BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Peradilan adalah proses yang terjadi
di suatu pengadilan dalam membela, mengadili, dan memutuskan untuk
menyelesaikan masalah. Sedangkan islam adalah sebuah agama. Jadi, peradilan
islam adalah proses penyelesaian masalah dengan menerapkan prinsip-prinsip
penyelesaian masalah menurut agama islam.
Penyelesaian masalah terkadang harus
mengikutsertakan lembaga-lembaga hokum. Lembaga hokum adalah lembaga hokum
sangat berpengaruh pada penyelesaian masalah. Apa hubungan peradilan islam
dengan lembaga-lembaga hokum seperti ijtihad, iftha’, dan tahkim? Akan kita
bahas pada bab selanjutnya.
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana hubungan peradilan dengan
lembaga Ijtihad?
2. Bagaimana hubungan peradilan dengan
lembaga Iftha’?
3. Bagaimana hubungan peradilan dengan
lembaga Tahkim?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hubungan Peradilan dengan Lembaga Ijtihad
Ijtihad
telah dimulai sejak masa Rasul kemudian berkembang pada masa sahabat, tabi’in
dan generasi selanjutnya sampai sekarang, sesuai dengan pasang surut dan
ciri-ciri khas ijtihad pada masing-masing masa. Perkembangan yang ada sesuai
dengan pula dengan polarisasi ijtihad dan dinamika sosial yang ada pada
masing-masingnya.
Berkenaan
dengan kehujjahan ijtihad, jumhur Ulama sepakat bahwa seorang mujtahid boleh
melakukan ijtihad sesuai dengan metode yang disepakati bersama terhadap suatu
kasus yang tidak ditemui hukumnya. Hasil ijtihad itu wajib diterapkan, tapi
tidak wajib diiikuti oleh mujtahid yang lain.
Hubungan
kausalitas ijtihad dengan peradilan merupakan sebagai metode istinbat hukum
yang digunakan oleh para hakim di Peradilan Islam dalam mewujudkan suatu produk
hukum baik yang berkenaan dengan ketentuan-ketentuan Undang-Undang atau dengan
jalan menyimpulkan dari hukum yang wajib diterapkan ketika tidak ditemui nash
yang Sharih untuk itu.
Ijtihad
sangat diperlukan dalam peradilan, karena sering ditemui suatu yang tidak ada
ketentuan-ketentuan hukumnya secara Qath’i tapi hanya ada tanda-tanda atau
cara-cara untuk membimbing mujtahid dalam berijtihad. Maka untuk melahirkan
bentuk hukum yang belum jelas atau hanya semacam isyarat yang diberikan nash,
maka satu-satunya jalan yang dipakai adalah ijtihad.
Bila
seorang hakim berijtihad tentang suatu perkara yang ditanganinya. Kemudian dia
sampai pada suatu pendapat tentang kedudukan hukumnya, lalu muncul lagi
pendapat yang baru sebelum dijatuhkan putusan maka dalam hal ini dia harus
memutuskan perkara tersebut dengan pendapatnya yang baru karena pendapatnya
yang pertama secara lansung telah dibatalkan.[1]
B.
Hubungan Peradilan dengan Lembaga
Iftha’
Dalam
sejarah hukum Islam, fatwa memegang peranan penting dalam kehidupan umat, mulai
dari zaman klasik, pertengahan dan zaman modern. Pada awalnya fatwa-fatwa yang
diberikan oleh mufti tidak terdokumentasi dengan baik karena kebiasaan
membukukan fatwa belum tersosialisasi di kalangan umat islam.
Fatwa
ini sifatnya tidak mengikat, karena itu tidak harus diikuti oleh orang yang
meminta fatwa. Karena itu fatwa berbeda dengan putusan hakim, bila dilihat dari
segi kekuatan hukumnya. Fatwa seorang mufti sifatnya tidak mengikat, artinya
orang yang meminta fatwa tersebut boleh menerima fatwa kemudian mengamalkannya,
dan boleh pula tidak menerima dan menolaknya. Dalam hal fatwa ini kekuasaan
negara tidak mempunyai wewenang untuk terlaksananya fatwa. Sedangkan putusan
hakim sifatnya mengikat dan harus dilaksanakan oleh pihak yang dihukum.
Alat-alat negarapun berusaha untuk melaksanakan putusan tersebut.
Dengan
demikian dapat dipahami bahwa fatwa yang dikeluarkan oleh mufti sekalipun tidak
merupakan putusan hakim dan bersifat tidak mengikat namun dia petunjuk bagi
hakim dan merupakan majlis pertimbangan. Jadi, jelaslah bahwa fatwa-fatwa itu
tidak merupakan aturan yang mengikat selama belum diakui oleh pengadilan.[2]
C.
Hubungan Peradilan dengan Lembaga
Tahkim
Tahkim
berarti menyerahkan putusan pada
seseorang dan menerima putusan itu. Sedangkan menurut istilah
tahkim diartikan dua orang atau lebih mentahkimkan pada seseorang diantara
mereka untuk diselesaikan sengketa dan diterapkan hukum syara’ atas sengketa
itu.
Lembaga
tahkim ini telah dilakukan oleh orang Arab, bahkan sebelum datangnya islam.
Ketika itu perenovasian Ka’bah, terjadi perselisihan antara masyarakat Arab
tentang siapa yang akan meletakkan kembali Hajar Aswad ke tempat semula. Pada
awalnya mereka sepakat siapa yang dulu bangun pagi, dialah yang lebih berhak.
Ternyata mereka bangun serentak, karena itu mereka bertahkim pada Muhammad,
yang ketika itu belum diangkat menjadi Rasul, maka Muhammad membentangkan
salendang dan meletakkan Hajar Aswad di tengahnya, kemudian meminta
masing-masing wakil dari suku-suku untuk memegang pinggir salendang tersebut.
Kebijaksanaan Muhammad ketika itu disambut baik oleh setiap orang yang
berselisih ketika itu.
Yang
menjadi dasar hukum tahkim adalah Qur’an Surat An Nisa’ 35, dan dari hadis yang
diriwayatkan An Nasa’iy bahwa Abu Syuraih menerangkan kepada Rasulullah bahwa
kaumnya berselisih dalam suatu perkara dan dia pun memutuskan perkara mereka.
Putusan itu diterima oleh kedua belah pihak. Mendengar itu Nabipun berkata:
“itu merupakan cara yang baik”.
Lembaga
tahkim ini merupakan bagian dari lembaga peradilan, namun orang-orang yang
menjadi hakam[3]
bukanlah orang yang berkompeten mengadili (hakim). Oleh karena itu, ada
beberapa hal perbedaan antara hakam dengan tahkim, yaitu:
1.
Hakim harus memeriksa dan meneliti dengan cara
perkara yang diajukan kepadanya sesuai dengan bukti-bukti yang ada, sedangkan
hakam tidak harus demikian.
2.
Wilayah dan wewenang hakim ditentukan oleh akad
pengangkatannya dan tidak tergantung kepada kerelaan dan persetujuan pihak yang
berperkara. Sedangkan hakam mempunyai wewenang terbatas, yaitu pada kerelaan
dan persetujuan pihak yang bertahkim.
3.
Pada peradilan tergugat harus dihadirkan,
sedangkan dalam tahkim masing-masing pihak tidak dapat memaksa lawan perkaranya
untuk hadir di majlis tahkim, tetapi masing-masing pihak berdasarkan kemauan
dan kerelaan.
4.
Putusan hakim mengikat dan dapat dipaksakan
kepada kedua belah pihak yang yang berperkara, sedangkan putusan hakam akan
dilaksanakan berdasarkan kerelaan masing-masing pihak.[4]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Hukum
itu merupakan seperangkat aturan yang mengatur kehidupan bermasyarakat yang
dipaksakan pelaksanaannya dan diberikan sanksi bagi pelanggarnya. Dengan adanya
pranata hukum yang merupakan lembaga yang melegalkan hukum tersebut serta
menjatuhkan hukuman bagi pelanggarnya.
Hubungan
peradilan Islam dengan Ijtihad, Iftha’ dan tahkim mempunyai keterkaitan, dengan
ijtihad dapat mewujudkan suatu produk hukum baik yang berkenaan dengan
ketentuan Undang-Undang, dengan iftha’ bisa dijadikan bahan pertimbangan bagi
hakim dalam memutuskan suatu perkara yang ditangani, dan tahkim juga termasuk
dalam bahagian Lembaga Peradilan yang gunanya memutuskan suatu perkara.
DAFTAR PUSTAKA
Asasriwarni. 2000. Sejarah Peradilan Islam. Padang: IAIN-IB Press
http://nandhadhyzilianz.blogspot.co.id/2013/01/hubungan-peradilan-islam-dengan-pranata.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar