Jumat, 27 Januari 2017

ZAKAT PROFESI

    BAB I
PENDAHULUAN
 A.  Latar Belakang
Zakat termasuk rukun islam yang ketiga. Hukum berzakat adalah wajib bagi setiap muslim dan muslimat yang telah mencukupi syarat-syaratnya. Selain itu, zakat mempunyai peran yang sangat penting bagi umat islam, sebab zakat dapat membersihkan dan mensucikan hati umat manusia, sehingga terhindar dari sifat tercela, seperti kikir, rakus, dan gemar menumpuk harta. Zakat adalah mengeluarkan sebagian harta benda sebagai sedekah wajib, sesuai perintah Allah SWT. Begitu pentingnya kedudukan zakat, sehingga dalam Al-Qur’an, kata zakat selalu disebut sejajar dengan kata shalat, dan itulah yang menjadi dasar kewajiban zakat.
 B. Rumusan Masalah
 Dalam makalah ini, rumusan masalah yang akan di kaji diantaranya:
A.    Apa pengertian zakat profesi?
B.     Apakah dasar hukum zakat profesi?
C.     Bagaimana nishab dan kadar zakat profesi?
D.    Bagaimana pendapat ulama tentang zakat profesi?
E.     Apa hikmah disyari’atkan zakat profesi?



BAB II
PEMBAHASAN
A.  Pengertian Zakat Profesi
Kata ”zakat” secara etimologis berarti suci, berkembang, barakah[1]. Dan juga berarti tumbuh dan berkembang[2]. Sedangkan zakat secara istilah adalah bagian dari harta dengan persyaratan tertentu, yang Allah SWT mewajibkan kepada pemiliknya untuk diserahkan kepada pihak yang berhak menerimanya dengan persyaratan tertentu pula[3]. Profesi sendiri dalam kamus besar Bahasa Indonesia adalah bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian (keterampilan, kejuruan dan sebagainya) tertentu. Profesional bersangkutan dengan profesi dan memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankannya.Jadi, zakat profesi adalah zakat yang dikeluarkan dari hasil usaha yang halal yang mendapatkan hasil (uang) yang relatif banyak dengan cara yang mudah melalui suatu keahlian tertentu[4].
 Berbeda dengan sumber pendapatan dari pertanian, peternakan dan perdagangan, sumber pendapatan dari profesi tidak banyak dikenal di masa generasi terdahulu. Oleh karena itu pembahasan mengenai tipe zakat profesi tidak dapat dijumpai dengan tingkat kedetailan yang setara dengan tipe zakat yang lain. Namun bukan berarti pendapatan dari hasil profesi terbebas dari zakat, karena zakat secara hakikatnya adalah pungutan terhadap kekayaan golongan yang memiliki kelebihan harta untuk diberikan kepada golongan yang membutuhkan.
Menurut Yusuf Qardhawi, profesi yang menghasilkan uang ada 2 macam, yaitu:
1.      Pekerjaan yang dikerjakan sendiri tanpa bergantung pada orang lain, berkat kecekatan tangan dan otak.
Contoh: Dokter, insinyur, advokat, seniman, penjahit, tukang kayu dan lain-lain.
2.      Pekerjaan yang dikerjakan untuk pihak lain baik pemerintah, pengusaha/perorangan dengan memperoleh upah yang diberikan dengan tangan, otak atau keduanya.
Contoh: pegawai negeri, dinas ketentaraan, polisi, pegawai pabrik, pegawai perusahaan, atau menjadi pekerja pada perorangan seperti TKI dan TKW[5]

B.  Dasar Hukum Zakat Profesi
Ayat-ayat Al-Qur’an yang bersifat umum yang mewajibkan semua jenis harta untuk dikeluarkan zakatnya seperti berikut ini:
1.    Al-Qur’an surat Al-Baqarah: 267, yaitu :
يآيهاالّذين آمنوآ انفقوامن طيّبت ..........
”Wahai orang-orang yang beriman, infakkanlah (zakatkanlah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik…”
2.    Al-Qur’an surat Al-Taubah : 103
خذ من اموالهم صدقة تطهّرهم وتزكّهم بها وصلّ عليهم.........
”Ambilah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan berdo’alah untuk mereka…….”
3.    Al-Qur’an surat Az-Zariyat : 19
وفي آاموالهم حقّ لّسّآ ئل والمحروم
”Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta-minta dan orang miskin yang tidak mendapatkan bagian”[6].
4.    Hadist riwayat Imam Bukhori Muslim
بني الاسلام على خمس شهدة ان لااله الاالله وان محمدا رسول الله واقام الصلاة وايتاء الزكاة و حج البيت وصوم رمضان (روه البخاري ومسلم)
“Rasululloh saw bersabda (agama) islam didirikan atas lima hal, bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan –Nya, mendirikan sholat , menunaikan zakat, haji ke baitulloh, dan puasa ramadlan”.(H.R Bukhari Muslim)[7]
       Ayat diatas menunjukan lafadz atau kata yang masih umum “infakkanlah” (zakatkanlah). Dan dalam ilmu qawaid al-fiqih terdapat kaidah “Al-‘ibarotu bi umumi lafdzi laa bi khususi sabab”, artinya “ibroh (pengambilan makna) itu dari keumuman katanya bukan dengan kekhususan sebab”.dan tidak ada satupun ayat atau keterangan lain yang memalingkan makna keumuman hasil usaha tadi, oleh sebab itu profesi atau penghasilan termasuk dalam kategori ayat diatas.[8]
C.  Pendapat Ulama’ Tentang Zakat Profesi
Para ulama’ salaf memberikan istilah bagi harta pendapatan rutin/gaji seseorang dengan nama “a’thoyat”, sedangkan untuk profesi adalah “al mustafad”, sebagaimana disebutkan dalam beberapa riwayat, diantaranya Ibn Mas’ud, Muawiyah dan Umar bin Abdul Aziz. Tetapi ada para ulama’ berbeda pendapat mengenai zakat profesi atau zakat penghasilan, yaitu sebagai berikut:
1.      Ibnu Hazm
Ibnu Hazm dalam kitab al-muhalla’, ia berkata bahwa Abu Hanifah berpendapat bahwa harta penghasilan itu dikeluarkan zakatnya bila mencapai setahun penuh pada pemiliknya, kecuali jika pemiliknya mempunyai harta sejenis yang harus dikeluarkan zakatnya yang untuk itu zakat harta penghasilan itu dikeluarkan pada permulaan tahun dengan syarat mencapai nisab. Dengan demikian bila ia memperoleh penghasilan sedikit ataupun banyak, meski satu jam menjelang waktu setahun dari harta yang sejenis tiba, ia wajib mengeluarkan zakat penghasilannya itu bersamaan dengan pokok harta yang sejenis tersebut meskipun berupa emas, perak, binatang piaraan, atau anak-anak binatang piaraan atau lainnya.
2.      Imam Malik
Imam Maliki berpendapat bahwa harta penghasilan tidak dikeluarkan zakatnya sampai penuh waktu setahun, baik harta tersebut sejenis dengan jenis harta pemiliknya atau tidak sejenis, kecuali binatang piaraan. Karena itu orang yang memperoleh penghasilan berupa binatang piaraan bukan anaknya, sedang ia memiliki binatang piaraan yang sejenis dengan yang diperolehnya, zakatnya dikeluarkan bersamaan pada waktu penuhnya batas satu tahun binatang piaraan miliknya itu bila sudah mencapai nisab. Kalau tidak atau belum mencapai nisab maka tidak wajib zakat. Tetapi bila binatang piaraan penghasilan itu berupa anaknya, maka anaknya itu dikeluarkan zakatnya berdasarkan masa setahun induknya baik induk tersebut mencapai nisab ataupun belum mencapai nisab.
3.      Imam Syafi'i
Imam Syafi’I mengatakan bahwa harta penghasilan itu dikeluarkan zakatnya bila mencapai waktu setahun meskipun ia memiliki harta sejenis yang sudah cukup satu nisab. Tetapi zakat anak-anak binatang piaraan dikeluarkan bersamaan dengan zakat induknya yang sudah mencapai satu nisab maka tidak wajib zakatnya[9].
D.  Nishab Dan Kadar Zakat Profesi

Ada beberapa pendapat yang muncul mengenai nisab dan kadar zakat profesi, yaitu:
1.      Menganalogikan kepada hasil pertanian, baik nisab maupun kadarnya. Dengan demikian nisab zakat profesi adalah 815,758 kg beras[10] dan kadarnya 5% atau 10% (tergantung kadar keletihan yang bersangkutan) dan dikeluarkan setiap menerima tidak perlu menunggu batas waktu setahun.
2.      Menganalogikan dengan zakat perdagangan atau emas. Nishobnya 77,85 gram, dan kadarnya 2,5% dan dikeluarkan setiap menerima, kemudian penghitungannya diakumulasikan atau dibayar diakhir tahun.
3.      Menganalogikan nisab zakat penghasilan dengan hasil pertanian. Nisabnya 815,758 kg beras, sedangkan kadarnya dianalogikan dengan emas yaitu 2,5%. Hal tersebut berdasarkan qiyas ats kemiripan (syabah) terhadap karakteristik harta zakat yang telah ada, yakni:
a.       Model memperoleh harta penghasilan (profesi) mirip dengan panen (hasil pertanian).
b.      Model bentuk harta yang diterima sebagai penghasilan berupa uang. Oleh sebab itu bentuk harta ini dapat diqiyaskan dalam zakat harta (simpanan/kekayaan) berdasarkan harta zakat yang harus dibayarkan (2,5%).
Pendapat ketiga inilah yang dinilai relevan berdasarkan pertimbangan maslahah bagi muzaki dan mustahiq. Maslahah bagi muzaki apabila dianalogikan dengan pertanian, baik nisab dan kadarnya. Namun, hal ini akan memberatkan muzaki karena tarifnya 5%. Sementara itu, jika dianalogikan dengan emas, hal ini akan memberatkan mustahiq karena tingginya nisab akan semakin mengurangi jumlah orang yang sampai nisab. Oleh sebab itu, pendapat ketiga adalah pendapat pertengahan yang memperhatikan maslahah kedua belah pihak (muzaki dan mustahiq). Dan nisab 2,5% ini pernah dipraktekan oleh Ibnu Mas’ud, kholifah Mu’awiyah, dan Umar bin Abdul Aziz[11]
Menurut Imam Madzhab mengenai nishab zakat profesi, adalah sebagai berikut :
1.      Imam Syafi’i dalam kitabnya Al-Umm mengatakan apabila seseorang menyewakan rumahnya kepada orang lain dengan harga 100 dinar selama 4 tahun dengan syarat pembayarannya sampai batas waktu tertentu, maka apabila ia telah mencapai satu tahun, ia harus mengeluarkan zakatnya untuk 25 dinarpada satu tahun pertama dan membayar zakat untuk 50 dinar untuk tahun kedua, dengan memperhitungkan zakat yang telah dikeluarkan, baik sedikit ataunbanyak.[12]
2.      Menurut Imam Malik , harta penghasilan tidak dikeluarkan zakatnya kecuali sampai penuh waktu setahun. Baik harta tersebut sejenis dengan harta yang ia miliki atau tidak, kecuali jenis inatang piaraan. Karena orang yang memperoleh penghasilan berupa binatang piaraan yang seje nis dan sudah mencapai nishab, maka ia harus mengeluarkanzakat dan keseluruhan binatang itu apabila sudah genap satu tahun.[13]
3.      Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa harta penghasilan itu dikeluarkan zakatnya bila mencapai masa satu tahun penuh pada pemiliknya kecuali jika pemiliknya memiliki harta sejenis yang harus dikeluarkan zakatnya, yang untuk itu zakat harta penghasilan. [14]
Menurut Ulama Kontemporer nishab zakat profesi adalah, sebagai berikut :
1.      Menurut Muhammad Ghazali yang dikutip Yusuf Qardawi, bahwa dasar dan ukuran zakat penghasilan tanpa melihat modalnya dapat disamakan dengan zakat pertanian yaitu 5 atau 10 persen.[15]
2.      Menurut M. Ammin Rais profesi yang mendatangkan rizki yang gampang dan hasil yang cukup melimpah, sebaiknya zakatnya ditingkatka menjadi 10 persen atau 20 persen. Bagi kalangan professional yang bekerja untuk pemerintah, misalnya badan-badan swasta yang gajinya tidak mencapai nishab pertanian, zakatnya disamakan dengan zakat emas dan perak yakni 93,6 gram , maka nilai nishab emas adalah 2,5 persen. Jika pada akhir tahun jumlah mencapai satu nishab, dikeluarkan zakatnya 2,5 persen, setelahdikeluarkan biaya pokok dari yang bersangkutan dan keluarganya.[16]
3.      Menurut Al-Qardawi nishab zakat profesi senilai 85 gram emas dan jumlah zakat yang wajib dikeluarkan adalah 2,5 persen.[17]

a.      Hikmah Zakat
Diantara hikmah disyari’atkan zakat adalah:
1.      Sebagai media penyucian hati dari sifat kikir, rakus dan tamak.
2.      Wujud kepedulian dan berbuat baik terhadap fakir miskin, serta memenuhi hajat hidup orang-orang kurang beruntung.
3.      Menegakkan kemaslahatan umum.
4.      Membatasi orang-orang kaya dari kepemilikan yang berlebihan, sehingga peredaran harta lebih merata, tidak hanya monopoli milik orang-orang berduit[18].





BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan

Zakat profesi dikeluarkannya zakatnya apabila mencapai batas nisab. Dan nisabnya nisab zakat penghasilan dengan zakat pertanian. Nisabnya senilai 815,758 kg beras, sedangkan kadarnya dianalogikan dengan emas yaitu 2,5%. Meskipun merupakan hasil ijtihad para ulama’ sekarang. Namun rasa keadilan, serta hikmah adanya kewajiban zakat, mengantar banyak ulama’ masa kini memasukkan profesi-profesi tersebut dalam pengertian “hasil usaha kamu yang baik-baik”. Dengan harapan zakat akan dapat membersihkan dan menyucikan harta, dan menambah rasa syukur terhadap Allah atas rizki yang telah diberikan-Nya.





 DAFTAR PUSTAKA

Ghofur, Abdul, Hukum dan Pemberdayaan Zakat. Yogyakarta: Pilar Media, 2006.
Al-Zuhayly, Wahbah, Zakat Kajian Berbagai Madzab. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008.
Mubarak, Abu Hazim, Fiqih Idola terjemahan fathul qarib. Jawa Barat: Mukjizat, 2012.
Hidayat, Arifin, Fiqih Syari’ah. Solo: Amanda, 2008.
Muhammad, Wacana Pemikiran dalam Fiqih Kontemporer. Jakarta: Salemba Diniyah, 2002.
Djazuli, Zainuddin, Fiqih Ibadah. Kediri: Lembaga Ta’lif Wannasyr, 2008.







[1] Abdul Ghofur Anshori, Hukum dan Pemberdayaan Zakat, (Yogyakarta: Pilar Media (Anggota Ikapi), 2006.), 11.
[2] Wahbah Al-Zuhayly, Zakat Kajian Berbagai Madzab, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008), 82
[3] Abdul Ghofur Anshori, Hukum dan Pemberdayaan Zakat, (Yogyakarta: Pilar Media (Anggota Ikapi), 2006.), 13
[4]Muhammad, Wacana Pemikiran dalam Fiqih Kontemporer, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2002), 58.
[5] Abdul Ghofur Anshori, Hukum dan Pemberdayaan Zakat (Yogyakarta: Pilar Media (Anggota Ikapi, 2006), 86.
[6] Ibid, 87.
[7] Indrarosmana.blogspot.com/2011/10/zakat-menurut-imam-syafi’i-dan.html?m=1
[8] Arifin Hidayat, Fiqih Syari’ah(Solo:Amanda,2008),28.
[10] Abu Hazim Mubarak,Fiqih Idola terjemahan fathul qarib(Jawa Barat:mukjizat,2012)251.
[11] Arifin Hidayat, Fiqih Syari’ah(Solo:Amanda,2008)27.
[12] Mariffuadi.blogspot.com/2014/03/pendapat-ulama-tentang-zakat-profesi.html?m=1
[13] Ibid
[14] Ibid
[15] https://sadudinm.wordpress.com/resensi-resensi-film/zakat-profesi-dalam-perspektif-hukum-islam-fiqh/
[16] ibid
[17]Elzawa.uin-malang.ac.id/zakat-profesi-menurut-fatwa-ulama-kontemporer/
[18] Zainuddin Djazuli, Fiqih Ibadah, (Kediri:lembaga ta’lif wannasyr,2008)211.




Tidak ada komentar: