Jumat, 27 Januari 2017

Hubungan Peradilan Islam dengan Lembaga Hukum; Ijtihad, Iftha’ dan Tahkim

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Peradilan adalah proses yang terjadi di suatu pengadilan dalam membela, mengadili, dan memutuskan untuk menyelesaikan masalah. Sedangkan islam adalah sebuah agama. Jadi, peradilan islam adalah proses penyelesaian masalah dengan menerapkan prinsip-prinsip penyelesaian masalah menurut agama islam.
Penyelesaian masalah terkadang harus mengikutsertakan lembaga-lembaga hokum. Lembaga hokum adalah lembaga hokum sangat berpengaruh pada penyelesaian masalah. Apa hubungan peradilan islam dengan lembaga-lembaga hokum seperti ijtihad, iftha’, dan tahkim? Akan kita bahas pada bab selanjutnya.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana hubungan peradilan dengan lembaga Ijtihad?
2.      Bagaimana hubungan peradilan dengan lembaga Iftha’?
3.      Bagaimana hubungan peradilan dengan lembaga Tahkim?














BAB II
PEMBAHASAN
A.    Hubungan Peradilan dengan Lembaga Ijtihad
Ijtihad telah dimulai sejak masa Rasul kemudian berkembang pada masa sahabat, tabi’in dan generasi selanjutnya sampai sekarang, sesuai dengan pasang surut dan ciri-ciri khas ijtihad pada masing-masing masa. Perkembangan yang ada sesuai dengan pula dengan polarisasi ijtihad dan dinamika sosial yang ada pada masing-masingnya.
Berkenaan dengan kehujjahan ijtihad, jumhur Ulama sepakat bahwa seorang mujtahid boleh melakukan ijtihad sesuai dengan metode yang disepakati bersama terhadap suatu kasus yang tidak ditemui hukumnya. Hasil ijtihad itu wajib diterapkan, tapi tidak wajib diiikuti oleh mujtahid yang lain.
Hubungan kausalitas ijtihad dengan peradilan merupakan sebagai metode istinbat hukum yang digunakan oleh para hakim di Peradilan Islam dalam mewujudkan suatu produk hukum baik yang berkenaan dengan ketentuan-ketentuan Undang-Undang atau dengan jalan menyimpulkan dari hukum yang wajib diterapkan ketika tidak ditemui nash yang Sharih untuk itu.
Ijtihad sangat diperlukan dalam peradilan, karena sering ditemui suatu yang tidak ada ketentuan-ketentuan hukumnya secara Qath’i tapi hanya ada tanda-tanda atau cara-cara untuk membimbing mujtahid dalam berijtihad. Maka untuk melahirkan bentuk hukum yang belum jelas atau hanya semacam isyarat yang diberikan nash, maka satu-satunya jalan yang dipakai adalah ijtihad.
Bila seorang hakim berijtihad tentang suatu perkara yang ditanganinya. Kemudian dia sampai pada suatu pendapat tentang kedudukan hukumnya, lalu muncul lagi pendapat yang baru sebelum dijatuhkan putusan maka dalam hal ini dia harus memutuskan perkara tersebut dengan pendapatnya yang baru karena pendapatnya yang pertama secara lansung telah dibatalkan.[1]

B.     Hubungan Peradilan dengan Lembaga Iftha’
Dalam sejarah hukum Islam, fatwa memegang peranan penting dalam kehidupan umat, mulai dari zaman klasik, pertengahan dan zaman modern. Pada awalnya fatwa-fatwa yang diberikan oleh mufti tidak terdokumentasi dengan baik karena kebiasaan membukukan fatwa belum tersosialisasi di kalangan umat islam.
Fatwa ini sifatnya tidak mengikat, karena itu tidak harus diikuti oleh orang yang meminta fatwa. Karena itu fatwa berbeda dengan putusan hakim, bila dilihat dari segi kekuatan hukumnya. Fatwa seorang mufti sifatnya tidak mengikat, artinya orang yang meminta fatwa tersebut boleh menerima fatwa kemudian mengamalkannya, dan boleh pula tidak menerima dan menolaknya. Dalam hal fatwa ini kekuasaan negara tidak mempunyai wewenang untuk terlaksananya fatwa. Sedangkan putusan hakim sifatnya mengikat dan harus dilaksanakan oleh pihak yang dihukum. Alat-alat negarapun berusaha untuk melaksanakan putusan tersebut.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa fatwa yang dikeluarkan oleh mufti sekalipun tidak merupakan putusan hakim dan bersifat tidak mengikat namun dia petunjuk bagi hakim dan merupakan majlis pertimbangan. Jadi, jelaslah bahwa fatwa-fatwa itu tidak merupakan aturan yang mengikat selama belum diakui oleh pengadilan.[2]

C.    Hubungan Peradilan dengan Lembaga Tahkim
Tahkim berarti menyerahkan putusan pada seseorang dan menerima putusan itu. Sedangkan menurut istilah tahkim diartikan dua orang atau lebih mentahkimkan pada seseorang diantara mereka untuk diselesaikan sengketa dan diterapkan hukum syara’ atas sengketa itu.
Lembaga tahkim ini telah dilakukan oleh orang Arab, bahkan sebelum datangnya islam. Ketika itu perenovasian Ka’bah, terjadi perselisihan antara masyarakat Arab tentang siapa yang akan meletakkan kembali Hajar Aswad ke tempat semula. Pada awalnya mereka sepakat siapa yang dulu bangun pagi, dialah yang lebih berhak. Ternyata mereka bangun serentak, karena itu mereka bertahkim pada Muhammad, yang ketika itu belum diangkat menjadi Rasul, maka Muhammad membentangkan salendang dan meletakkan Hajar Aswad di tengahnya, kemudian meminta masing-masing wakil dari suku-suku untuk memegang pinggir salendang tersebut. Kebijaksanaan Muhammad ketika itu disambut baik oleh setiap orang yang berselisih ketika itu.
Yang menjadi dasar hukum tahkim adalah Qur’an Surat An Nisa’ 35, dan dari hadis yang diriwayatkan An Nasa’iy bahwa Abu Syuraih menerangkan kepada Rasulullah bahwa kaumnya berselisih dalam suatu perkara dan dia pun memutuskan perkara mereka. Putusan itu diterima oleh kedua belah pihak. Mendengar itu Nabipun berkata: “itu merupakan cara yang baik”.
Lembaga tahkim ini merupakan bagian dari lembaga peradilan, namun orang-orang yang menjadi hakam[3] bukanlah orang yang berkompeten mengadili (hakim). Oleh karena itu, ada beberapa hal perbedaan antara hakam dengan tahkim, yaitu:
1.      Hakim harus memeriksa dan meneliti dengan cara perkara yang diajukan kepadanya sesuai dengan bukti-bukti yang ada, sedangkan hakam tidak harus demikian.
2.      Wilayah dan wewenang hakim ditentukan oleh akad pengangkatannya dan tidak tergantung kepada kerelaan dan persetujuan pihak yang berperkara. Sedangkan hakam mempunyai wewenang terbatas, yaitu pada kerelaan dan persetujuan pihak yang bertahkim.
3.      Pada peradilan tergugat harus dihadirkan, sedangkan dalam tahkim masing-masing pihak tidak dapat memaksa lawan perkaranya untuk hadir di majlis tahkim, tetapi masing-masing pihak berdasarkan kemauan dan kerelaan.
4.      Putusan hakim mengikat dan dapat dipaksakan kepada kedua belah pihak yang yang berperkara, sedangkan putusan hakam akan dilaksanakan berdasarkan kerelaan masing-masing pihak.[4]





















BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Hukum itu merupakan seperangkat aturan yang mengatur kehidupan bermasyarakat yang dipaksakan pelaksanaannya dan diberikan sanksi bagi pelanggarnya. Dengan adanya pranata hukum yang merupakan lembaga yang melegalkan hukum tersebut serta menjatuhkan hukuman bagi pelanggarnya.
Hubungan peradilan Islam dengan Ijtihad, Iftha’ dan tahkim mempunyai keterkaitan, dengan ijtihad dapat mewujudkan suatu produk hukum baik yang berkenaan dengan ketentuan Undang-Undang, dengan iftha’ bisa dijadikan bahan pertimbangan bagi hakim dalam memutuskan suatu perkara yang ditangani, dan tahkim juga termasuk dalam bahagian Lembaga Peradilan yang gunanya memutuskan suatu perkara.

















DAFTAR PUSTAKA

Asasriwarni. 2000. Sejarah Peradilan Islam. Padang: IAIN-IB Press
http://nandhadhyzilianz.blogspot.co.id/2013/01/hubungan-peradilan-islam-dengan-pranata.html



[1] Asasriwarni, Sejarah Peradilan Islam, cet. 1, (Padang, IAIN-IB Press, 2000), hlm. 21-22
[2] Ibid. hlm. 24
[3] Hakam yang dimaksud adalah perwakilan pihak-pihak yang  bersangkutan  sebagai penengah  suatu  masalah.
[4] Asasriwarni, Sejarah Peradilan Islam, cet. 1, (Padang, IAIN-IB Press, 2000), hlm. 26-27

Tidak ada komentar: