BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang.
Dalam penjelasan umum (pembukaan) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945 (UUD 1945) tercantum antara lain:
Negara
Indonesia berdasar atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan kekuasaaan
belaka (machtsstaat).
Sebagai
realisasinya dalam batang tubuh UUD 1945 dicantumkan hak-hak warga negara dan
kekuasaan kehakiman. “kekuasaan kehakiman” Di atur dalam bab IX, pasal 24 dan
pasal 25 yang dalam penjelasannya tercantum sebagai berikut. Kekuasaan kehakiman
ialah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan
pemerintah. Berhubung dengan itu, harus di adakan jaminan dalam undang-undang
tentang kedudukan para hakim.
Kebijakan
tentang pidana seumur hidup dalam perundang-undangan pidana di Indonesia baik
yang ada dalam KUHP maupun dalam undang-undang diluar KUHP termasuk dalam
ketentuan/aturan pelaksaannya cenderung hanya diorientasikan pada perlindungan
masyarakat refleksi atas fungsi pidana sebagai sarana pencegah kejahatan. Bertolak
dari kenyataan tersebut di atas, makalah ini berusaha memberikan deskripsi
seputar kebijakan tentang pidana seumur hidup di Indonesia. Dasar analisis
makalah ini memang didasarkan pada kebijakan yang ada sekarang dengan harapan
kekurangan, kelemahan dan kemungkinan perbaikan bisa di sampaikan.
B.
Rumusan masalah.
1. Apa dasar penjatuhan
hukuman pidana seumur hidup?
2. Bagaimana
proses penanganan pidana seumur hidup?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Dasar penjatuhan hukuman pidana
seumur hidup .
Sebagaimana
diketahui, bahwa induk dari peraturan hukum pidana di indonesia KUHP.sebagai
peraturan induk, ketentuan umum dalam KUHP tidak saja berlaku mengingat
terhadap aturan-aturan pidana di dalam KUHP tetapi juga mengikat terhadap
aturan-aturan pidana di luar kuhp. Tentang masalah ini secara tegas di atur
dalam pasal 103 KUHP yang menyatakan:
“ketentuan-ketentuan”dalam
Bab 1 sampai dengan bab VIII buku ini (maksutnya KUHP, pen) juga berlaku bagi
perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan lainya diancam
dengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang di tentukan lain”.
Di dalam KUHP,
ketentuan umum tentang pidana seumur hidup diatur dalam pasal 12 yang
menyatakan:
(1)
Pidana penjara adalah seumur hidup atau selama waktu tertentu.
(2)
Pidana penjara selama waktu
tertentu paling pendek adalah satu hari dan paling lama 15 tahun.
(3) pidana penjara selama waktu tertentu
boleh dijatuhkan untuk dua puluh tahun berturut-turut dalam hal kejahatan yang
pidananya hakim boleh memilih antara pidana mati, penjara seumur hidup dan
pidana penjara selama waktu tertentu,
begitu juga dalam hal batas lima belas tahun dapat di lampaui karena
perbarengan (concursus), pengulangan (residive) atau karena yang di tentukan
dalam pasal 52 dan 52a.
Berdasarkan
ketentuan pasal 12 KUHP di atas sebenarnya hanya menunjukkan, bahwa bentuk
pidana penjara itu bisa berupa pidana seumur hidup dalam satu ketentuan yaitu
dalam ayat (1). Dari ketentuan tersebut tampak, bahwa pengaturan tentang pidana
seumur hidup dalam KUHP tidak sejelas pengaturan tentang pidana penjara selama
waktu tertentu.[1]
Tabel 1. kelompok tindak pidana yang
di ancam pidana seumur hidup dalam KUHP.
Kelompok kejahatan
|
Pasal yang mengatur
|
1. Terhadap keamanan negara.
2. Terhadap negara.
3.Membahayakan kepentingan umum.
4. terhadap nyawa.
5. pencurian.
6. pemerasan dan pengancaman.
5.pelayaran.
6. penerbangan.
|
104,106, 107 (2),11 (2),124 (2),124 (3).
140 (3).
187 ke-3,198 ke-2, 200 ke-3, 202 (2), 204 (2).
339, 340.
365 (4).
368(2).
444.
479f sub b,479 k (1) (2),479o(1) (2).
|
Sumber: Data sekunder (KUHP),diolah.
Dari
table 1 di atas terlihat, bahwa dilihat dari macam atau jenisnya, kejahatan
yang diancam dengan pidana seumur hidup jumlahnya cukup besar. [2]
B.
Proses penanganan pidana
Keberadaan pidana penjara
seumur tidak mengenal maksimum dan minimum. Jadi apabila pidana diancamkan
pidana satu-satunya penjara seumur hidup, maka pidana tersebut tidak mungkin
dikurangi dalam putusan hakim. Kalaupun ada pengurangannya hanya mungkin
setelah putusan mempunyai kekuatan yang tetap, yaitu melalui grasi
(pengampunan) atau pengurangan (remisi).
Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap, terpidana dapat mengajukan permohonan grasi kepada Presiden.
Permohonan tersebut dapat diajukan 1 kali, kecuali terpidana yang pernah
ditolak permohonan grasinya dan telah lewat waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal
penolakan permohonan grasi tersebut dan terpidana yang pernah diberi grasi dari
pidana mati menjadi pidana penjara seumur hidup dan telah lewat waktu 2 (dua)
tahun sejak tanggal keputusan pemberian grasi diterima. Namun yang berhak
mengabulkan dan menolak permohonan grasi tersebut adalah Presiden setelah
mendapat pertimbangan dari Mahkamah Agung. Pemberian grasi oleh Presiden dapat
berupa peringanan atau perubahan jenis pidana; pengurangan jumlah pidana; atau
penghapusan pelaksanaan pidana.
Narapidana penjara seumur hidup juga dapat mengajukan
permohonan remisi menjadi pidana penjara sementara. Tentu saja harus mengikuti
syarat yang telah ditentukan seperti narapidana telah menjalankan paling
sedikit 5 (lima) tahun dan selalu berkelakuan baik dihitung sejak tanggal
penahanan. Surat permohonan dibuat oleh narapidana paling lama 4 (bulan)
sebelum tanggal 17 Agustus tahun yang berjalan yang ditujukan kepada Presiden
Republik Indonesia melalui Menteri Kehakiman dan Hak Asasi dan Manusia.
Dari
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa masih terbukanya pintu lebar untuk
meraih kesempatan kepada narapidana penjara seumur hidup untuk dapat berkumpul
di dalam pergaulan masyarakat asal memenuhi syarat-syarat dan tentunya
pertimbangan yang bijak oleh Presiden untuk memutuskan apakah narapidana
tersebut pantas atau tidak mendapat grasi dan remisi. Tentu saja ini menjadi
peringatan kepada warga masyarakat akan sangat tercelanya perbuatan yang
bersangkutan.[3]
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN.
Melihat
perumusan pidana dalam KUHP yang secara keseluruhan menggunakan sistem
alternatif menunjukan, bahwa pidana seumur hidup dalam KUHP merupakan jenis
sanksi yang dapat dipilih untuk penjatuhannya, tidak bersifat imperatif. Hal
ini berbeda dengan perumusan ancaman pidana penjara selama waktu tertentu yang
justru banyak menggunakan perumusan ancaman pidana dengan sistem tunggal yang
bersifat imperatif. Tidak jauh berbeda dengan sistem perumusan ancaman pidana
seumur hidup dalam KUHP, semua ancaman pidana seumur hidup dalam
perundang-undangan di luar KUHP juga dirumuskan secara alternatif. Hanya saja
apabila perumusan ancaman pidana seumur hidup di dalam KUHP hanya dirumuskan
secaraalternatif, ancaman pidana seumur hidup dalam perundang-undangan di luar
KUHP selain dirumuskan secara alternaif juga dirumuskan secara alternative
kumulatif.Kebijakan tentang pidana seumur hidup yang ada dalam perundang undangan
pidana di Indonesia cenderung mengabaikan perlindungan terhadap individu
(pelaku tindak pidana). Kecenderungan ini jelas bertentangan dengan nilai-nilai
yang hidup dalam masyarakat Indonesia, yang selalu mengutamakan keseimbangan
antara kepentingan individu dan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Tongat, pidana
seumur hidup malang, UMM press, 2004.
marpaung Leden, proses penanganan perkara pidana,
Jakarta, sinar grafika, 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar