Jumat, 27 Januari 2017

PROSES PENANGANAN PERKARA PIDANA SEUMUR HIDUP

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang.
            Dalam penjelasan umum (pembukaan) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD 1945) tercantum antara lain:
Negara Indonesia berdasar atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan kekuasaaan belaka (machtsstaat).
Sebagai realisasinya dalam batang tubuh UUD 1945 dicantumkan hak-hak warga negara dan kekuasaan kehakiman. “kekuasaan kehakiman” Di atur dalam bab IX, pasal 24 dan pasal 25 yang dalam penjelasannya tercantum sebagai berikut. Kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Berhubung dengan itu, harus di adakan jaminan dalam undang-undang tentang kedudukan para hakim.
Kebijakan tentang pidana seumur hidup dalam perundang-undangan pidana di Indonesia baik yang ada dalam KUHP maupun dalam undang-undang diluar KUHP termasuk dalam ketentuan/aturan pelaksaannya cenderung hanya diorientasikan pada perlindungan masyarakat refleksi atas fungsi pidana sebagai sarana pencegah kejahatan. Bertolak dari kenyataan tersebut di atas, makalah ini berusaha memberikan deskripsi seputar kebijakan tentang pidana seumur hidup di Indonesia. Dasar analisis makalah ini memang didasarkan pada kebijakan yang ada sekarang dengan harapan kekurangan, kelemahan dan kemungkinan perbaikan bisa di sampaikan.
B. Rumusan masalah.
1. Apa dasar penjatuhan hukuman pidana seumur hidup?
2. Bagaimana proses penanganan pidana seumur hidup?

BAB II
PEMBAHASAN
 
A. Dasar penjatuhan hukuman pidana seumur hidup .
            Sebagaimana diketahui, bahwa induk dari peraturan hukum pidana di indonesia KUHP.sebagai peraturan induk, ketentuan umum dalam KUHP tidak saja berlaku mengingat terhadap aturan-aturan pidana di dalam KUHP tetapi juga mengikat terhadap aturan-aturan pidana di luar kuhp. Tentang masalah ini secara tegas di atur dalam pasal 103 KUHP yang menyatakan:
“ketentuan-ketentuan”dalam Bab 1 sampai dengan bab VIII buku ini (maksutnya KUHP, pen) juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan lainya diancam dengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang di tentukan lain”.
Di dalam KUHP, ketentuan umum tentang pidana seumur hidup diatur dalam pasal 12 yang menyatakan:
(1)  Pidana penjara adalah seumur hidup atau selama waktu tertentu.
(2)  Pidana penjara selama  waktu tertentu paling pendek adalah satu hari dan paling lama 15 tahun.
(3) pidana penjara selama waktu tertentu boleh dijatuhkan untuk dua puluh tahun berturut-turut dalam hal kejahatan yang pidananya hakim boleh memilih antara pidana mati, penjara seumur hidup dan pidana penjara selama waktu  tertentu, begitu juga dalam hal batas lima belas tahun dapat di lampaui karena perbarengan (concursus), pengulangan (residive) atau karena yang di tentukan dalam pasal 52 dan 52a.
 Berdasarkan ketentuan pasal 12 KUHP di atas sebenarnya hanya menunjukkan, bahwa bentuk pidana penjara itu bisa berupa pidana seumur hidup dalam satu ketentuan yaitu dalam ayat (1). Dari ketentuan tersebut tampak, bahwa pengaturan tentang pidana seumur hidup dalam KUHP tidak sejelas pengaturan tentang pidana penjara selama waktu tertentu.[1]
Tabel 1. kelompok tindak pidana yang di ancam pidana seumur hidup dalam KUHP.
Kelompok kejahatan
Pasal yang mengatur
1. Terhadap keamanan negara.
2. Terhadap negara.
3.Membahayakan kepentingan umum.

4. terhadap nyawa.
5. pencurian.
6. pemerasan dan pengancaman.
5.pelayaran.
6. penerbangan.
104,106, 107 (2),11 (2),124 (2),124 (3).
140 (3).
187 ke-3,198 ke-2, 200 ke-3, 202 (2), 204 (2).
339, 340.
365 (4).
368(2).
444.
479f sub b,479 k (1) (2),479o(1) (2).
Sumber: Data sekunder (KUHP),diolah.
            Dari table 1 di atas terlihat, bahwa dilihat dari macam atau jenisnya, kejahatan yang diancam dengan pidana seumur hidup jumlahnya cukup besar. [2]

B. Proses penanganan pidana
            Keberadaan pidana penjara seumur tidak mengenal maksimum dan minimum. Jadi apabila pidana diancamkan pidana satu-satunya penjara seumur hidup, maka pidana tersebut tidak mungkin dikurangi dalam putusan hakim. Kalaupun ada pengurangannya hanya mungkin setelah putusan mempunyai kekuatan yang tetap, yaitu melalui grasi (pengampunan) atau pengurangan (remisi).
Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terpidana dapat mengajukan permohonan grasi kepada Presiden. Permohonan tersebut dapat diajukan 1 kali, kecuali terpidana yang pernah ditolak permohonan grasinya dan telah lewat waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal penolakan permohonan grasi tersebut dan terpidana yang pernah diberi grasi dari pidana mati menjadi pidana penjara seumur hidup dan telah lewat waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal keputusan pemberian grasi diterima. Namun yang berhak mengabulkan dan menolak permohonan grasi tersebut adalah Presiden setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Agung. Pemberian grasi oleh Presiden dapat berupa peringanan atau perubahan jenis pidana; pengurangan jumlah pidana; atau penghapusan pelaksanaan pidana.
Narapidana penjara seumur hidup juga dapat mengajukan permohonan remisi menjadi pidana penjara sementara. Tentu saja harus mengikuti syarat yang telah ditentukan seperti narapidana telah menjalankan paling sedikit 5 (lima) tahun dan selalu berkelakuan baik dihitung sejak tanggal penahanan. Surat permohonan dibuat oleh narapidana paling lama 4 (bulan) sebelum tanggal 17 Agustus tahun yang berjalan yang ditujukan kepada Presiden Republik Indonesia melalui Menteri Kehakiman dan Hak Asasi dan Manusia.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa masih terbukanya pintu lebar untuk meraih kesempatan kepada narapidana penjara seumur hidup untuk dapat berkumpul di dalam pergaulan masyarakat asal memenuhi syarat-syarat dan tentunya pertimbangan yang bijak oleh Presiden untuk memutuskan apakah narapidana tersebut pantas atau tidak mendapat grasi dan remisi. Tentu saja ini menjadi peringatan kepada warga masyarakat akan sangat tercelanya perbuatan yang bersangkutan.[3]

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN.
Melihat perumusan pidana dalam KUHP yang secara keseluruhan menggunakan sistem alternatif menunjukan, bahwa pidana seumur hidup dalam KUHP merupakan jenis sanksi yang dapat dipilih untuk penjatuhannya, tidak bersifat imperatif. Hal ini berbeda dengan perumusan ancaman pidana penjara selama waktu tertentu yang justru banyak menggunakan perumusan ancaman pidana dengan sistem tunggal yang bersifat imperatif. Tidak jauh berbeda dengan sistem perumusan ancaman pidana seumur hidup dalam KUHP, semua ancaman pidana seumur hidup dalam perundang-undangan di luar KUHP juga dirumuskan secara alternatif. Hanya saja apabila perumusan ancaman pidana seumur hidup di dalam KUHP hanya dirumuskan secaraalternatif, ancaman pidana seumur hidup dalam perundang-undangan di luar KUHP selain dirumuskan secara alternaif juga dirumuskan secara alternative kumulatif.Kebijakan tentang pidana seumur hidup yang ada dalam perundang undangan pidana di Indonesia cenderung mengabaikan perlindungan terhadap individu (pelaku tindak pidana). Kecenderungan ini jelas bertentangan dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia, yang selalu mengutamakan keseimbangan antara kepentingan individu dan masyarakat.









DAFTAR PUSTAKA

Tongat,  pidana seumur hidup malang, UMM press, 2004.
marpaung Leden, proses penanganan perkara pidana, Jakarta,  sinar grafika, 2009.
           



[1]  Tongat,  pidana seumur hidup , malang, UMM press, 2004, 81.
[2] Lihat buku II KUHP sampai dengan Bab XXXI yang mengatur tentang tindak pidana yang kualifikasikan  sebagai kejahatan.

[3] Leden marpaung, proses penanganan perkara pidana, Jakarta,  sinar grafika, 2009, 117.









Tidak ada komentar: