Taman Sari di Yogyakarta
Gemericik
air, keindahan arsitekturnya yang kuno, dan pemandangan yang menakjubkan
membuat Taman Sari sangat mempesona. Lorong-lorong dan bangunannya menjadikan
Taman Sari penuh rahasia yang akan terus dikuak.
Masa setelah
Perjanjian Giyanti, Pangeran Mangkubumi membangun keraton sebagai pusat
pemerintahan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Pangeran Mangkubumi yang
kemudian bergelar Sultan Hamengku Buwono I membangun keraton di tengah sumbu
imajiner yang membentang di antara Gunung Merapi dan Pantai Parangtritis. Titik
yang menjadi acuan pembangunan keraton adalah sebuah umbul (mata air).
Untuk menghormati jasa istri-istri Sultan karena telah membantu selama masa
peperangan, beliau memerintahkan Demak Tegis seorang arsitek berkebangsaan
Portugis dan Bupati Madiun sebagai mandor untuk membangun sebuah istana di umbul
yang terletak 500 meter selatan keraton. Istana yang dikelilingi segaran
(danau buatan) dengan wewangian dari bunga-bunga yang sengaja ditanam di pulau
buatan di sekitarnya itu sekarang dikenal dengan nama Taman Sari.
Dari atas
Gapura Panggung ini Sultan biasa menyaksikan tari-tarian di bawah sana.
Bangunan-bangunan di sampingnya merupakan tempat para penabuh dan di
tengah-tengah biasa didirikan panggung tempat para penari menunjukkan
kepiawaian dan keluwesan mereka," terang seorang pemandu ketika rombongan
STAIN PONOROGO memasuki Taman Sari. Dari
Gapura Panggung, pemandu membawa kami masuk ke area yang dulunya hanya
diperbolehkan untuk Sultan dan keluarganya, kolam pemandian Taman Sari.
Gemericik air langsung menyapa. Airnya yang jernih berpadu apik dengan
tembok-tembok krem gagah yang mengitarinya. Kolam pemandian di area ini dibagi
menjadi tiga yaitu Umbul Kawitan (kolam untuk putra-putri Raja), Umbul Pamuncar
(kolam untuk para selir), dan Umbul Panguras (kolam untuk Raja).
Sebuah
periuk tempat istri-istri Sultan bercermin masih utuh berdiri ketika kami
memasuki menara tempat pribadi Sultan. Ornamen yang menghiasi periuk memberi
kesan glamor terhadap benda yang terletak di samping lemari pakaian Sultan
tersebut. Bisa dibayangkan, 200 tahun lalu seorang wanita cantik menunggu air
di periuk ini hingga tenang lalu dia menundukkan kepalanya, memperbaiki riasan
dan sanggulnya, memperindah raganya sembari bercermin. Selain periuk dan kamar
pribadi Sultan, di menara yang terdiri dari tiga tingkat ini ada tangga dari
kayu jati yang masih utuh terawat sehingga memberi kesan antik bagi siapa pun
yang melihatnya. Naik ke tingkat paling atas, pantulan mentari dari kolam di
bawahnya dan seluruh area Taman Sari terlihat dengan jelas. Mungkin dahulu
Sultan juga menikmati pemandangan dari atas sini, pemandangan Taman Sari yang
masih lengkap dengan danau buatannya dan bunga-bunga yang semerbak mewangi.
Selepas
menikmati pemandangan dari atas menara, pemandu lalu membawa kami menuju Gapura
Agung, tempat kedatangan kereta kencana yang biasa dinaiki Sultan dan
keluarganya. Gapura yang dominan dengan ornamen bunga dan sayap burung ini
menjadi pintu masuk bagi keluarga Sultan yang hendak memasuki Taman Sari.
Pesanggrahan tepat di selatan Taman Sari menjadi tujuan berikutnya. Sebelum
berperang, Sultan akan bersemedi di tempat ini. Suasana senyap dan hening
langsung terasa ketika kami masuk. Di sini, Sultan pastilah memikirkan berbagai
cara negosiasi dan strategi perang supaya kedaulatan Keraton Yogyakarta tetap
terjaga. Areal ini juga menjadi tempat penyimpanan senjata-senjata, baju
perang, dan tempat penyucian keris-keris jaman dahulu. Pelatarannya biasa
digunakan para prajurit berlatih pedang.
Setalah kami
berputar-putar kami pun berpisah dengan pemandu di depan Gapura Agung. Namun,
ini bukan berarti perjalanan terhenti karena masih ada beberapa tempat yang
harus disinggahi seperti Sumur Gumuling dan Gedung Kenongo. Untuk menuju tempat
tersebut, Anda harus melewati Tajug, lorong yang menghubungkan Taman Sari
dengan keraton dan juga Pulo Kenongo. Lorong bawah tanah yang lebar ini memang
untuk berjaga-jaga apabila keraton dalam keadaan genting. Ruang rahasia banyak
tersembunyi di tempat ini. Keluar dari Tajug, Anda akan melihat bekas dari Pulo
Kenongo yang dulunya banyak ditumbuhi bunga kenanga yang menyedapkan Taman Sari.
Kami pun menuju Sumur Gumuling, masjid bawah tanah tempat peribadatan raja dan
keluarga. Bangunan dua tingkat yang didesain memiliki sisi akustik yang baik.
Jadi, pada zaman dahulu, ketika imam mempimpin shalat, suara imam dapat
terdengar dengan baik ke segala penjuru. Sekarang pun, hal itu masih dapat
dirasakan. Suara percakapan dari orang-orang yang ada jauh dari kita terasa
seperti mereka sedang berada di samping kita. Selain itu, Untuk menuju ke pusat
masjid ini, lagi-lagi harus melewati lorong-lorong yang gelap. Sesampainya di
tengah masjid yang berupa tempat berbentuk persegi dengan 5 anak tangga di
sekelilingnya, keagungan semakin terasa. Ketika menengadahkan kepala terlihat
langit biru. Suara burung yang terdengar dari permukiman penduduk di area Taman
Sari semakin menambah tenteram suasana.
Persinggahan
terakhir adalah Gedung Kenongo. Gedung yang dulunya digunakan sebagai tempat
raja bersantap ini merupakan gedung tertinggi se-Taman Sari. Di tempat ini Anda
dapat menikmati golden sunset yang mempesona. Keseluruhan Taman Sari pun bisa
dilihat dari sini, seperti Masjid Soko Guru di sebelah timur dan ventilasi-ventilasi
dari Tajug. Puas dengan kesegaran air dari Taman Sari, langit akan menyapa.
Pemandangan yang indah sekaligus mempesona ditawarkan Taman Sari. Pesona air
yang apik berpadu dengan tembok-tembok bergaya campuran Eropa, Hindu, Jawa, dan
China menjadi nilai yang membuat Taman Sari tak akan terlupakan.
Yogyakarta adalah sebuah daerah yang memiliki sejarah panjang tentang
perjuangan bangsa Indonsia. Bahkan dulunya ibukota Indonesia juga terletak di
kota yang terkenal dengan masakan gudek ini. Maka tak heran disini terdapat
beberapa tempat-tempat bersejarah yang sekarang dijadikan obyek wisata.
Mengunjungi tempat wisata sejarah selain memang untuk berekreasi juga bisa
menambah pengetahuan kita. Salah satu tempat wisata sejarah di Jogja adalah
Taman Sari.
Taman Sari yang berada di sebelah selatan Kraton Yogyakarta ini merupakan
warisan budaya yang hingga kini masih dijaga. Tak hanya wisatawan lokal saja
yang tertarik untuk mengunjungi bangunan yang dulunya digunakan untuk pemandian
para raja ini, wisatawan asing juga sering terlihat. Dilihat dari penamaanya
Tamansari terdiri dari dua kata yaitu taman dan sari yang berarti indah. Jadi
tamansari adalah sebuah taman yang indah yang terletak di belakang kraton.
Untuk memasukinya anda bisa melalui jalur belakang. Saat memasuki pintu gerbang
biasanya para pengunjung akan ditawari untuk menggunakan jasa guide yang siap
menceritakan seluk beluk ataupun sejarah tamansari.
Tamansari dibangun pada jaman kekuasaan Sultan Hamengku buwana I dan
selesai pada pemerintahan Sultan Hameng Kubuwana II. Arseitek bangunan
tamansari adalah seorang portugis maka tak heran arsitekturnya kental dengan
nuansa Eropa. Kendati demikian tetap mempertahankan makna simbolik jawa.
Komplek tamansari terdiri dari kolam besar, kanal air, kolam pemandian dan
ruang-ruang khusus. Menurut cerita tamansari adalah tempat pemandian bagi para
raja yang berkuasa serta keluarganya. Selain itu ada juga bangunan sumur
gemuling yang digunakan sebagai mushola untuk beribadah. Di sekitar tamansari
ada sebuah lorong, konon lorong tersebut merupakan penghubung antara kraton dan
pantai parangkusumo. Lorong tersebut digunakan untuk melakukan pertemuan antara
Kraton dan Ratu Pantai Selatan yang dikenal Nyi Roro Kidul. Namun sekarang
lorong tersebut sudah ditutup dengan alasan tertentu.
Tamansari adalah bangunan yang memiliki multifungsi. Selain digunakan untuk
peristirahatan tamansari juga digunakan untuk benteng pertahanan. Tembok yang
mengelilingi tamansari meski umurnya sudah tua namun tetap kokoh. Pada 2006
silam ketika terjadi gempa hebat, benteng tersebut tetap kokoh berdiri.
Cerita diatas merupakan dua versi
yang menceritakan tentang taman sari dijogjakarta,menurut saya cerita dari
diatas hampir sama dengan apa yang diceritakan pemandu kepada kami,namun ada
sedikit perbedaan seperti halnya lorong rahasia yang menghubungkan dengan
pantai kidul itu salah besar,pemandu yag bercerita kepada kami lorong tersebut
memang menghubungkan ke “kidul segoro” bukanya “segoro kidul”,sangat jelas
perbedaan antara kidul segoro dengan segoro kidul,kidul segoro berarti lorong
tersebut menghubungkan ke daerah selatan dari danau buatan taman sari tersebut
atau bisa dikatakan jalan rahasia ke luar dari taman sari,dan segoro kidul
adalah pantai selatan.
Seperti halnya masjid ditaman sari
sangat mempunyai filosofi keagamaan yang sangat religi sekali dimana mereka
sangat memikirkan hubungan antara tuhan dan manusia serta manusia dan
manusia.Sehingga para raja-raja dimasa itu bukanlah raja yang bagaimana cara
memperkaya diri namun memikirkan rakyat-rakyatnya bagaimana agar sejahtera.
Kawasan ditaman sari sangat luas dan
sekarang sudah banyak ditempati oleh warga-warga yang dimana warga-warga
tersebut bukan warga sembarangan,mereka adalah keturunan dari para abdi dalem
raja ketika masa itu sehingga warga-warga tersebut menempati daerah taman
sari,betapa baiknya raja yang meberikan tanah secara Cuma-Cuma kepada abdi
dalemnya dan sifat ini haruslah ditiru oleh banyak pemimpin-pemimpin sekarang
yang hanya bisa memperkaya diri sendiri dan tidak memikirkan nasib dari
rakyat-rakyatnya.
Taman Sari Yogyakarta atau Taman Sari Keraton Yogyakarta adalah situs bekas taman atau kebun
istana Keraton Yogyakarta, yang dapat dibandingkan dengan Kebun Raya Bogor
sebagai kebun Istana Bogor. Kebun ini dibangun pada zaman Sultan Hamengku
Buwono I (HB I) pada tahun 1758-1765/9. Awalnya, taman yang mendapat sebutan
"The Fragrant Garden" ini memiliki luas lebih dari 10 hektare
dengan sekitar 57 bangunan baik berupa gedung, kolam pemandian, jembatan
gantung, kanal air, maupun danau buatan beserta pulau buatan dan lorong bawah
air. Kebun yang digunakan secara efektif antara 1765-1812 ini pada mulanya
membentang dari barat daya kompleks Kedhaton sampai tenggara kompleks Magangan.
Namun saat ini, sisa-sisa bagian Taman Sari yang dapat dilihat hanyalah yang
berada di barat daya kompleks Kedhaton saja.
Konon, Taman Sari dibangun di bekas keraton lama, Pesanggrahan
Garjitawati, yang didirikan oleh Susuhunan Paku Buwono II sebagai tempat
istirahat kereta kuda yang akan pergi ke Imogiri. Sebagai pimpinan proyek
pembangunan Taman Sari ditunjuklah Tumenggung Mangundipuro. Seluruh
biaya pembangunan ditanggung oleh Bupati Madiun, Tumenggung Prawirosentiko,
besrta seluruh rakyatnya. Oleh karena itu daerah Madiun dibebaskan dari
pungutan pajak. Di tengah pembangunan pimpinan proyek diambil alih oleh Pangeran
Notokusumo, setelah Mangundipuro mengundurkan diri. Walaupun secara resmi
sebagai kebun kerajaan, namun bebrapa bangunan yang ada mengindikasikan Taman
Sari berfungsi sebagai benteng pertahanan terakhir jika istana diserang oleh
musuh. Konon salah seorang arsitek kebun kerajaan ini adalah seorang Portugis
yang lebih dikenal dengan Demang Tegis.
Kompleks Taman Sari setidaknya dapat dibagi menjadi 4 bagian. Bagian
pertama adalah danau buatan yang terletak di sebelah barat. Bagian selanjutnya
adalah bangunan yang berada di sebelah selatan danau buatan antara lain
Pemandian Umbul Binangun. Bagian ketiga adalah Pasarean Ledok Sari dan Kolam
Garjitawati yang terletak di selatan bagian kedua. Bagian terakhir adalah
bagian sebelah timur bagian pertama dan kedua dan meluas ke arah timur sampai
tenggara kompleks Magangan.
Masjid bawah tanah Sumur Gumuling berada
di komplek wisata Tamansari. Untuk menuju lokasi, pengunjung bisa berjalan kaki
menyusuri lorong-lorong bawah tanah. Suasana klasik terasa begitu kaki
menjejaki anak tangga dan melewati lorong tersebut.
Lokasi masjid bisa dijangkau dari parkiran sepeda motor di depan pintu
masuk Tamansari ke arah utara. Kemudian belok kiri hingga menemukan pintu
masuk. Ikuti lorong tersebut hingga menemukan bangunan masjid berbentuk bulat
dan berwarna coklat muda atau krim.
Namun jangan dibayangkan bentuk masjid ini seperti kebanyakan masjid
lainnya. Karena juga difungsikan sebagai benteng, bentuk bangunan ini terlihat
kokoh dan besar. Sejak tahun 1812 bangunan masjid sudah tidak difungsikan.
Keterangan Parjio, staf karyawan Tamansari, masjid tersebut didirikan
tahun 1765. Kata dia, masjid bawah tanah merupakan peninggalan Sri Sultan
Hamengkubuwono I dan difungsikan hingga masa kepemimpinan Sultan HB II.
"Masjid juga difungsikan sebagai benteng perlindungan bawah
tanah," kata Parjio yang bertugas di loket penjualan tiket.
Ia mengatakan, masjid tak lagi digunakan setelah Keraton membangun
Masjid Gedhe Kauman yang berada di sebelah barat Alun-alun lor Yogyakarta.
"Tidak lagi dipakai setelah ada gempa besar dan dibangun masjid
gedhe Kauman," lanjutnya.
Menurutnya, Masjid Sumur Gumuling sangat unik, karena dibangun
bawah tanah agar suara muazin atau khatib terdengar ke seluruh penjuru masjid.
Di masing-masing lantai terdapat dua mihrab atau tempat berdiri imam untuk
memimpin salat jemaah.
Pada bagian dalam bangunan masjid, terdapat sumur dikelilingi lima
tangga yang melambangkan jumlah rukun Islam. Persis di bawah tangga yang saling
bertemu di tengah terdapat kolam air dari sumur gumuling.
Bagian atas masjid membentuk bulatan tanpa atap. Di bagian dinding juga
terdapat banyak ventilasi sehingga cahaya matahari leluasa menerangi bagian
dalam masjid.
"Disebut gumuling karena bentuknya bulat seperti guling,"
kata juru pelihara masjid tersebut, Cipto Wiarjo (70), warga setempat.
Menurutnya keunikan bangunan masjid adalah dibangun dengan tembok
tebal. Hampir sekitar 1,25 meter ketebalannnya. Kata dia, batubata direkatkan
tidak dengan semen seperti sekarang namun menggunakan bahan alami seperti putih
telur.
Ia mengatakan masjid tersebut ramai dikunjungi wisatawan. Diantaranya
untuk foto narsis atau prewedding dan lainnya. Dengan berkunjung ke masjid
tersebut menyiratkan jejak perkembangan islam di Keraton Yogyakarta dan
kemegahan arsitektur masa lalu.
Lebih dari dua ratus tahun yang lalu, sebuah taman pada masa itu, yang
merupakan masa yang penuh keindahan dan rahasia, berdiri sebagai lambang
kejayaan Raja Mataram. Memang bukan asli arsitektur Jawa atau Nusantara. Namun
keindahan ciptaan bangsa Potugis itu tetap bermakna dan menjadi simbol keajaiban
budaya manusia.
Dua ratus tahun silam, Taman Sari yang berarti “taman yang indah”
adalah sebuah tempat rekreasi dan kolam pemandian atau disebut pula
pesanggrahan bagi Sultan Yogyakarta beserta seluruh kerabat istana.
Terletak tidak jauh dari kompleks Keraton Yogyakarta saat ini, walau
kondisinya cukup memprihatinkan sebagai salah satu situs peninggalan sejarah,
taman yang setengahnya tinggal reruntuhan itu tetap banyak dikunjungi wisatawan
domestik maupun mancanegara.
Mengutip dari Babad Mangkubumi, Taman Sari ini dibangun oleh Sultan
Hamengku Buwono I atau Pangeran Mangkubumi pada tahun 1683 (silsilah kerajaan
Mataram) menurut penanggalan tahun Jawa atau tahun 1757 Masehi. Taman itu
berdiri, tepat bersamaan dengan berdirinya Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat
(sejarah kerajaan Mataram).
Pesanggrahan Taman Sari dibangun setelah Perjanjian Giyanti (1755),
yakni setelah Sultan Hamengku Buwono sekian lama terlibat dalam persengketaan
dan peperangan. Bangunan tersebut dimaksudkan sebagai bangunan yang dapat
dipergunakan untuk menenteramkan hati, istirahat, dan berekreasi. Meskipun
demikian, Taman Sari ini juga dipersiapkan sebagai sarana/ benteng untuk
menghadapi situasi bahaya. Di samping itu, bangunan ini juga digunakan untuk
sarana ibadah. Oleh karenanya Pesanggrahan Taman Sari juga dilengkapi dengan
masjid, tepatnya di bangunan Sumur Gumuling.
Kompleks Taman Sari yang menempati lokasi seluas lebih dari 12 hektare
berarsitektur dan relief perpaduan antara gaya arsitektur Hindu, Budha, Islam,
Eropa, dan Cina itu selesai dibangun pada tahun 1765 Masehi. Untuk memberi
makna pada setiap bangunan, Sri Sultan Hamengku Buwono I waktu itu memberi nama
masing-masing bangunan yakni Keraton Pulo Kenanga, Masjid Taman Sari dan Pulo
Penambung yang terapung di atas air, kolam pemandian dan gedung tempat tidur
Sri Sultan dan Permaisuri.
Dalam Babad Memana dan serat rerenggan, pengadaan bahan bangunan
pembangunan Tamansari dipimpin Rangga Prawiro Sentiko, Bupati Madiun. Sedang
pengawas pelaksanaan pembangunan dilakukan Tumenggung Mangundipuro.
Dalam catatan sejarah, pada tahun 1812 beberapa bangunan hancur akibat
serangan Inggris dan tahun 1867 terjadi gempa bumi yang juga menghancurkan
beberapa bangunan di kompleks Taman Sari. Namun saat ini keagungan masa lampau
itu sirna oleh menjamurnya rumah-rumah penduduk di sekitarnya, kompleks Taman
Sari sesungguhnya menjadi tak jelas.
Bangunan itu, memiliki nama masing-masing sesuai dengan fungsi atau
kegunaan, seperti Gapura Agung adalah pintu masuk menuju kompleks Taman Sari
yang dilengkapi dengan empat gedung kembar yang berfungsi sebagai pos penjagaan
dan disebut pecaosan serta ada tempat ganti pakaian abdi dalem yang sehabis
menjalankan tugas penjagaan yang disebut paseban.
Kolam pemandian terletak di sebelah selatan masjid membujur dari utara
ke selatan terdiri dari kolam pemandian yang disebut Umbul Kawitan, Umbul
Pamuncar, Umbul Panguras.
Umbul Panguras adalah kolam pemandian khusus bagi Sri Sultan, sedangkan
Umbul Pamuncar adalah kolam pemandian yang disediakan bagi permaisuri, dan
Umbul Kawitan untuk putra-putrinya Raja.
Bangunan lain Gedung Cemeti, Taman Ledoksari merupakan tempat peraduan
dan tempat yang sangat pribadi untuk raja. Dalam sebuah rumor, menyebutkan,
Taman Sari memiliki terowongan yang ujungnya tembus ke pantai selatan yang
disebut Parangkusuma dan berfungsi sebagai sarana persiapan penyelamatan jika
terjadi peperangan.
Satu bangunan yang menyiratkan perpaduan arsitektur Portugis dan Jawa
adalah Sumur Gumuling, Bentuknya menyerupai gedung teater melingkar dan tepat
di tengah bangunan, terdapat telaga buatan (Segaran) terdapat puing bangunan
besar dan luas.
Di salah satu sisinya terdapat tangga setapak yang gelap menjuju lorong
bawah tanah Taman Sari yaitu Sumur Gumuling. Di ujung lorong terus menuju
atrium (bilik) bundar yang terbuka bagian atasnya. Di tengah dasar atrium ada
kolam kecil seperti sumur. Ruang kecil di sisi barat dari kedua galeri ini
dipakai sebagai masjid. Jika dilihat dari keunikan struktur bangunan ada
kemungkinan tempat itu didesain sebagai tempat meditasi dan pengasingan diri.
Selain itu menurut mitos, terowongan tersebut juga berfungsi sebagai
jalan pertemuan antara Sultan dengan Penguasa Laut Selatan yaitu Nyai Roro
Kidul.
Di tempat tinggal raja, dulunya disediakan ruang membatik, ruangan pementasan
tari Bedoyo dan Srimpi, dengan atap terbuka sehingga Raja dan kerabatnya bisa
menikmati pemandangan kota dan sekitarnya.
Pemugaran
Taman Sari terhitung sebagai satu dari 100 situs dunia yang terancam
hancur. Jika ini terjadi maka Keagungan budaya dan seni masa lampau, tak akan
bisa dipertahankan. Karena itu, berbagai sumber dana dikucurkan untuk membenahi
peninggalan kuno situs kompleks Taman Sari.
Atas jasa Jogja Heritage Society The Calooste Golbenkian Foundation
Portugal, yang memang bergerak di bidang bangunan peninggalan Portugal di
dunia, mengulurkan tangannya untuk membantu renovasi Taman Sari. Kebetulan,
Umbul Binangun yang saat ini sedang dilakukan renovasi besar-besaran memang
berarsitektur Portugal, dan dua lainnya direnovasi dari dana APBN dan APBD DIY.
Sementara, dana dari APBN diusulkan untuk memugar gerbang dan
urung-urung (lorong) Pulo Panambang dan gerbang Taman Umbul Sari. Adapun dana
lain yang akan mengucur dari APBD DIY diproyeksikan untuk mendanai pembangunan
Sumur Gumuling dan Pulo Cemeti.
Menurut informasi yang diperoleh, Pemda DIY sudah memugar komplek Taman
Sari sejak tahun 1977, dan lewat dana APBN, Dinas Purbakala melakukan
pemeliharaan setiap harinya.
Persoalan pertama yang harus dipecahkan adalah memindahkan 2.500 rumah
warga yang berjejal di kawasan Taman Sari. Warga yang sudah tinggal puluhan
tahun di tanah kraton tersebut tidak bisa begitu saja dipindahkan.
Ketua Unit Keraton Yogyakarta Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala,
Eka Hadiyana menjelaskan, renovasi Taman Sari harus dilakukan secara bertahap,
karena Sultan HB X yang saat ini memerintah Ngayogyakarta, tidak ingin
perbaikan Taman Sari justru menghilangkan auranya.
Karena itu untuk memugar Taman Sari, bukan berarti memolesnya. Tetapi
menatanya kembali. Air di Umbul Binangun yang terlihat keruh dan berlumut
dikuras dan lapisan-lapisan hasil renovasi sebelumnya, dibuka kembali. Eka
menuturkan dengan dikomando langsung oleh orang Portugis, keaslian arsitektur
Portugis itu akan terkuak.
“Setelah dilakukan pengangkatan lapisan pertama di Umbul Binangun, maka
kita justru mengetahui bahwa di lapisan dasar, terdapat sumber mata air,”
ucapnya.
Menurutnya, meski debit air saat ini menjadi sangat kecil, dulunya
kolam ini sengaja diciptakan di atas sumber mata air.
Selain itu, tim renovasi juga menemukan lobang penghubung antarkolam
pemandian. “Yang dulunya hanya dua, ternyata saat digali, ada tiga lobang yang
menghubungkan kolam di utara dengan selatan,” jelasnya.
Menurutnya, menunggu hasil renovasi memang tidak bisa cepat. Paling
tidak akhir tahun 2004, Umbul Binangun akan kembali keasriannya. “Renovasi
bukan untuk memugar tetapi justru mengembalikan ke bentuk aslinya,” paparnya.
Inilah tentang pemugaran kompleks Taman sari. Selain itu banyak wisata menarik
lain di Jogja, kunjungi dan rasakan betapa indah, nyaman dan eksotisnya kota
ini.
Pembangunan
Taman Sari
Pembangunan Taman Sari yang lekat dengan arsitektur Portugis ini
ditangkap oleh telinga penduduk asli Yogyakarta dan diterjemahkan ke dalam
berbagai versi cerita. Versi pertama menyebutkan, seorang bangsa asing
terdampar di Mancingan daerah di pantai selatan Yogyakarta. Masyarakat di
daerah tersebut menduga bahwa orang tersebut termasuk sebangsa jin atau
penghuni hutan.
Masyarakat menganggapnya demikian, karena orang tersebut menggunakan
bahasa yang tidak dimengerti. Akhirnya orang asing itu dihadapkan kepada Sultan
Hamengku Buwono II yang saat itu masih memerintah.
Sultan akhirnya mengambil orang asing tersebut sebagai abdinya.
Beberapa lama kemudian, orang itu bisa berbahasa Jawa dan mengaku sebagai orang
Portugis yang kemudian menjadi abdi yang mengepalai pembuatan bangunan.
Sultan pun memerintahkannya untuk membuat benteng. Rupanya Sultan
merasa puas dengan hasil kerja orang Portugis tersebut, dan kemudian
menganugrahinya sebagai demang. Maka orang asing itu mendapat nama Demang
Portugis atau Demang Tegis. Dari sinilah, ia diperintahkan untuk membangun
Pesanggrahan Taman Sari.
Versi lainnya, diceritakan bahwa pada suatu ketika bupati Madiun yang
waktu itu bernama Raden Rangga PrawiraoSentiko, memohon supaya dibebaskan dari
kewajiban membayar pajak daerah yang harus dibayarkan dua kali dalam setahun.
Bupati Madiun hanya menyanggupi bila ada permintaan-permintaan khusus
Sultan HB I untuk kelengkapan hiasan dan kemegahan kraton. Sultan pun
mengabulkan permohonan itu.
Bupati Madiun itu lantas diperintah untuk membuat gamelan Sekaten
sebagai pelengkap dari gamelan Sekaten yang berasal dari Surakarta.
Semula gamelan tersebut berjumlah satu pasang, tetapi oleh karena
palihan nagari (1755) gamelan itu dibagi dua. Satu untuk Kasultanan Yogyakarta
dan satu lagi untuk Kasunanan Surakarta. Di samping itu, Sultan Hamengku Buwono
I juga memerintahkan kepada Bupati Madiun untuk dibuatkan jempana ‘tandu’
sebagai kendaraan mempelai putri Sultan HB I.
Pada tahun 1684 Raden Rangga Prawira Sentiko diperintahkan untuk
membuat batu bata dan kelengkapannya sebagai persiapan untuk membangun
pertamanan yang indah sebagai sarana untuk menenteramkan hati Sultan Hamengku
Buwono I. Sultan menghendaki hal demikian karena baru saja menyelesaikan tugas
berat (perang) yang berlangsung cukup lama. Keluarnya perintah Sultan Hamengku
Buwono ditandai dengan sengkalan memet yang berbunyi Catur Naga Rasa Tunggal
(1684).
Pembuatan pesanggrahan itu dikepalai Raden Tumenggung Mangundipuraodan
dipimpin oleh K.P.H. Notokusumo, yang kemudian hari menjadi K.G.P.A.A. Paku
Alam I yang merupakan putra Sri Sultan dari istri selir yang bernama Bendara
Raden Ayu Srenggara.
Pembuatan tempat peraduan dan bangunan urung-urung (gorong-gorong) yang
menuju keraton yang sering juga disebut Gua Siluman dilakukan pada tahun 1687
dan ditandai dengan candra sengkala Pujining Brahmana Ngobahake Pajungutan
(1687). Sedangkan pembangunan pintu-pintu gerbang dan tembok diselesaikan
pada tahun 1691.
Pesanggrahan Taman Sari diberi tanda sengkalan memet yang berupa relief
pepohonan yang berbunga dan sedang dihisap madunya oleh burung-burung.
Sengkalan memet tersebut berbunyi Lajering Kembang Sinesep Peksi (1691).
Dalam versi ini, Raden Rangga Prawiro Sentiko tak mampu menyelesaikan
pembuatan bangunan pesanggrahan Taman Sari karena biayanya lebih besar
dibandingkan dengan pembayaran pajak setahun dua kali.
Oleh karenanya ia kembali memohon untuk berhenti dan permohonan itu
dikabulkan. Sultan kemudian memerintahkan K.P.H. Notokusumo untuk menyelesaikan
bangunan itu atas biaya Sultan sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar