BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia ialah Negara, dengan itu Indonesia memiliki
kekuatan untuk mengendalikan tindakan masyarakat mencapai nilai-nilai yang
positif. Hukum di Indonesia mengatur banyak aspek kehidupan, mulai dari social,
politik, ekonomi, budaya, maupun agama.
Namun keberadaan hukum
ditengah-tengah masyarakat makin lama makin tak menunjukkan ketegasan serta
mulai diabaikan oleh masyarakat. Dengan bermaksud ingin mengetahui lebih lanjut
mengenai hukum, tentu harus mengetahui sebagian aspek yang dikaji didalam ilmu
hukum, salah satunya adalah sumber hukum. Realisasi yang kami wujudkan adalah
dengan pembuatan makalah mengenai sumber hukum
Timbul pertanyaan besar, kenapa kita perlu
mengetahui sumber hukum! "Jawabannya adalah merupakan sesuatu yangmelandasi atau sebagian hal yang melatar belakangi
penyusunan makalah ini yaitu supaya kita
mengetahui asal muasal hukum yang kita jadikan acuan dan pedoman hidup agar
kita tidak hanya tahu dan menjalankannya saja tanpa pengetahuan mengapa hal itu
bias ada sehingga itu bias menjadi sebuah aturan yang mengikat.
B. Rumusan
Masalah
1. Apa Pengertian Sumber Hukum?
2.
Bagaimana
Undang-undang Sebagai Sumber Hukum?
3.
Bagaimana Kebiasaan Sebagai Sumber Hukum?
4.
Bagaimana
Traktat Sebagai Sumber Hukum?
5.
Bagaimana Yurisprudensi Sebagai Sumber Hukum?
6.
Bagaimana Doktrin Sebagai Sumber Hukum?
7.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Sumber Hukum
Istilah suber hukum dapat digunakan dalam berbagai arti, yaitu
suber hukum dalam arti sejarah, dalam arti sosiologi, dalam art folosofi, dan
dalam arti formal. Keempat arti tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.[1]
1.
Sumber
Hukum dalam Arti Sejarah
Sumber hukum dalam
arti sejarah adalah sumber dari mana pembentuk undang-undang memperoleh bahan
untuk undang-undang dilihat dari aspek sejarah. Contohnya, code civil prancis
merupakan sumber hukum bagi burgerlijk wetboek (Kitap Undang-Undang
Hukum Perdata) Belanda. Hal ini karena prancis pernah menduduki Belanda dan
memberlakukan code civil, dimana ketika Belanda membentuk burgerlijk
wetboek banyak bahan diambil dari code civil prancis itu. Demikian
pula, burgerlijk wetboek Hindia Belanda.
Sumber hukum
dalam arti sejarah ini memiliki kaitan erat dengan penafsiran sejarah,
khususnya penafsiran sejarah hukum.
2.
Sumber
Hukum dalam Arti Sosiologis
Sumber hukum
dalam arti sosiologis adalah
factor-faktor yang menentukan isi hukum positif, misanya keadaankeadaan
ekonomi, politik, pandangan agama, dan sebagainya. Yang mempengaruhi pembentuk
undang-undang pada saat pembuatan peraturan.
3.
Sumber
Hukum dalam Arti Filosofi
Sumber hukum
dalam arti filosofi, menurut L.J. van Apeldoorn, mempunyai dua arti, yaitu (1)
sebagai sumber untuk isi hukum, dan (2) sebagai sumber kekuatan mengikat dari
hukum. Dua arti tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.
Dalam arti
sebagai sumber untuk isi hukum, yaitu sebagai ukuran untuk menguji hukum agar
dapat mengetahui[2]
adakah ia “hukum yang baik”? Dalam
pasal 2 UU No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, dikatakan bahwa “Pancasia merupakan sumber dari segala
hukum negara”. Kata “sumber” di sini dapat diartikan sebagai sumber hukum dalam
arti filosofi. Dengan demikian, Pancasila merupakan sumber hukum dalam arti
filosofi dari segala hukum negara. Pancasila menjadi ukuran untuk menguji hukum
negara agar dapat mengetahui adakah ia “hukum (negara) yang baik”.
Dalam arti
sebagai sumber kekuatan mengikat dari hukum. Menurut Hugo de Groot (Grotius),
“sumber hukum adalah akal (rasio), sumber kekuatan yang mengikat adalah Tuhan”.
4.
Sumber
Hukum dalam Arti Formal
Sumber hukum
dalam arti formal berarti format (wujud) dari mana kita melihat isi hukum yang
berlaku. Sebagai sumber hukum yang berlaku dalam arti formal dapat disebut
seluas-luasnya mencakup :
a.
Undang-undang;
b.
Kebiasaan;
c.
Traktat;
d.
Yurisprudensi;
e.
Doktrin[3]
B.
UNDANG-UNDANG
Undang-undang adalah suatu peraturan Negara yang mempunyai kekuatan
hokum yang mengikat diadakan dan dipelihara oleh penguasa Negara. Menurut BUYS, undang-undang itu mempunyai dua
arti, yakni:
undang-undang dalam arti formil
setiap peraturan pemerintah yang membutuhkan undang-undang karena
cara pembuatannya (misalnya peraturan pemerintah dibuat bersama parlemen)
undang-undang dalam arti materiil
setiap peraturan pemerintah yang menurut isinya mengikat langsung
setiap penduduk.
Syarat-syarat berlakunya suatu undang-undang
1)
Syarat
mutlak untuk berlakunya suatu undang-undang ialah diundangkan dalam Lembaran
Negara (LN) oleh Menteri/Sekretaris Negara[4]
Tanggal berlakunya suatu undang-undang
menurut tanggal yang ditentukan dalam undang-undang itu sendiri. Jika tanggal
berlakunya itu tidak disebutkan dalam undang-undang, maka undang-undang itu
mulai berlaku 30 hari setelah diundangkan dalam L.N. untuk jawa dan Madura, dan
untuk daerah-daerah lainnya mulai berlaku 100 hari sesudah pengundangan dalam
L.N. setelah syarat itu terpenuhi maka berlakulah suatu fictie dalam
hokum: “SETIAP ORANG DIANGGAP TELAH MENGETAHUI ADANYA SUATU UNDANG-UNDANG.”
2)
Berakhirnya
kekuatan berlaku suatu undang-undang
Suatu undang-undang tidak berlaku lagi jika;
a.
Jangka waktu itu telah ditentukan oleh
undang-undang itu sudah lampau
b.
Keadaan
atau hal untuk mana undang-undang itu diadakan sudah tidak ada lagi
c.
undang-undang
itu dengan tegas dicabut oleh instalasi yang embuat atau instalasi yang lebih
tinggi
d.
telah
diadakan undang-undang yang baru yang isinya bertentangan dengan undang-undang
yang dulu berlaku
3)
pengertian
lembaran Negara dan berita Negara
Pada zaman hindia-belanda lembaran Negara disebut Staatsblad
(Stb.). setelah suatu undang-undang diundangkan dalam L.N., ia kemudian
diumumkan dalam berita Negara, setelah iu diumumkan dalam siaran pemerintah
melalui radio atau televisidan melalui surat-surat kabar.
Pada zaman hindia-belanda, berita Negara disebut De Javasche
Courant dan dizaman jepang disebut Kan Po. Adapun perbedaan lembaran Negara dan
berita Negara adalah:
Lembaran Negara
adalah suatu lembaran (kertas) tempat mengundang (mengumumkan) semua peraturan-peraturan
Negara agar sah dan berlaku. Penjelasan dari suatu undang-undang dimuat dalam
tambahan lembaran Negara, yang mempunyai nomor berurut. Nomor Negara
diterbitkan oleh Deparemen Kehakiman (sekarang secretariat negara), yang
disebut dalam nomor penerbitannya dan nomor berurut.[5]
Misalnya:
L.N. tahun 1962 No. 1 (L.N. 1962/1)
L.N. tahun 1962 No. 2 (L.N. No. 2 tahun 1962
Berita Negara ialah suatu penerbitan resmi departemen kehakiman
yang memuat hal-hal yang berhubungan dengan peraturan-peraturan Negara dan
pemerintah, dan memuat surat-surat yang dianggap perlu, seperti akta pendirian
P.T., Firma, koperasi, nama-nama orang dinaturalisasi menjadi warga Negara
Indonesia dan lain-lain.
Catatan: tempat pengundangan peraturan daerah/kotapraja ialah
Lembaran daerah/lembaran kotapraja.[6]
C.
Kebiasaan
Di eropa, pengaruh buku Montesquieu (1689 – 1755), L’esprit des
lois (1748), telah melahirkan paham legisme dan kondifikasi-kondifikasi
hukum. Dalam bukunya ituMontesquieu menulis bahwa “Hakim adalah mulut yang menyuarakan
kata-kata undang-undang; ia adalah tubuh tidak berjiwa yang tidak boleh
melemahkan kekuatan dan kekerasan undang-undang.”[7]
Pandangan Montesquieu tersebut melahirkan paham legisme, yaitu
undang-undang merupakan satu-satunya sumber hukum. Paham ini berpengaruh besar
di Prancis, sehingga setelah Revolusi Prancis (1789) peraturan-peraturan hukum
yang sejenis dihimpun dalam suatu kitap undang-undang (code), sehingga
terbentuk antara lain code civil dan code penal.
Kodifikasi atau pembukuan hukum ini kemudian menjadi karakteristik
dari sistem-sistem hukum di negara-negara eropa Barat.
Dengan adanya pengaruh kuat dari legisme dan system kondifikasi,
maka di Eropa Barat pada awal abad ke-19, maka kebiasaan, pada dasarnya tidak
diterima sabagai salah satu sumber hukum, kecuali apabila undang-undang secara
tegas membolehkan hal tertentu.
Hal ini tampak jelas dalam ketentuan Pasal 15 Praturan Umum tentang
Perundang—undangan (Algemene bepalingen van wetgeving, staatsbland 1847
No 23) yang menentukan bahwa “Dengan pengecualian mengenai
ketentuan-ketentuanyang ditetapkan bagi orang-orang yang berkebangsaan
Indonesia dan orang-orang yang disamakan dengan itu, adat kebiasaan tidak
merupakan hukum, kecuali apabila undang-undang menyatakan hal itu”.
Dalam pasal ini didakan pembedaan antara:
Orang Indonesia dan yang disamakan. Bagi mereka ini kebiasaan
merupakan sumber hukum.
Bagi orang lainnya, yang berarti orang Eropa dan yang disamakan,
kebiasaan merupakan bukan sumber hukum, keuali apabila undang-undang
Dengan demikian, bagi orang eropa dan tang disamakan, pada dasarnya
kebiasaan bukan sumber hukum. Pengecualian hanyalah apabila undang-undang
secara tegas membolehkan, contohnya[8]
Pasal 1339 KUHPerdata: “Perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang
dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang
menuntt sifat persetujuan, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaaan atau
undang-undang.
Tetapi, kemudian akibat pengaruh mazhab sejarah (historical
jurisprudence), di eropa kebiasaan telah umum diterima sebagai salah satu
sumber hukum. Dengan demikian, seklaipun Pasal 15 AB tidak pernah dicabut
secara tegas dengan suatu undang-undang, tetapi pasal tersebut telah kehilangan
kekuatannya.
Di Indonesia dipertegas dengan UU No. 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan
Kehakiman –sekarang telah digantikan
oleh UU No. 2 Tahun 2004 --, yang dalam Penjelasan Pasal Demi Pasal terhadap
Pasal14 ayat (1) menyatakan bahwa “Hakim sebagai organ pengadilan dianggap
memahami hukum. Pencari keadilan datang padanyauntu mohon keadilan. Andaikan ia
tidak menemukan hukum tertulis, ia wajib menggali hukum tidak tertulis
untuk memutus berdasarkan hukum seorang yang bijaksanadan bertanggung jawab
penuh kepada Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, masyarakat, bangsa dan negara”.
Syarat-syarat untuk terbentuknya hukum kebiasaan, yaitu:
1.
Syarat
material: pemakaian yang tetap
2.
Syarat
psikologis: keyakinan tentang adanya kewajiban hukum (opinio necessitates).
Yang dimaksudkan dengan syarat psikologis di sini bukanlah psikologis
perseorangan ,elaikan psikologis kelompok.[9]
D.
Keputusan Hakim (Jurisprudensi)
Adapun peratuean pertama yang berlaku pada zaman hindia belanda
dulu ialah Algemene Bepalingen Van Wetgevin voor Indonesia yang disingkat A.B.
(ketentuan-ketentuan umum tentang peraturan-peraturan untuk indonesia ).
Dari ketentuan pasal 22 A.B. dijelaskan bahwa seorang hakim
mempunyai hak membuat peraturan sendiri untuk menyelesaikan suatu perkara.
Dengan demikian, apabila undang-undang ataupun kebiasaan tidak member peraturan
yang dapt dipakainya ntuk menyelesaikan perkara itu, maka haruslah hakim
membuat peraturan sendiri.
Peraturan hakim yang berisikan suatu peraturan sendiri berdasarkan
wewenang yang diberikan oleh pasal 22 A.B. menjadilah dasar keputusan hakim
lainnya/kemudiannya untuk mengadili perkara yang serupa dan keputusan hakim
tersebut menjadi sumber hokum bagi pengadilan.
Jadi jurispundensi ialah keputusan hakin terdahulu yang sering
diikuti dan dijadikan dasar keputusan oleh hakim kemudian mengenai masalah yang
sama.
Ada dua macam juripudensi, yaitu:
a.
Juripudensi
tetap
b.
Juripudensi
idak tetap
Adapun yang dinamakan juripudensi tetap ialah keputusan hakim yang
terjadi karena rangkaian keputusan yang serua dan yang menjadi dasar bagi
pengadilan (Standard-arresten) untuk mengambil keputusan.
Seorang hakim mengambil keputusan hakim yang terdahulu itu karena
ia[10]
sependapat dengan isi keputusan tersebut dan lagi pula hanya dipakai sebagai
pedoman dalam mengambil suatu keputusan mengenai suatu perkara yang serupa.[11]
E.
Traktat
Traktat (treaty) atau konvensi (convention) adalah
perjanjian antar negara. Sudah tentu traktat merupakan sumber hukum[12]
internasional. Tetapi apakah juga traktat langsung mengikat warga negara dari
negara pembuat atau peserta?
Dalam praktek dikenal adanya dua proseduroembuatan yaitu:
Pembentukan melalui tiga tahab yaitu: (1) perundingan, (2)
penandatanganan, dan (3) ratifikasi.
Prosedur ini biasanya dilakukan untuk hal-hal yang dianggap penting
sehingga memerlukan persetujuandari badan-badan tertentu dalam suatu negara. Di
Indonesia, dengan ratifikasi, yang memerlukan persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat barulah apa yang disetujui Dewan Perwakilan Rakyat itu mengikat warga
negara Indonesia. Tetapi, pada umumnya prosedur ratafikasi menghasilkan
undang-undang, sehingga dapat dikatakan bahwayang mengikat rakyat bukanlagi
traktat itu langsung melainkan undang-undang nasional.
Pembentukan melalui dua tahab: (1) perundingan, dan (2)
penandatanganan.
Ini dilakukan untuk perrjanjian-perjanjian yang dianggap tidak
begitu penting dan memerlukan penyeleseian yang cepat. Contohnya: perjanjian
perdagangan yang berjangka pendek.[13]
F.
PENDAPAT SARJANA HUKUM (Doktrin)
Pendapat para sarjana hokum yang ternama juga mempunyai kekuasaan
dan pengaruhdalam mengambil keputusan oleh hakim.
Dalam jurispundensi terlihat bahwa hakim sering berpegang pada
pendapat seorang atu beberapa orang sarjana hokum yang terkenal dalam ilmu
pengetahuan hokum. Dalam penetapan apa yang akan menjadi keputusannya, hakim
sering menyebut (mengutip) pendapat seorang sarjana hokum mengenai soal yang
harus diselesaikannya; apalagi apabila sarjana hokum itu menemukan bagaimana
seharusnya. Pendapat itu menjadi dasar keputusan hakim tersebut.
Terutama dalam hubungan internasional pendapat-pendapat para
sarjana[14]
hokum mempunyai pengaruh yang besar. Bagi hokum internasional pendapat para
sarjana hukummerupakan sumber hokum yang sangat penting.
Mahkamah Internasional dalam Piagam Mahkamah Internasional (Statute
of the International Court of Justice) pasal 38 ayat 1 mengakui, bahwa dalam
menimbang dan memutus suatu perselisihan dapat menggunakan beberapa pedoman
yang diantara lain ialah:
a.
Perjanjian-perjanjian
internasional.
b.
Kebiasaan-kebiasaan
internasional
c.
Asas-asas
hokum yang diakui bangsa-bangsa yang beradap
d.
Keputusan
hakim dan pendapat-pendapat sarjana hokum.[15]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Istilah sumber
hukum dapat digunakan dalam berbagai arti, yaitu sumber hukum dalam arti
sejarah, dalam arti sosiologi, dalam arti folosofi, dan dalam arti formal.
Sumber
hukum dalam arti sejarah, dalam arti sosiologi, dan dalam arti folosofi dapat
disebut sumber hukum dalam arti materiil yang berarti dari materi apa melihat
sumber hukum tersebut.
Sumber
hukum dalam arti formal berarti format (wujud) dari mana kita melihat isi hukum
yang berlaku. Sebagai sumber hukum yang berlaku dalam arti formal dapat disebut
seluas-luasnya mencakup :
f.
Undang-undang;
g.
Kebiasaan;
h.
Traktat;
i.
Yurisprudensi
j.
Doktrin
DAFTAR PUSTAKA
Donald. Pengantar Hukum Pidana. Jakarta:
PT RAJA GRAFINDO PERSADA, 2014
Kansil. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: PT. PENERBITAN DAN PERCETAKAN
BALAI PUSTAKA, 2008
[1] Donald. Pengantar Hukum
Pidana.(Jakarta: PT RAJA GRAFINDO PERSADA, 2014), 87
[2] Ibid, 88
[3] Ibid, 89
[4] Kansil. Pengantar Ilmu
Hukum, (Jakarta: PT. PENERBITAN DAN PERCETAKAN BALAI PUSTAKA, 2008), 19
[5] Ibid, 20
[6] Ibid, 21
[7] Donald. Pengantar Hukum
Pidana.(Jakarta: PT RAJA GRAFINDO PERSADA, 2014), 97
[8] Ibid, 98
[9] Ibid, 99
[10] Kansil. Pengantar Ilmu
Hukum, (Jakarta: PT. PENERBITAN DAN PERCETAKAN BALAI PUSTAKA, 2008), 22
[11] Ibid, 23
[12] Donald. Pengantar
Hukum Pidana.(Jakarta: PT RAJA GRAFINDO PERSADA, 2014), 99
[13] Ibid, 100
[14] Kansil. Pengantar Ilmu
Hukum, (Jakarta: PT. PENERBITAN DAN PERCETAKAN BALAI PUSTAKA, 2008), 23
Tidak ada komentar:
Posting Komentar