Jumat, 27 Januari 2017

ANALISIS KASUS TENTANG HUKUM DAN PERKEMBANGANNYA DALAM KEHIDUPAN BERMASYARAKAT

BAB I
PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang Analisis
Di dalam kehidupan bermasyarakat, manusia pasti saling berinteraksi atau berhubungan satu sama lain sebagai makhluk sosial. Setiap Manusia dalam melakukan aktivitas – aktivitas sosial pasti mempunyai kepentingan masing-masing. Dan banyak kepentingan yang bertentangan dengan kehidupan masyarakat yang ada disekitarnya. Hal ini dapat menimbulkan konflik dan perpecahan dalam masyarakat.
Oleh karena itu, dalam hidup bermasyarakat diperlukan adanya  peraturan hidup yang dapat mengatur pola tingkah laku manusia dalam bertindak di dalam masyarakat. Peraturan hidup kemasyarakatan yang bersifat mengatur dan memaksa untuk menjamin tata tertib dalam masyarakat, dinamakan peraturan hukum atau kaedah hukum.[1]
Menurut J.C.T. Simorangkir,S.H. dan Woerjono Sastropranoto,S.H. di dalam bukunya mengatakan bahwa hukum adalah,
Peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat, yang dibuat oleh Badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan tadi berakibatkan diambilnya tindakan, yaitu dengan hukuman tertentu.

Hal ini merujuk pada sebuah kisah yang akan saya analisis, yakni sebuah kisah tentang Seorang Ayah yang mencuri roti untuk anaknya yang menangis terus karena kelaparan dan Si Ayah tersebut tidak berdya karena sudah seminggu menganggur sejak dikeluarkan dari pekerjaannya. Akibat mencuri tersebut, Si Ayah dihukum 8 tahun penjara. Dan sampai pada akhirnya dia akan bertobat.
Oleh karena itu, pada sebuah kisah ini saya akan menganalisis dengan Lima Konsep hukum, diantaranya adalah Konsep hukum klasik, konsep hukum positivisme, hukum dengan konsep sebagai keputusan hakim, hukum dengan konsep sebagai pola perilaku sosial, dan hukum dikonsepkan sebagai simbol-simbol dengan makna interpretasi para perilaku sosial.
  1. Permasalahan
Berawal dari Sebuah keluarga yang Ayahnya baru saja terkena PHK. Kemudian anaknya yang masih bayi sudah semalaman menangis kelaparan karena ibunya tidak dapat menyusuinya karena Si Ibu juga sudah tidak makan dua hari. Melihat hal itu, Si Ayah tidak tega dan keluar rumah untuk mencari makan anaknya, sehingga dia sampai mencuri sebongkah roti dari sebuah toko. Hal itu diketahui Polisi. Dan Si Ayah pun diadili oleh majelis hakim dan diberi hukuman maksimal 8 tahun penjara sesuai dengan pasal 362 KUHP. Setelah bebas dari penjara ia mencuri lagi dengan menganiaya.  Tapi pada akhirnya ia pun sadar lalu bertobat.
Permasalahannya adalah Pertama, apakah Si Ayah berhak ditangkap oleh polisi, kedua Si Ayah diberi hukuman 8 tahun penjarara oleh hakim. Dan yang ketiga, dapat dibenarkankah perilaku Si Ustadz dalam membela Si Ayah dari jeratan hukum lagi, sehingga Si Ayah akhirnya sadar dan bertobat. Dan masih banyak laagi permasalahan-permasalahan yang dapat dianalisis melalui Lima Konsep Hukum ini.           

BAB II
PEMBAHASAN
Dalam kisah ini terdapat tokoh-tokoh yang dapat dianalisis dengan melalui Lima Konsep Hukum, diantaranya yaitu melalui Konsep Hukum Klasik, Konsep Hukum Positivisme, Hukum dengan Konsep Sebagai Keputusan Hakim, Hukum dengan Konsep Sebagai Pola Perilaku Sosial, dan Hukum Dikonsepkan Sebagai Simbol-Simbol dengan makna interpretasi para perilaku sosial.

  1. Konsep Hukum Klasik
Konsep Hukum Klasik ini berdasarkan atas azaz keadilan yang dipercaya bernilai universal dan menjadi bagian inheren system hukum. Aliran hukum klasik melihat kejahatan adalah hasil dari perbuatan berdasarkan kebebasan moral. Beberapa ahli teori klasik menegaskan bahwa kejahatan merupakan kesalahan dan harus bertanggungjawab secara moral, untuk itu pelanggar harus menerima hukuman yang sesuai dengan nilai moral yang hidup di masyarakat sebagai suatu tindakan pembalasan atas tindakan kejahatan yang telah dilakukannya.[2]
Dalam kisah kasus ini, pencurian roti yang dilakukan seorang Ayah demi untuk memberi makan anaknya yang sudah semalaman menangis kelaparan  itu merupakan perbuatan yang terpaksa karena keadaan yang tidak diinginkan. Dan jika mengacu pada konsep ini, Si Ayah sebagai pelaku pencuri roti harus bertanggung jawab secara moral atas kesalahan yang telah ia perbuat. Dan bentuk hukuman yang diberikan sesuai dengan nilai moral yang ada dalam masyarakat, seperti mendapatkan sanksi sosial berupa pengucilan, membayar denda, dan lain-lain. Selain itu juga perlu adanya pertanggungjawaban moral dengan bentuk permintaan maaf Si Ayah kepada pemilik toko roti yang ia curi tersebut. Hal ini dapat melalui dengan cara mediasi dari pihak kepolisian ataupun secara kekeluargaan.

  1. Hukum dengan Konsep Positivisme
Hukum dengan norma-norma undang-undang positif yang berlaku umum in Abstracto pada suatu waktu tertentu dan di wilayah tertentu. Menurut hukum positivistik, hukum sama dengan norma-norma positif yaitu norma yang dibuat oleh badan legislasi yang dianggap sebagai hukum umum seperti undang-undang.
Hukum menurut konsep ini adalah apa yang ada menurut undang-undang, bukan apa yang seharusnya ada dalam hukum. Jadi, hukum dalam konsep positivisme  mengabaikan nilai-nilai kebenaran, moral, kesejahteraan, bahkan terkadang jauh dari kata keadilan.[3]
Dari pernyataan diatas, dapat disimpulkan bahwa hukum positivisme berpegang teguh pada peraturan hukum yang diakui oleh Negara, yaitu seperti undang-undang. Jadi, seseorang dapat dihukum jika seseorang tersebut melakukan suatu perbuatan yang dianggap melanggar peraturan hukum atau undang-undang.
Bila kisah ini di analisa melalui konsep ini, maka jika dilihat dari Si polisi yang menjalankan tugasnya secara konsekuen dan professional sebagai aparat penegak hukum itu dinilai sudah tepat ketika Si polisi menangkap Si Ayah (lelaki buruh) itu mencuri sebongkah roti, karena perbuatan itu merupakan bentuk kejahatan suatu tindak pidana dan melanggar undang-undang yang berlaku, yaitu melanggar pasal 362 KUHP yang berbunyi “Barangsiapa mengambil sesuatu barang, yang sama sekali atau sebagian termasuk kepunyaan orang lain, dengan maksud akan memiliki barang itu dengan melawan hak, dihukum, karena pencurian, dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp 900.”[4]
 Apalagi polisi dalam melakukan penangkapan tersebut, juga didsarkan adanya barang bukti yaitu sebongkah roti yang dicuri tersangka (Si Ayah).
Tindakan polisi yang kedua juga sudah tepat dalam menangkap dan mengintrogasi Si Ayah(lelaki buruh) yang sebenarnya mencuri barang-barang Si Ustadz tersebut adalah sebuah tindakan preventif akan terjadinya tindak kriminal ataupun pelanggaran hukum. Hal ini dilakukan polisi karena Si polisi curiga terhadap barang-barang yang dibawa Si Ayah yang dibungkus dengan selimut tersebut. Meskipun pada akhirnya Si Ayah tidak terbukti mencuri karena adanya pembelaan Si Ustadz.
      Dan mengenai tentang tindakan hakim yang memutuskan terdakwa (Si Ayah) bersalah dan diberi hukuman penjara karena telah melanggar pasal 362 KUHP tentang pencurian itu saya rasa kurang tepat, karena sesuai dengan pasal 183 KUHAP yang isinya menyebutkan bahwa “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah…”[5]
Dari kutipan penjelasan diatas, sudah jelas bahwa hakim tidak dapat menjatuhkan hukuman pidana kepada Si Ayah (lelaki buruh) tersebut, karena hanya ada satu alat bukti yaitu sebongkah roti. Berarti dua alat bukti yang telah disebutkan dalam pasal 183 KUHAP tersebut tidak dapat terpenuhi. Jadi dalam keadaan seperti ini sebenarnya Si Ayah tersebut dapat bebas dari hukuman pidana atau penjara.
Tetapi, dalam pandangan lain sebenarnya Hakim juga benar dalam/dapat menjatuhkan pidana kepada Si Ayah karena melanggar pasal 362 KUHP tersebut. Karena yang pada  awalnya tidak terpenuhinya dua alat bukti yang sah, karena hanya ada satu alat bukti berupa sebongkah roti, ini sebenarnya dua alat bukti tersebut dapat terpenuhi dengan adanya keterangan dari Si polisi yang waktu itu menangkap dan mengetahui ketika Si Ayah mencuri roti. Hal ini sesuai dengan pasal 184 KUHAP yang dalam isinya adalah “Alat bukti yang sah ialah: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, keterangan terdakwa”.[6]
Dengan ini, dua alat bukti tersebut sudah terpenuhi karena adanya alat bukti berupa sebongkah roti dan keterangan saksi oleh polisi tersebut.
Dan jika kita berbicara mengenai moral dan keadilan dri kisah ini yang didasari melaluai konsep positivisme ini, sungguh jauh dari kata-kata moral dan keadilan. Hal ini dapat kita lihat dari keputusan Si hakim dalam memberi hukuman maksimal 8 tahun penjara. Meskipun memang Si Ayah tersebut benar terbukti melanggar hukum karena mencuri roti, tapi dengan menghukum 8 tahun penjara tersebut sungguh tidak sebanding dengan apa yang diperbuatnya. Padahal dalam kasus ini, sudah dijelaskan diatas bahwa hukuman maksimal lima tahun, tapi hakim telah memutuskan untuk menjatuhkan hukuman lebih dari hukuman maksimal lima tahun tersebut. Terlepas dari adanya hak hakim dalam memutuskan perkara atau membuat dan menciptakan hukum sendiri diluar undang-undang dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu (yurisprudensi) tersebut, saya berpandangan bahwa hakim dalam kasus ini telah mengesampingkan nilai-nilai moral dan keadilan. Sehingga keputusan hakim dalam kasus ini dinilai tidak adil.

  1. Hukum dengan Konsep Sebagai Keputusan Hakim.
Konsep ini merupakan seluruh keputusan hakim “in Concerto” sebagaimana yang tercipta dalam proses-proses pengadilan (judge made law). Keputusan hakim ini sering disebut Yurisprudensi. Yurisprudensi merupakan sumber hukum dalam arti formil yang didasarkan atas suatu kenyataan bahwa sering kali terjadi hakim memutuskan suatu perkara yang tidak langsung didasarkan atas suatu peraturan hukum atau undang-undang yang sudah ada.
Menurut pasal 22 A.B.(Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesie) : “Hakim yang menolak untuk menyelesaikan suatu perkara dengan alasan bahwa peraturan perundangan yang bersangkutan tidak menyebutkan, tidak jelas atau tidak lengkap, maka ia dapat dituntut untuk dihukum karena menolak mengadili”.[7]
Dari penjelasan diatas, kita tahu bahwa seorang hakim mempunyai hak untuk membuat atau menciptakan peraturan sendiri apabila di dalam undang-undang ataupun kebiasaan tidak memberi peraturan yang dapat dipakainya dalam memutuskan suatu perkara. Keputusan inilah yang disebut Yurisprudensi, dan jika dikemudian hari ada suatu perkara yang serupa, maka keputusan hakim ini atau yang terdahulu itu dapat dijadikan dasar keputusan yang sama pula oleh hakim lain terhadap suatu perkara atau masalah yang sama.
Menurut konsep ini, dalam kisah ini terletak pada seorang majelis hakim yang  menerapkan ketentuan undang-undang negara demi kepastian hukum, dengan keyakinan bahwa hukum harus ditegakkan tanpa kompromi tersebut dengan memberikan hukuman penjara terhadap Si Ayah(lelaki buruh) yang mencuri sebongkah roti tersebut. Padahal, dalam pasal 362 KUHP telah dijelsakan bahwa pencurian ini hanya termasuk ‘pencurian biasa’ dan dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun. Tetapi  hakim disini dalam memberi hukuman yang maksimal 8 tahun tersebut, tentunya Si hakim juga mempunyai alasan ataupun pertimbangan tersendiri dalam memutuskan suatu perkara. Yang menjadi pertimbangan hakim tersebut yaitu hakim menganggap bahwa roti yang dicuri itu termasuk barang dagangan yang terbilang penting bagi kepentingan orang banyak dan belum menjadi barang penting untuk perseorangan. Inilah yang menjadi alasan Si hakim untuk memberi hukuman maksimal kepada Si Ayah.

D. Hukum dengan Konsep Sebagai Pola Perilaku Sosial
Menurut Aliran Sosiologis Hammaker, Eugen Ehrlich dan Max Weber Hukum merupakan hasil interaksi sosial dalam masyarakat. Dan hukum merupakan gejala masyarakat, karena perkembangan hukum itu sesuai dengan perkembangan yang ada dalam masyarakat.
Hukum dengan konsep sebagai pola perilaku social yang dimaksud adalah hukum sebagai institusi social yang riil dan fungsional di dalam system kehidupan bermasyarakat. Dalam konsep ini hukum tersimak dalam wujud manifestasi yang actual sebagai perilaku manusia dalam kehidupan mereka yang riil dalam masyarakat (law as it is in society) dan hal ini banyak dikaji dalam Sosiologi Hukum.
Dan bagi orang-orang yang menganut konsep sosiologi hukum tidak boleh bersifat apriori dengan arti seperti pada pelaku suatu tindak pidana tidak bisa dimaknai sebagai orang yang selalu jahat. Hal ini mengacu pada kisah ini, yaitu bahwa Si Ayah(lelaki buruh) yang mencuri roti dan mencuri barang-barang Si Ustadz tersebut bukanlah orang yang jahat ataupun orang yang berjiwa kriminal, tetapi Si Ayah melakukan hal tersebut karena ingin memenuhi kebutuhan anak dan keluarganya untuk bertahan hidup. Perbuatan ini juga dikarenakan oleh keterpaksaan adanya keadaan social yang tidak memungkinkan. Dan seharusnya perkara biasa seperti ini tidak harus sampai ke ranah hukum, tapi cukup diselesaikan dengan cara damai ataupun kekeluargaan, dan biarkan masyarakat memberikan sanksi social yang berlaku dalam masyarakat, dan tentunya juga dalam pengawasan pihak kepolisian.
Tetapi dalam kasus tersebut, Si Ayah diberi hukuman penjara dengan hukuman maksimal 8 tahun. Padahal apa yang dilakukan oleh Si Ayah ini tidak sebanding dengan sanksi hukum yang diterimanya. Dalam konsep sosiologi, hal tersebut telah jauh dari nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Selanjutnya, disisi lain, peran aparat penegak hukum disini, dalam hal ini polisi dan hakim adalah sebagai kontrol atau pengendali social terhadap fenomena atau tingkah laku manusia dalam masyarakat. Ini dilakukan seperti saat polisi menangkap Si Ayah yang sedang mencuri roti, dan Si hakim yang memberi hukuman penjara kepada Si Ayah. Hal ini bertujuan sebagai peran dan fungsi dari pengendalian sosial, agar Si Ayah dapat sadar dan merubah tingkah atau pola perilaku sosialnya dalam bermasyarakat.

  1. Hukum Dikonsepkan Sebagai Simbol-Simbol dengan Makna yang Tercipta Sebagai Hasil Interpretasi (Individual atau Kolektif ) Para Pelaku Sosial.
Dalam konsep ini, hukum bukan norma positif yang tertuang dalam undang-undang, tetapi terinterpretasi dalam mereka yang awam dan terekam dalam benak-benak para pelaku social. (law as it is in human interaction).
Jika kisah ini dianalisis menggunakan konsep ini, maka mengacu pada perilaku Si Ustadz yang mencoba menolong seseorang yang malang (Si Ayah) tetapi berani-beraninya ia meberikan keterangan atau kesaksian palsu kepada seseorang hamba hukum (polisi) tersebut.
Hal ini dilakukan Si Ustadz karena ia tahu dan merasa iba, karena Si Ayah tersebut tidak punya apa-apa dan ia ingin segera pulang menemui keluarganya yang lama terpisah dan ingin membangun kembali kehidupan yang baru bersama keluarganya tersebut. Karena yang dialkukan Si Ustadz ini mulia dan semi tujuan yang baik, Si Ayah(lelaki buruh) tersebut sadar akan kesalahan yang diperbuatnya selama ini, lalu ia meminta maaf dengan memeluk kaki Si Ustadz tersebut dan menyerukan niat bertobat dengan memohon ampunanNya.
Perbuatan Si Ustadz yang sangat mulia ini merupakan murni muncul dari benak pikiran dan hatinya untuk mengikhlaskan barang-barang yang diambil Si Ayah tersebut karena merasa iba dan ingin melindungi Si Ayah dari jeratan hukum walaupun dengan cara yang salah, yaitu melindungi atau menyembunyikan orang yang melakukan perbuatan yang melanggar hukum.





BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
            Dalam kehidupan bermasyarakat, perlu adanya suatu norma-norma atau peraturan hukum yang dibuat sebagai kontrol social dalam menentukan pola dan tingkah laku yang dilakukan manusia dalam kehidupan sosial bermasyarakat. Karena peraturan hukum yang dibuat itu bersifat mengatur dan memaksa anggota masyarakat untuk patuh mentaatinya, maka tujuan dari dibentuknya peraturan hukum itu sendiri adalah demi menjamin keseimbangan dan kelangsungan dalam berhubungan antar masyarakat serta untuk menjamin adanya kepastian hukum demi keadilan.
            Pada dasarnya hukum dan keadilan itu tidak dapat dipisahkan. Akan tetapi dengan adanya Lima Konsep Hukum tersebut, masing-masing mempunyai pandangan hukum tersendiri. Diantaranya ada yang berpandangan hukum mengacu pada peraturan hukum yang berlaku dan terkadang mengesampingkan rasa keadilan (Positivisme), hukum berdasarkan moral (klasik), hukum dibuat dan diputuskan berdasarkan keputusan hakim (yurisprudensi), hukum sebagai perilaku social atau sosiologi hukum yang berpandangan bahwa orang yang melakukan kejahatan tidak dapat dikatakan atau dilabeli sebagai orang jahat, karena menilai dari berbagai sisi social/latar belakang, dan sebagai symbol dengan makna yang tercipta sebagai interpretasi individual atau kolektif yaitu bisa berasal dari hati nurani pelaku social.
            Melihat dari kisah kasus ini, memang Negara Indonesia menganut hukum positif/positivisme. Tujuannya adalah ingin mencapai kepastian hukum, dan hukum yang berdasarkan undang-undang ataupun berdasarkan pada sumber-sumber hukum formal, termasuk Yurisprudensi. Di luar ketentuan tersebut, itu bukan merupakan hukum. Jadi hukum harus ditegakkan tanpa melihat dari adanya unsur sosial, ekonomi, politik, bahkan kekuasaan sekalipun.
            Oleh karena itu, dalam kasus ini Si Ayah tetap dihukum dengan hukuman penjara maksimal 8 tahun karena melanggar hukum, meskipun hanya mencuri sebongkah roti demi memberi makan anaknya yang menangis kelaparan. Sehingga hukum harus ditegakkan dan Si Ayah harus menjalani proses hukum yang berlaku.
            Tetapi, perkembangan hukum harus juga mengikuti perkembangan yang ada di tengah masyarakat, sehingga pranata/peraturan hukum yang ada dapat mengatasi semua masalah hukum dengan adanya kepastian hukum, tanpa mengenyampingkan nilai-nilai keadilan yang ada dalam masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Drs. C.S.T. Kansil,S.H. , Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia , Balai Pustaka, Jakarta, 1984
Samidjo, S.H. , Pengantar Hukum Indonesia, CV.ARNICO, Bandung, 1985
Hartono Hadisoeprapto,S.H. Pengantar Tata Hukum Indonesia (PTHI), Liberty, Yogyakarta, 1982
Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Jakarta, 1999
Johni Najwan, S.H., M.H., Ph. D., Implikasi Aliran Positivisme Terhadap Pemikiran Hukum (Jurnal)
http://hukum.kompasiana.com /materi-sosiologi-hukum-awal-pengantar.html
https://negarahukum.com
Syaiful Bakhri, Pengaruh Aliran-Aliran Falsafat Pemidanaan dalam Pembentukan Hukum Pidana Nasional, Jurnal Hukum  NO. 1 VOL. 18 Januari 2010: 136 – 157.



[1] Drs.C.S.T. Kansil,S.H. , Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1984, hlm. 34
[2] Paul W. Tappen, Juvenile Deliguency, Mc. Graw Hill Book Company Inc, New York 1949, hlm. 30
[3] Johni Najwan, S.H., M.H., Ph. D., Implikasi Aliran Positivisme Terhadap Pemikiran Hukum, hlm. 24
[4] R. Soesilo, Kitab Undang-Undang HUKUM PIDANA serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia, Bogor, 1976
[5] Dikutip dari KUHAP LENGKAP, PT Bumi Askara, Jakarta, 2001, hlm. 77
[6] Ibid,
[7] C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1984, hlm. 49







Tidak ada komentar: