Jumat, 27 Januari 2017

Sumber-sumber Hukum

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia ialah Negara, dengan itu Indonesia memiliki kekuatan untuk mengendalikan tindakan masyarakat mencapai nilai-nilai yang positif. Hukum di Indonesia mengatur banyak aspek kehidupan, mulai dari social, politik, ekonomi, budaya, maupun agama.
Namun keberadaan hukum ditengah-tengah masyarakat makin lama makin tak menunjukkan ketegasan serta mulai diabaikan oleh masyarakat. Dengan bermaksud ingin mengetahui lebih lanjut mengenai hukum, tentu harus mengetahui sebagian aspek yang dikaji didalam ilmu hukum, salah satunya adalah sumber hukum. Realisasi yang kami wujudkan adalah dengan pembuatan makalah mengenai sumber hukum
Timbul pertanyaan besar, kenapa kita perlu mengetahui sumber hukum! "Jawabannya adalah merupakan sesuatu yangmelandasi atau sebagian hal yang melatar belakangi penyusunan makalah ini yaitu supaya kita mengetahui asal muasal hukum yang kita jadikan acuan dan pedoman hidup agar kita tidak hanya tahu dan menjalankannya saja tanpa pengetahuan mengapa hal itu bias ada sehingga itu bias menjadi sebuah aturan yang mengikat.
B.   Rumusan Masalah
1.      Apa Pengertian Sumber Hukum?
2.      Bagaimana Undang-undang Sebagai Sumber Hukum?
3.      Bagaimana Kebiasaan Sebagai Sumber Hukum?
4.      Bagaimana Traktat Sebagai Sumber Hukum?
5.      Bagaimana Yurisprudensi Sebagai Sumber Hukum?
6.      Bagaimana Doktrin Sebagai Sumber Hukum?


7.     
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Sumber Hukum
Istilah suber hukum dapat digunakan dalam berbagai arti, yaitu suber hukum dalam arti sejarah, dalam arti sosiologi, dalam art folosofi, dan dalam arti formal. Keempat arti tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.[1]
1.      Sumber Hukum dalam Arti Sejarah
Sumber hukum dalam arti sejarah adalah sumber dari mana pembentuk undang-undang memperoleh bahan untuk undang-undang dilihat dari aspek sejarah. Contohnya, code civil prancis merupakan sumber hukum bagi burgerlijk wetboek (Kitap Undang-Undang Hukum Perdata) Belanda. Hal ini karena prancis pernah menduduki Belanda dan memberlakukan code civil, dimana ketika Belanda membentuk burgerlijk wetboek banyak bahan diambil dari code civil prancis itu. Demikian pula, burgerlijk wetboek Hindia Belanda.
Sumber hukum dalam arti sejarah ini memiliki kaitan erat dengan penafsiran sejarah, khususnya penafsiran sejarah hukum.
2.      Sumber Hukum dalam  Arti Sosiologis
Sumber hukum dalam arti sosiologis  adalah factor-faktor yang menentukan isi hukum positif, misanya keadaankeadaan ekonomi, politik, pandangan agama, dan sebagainya. Yang mempengaruhi pembentuk undang-undang pada saat pembuatan peraturan.
3.      Sumber Hukum dalam Arti Filosofi
Sumber hukum dalam arti filosofi, menurut L.J. van Apeldoorn, mempunyai dua arti, yaitu (1) sebagai sumber untuk isi hukum, dan (2) sebagai sumber kekuatan mengikat dari hukum. Dua arti tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.
Dalam arti sebagai sumber untuk isi hukum, yaitu sebagai ukuran untuk menguji hukum agar dapat mengetahui[2] adakah ia “hukum yang baik”? Dalam
pasal 2 UU No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dikatakan bahwa “Pancasia merupakan sumber dari segala hukum negara”. Kata “sumber” di sini dapat diartikan sebagai sumber hukum dalam arti filosofi. Dengan demikian, Pancasila merupakan sumber hukum dalam arti filosofi dari segala hukum negara. Pancasila menjadi ukuran untuk menguji hukum negara agar dapat mengetahui adakah ia “hukum (negara) yang baik”.
Dalam arti sebagai sumber kekuatan mengikat dari hukum. Menurut Hugo de Groot (Grotius), “sumber hukum adalah akal (rasio), sumber kekuatan yang mengikat adalah Tuhan”.
4.      Sumber Hukum dalam Arti Formal
Sumber hukum dalam arti formal berarti format (wujud) dari mana kita melihat isi hukum yang berlaku. Sebagai sumber hukum yang berlaku dalam arti formal dapat disebut seluas-luasnya mencakup :
a.       Undang-undang;
b.      Kebiasaan;
c.       Traktat;
d.      Yurisprudensi;
e.       Doktrin[3]

B.     UNDANG-UNDANG
Undang-undang adalah suatu peraturan Negara yang mempunyai kekuatan hokum yang mengikat diadakan dan dipelihara oleh penguasa Negara.  Menurut BUYS, undang-undang itu mempunyai dua arti, yakni:
undang-undang dalam arti formil
setiap peraturan pemerintah yang membutuhkan undang-undang karena cara pembuatannya (misalnya peraturan pemerintah dibuat bersama parlemen)
undang-undang dalam arti materiil
setiap peraturan pemerintah yang menurut isinya mengikat langsung setiap penduduk.
Syarat-syarat berlakunya suatu undang-undang
1)      Syarat mutlak untuk berlakunya suatu undang-undang ialah diundangkan dalam Lembaran Negara (LN) oleh Menteri/Sekretaris Negara[4]
          Tanggal berlakunya suatu undang-undang menurut tanggal yang ditentukan dalam undang-undang itu sendiri. Jika tanggal berlakunya itu tidak disebutkan dalam undang-undang, maka undang-undang itu mulai berlaku 30 hari setelah diundangkan dalam L.N. untuk jawa dan Madura, dan untuk daerah-daerah lainnya mulai berlaku 100 hari sesudah pengundangan dalam L.N. setelah syarat itu terpenuhi maka berlakulah suatu fictie dalam hokum: “SETIAP ORANG DIANGGAP TELAH MENGETAHUI ADANYA SUATU UNDANG-UNDANG.”
2)      Berakhirnya kekuatan berlaku suatu undang-undang
Suatu undang-undang tidak berlaku lagi jika;
a.      Jangka waktu itu telah ditentukan oleh undang-undang itu sudah lampau
b.    Keadaan atau hal untuk mana undang-undang itu diadakan sudah tidak ada lagi
c.     undang-undang itu dengan tegas dicabut oleh instalasi yang embuat atau instalasi yang lebih tinggi
d.    telah diadakan undang-undang yang baru yang isinya bertentangan dengan undang-undang yang dulu berlaku
3)      pengertian lembaran Negara dan berita Negara
Pada zaman hindia-belanda lembaran Negara disebut Staatsblad (Stb.). setelah suatu undang-undang diundangkan dalam L.N., ia kemudian diumumkan dalam berita Negara, setelah iu diumumkan dalam siaran pemerintah melalui radio atau televisidan melalui surat-surat kabar.
Pada zaman hindia-belanda, berita Negara disebut De Javasche Courant dan dizaman jepang disebut Kan Po. Adapun perbedaan lembaran Negara dan berita Negara adalah:
Lembaran Negara adalah suatu lembaran (kertas) tempat mengundang (mengumumkan) semua peraturan-peraturan Negara agar sah dan berlaku. Penjelasan dari suatu undang-undang dimuat dalam tambahan lembaran Negara, yang mempunyai nomor berurut. Nomor Negara diterbitkan oleh Deparemen Kehakiman (sekarang secretariat negara), yang disebut dalam nomor penerbitannya dan nomor berurut.[5]
Misalnya:
L.N. tahun 1962 No. 1 (L.N. 1962/1)
L.N. tahun 1962 No. 2 (L.N. No. 2 tahun 1962
     Berita Negara ialah suatu penerbitan resmi departemen kehakiman yang memuat hal-hal yang berhubungan dengan peraturan-peraturan Negara dan pemerintah, dan memuat surat-surat yang dianggap perlu, seperti akta pendirian P.T., Firma, koperasi, nama-nama orang dinaturalisasi menjadi warga Negara Indonesia dan lain-lain.
Catatan: tempat pengundangan peraturan daerah/kotapraja ialah Lembaran daerah/lembaran kotapraja.[6]

C.    Kebiasaan
Di eropa, pengaruh buku Montesquieu (1689 – 1755), L’esprit des lois (1748), telah melahirkan paham legisme dan kondifikasi-kondifikasi hukum. Dalam bukunya ituMontesquieu menulis bahwa “Hakim adalah mulut yang menyuarakan kata-kata undang-undang; ia adalah tubuh tidak berjiwa yang tidak boleh melemahkan kekuatan dan kekerasan undang-undang.”[7]
Pandangan Montesquieu tersebut melahirkan paham legisme, yaitu undang-undang merupakan satu-satunya sumber hukum. Paham ini berpengaruh besar di Prancis, sehingga setelah Revolusi Prancis (1789) peraturan-peraturan hukum yang sejenis dihimpun dalam suatu kitap undang-undang (code), sehingga terbentuk antara lain code civil dan code penal.
Kodifikasi atau pembukuan hukum ini kemudian menjadi karakteristik dari sistem-sistem hukum di negara-negara eropa Barat.
Dengan adanya pengaruh kuat dari legisme dan system kondifikasi, maka di Eropa Barat pada awal abad ke-19, maka kebiasaan, pada dasarnya tidak diterima sabagai salah satu sumber hukum, kecuali apabila undang-undang secara tegas membolehkan hal tertentu.
Hal ini tampak jelas dalam ketentuan Pasal 15 Praturan Umum tentang Perundang—undangan (Algemene bepalingen van wetgeving, staatsbland 1847 No 23) yang menentukan bahwa “Dengan pengecualian mengenai ketentuan-ketentuanyang ditetapkan bagi orang-orang yang berkebangsaan Indonesia dan orang-orang yang disamakan dengan itu, adat kebiasaan tidak merupakan hukum, kecuali apabila undang-undang menyatakan hal itu”.
Dalam pasal ini didakan pembedaan antara:
Orang Indonesia dan yang disamakan. Bagi mereka ini kebiasaan merupakan sumber hukum.
Bagi orang lainnya, yang berarti orang Eropa dan yang disamakan, kebiasaan merupakan bukan sumber hukum, keuali apabila undang-undang
Dengan demikian, bagi orang eropa dan tang disamakan, pada dasarnya kebiasaan bukan sumber hukum. Pengecualian hanyalah apabila undang-undang secara tegas membolehkan, contohnya[8] Pasal 1339 KUHPerdata: “Perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menuntt sifat persetujuan, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaaan atau undang-undang.
Tetapi, kemudian akibat pengaruh mazhab sejarah (historical jurisprudence), di eropa kebiasaan telah umum diterima sebagai salah satu sumber hukum. Dengan demikian, seklaipun Pasal 15 AB tidak pernah dicabut secara tegas dengan suatu undang-undang, tetapi pasal tersebut telah kehilangan kekuatannya.
Di Indonesia dipertegas dengan UU No. 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan  Kehakiman –sekarang telah digantikan oleh UU No. 2 Tahun 2004 --, yang dalam Penjelasan Pasal Demi Pasal terhadap Pasal14 ayat (1) menyatakan bahwa “Hakim sebagai organ pengadilan dianggap memahami hukum. Pencari keadilan datang padanyauntu mohon keadilan. Andaikan ia tidak menemukan hukum tertulis, ia wajib menggali hukum tidak tertulis untuk memutus berdasarkan hukum seorang yang bijaksanadan bertanggung jawab penuh kepada Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, masyarakat, bangsa dan negara”.
Syarat-syarat untuk terbentuknya hukum kebiasaan, yaitu:
1.      Syarat material: pemakaian yang tetap
2.      Syarat psikologis: keyakinan tentang adanya kewajiban hukum (opinio necessitates). Yang dimaksudkan dengan syarat psikologis di sini bukanlah psikologis perseorangan ,elaikan psikologis kelompok.[9]


D.    Keputusan Hakim (Jurisprudensi)
Adapun peratuean pertama yang berlaku pada zaman hindia belanda dulu ialah Algemene Bepalingen Van Wetgevin voor Indonesia yang disingkat A.B. (ketentuan-ketentuan umum tentang peraturan-peraturan  untuk indonesia ).
Dari ketentuan pasal 22 A.B. dijelaskan bahwa seorang hakim mempunyai hak membuat peraturan sendiri untuk menyelesaikan suatu perkara. Dengan demikian, apabila undang-undang ataupun kebiasaan tidak member peraturan yang dapt dipakainya ntuk menyelesaikan perkara itu, maka haruslah hakim membuat peraturan sendiri.
Peraturan hakim yang berisikan suatu peraturan sendiri berdasarkan wewenang yang diberikan oleh pasal 22 A.B. menjadilah dasar keputusan hakim lainnya/kemudiannya untuk mengadili perkara yang serupa dan keputusan hakim tersebut menjadi sumber hokum bagi pengadilan.
Jadi jurispundensi ialah keputusan hakin terdahulu yang sering diikuti dan dijadikan dasar keputusan oleh hakim kemudian mengenai masalah yang sama.
Ada dua macam juripudensi, yaitu:
a.       Juripudensi tetap
b.      Juripudensi idak tetap
Adapun yang dinamakan juripudensi tetap ialah keputusan hakim yang terjadi karena rangkaian keputusan yang serua dan yang menjadi dasar bagi pengadilan (Standard-arresten) untuk mengambil keputusan.
Seorang hakim mengambil keputusan hakim yang terdahulu itu karena ia[10] sependapat dengan isi keputusan tersebut dan lagi pula hanya dipakai sebagai pedoman dalam mengambil suatu keputusan mengenai suatu perkara yang serupa.[11]

E.     Traktat
Traktat (treaty) atau konvensi (convention) adalah perjanjian antar negara. Sudah tentu traktat merupakan sumber hukum[12] internasional. Tetapi apakah juga traktat langsung mengikat warga negara dari negara pembuat atau peserta?
Dalam praktek dikenal adanya dua proseduroembuatan yaitu:
Pembentukan melalui tiga tahab yaitu: (1) perundingan, (2) penandatanganan, dan (3) ratifikasi.
Prosedur ini biasanya dilakukan untuk hal-hal yang dianggap penting sehingga memerlukan persetujuandari badan-badan tertentu dalam suatu negara. Di Indonesia, dengan ratifikasi, yang memerlukan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat barulah apa yang disetujui Dewan Perwakilan Rakyat itu mengikat warga negara Indonesia. Tetapi, pada umumnya prosedur ratafikasi menghasilkan undang-undang, sehingga dapat dikatakan bahwayang mengikat rakyat bukanlagi traktat itu langsung melainkan undang-undang nasional.
Pembentukan melalui dua tahab: (1) perundingan, dan (2) penandatanganan.
Ini dilakukan untuk perrjanjian-perjanjian yang dianggap tidak begitu penting dan memerlukan penyeleseian yang cepat. Contohnya: perjanjian perdagangan yang berjangka pendek.[13]

F.     PENDAPAT SARJANA HUKUM (Doktrin)
Pendapat para sarjana hokum yang ternama juga mempunyai kekuasaan dan pengaruhdalam mengambil keputusan oleh hakim.
Dalam jurispundensi terlihat bahwa hakim sering berpegang pada pendapat seorang atu beberapa orang sarjana hokum yang terkenal dalam ilmu pengetahuan hokum. Dalam penetapan apa yang akan menjadi keputusannya, hakim sering menyebut (mengutip) pendapat seorang sarjana hokum mengenai soal yang harus diselesaikannya; apalagi apabila sarjana hokum itu menemukan bagaimana seharusnya. Pendapat itu menjadi dasar keputusan hakim tersebut.
Terutama dalam hubungan internasional pendapat-pendapat para sarjana[14] hokum mempunyai pengaruh yang besar. Bagi hokum internasional pendapat para sarjana hukummerupakan sumber hokum yang sangat penting.
Mahkamah Internasional dalam Piagam Mahkamah Internasional (Statute of the International Court of Justice) pasal 38 ayat 1 mengakui, bahwa dalam menimbang dan memutus suatu perselisihan dapat menggunakan beberapa pedoman yang diantara lain ialah:
a.       Perjanjian-perjanjian internasional.
b.      Kebiasaan-kebiasaan internasional
c.       Asas-asas hokum yang diakui bangsa-bangsa yang beradap
d.      Keputusan hakim dan pendapat-pendapat sarjana hokum.[15]



BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
        Istilah sumber hukum dapat digunakan dalam berbagai arti, yaitu sumber hukum dalam arti sejarah, dalam arti sosiologi, dalam arti folosofi, dan dalam arti formal.
Sumber hukum dalam arti sejarah, dalam arti sosiologi, dan dalam arti folosofi dapat disebut sumber hukum dalam arti materiil yang berarti dari materi apa melihat sumber hukum tersebut.
Sumber hukum dalam arti formal berarti format (wujud) dari mana kita melihat isi hukum yang berlaku. Sebagai sumber hukum yang berlaku dalam arti formal dapat disebut seluas-luasnya mencakup :
f.       Undang-undang;
g.      Kebiasaan;
h.      Traktat;
i.        Yurisprudensi
j.        Doktrin



DAFTAR PUSTAKA

Donald. Pengantar Hukum Pidana. Jakarta: PT RAJA GRAFINDO PERSADA, 2014
Kansil. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: PT. PENERBITAN DAN PERCETAKAN
     BALAI PUSTAKA, 2008




[1] Donald. Pengantar Hukum Pidana.(Jakarta: PT RAJA GRAFINDO PERSADA, 2014), 87
[2] Ibid, 88
[3] Ibid, 89
[4] Kansil. Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: PT. PENERBITAN DAN PERCETAKAN BALAI PUSTAKA, 2008), 19
[5] Ibid, 20
[6] Ibid, 21
[7] Donald. Pengantar Hukum Pidana.(Jakarta: PT RAJA GRAFINDO PERSADA, 2014), 97
[8] Ibid, 98
[9] Ibid, 99
[10] Kansil. Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: PT. PENERBITAN DAN PERCETAKAN BALAI PUSTAKA, 2008), 22
[11] Ibid, 23
[12] Donald. Pengantar Hukum Pidana.(Jakarta: PT RAJA GRAFINDO PERSADA, 2014), 99
[13] Ibid, 100
[14] Kansil. Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: PT. PENERBITAN DAN PERCETAKAN BALAI PUSTAKA, 2008), 23
[15] Ibid, 24





Tidak ada komentar: