BAB I
PENDAHULUAN
- Latar
Belakang Analisis
Di dalam kehidupan bermasyarakat, manusia
pasti saling berinteraksi atau berhubungan satu sama lain sebagai makhluk
sosial. Setiap Manusia dalam melakukan aktivitas – aktivitas sosial pasti
mempunyai kepentingan masing-masing. Dan banyak kepentingan yang bertentangan
dengan kehidupan masyarakat yang ada disekitarnya. Hal ini dapat menimbulkan
konflik dan perpecahan dalam masyarakat.
Oleh karena itu, dalam hidup
bermasyarakat diperlukan adanya peraturan hidup yang dapat mengatur pola
tingkah laku manusia dalam bertindak di dalam masyarakat. Peraturan hidup
kemasyarakatan yang bersifat mengatur dan memaksa untuk menjamin tata tertib dalam
masyarakat, dinamakan peraturan hukum atau kaedah hukum.[1]
Menurut J.C.T. Simorangkir,S.H. dan
Woerjono Sastropranoto,S.H. di dalam bukunya mengatakan bahwa hukum adalah,
“Peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang
menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat, yang dibuat oleh
Badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan
tadi berakibatkan diambilnya tindakan, yaitu dengan hukuman tertentu.”
Hal ini merujuk pada sebuah kisah
yang akan saya analisis, yakni sebuah kisah tentang Seorang Ayah yang mencuri
roti untuk anaknya yang menangis terus karena kelaparan dan Si Ayah tersebut
tidak berdya karena sudah seminggu menganggur sejak dikeluarkan dari
pekerjaannya. Akibat mencuri tersebut, Si Ayah dihukum 8 tahun penjara. Dan
sampai pada akhirnya dia akan bertobat.
Oleh karena itu, pada sebuah kisah
ini saya akan menganalisis dengan Lima Konsep hukum, diantaranya adalah Konsep
hukum klasik, konsep hukum positivisme, hukum dengan konsep sebagai keputusan
hakim, hukum dengan konsep sebagai pola perilaku sosial, dan hukum dikonsepkan
sebagai simbol-simbol dengan makna interpretasi para perilaku sosial.
- Permasalahan
Berawal dari Sebuah keluarga yang
Ayahnya baru saja terkena PHK. Kemudian anaknya yang masih bayi sudah semalaman
menangis kelaparan karena ibunya tidak dapat menyusuinya karena Si Ibu juga
sudah tidak makan dua hari. Melihat hal itu, Si Ayah tidak tega dan keluar
rumah untuk mencari makan anaknya, sehingga dia sampai mencuri sebongkah roti
dari sebuah toko. Hal itu diketahui Polisi. Dan Si Ayah pun diadili oleh
majelis hakim dan diberi hukuman maksimal 8 tahun penjara sesuai dengan pasal
362 KUHP. Setelah bebas dari penjara ia mencuri lagi dengan menganiaya.
Tapi pada akhirnya ia pun sadar lalu bertobat.
Permasalahannya adalah Pertama,
apakah Si Ayah berhak ditangkap oleh polisi, kedua Si Ayah diberi
hukuman 8 tahun penjarara oleh hakim. Dan yang ketiga, dapat
dibenarkankah perilaku Si Ustadz dalam membela Si Ayah dari jeratan hukum lagi,
sehingga Si Ayah akhirnya sadar dan bertobat. Dan masih banyak laagi
permasalahan-permasalahan yang dapat dianalisis melalui Lima Konsep Hukum ini.
BAB II
PEMBAHASAN
Dalam kisah ini terdapat tokoh-tokoh
yang dapat dianalisis dengan melalui Lima Konsep Hukum, diantaranya yaitu
melalui Konsep Hukum Klasik, Konsep Hukum Positivisme, Hukum dengan Konsep
Sebagai Keputusan Hakim, Hukum dengan Konsep Sebagai Pola Perilaku Sosial, dan
Hukum Dikonsepkan Sebagai Simbol-Simbol dengan makna interpretasi para perilaku
sosial.
- Konsep
Hukum Klasik
Konsep Hukum Klasik ini berdasarkan
atas azaz keadilan yang dipercaya bernilai universal dan menjadi bagian inheren
system hukum. Aliran hukum klasik melihat kejahatan adalah hasil dari perbuatan
berdasarkan kebebasan moral. Beberapa ahli teori klasik menegaskan bahwa
kejahatan merupakan kesalahan dan harus bertanggungjawab secara moral, untuk
itu pelanggar harus menerima hukuman yang sesuai dengan nilai moral yang hidup
di masyarakat sebagai suatu tindakan pembalasan atas tindakan kejahatan yang
telah dilakukannya.[2]
Dalam kisah kasus ini, pencurian
roti yang dilakukan seorang Ayah demi untuk memberi makan anaknya yang sudah
semalaman menangis kelaparan itu merupakan perbuatan yang terpaksa karena
keadaan yang tidak diinginkan. Dan jika mengacu pada konsep ini, Si Ayah
sebagai pelaku pencuri roti harus bertanggung jawab secara moral atas kesalahan
yang telah ia perbuat. Dan bentuk hukuman yang diberikan sesuai dengan nilai
moral yang ada dalam masyarakat, seperti mendapatkan sanksi sosial berupa
pengucilan, membayar denda, dan lain-lain. Selain itu juga perlu adanya
pertanggungjawaban moral dengan bentuk permintaan maaf Si Ayah kepada pemilik
toko roti yang ia curi tersebut. Hal ini dapat melalui dengan cara mediasi dari
pihak kepolisian ataupun secara kekeluargaan.
- Hukum
dengan Konsep Positivisme
Hukum dengan norma-norma undang-undang positif yang
berlaku umum in Abstracto pada suatu waktu tertentu dan di
wilayah tertentu. Menurut hukum positivistik, hukum sama dengan norma-norma
positif yaitu norma yang dibuat oleh badan legislasi yang dianggap sebagai
hukum umum seperti undang-undang.
Hukum menurut konsep ini adalah apa yang ada menurut
undang-undang, bukan apa yang seharusnya ada dalam hukum. Jadi, hukum dalam
konsep positivisme mengabaikan nilai-nilai kebenaran, moral,
kesejahteraan, bahkan terkadang jauh dari kata keadilan.[3]
Dari pernyataan diatas, dapat disimpulkan bahwa hukum
positivisme berpegang teguh pada peraturan hukum yang diakui oleh Negara, yaitu
seperti undang-undang. Jadi, seseorang dapat dihukum jika seseorang tersebut
melakukan suatu perbuatan yang dianggap melanggar peraturan hukum atau
undang-undang.
Bila kisah ini di analisa melalui konsep ini, maka
jika dilihat dari Si polisi yang menjalankan tugasnya secara konsekuen dan
professional sebagai aparat penegak hukum itu dinilai sudah tepat ketika Si
polisi menangkap Si Ayah (lelaki buruh) itu mencuri sebongkah roti, karena
perbuatan itu merupakan bentuk kejahatan suatu tindak pidana dan melanggar
undang-undang yang berlaku, yaitu melanggar pasal 362 KUHP yang berbunyi
“Barangsiapa mengambil sesuatu barang, yang sama sekali atau sebagian termasuk
kepunyaan orang lain, dengan maksud akan memiliki barang itu dengan melawan
hak, dihukum, karena pencurian, dengan hukuman penjara selama-lamanya lima
tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp 900.”[4]
Apalagi polisi
dalam melakukan penangkapan tersebut, juga didsarkan adanya barang bukti yaitu
sebongkah roti yang dicuri tersangka (Si Ayah).
Tindakan polisi yang kedua juga sudah tepat dalam
menangkap dan mengintrogasi Si Ayah(lelaki buruh) yang sebenarnya mencuri
barang-barang Si Ustadz tersebut adalah sebuah tindakan preventif akan
terjadinya tindak kriminal ataupun pelanggaran hukum. Hal ini dilakukan polisi
karena Si polisi curiga terhadap barang-barang yang dibawa Si Ayah yang
dibungkus dengan selimut tersebut. Meskipun pada akhirnya Si Ayah tidak
terbukti mencuri karena adanya pembelaan Si Ustadz.
Dan mengenai tentang
tindakan hakim yang memutuskan terdakwa (Si Ayah) bersalah dan diberi hukuman
penjara karena telah melanggar pasal 362 KUHP tentang pencurian itu saya rasa
kurang tepat, karena sesuai dengan pasal 183 KUHAP yang isinya menyebutkan
bahwa “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila
dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah…”[5]
Dari kutipan penjelasan diatas, sudah jelas bahwa
hakim tidak dapat menjatuhkan hukuman pidana kepada Si Ayah (lelaki buruh)
tersebut, karena hanya ada satu alat bukti yaitu sebongkah roti. Berarti dua
alat bukti yang telah disebutkan dalam pasal 183 KUHAP tersebut tidak dapat
terpenuhi. Jadi dalam keadaan seperti ini sebenarnya Si Ayah tersebut dapat
bebas dari hukuman pidana atau penjara.
Tetapi, dalam pandangan lain sebenarnya Hakim juga
benar dalam/dapat menjatuhkan pidana kepada Si Ayah karena melanggar pasal 362
KUHP tersebut. Karena yang pada awalnya tidak terpenuhinya dua alat bukti
yang sah, karena hanya ada satu alat bukti berupa sebongkah roti, ini
sebenarnya dua alat bukti tersebut dapat terpenuhi dengan adanya keterangan
dari Si polisi yang waktu itu menangkap dan mengetahui ketika Si Ayah mencuri
roti. Hal ini sesuai dengan pasal 184 KUHAP yang dalam isinya adalah “Alat
bukti yang sah ialah: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk,
keterangan terdakwa”.[6]
Dengan ini, dua alat bukti tersebut sudah terpenuhi
karena adanya alat bukti berupa sebongkah roti dan keterangan saksi oleh polisi
tersebut.
Dan jika kita berbicara mengenai moral dan keadilan
dri kisah ini yang didasari melaluai konsep positivisme ini, sungguh jauh dari
kata-kata moral dan keadilan. Hal ini dapat kita lihat dari keputusan Si hakim
dalam memberi hukuman maksimal 8 tahun penjara. Meskipun memang Si Ayah
tersebut benar terbukti melanggar hukum karena mencuri roti, tapi dengan
menghukum 8 tahun penjara tersebut sungguh tidak sebanding dengan apa yang
diperbuatnya. Padahal dalam kasus ini, sudah dijelaskan diatas bahwa hukuman
maksimal lima tahun, tapi hakim telah memutuskan untuk menjatuhkan hukuman
lebih dari hukuman maksimal lima tahun tersebut. Terlepas dari adanya hak hakim
dalam memutuskan perkara atau membuat dan menciptakan hukum sendiri diluar
undang-undang dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu (yurisprudensi)
tersebut, saya berpandangan bahwa hakim dalam kasus ini telah mengesampingkan
nilai-nilai moral dan keadilan. Sehingga keputusan hakim dalam kasus ini
dinilai tidak adil.
- Hukum dengan Konsep Sebagai Keputusan Hakim.
Konsep ini merupakan seluruh
keputusan hakim “in Concerto” sebagaimana yang tercipta dalam
proses-proses pengadilan (judge made law). Keputusan hakim ini sering
disebut Yurisprudensi. Yurisprudensi merupakan sumber hukum dalam arti
formil yang didasarkan atas suatu kenyataan bahwa sering kali terjadi hakim
memutuskan suatu perkara yang tidak langsung didasarkan atas suatu peraturan
hukum atau undang-undang yang sudah ada.
Menurut pasal 22 A.B.(Algemene
Bepalingen van Wetgeving voor Indonesie) : “Hakim yang menolak untuk
menyelesaikan suatu perkara dengan alasan bahwa peraturan perundangan yang
bersangkutan tidak menyebutkan, tidak jelas atau tidak lengkap, maka ia dapat
dituntut untuk dihukum karena menolak mengadili”.[7]
Dari penjelasan diatas, kita tahu
bahwa seorang hakim mempunyai hak untuk membuat atau menciptakan peraturan
sendiri apabila di dalam undang-undang ataupun kebiasaan tidak memberi
peraturan yang dapat dipakainya dalam memutuskan suatu perkara. Keputusan
inilah yang disebut Yurisprudensi, dan jika dikemudian hari ada suatu perkara
yang serupa, maka keputusan hakim ini atau yang terdahulu itu dapat dijadikan
dasar keputusan yang sama pula oleh hakim lain terhadap suatu perkara atau
masalah yang sama.
Menurut konsep ini, dalam kisah ini
terletak pada seorang majelis hakim yang menerapkan ketentuan
undang-undang negara demi kepastian hukum, dengan keyakinan bahwa hukum harus
ditegakkan tanpa kompromi tersebut dengan memberikan hukuman penjara terhadap
Si Ayah(lelaki buruh) yang mencuri sebongkah roti tersebut. Padahal, dalam
pasal 362 KUHP telah dijelsakan bahwa pencurian ini hanya termasuk ‘pencurian
biasa’ dan dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun. Tetapi hakim
disini dalam memberi hukuman yang maksimal 8 tahun tersebut, tentunya Si hakim
juga mempunyai alasan ataupun pertimbangan tersendiri dalam memutuskan suatu
perkara. Yang menjadi pertimbangan hakim tersebut yaitu hakim menganggap bahwa
roti yang dicuri itu termasuk barang dagangan yang terbilang penting bagi
kepentingan orang banyak dan belum menjadi barang penting untuk perseorangan.
Inilah yang menjadi alasan Si hakim untuk memberi hukuman maksimal kepada Si
Ayah.
D. Hukum dengan Konsep Sebagai Pola
Perilaku Sosial
Menurut Aliran Sosiologis Hammaker,
Eugen Ehrlich dan Max Weber Hukum merupakan hasil interaksi sosial dalam
masyarakat. Dan hukum merupakan gejala masyarakat, karena perkembangan hukum
itu sesuai dengan perkembangan yang ada dalam masyarakat.
Hukum dengan konsep sebagai pola
perilaku social yang dimaksud adalah hukum sebagai institusi social yang riil
dan fungsional di dalam system kehidupan bermasyarakat. Dalam konsep ini hukum
tersimak dalam wujud manifestasi yang actual sebagai perilaku manusia dalam
kehidupan mereka yang riil dalam masyarakat (law as it is in society)
dan hal ini banyak dikaji dalam Sosiologi Hukum.
Dan bagi orang-orang yang menganut
konsep sosiologi hukum tidak boleh bersifat apriori dengan arti seperti pada
pelaku suatu tindak pidana tidak bisa dimaknai sebagai orang yang selalu jahat.
Hal ini mengacu pada kisah ini, yaitu bahwa Si Ayah(lelaki buruh) yang mencuri
roti dan mencuri barang-barang Si Ustadz tersebut bukanlah orang yang jahat
ataupun orang yang berjiwa kriminal, tetapi Si Ayah melakukan hal tersebut
karena ingin memenuhi kebutuhan anak dan keluarganya untuk bertahan hidup.
Perbuatan ini juga dikarenakan oleh keterpaksaan adanya keadaan social yang
tidak memungkinkan. Dan seharusnya perkara biasa seperti ini tidak harus sampai
ke ranah hukum, tapi cukup diselesaikan dengan cara damai ataupun kekeluargaan,
dan biarkan masyarakat memberikan sanksi social yang berlaku dalam masyarakat,
dan tentunya juga dalam pengawasan pihak kepolisian.
Tetapi dalam kasus tersebut, Si Ayah
diberi hukuman penjara dengan hukuman maksimal 8 tahun. Padahal apa yang
dilakukan oleh Si Ayah ini tidak sebanding dengan sanksi hukum yang
diterimanya. Dalam konsep sosiologi, hal tersebut telah jauh dari nilai-nilai
keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Selanjutnya, disisi lain, peran
aparat penegak hukum disini, dalam hal ini polisi dan hakim adalah sebagai
kontrol atau pengendali social terhadap fenomena atau tingkah laku manusia
dalam masyarakat. Ini dilakukan seperti saat polisi menangkap Si Ayah yang
sedang mencuri roti, dan Si hakim yang memberi hukuman penjara kepada Si Ayah.
Hal ini bertujuan sebagai peran dan fungsi dari pengendalian sosial, agar Si
Ayah dapat sadar dan merubah tingkah atau pola perilaku sosialnya dalam
bermasyarakat.
- Hukum Dikonsepkan Sebagai Simbol-Simbol dengan
Makna yang Tercipta Sebagai Hasil Interpretasi (Individual atau Kolektif )
Para Pelaku Sosial.
Dalam konsep ini, hukum bukan norma
positif yang tertuang dalam undang-undang, tetapi terinterpretasi dalam mereka
yang awam dan terekam dalam benak-benak para pelaku social. (law as it is in
human interaction).
Jika kisah ini dianalisis
menggunakan konsep ini, maka mengacu pada perilaku Si Ustadz yang mencoba
menolong seseorang yang malang (Si Ayah) tetapi berani-beraninya ia meberikan
keterangan atau kesaksian palsu kepada seseorang hamba hukum (polisi) tersebut.
Hal ini dilakukan Si Ustadz karena
ia tahu dan merasa iba, karena Si Ayah tersebut tidak punya apa-apa dan ia
ingin segera pulang menemui keluarganya yang lama terpisah dan ingin membangun
kembali kehidupan yang baru bersama keluarganya tersebut. Karena yang dialkukan
Si Ustadz ini mulia dan semi tujuan yang baik, Si Ayah(lelaki buruh) tersebut
sadar akan kesalahan yang diperbuatnya selama ini, lalu ia meminta maaf dengan
memeluk kaki Si Ustadz tersebut dan menyerukan niat bertobat dengan memohon
ampunanNya.
Perbuatan Si Ustadz yang sangat
mulia ini merupakan murni muncul dari benak pikiran dan hatinya untuk
mengikhlaskan barang-barang yang diambil Si Ayah tersebut karena merasa iba dan
ingin melindungi Si Ayah dari jeratan hukum walaupun dengan cara yang salah,
yaitu melindungi atau menyembunyikan orang yang melakukan perbuatan yang
melanggar hukum.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam kehidupan bermasyarakat, perlu adanya suatu norma-norma atau peraturan
hukum yang dibuat sebagai kontrol social dalam menentukan pola dan tingkah laku
yang dilakukan manusia dalam kehidupan sosial bermasyarakat. Karena peraturan
hukum yang dibuat itu bersifat mengatur dan memaksa anggota masyarakat untuk
patuh mentaatinya, maka tujuan dari dibentuknya peraturan hukum itu sendiri
adalah demi menjamin keseimbangan dan kelangsungan dalam berhubungan antar
masyarakat serta untuk menjamin adanya kepastian hukum demi keadilan.
Pada dasarnya hukum dan keadilan itu tidak dapat dipisahkan. Akan tetapi dengan
adanya Lima Konsep Hukum tersebut, masing-masing mempunyai pandangan hukum
tersendiri. Diantaranya ada yang berpandangan hukum mengacu pada peraturan
hukum yang berlaku dan terkadang mengesampingkan rasa keadilan (Positivisme),
hukum berdasarkan moral (klasik), hukum dibuat dan diputuskan berdasarkan
keputusan hakim (yurisprudensi), hukum sebagai perilaku social atau sosiologi
hukum yang berpandangan bahwa orang yang melakukan kejahatan tidak dapat
dikatakan atau dilabeli sebagai orang jahat, karena menilai dari berbagai sisi
social/latar belakang, dan sebagai symbol dengan makna yang tercipta sebagai
interpretasi individual atau kolektif yaitu bisa berasal dari hati nurani
pelaku social.
Melihat dari kisah kasus ini, memang Negara Indonesia menganut hukum
positif/positivisme. Tujuannya adalah ingin mencapai kepastian hukum, dan hukum
yang berdasarkan undang-undang ataupun berdasarkan pada sumber-sumber hukum
formal, termasuk Yurisprudensi. Di luar ketentuan tersebut, itu bukan merupakan
hukum. Jadi hukum harus ditegakkan tanpa melihat dari adanya unsur sosial,
ekonomi, politik, bahkan kekuasaan sekalipun.
Oleh karena itu, dalam kasus ini Si Ayah tetap dihukum dengan hukuman penjara
maksimal 8 tahun karena melanggar hukum, meskipun hanya mencuri sebongkah roti
demi memberi makan anaknya yang menangis kelaparan. Sehingga hukum harus
ditegakkan dan Si Ayah harus menjalani proses hukum yang berlaku.
Tetapi, perkembangan hukum harus juga mengikuti perkembangan yang ada di tengah
masyarakat, sehingga pranata/peraturan hukum yang ada dapat mengatasi semua
masalah hukum dengan adanya kepastian hukum, tanpa mengenyampingkan nilai-nilai
keadilan yang ada dalam masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Drs. C.S.T.
Kansil,S.H. , Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia , Balai
Pustaka, Jakarta, 1984
Samidjo,
S.H. , Pengantar Hukum Indonesia, CV.ARNICO, Bandung, 1985
Hartono
Hadisoeprapto,S.H. Pengantar Tata Hukum Indonesia (PTHI), Liberty,
Yogyakarta, 1982
Soekanto, Pokok-Pokok
Sosiologi Hukum, Jakarta, 1999
Johni
Najwan, S.H., M.H., Ph. D., Implikasi Aliran Positivisme Terhadap Pemikiran
Hukum (Jurnal)
http://hukum.kompasiana.com
/materi-sosiologi-hukum-awal-pengantar.html
https://negarahukum.com
Syaiful
Bakhri, Pengaruh Aliran-Aliran Falsafat Pemidanaan dalam Pembentukan Hukum
Pidana Nasional, Jurnal Hukum NO. 1 VOL. 18 Januari 2010: 136 – 157.
[1] Drs.C.S.T. Kansil,S.H. , Pengantar Ilmu Hukum dan Tata
Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1984, hlm. 34
[3] Johni Najwan, S.H., M.H., Ph.
D., Implikasi Aliran Positivisme Terhadap Pemikiran Hukum, hlm. 24
[4] R. Soesilo, Kitab Undang-Undang HUKUM PIDANA
serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia, Bogor, 1976
[6] Ibid,
[7] C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum
Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1984, hlm. 49
Tidak ada komentar:
Posting Komentar