebelum pemerintah Belanda menginjakkan kakinya di Indonesia telah terbentuk masyarakat Islam.
Muawiyah (tahun 661-690) khalifah pertama Bani Umayyah yang kemudian dilanjutkan oleh Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik telah mengadakan misi suci agama Islam. Mereka dapat mengajak Raja Sriwijaya di Jambi Sri Maharaja Lokitawarman dan Sri Maharaja Sri Indrawarman di Palembang masuk Islam menganut mazhab Ahlu Sunnah Wal Jamaah dalam tahun 99 H atau 86 tahun sesudah wafat Nabi Muhammad SAW. Demikian juga seorang Raja Jepara (Jawa Timur) Ratu Simon, sebagaimana ditulis dan tersimpan baik di Granada Spanyol sampai sekarang.[1]


Rumusan Masalah
1.      Bagaaimana Hukum Islam Pasca Kemerdekaan?
2.      Bagaimana Hukum Islam pada Masa Orde Lama?
3.      Bagaimana Hukum Islam pada Masa Orde Baru?

           







BAB II
PEMBAHASAN

A.    Hukum Islam di Era Kemerdekaan
            Setelah Indonesia merdeka 17 Agustus 1945, atas usul menteri Agama yang disetujui oleh menteri Kehakiman, pemerintah menetapkan bahwan Pengadilan Agama diserahkan dari kekuasaan Kementrian Kehakiman kepada Kementrian Agama dengan ketetapan pemerintah nomor 5/SD tanggal 25 Maret 1946.
            Sebelum medeka pegawai pengadilan agama dan hakim tidak mendapat gaji tetap dan honorarium dari pemerintah, maka setelah merdeka anggaran belanja pengadilan agama disediakan oleh pemerintah. Meski ketua pengadilan mendapat gaji pada masa kolonial Belanda, tetapai ketika itu gaji itu diberikan bukan atas nama sebagai pegawai pengadilan agama, tetapi menerima gaji sebagai Islamitisch Adviseur  pada Landraad.
            Sejalan dengan pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, dasar dan wewenang kekuasaan peradilan agama masih tetap berlaku sebagaimana sebelum proklamasi, baik di Jawa dan Madura, di Kalimantan Selatan  maupun didaerah-daerah lain.
            Selama revolusi fisik pada umumnya tidak ada perubahan tentang dasar peraturan peradilan agama secara prinsipil, selain usaha-usaha pelestarian peradilan agama itu sendiri.  Selama revolusi fisik yang patut yang dicermati adalah;
            Pertama, keluarnya UU Nomor 22 tahun 1946 tentang pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk menggantikan ordonansi NTR dahulu, karena berdasarkan pertimbangan bahwa peraturan nikah. Dengan keluarnya UU No. 22 Tahun 1946 tentang pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk, maka segera diambil tindakan dengan jalan memisahkan urusan Pendaftaran Nikah, talak dan Rujuk dari pengadilan agama. Penghulu kepala yang tadinya merangkap Ketua Pengadilan Agama tidak lagi mencampuri urusan pengadilan dan boleh sebab itu terbentuklah penghulu kabupaten yang diserahi kepenghuluan disamping Penghulu Hakim yang dikhususkan menangani pengadilan agama saja dengan mendapat gaji dan tingkat serta kedudukan sebagai penghulu Kepala. Seluruh biaya tata usaha pengadilan menjadi tanggungan Negara, sedangkan pegawai-peawainya panitera dibayar dengan gaji tetap dan ongkos perkara harus disetorkan ke kas Negara.[2]
            Kedua, keluarnya penetapan Menteri Agama Nomor 6 tahun 1947 tentang penetapan formasi pengadilan agama terpisah dari penghulu Kabupaten, dengan kata lain pemisahan tugas antara Penghulu Kabupaten sebagai kepala Pegawai Pencatat Nikah dan urusan kepenghuluan lainnya, dengan penghulu hakim sebagai ketua pengadilan agama, juga sebagai Qadhi hakim syari’.
            Ketiga, keluarnya UU Nomor 19 tahun 1948 yang tidak pernah dinyatakan berlaku, isinya antara lain dihapuskannya susunan pengadilan agama yang telah ada selama ini, tetapi menteri hukum yang menjadi wewenangnya ditampung dan dimasukkan dipengadilan negeri yang secaara istimewa diputus oleh dua orang hakim ahli agama disamping hakim yang beragama Islam sebagai ketua. Kewenangan Pengadilan Agama dimasukkan dalam pengadilan Umum secara istimewa yang diatur dalam pasal 35 ayat (2), pasal 75 dan pasal 33. Undang-undang ini merupakan aturan yang penting tentang pengadilan dalam masa pemerintahan  RI Yogyakarta. Undang-undang ini bermaksud mengatur mengenai  peradilan dan sekaligus mencambut serta menyempurnakan ii UU Nomor 7 tahun 1947 tentang susunan dan kekuasaan Mahkamah Agung dan Kejaksaan yang mulai berlaku pada tanggal 3 Maret 1947.
            Ketentuan diatas ternyata tidak ada lingkungan tersendiri dari peradilan Agama. Lalu bagaimana dengan Peradilan Agama yang pada waktu itu telah  ada? Tidak ada ketentuan yang tegas menghapuskan peradilan Agama. Dalam pasal 35 ayat (2) dinyatakan bahwa perkara perdata antara orng Islam yang menurut hukum yang hidup harus diperiksa dan diputus menurut hukum agamanya, harus diperiksa oleh Pengadilan Negeri, yang terdiri dari seorang hakim yang beragama Islam, sebagai Ketua dan dua orang Hakim ahli agama Islam sebaggai anggota yang diangkat oleh presiden atas usul Menteri Agama dengan persetujuan Menteri Kehakiman.
 Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung, ada suatu bagian  yang memeriksa dan memutus perkara-perkara yang sebelumnya diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Negeri dalam pengadilan tingkat pertama, Pengadilan Tinggi dalam peradilan tingkat banding dan Mahkamah Agung dalam peradilan kasasi.
            Keempat, keputusan Recomba Jawa Barat No. Rec. Wj  229/72 tanggal 2 April 1948 dan peraturan yang tercantum dalam Javaassche Courant 1946 No. 32 dan 39 tahun 1948 No. 25 dan 1949 No.29 dan 65 menentukan bahwa didaerah-daerah yang dikuasai tentara sekutu dan Belanda, instansi yang dinamakan Priesterraad diuubah menjadi penghulu Gerecht. Mungkin berdasarkan peraturan Darurat Markas Besar Komando Jawqa No. 46/MBKD/49 tentang pengadilan pemerintah militer, atas kebijaksanaan komandan sub teritorial comando dibentuk pengadilan agama darurat dibeberapa tempat. Di samping itu juga dibentuk Majelis Ulama yang bertindak sebagai pengadilan Bandingan mengimbangi Mahkamah Islam Tinggi yang ketika itu suudah pindah di Surakarta. Itulah sebabnya di Jawa  tergabung dengan Mahkamah Islam Tinggi sebelum agresi miliiter 1 tahun 1947, setelah prjanjian Reville jumlah pengadilan agama itu 41 buah pengadilan.[3]
            Sedangkan yang terjadi diluar Jawa dan Madura pada saat itu dpat dilihat dari indikasi berikut. Partama, dibeberapa daerah Sumatera sebagai hasil revolusi kemerdekaan, semenjak 1 Agustus 1946 terbentuk Mahkamah Syari’iyah didaerah Aceh, Tpanuli, Sumatera Tengah, Jambi, Palembang dan Lampung, yang semua itu oleh pemerintah pusat darurat di Pematang Siantar diakui sah dengan surat kawatna 13 Januari 1947. Kedua, didaerah-daerah lain seperti Kalimantan barat dan kalimantan Timur yang masing-masing dengan Mahkamah Balai Agamanya dan Majelis Agama Islamnya, di Sunggara dan Sulawesi, di Nusatenggara dan di Maluku semuanya dengan Hakim syara’nya baik yang berasal dari Godsdientige Rechters maupun dari Mohammedaansche Godsdientige Beambte, dasar pelestarian peradilan agamanya berdasarkan peraturan swapraja dan peraturan adat meskipun atas kuasa sempat termasuk Kerapatan Qadi di Kalimantan Selatan.[4]
            Dengan penyerahan kedaulatan 27 Desember 1949 oleh Belanda kepada Indonesia kemudian terbentuk Negara Kesatuan RI pada 17 Agustus 1950. Maka berdasarkan pasal 192 UUD R.I.S dan pasal 142 UUD sementara RI, keduanya tentang peraturan perlihan, selanjutnya atas dasar ketentuan Peralihan Pemulihan, yakni UU No.8 Tahun 1950, semua peraturan darurat itu dihapuskan yang pada akhirnya tetap berlaku.
            Perdilan agama sebagai pelaksanaan UU Darurat adalah badan-badan peradilan agama yang ada dalam lingkungan peradilan Swapraja dan peradilan adat, jika peradilan agama itu menurut hukum yang hidup tersendiri dari kedua pengadilan tersebut tidak turut di hapus, melainkan oleh pemerintah daerah diserahkan pengurusannya kepada Departemen Agama, selanjutnya diatur berdasarkan peraturan pemerintah. Untuk mengimbangi situasi politik pemerintahan, tahun 1957 diajukan usul pembentukan Mahkamah Syari’iyah didaerah Aceh yang ternyata mendapat restu pemerintah dengan keluarnya PP. No. 29 tahun 1957 tanggal 6 Juni 1957. Kemudian agar cepat diselesaikan peradilan agamma diluar Jawa dan Madura seluruhnya, pemerintah dalam sidang kabinetnya 26 Agustus 1957 menyetujui dikeluarkannya PP. No. 45 tahun 1957 tentang pengadilan agama/Mahkamah Syari’iyah yang berlaku diluar Jawa dan Madura selain daerah Kalimantan Selatan.[5]
Perkembangan selanjutnya setelah PP. No. 45 tahuun 1957 dapat dilihat dari beberapa kebijakan yang muncul kemudian, sebagai peraturan yang memberikan yurisdiksi yang lebih besar kepada pengadilan diluar Jawa dan Madura, yaitu:
1.      Penetapan Menteri Agama No. 58 tahun 1957 tentang pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’iyah di Sumatera yaitu:
1)      di daerah Aceh, dengan Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’iyah propinsinya di Kutaraja (Banda Aceh);
2)      daerah Sumatera Utara, dengan Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’iyah propinsinya di Medan;
3)      daerah Sumatera Barat, Jambi dan Riau, dengan Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’iyah propinsinya di Padang;
4)      di daerah Sumatera Selatan, Bengkulu dan Lampung, dengan Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’iyah proppinsinya di Palembang.
2.      Penetapan Menteri Agama No. 4 tahun 1958 tentang pembentukan pengadilan Agama/Mahkamah Syari’iyah didaerah Kalimantan (minus daerah Kerapatan Qadli). Dengan Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’iyah propinsinya di Banjarmasin.
3.      Penetapan Menteri No. 5 tahun 1958, tentang pembentukan  Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’iyah didaerah Sulawesi, Nusatenggara, Maluku dan Irian Jaya, dengan Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’iyah propinsinya di Ujungpandang.
Pada tahun 1970, pemerintah lebih mempertegas keberadaan Pengadilan Agama dengan dikeluarkannya UU No.14 tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok Kekuasaan Kehakiman. Dalam pasal 10 disebutkan; ada empat lingkungan perradilan di Indonesia, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara. Seluruh  pengadilan tersebut disejajarkan posisinya secara hukum dan berinduk kepada Mahkamah Agung. Dengan adanya UU No. 14 tahun 1970 ini, maka kekuatan Peradilan Agama sama dengan pengadilan-pengadilan lainnya yang ada diwilayah yurisdiksi Indonesia. Pada tahun 1977 Mahkamah Agung mengeluarkan peraturan  yang memperkuat bagi kedudukan Pengadilan Agama, yaitu dengan diberikan hak bagi Pengadilan Agama untuk mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.
Dalam pelaksanaannya di Peradilan Agama dikeluarkan Peraturan Pemerintah No. 45 tahun 1957 tentang Pembentukan Peradilan Agama di Luar Jawa dan Madura dengan nama Mahkamah Syari’iyah tingkat pertama dikabupaten dan tingkat banding diibu kota propinsi. Pasal 10 mengatur bahwa disamping peradilan umun ada peradilan agama. Dengan demikian, hukum islam dianggap berlaku di Indonesia berdasarkan kekuatan hukum islam itu sendiri bersandar kepada Pasal 29 UUD 1945, bukan lagi dengan Pasal 134 ayat (2) Indische Staats Regeling.
Peraturan pelaksanaannya diatur dengan Peraturann Pemerintah No. 9 Tahun 1975. Peraturan Menteri Aggama Tahun 1975, bahwa oleh Sayuti Thalib, Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Setelah Indonesia merdeka berdasarkan Pasal 29 UUD 1945 diintroduksi satu teori yang dinamakan Receptio a Conttrario Theorie. Teori itu mengatakan bahwa hukum adat baru berlaku apabila diterima oleh hukum Islam, hukum Islam baru berlaku apabila berdasarkan al-qur’an (hukum adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah).[6]
Pada sisi untuk memperbaiki kekurangan Pengadilan Agama untuk menegakkan hukum islam Islam berlaku secara yurdis formal, 8 Desember 1988 Presiden RI menyampaikan RUUPA kepada DPR untuk dibicarakan dan disetujui menjadi UU menggantikan semua peraturan yang tidak sesuai dengan UUD 1945 UUPK No. 14 tahun 1970. Setelah melalui perdebatan yang  cukup panjang, 14 Desember 1989 RUUPA disetujui menjadi UU, yang mengatur secara khusus pengadilan agama di Indonesia, kemudian dikenal dengan UU No.7 tahun 1989. Dengan UU ini semakin mantap kedudukan Penggadilan Agama sebagai satu badan pelaksana kekuasaan kehakiman yang mandiri dalam rangka menegakkan Hukum Islam bagi pencari keadilan yang beragama Islam,mengenai perkawinan, warisan, wasiat, hibah, wakaf dan sedekah yang telah mejadi hukum poositif. Ini berarti Pengadilan Agama sebagai peradilan Negara telah sama dan sederajat kedudukannya dengan semua peradilan umum, militer, tata usaha negara di Indonesia, dengan alat perlengkapan yang sama pula. Nama, susunan, kekuasaan dan hukum acaranya telah seragam untuk seluruh Indonesia.
Perkembangan berikutnya dengan lahirnya UU Pokok Perbankan 1998 yang telah memberi peluang bagi bank-bank konvensional untuk membuka sistem Perbankan Syari’ah. Begitu pula dengan lahirnya UU No. 37 tahun 1999 tentang penyelenggara Haji, UU No. 38 tahun 1999 tentang Zakat.
B.     Hukum Islam pada Masa Orde Lama
Selama hampir lima tahun setelah proklamasi kemerdekaan, Indonesia memasuki masa-masa revolusi (1945-1950). Menyusul kekalahan Jepang oleh tentara-tentara sekutu, Belanda ingin menduduki kepulauan Nusantara. Dari beberapa pertempuran , Belanda berhasil menguasai beberapa wilayah Indonesia. Di wilayah ini, Belanda mendirikan negara-negara kecil yang dimaksudkan untuk mengepung Republik Indonesia. Berbagai perundingan dan untuk memilih dan membentuk Majlis Konstituante pada akhir tahun 1955. Majllis yang terdiri dari 514 orang itu kemudian dilantik oleh Presiden Soekarno pada 10 November 1956. Namun, delapan bulan sebelum batas akhir masa kerjanya, Majlis ini dibubarkan melalui Dekrit Presiden yang dikeluarkan pada tannggal 5 Juli 1959. Hal penting terkait dengan hukum islam dalam peristiwa Dekrit ini adalah konsiderannya yang menyatakan bahwa “Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni menjiwai UUD 1945” dan merupakan “suatu kesatuan dengan konstitusi tersebut”. Hal ini tentu saja mengangkat dan memperjelas posisi Hukum Islam dalam UUD.[7]

D.    Hukum Islam pada Masa Orde Baru
Dengan gagalny kudeta PKI pada 1965 dan berkuasanya Orde Baru, banyak pemimpin Islam Indonesia yang menaruh harapa besar untuk mendudukkan Islam sebagaimana mestinya dalam tatanan politik maupun hukum di Indonesia. Pemerintah Orde Baru membebaskan bekas tokoh-tokoh Masyumi yang sebelumnya dipenjara oleh Soekarno. Namun, harapan tersebut kandas, saat Orde Baru menegaskan perannya sebagai pembela Pancasila dan UUD 1945. Di awal 1967, Soeharto menegaskan bahwa militer tidak akan menyetujui upaya rahabilitasi kembali partai Masyumi.[8]      










     PENUTUP
A.    Kesimpulan
Setelah Indonesia merdeka 17 Agustus 1945,matas usul Menteri Agama  yang disetujui Menteri Kehakiman, selama revolusi fisik pada umumnya tidak ada perubahan tentang dasar peraturan peradilan agama secara prinsipil, selama revolusi fisik yang patut dicermati adalah:
1.      Keluarnya UU Nomor 22 tahun 1946 tentang peraturan Nikah, Talak dan Rujuk.
2.      Keluarnya ketetapan Menteri Agama Nomor 6 tahun 1947 tentang penetapan formasi pengadilan agama terpisah dari penghulu kabupaten.
3.      Keluarnya UU Nomor 19 tahun 1948 yang tidak pernah dinyatakan berlaku.
4.      Keputusan Recomba Jawa Barat No. Rec. Wj 229/72 tanggal 2 April 1948.
Perkembangan selanjutnya setelah PP. No. 45 tahun 1957 dapat dilihat dari beberapa kebijakan yang muncul kemudian, sebagai peraturan yang memberikan yurisdiksi yang lebih besar kepada pengadilan diluar Jawa dan Madura, yaitu:
1.      Penetapan Menteri Agama No. 58 tahun 1957 tantang pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’iyah di Sumatera.
2.      Penetapan Menteri Agama No. 4 tahun 1958 tentang pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’iyah di Kalimantan.
3.      Penetapan Menteri Agama No. 5 tahun 1958 tentang pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’iyah di Sulawesi.
Dalam Pasal 10 disebutkan ada empat peradilan di Indonesia yaitu:
1.      Peradilan Umum
2.      Peradilan Agama
3.      Peradilan Militer
4.      Peradilan Tata Usaha.


DAFTAR PUSTAKA

Halim Abdul, Politik Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Ciputat Press, 2005
Junaidy Basith Abd, Studi Hukum Islam, Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press,2011
Ramulyo Idris. Mohd, Asas-asas Hukum Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2004




[1][1][1] Mohd. Idris Ramulyo, Asas-Asas Hukum Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hlm. 38
[2] Abdil Halim, Politik Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Ciputat Pres, 2005), hlm. 75
[3] Ibid., hlm. 78
[4] Ibid,. Hlm. 79
[5] Ibid,. Hlm. 79
[6] Mohd. Idris Ramulyo, hlm. 43
[7] Abd. Basith Junaidy, Studi Hukum Islam (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2011), hlm. 311
[8] Ibid., 313 

Tidak ada komentar: