Jumat, 27 Januari 2017

PROSES PENGADOPSIAN ADAT SEBAGAI SUMBER HUKUM DI JAWA

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Pada kenyataanya hukum formil di daerah-daerah Jawa belum sepenuhnya digunakan, daerah-daerah Jawa ini kebanyakan menggunakan hukum adat. Hukum adat sendiri terbentuk dari kebiasaan yang ada di kehidupan masyarakat. Sehingga adat berkembang secara dinamis sesuai dengan perkembangan zaman dan perkembangan kebutuhan masyarakat. Bentuknya yang tidak dikodifikasi menyebabkan hukum adat bukan merupakan sumber hukum yang mempunyai asas legalitas, akan tetapi nilai-nilai hukum adat menjadi sumber peranan penting dalam pembentukan hukum positif di suatu negara.
Kesadaran hukum itu sangat penting. Pada dasarnya hukum itu akan menghasilkan suatu ketertiban, kedamaian dan kenyamanan. Namun kesadaran masyarakat kepada hukum yang berlaku secara umum masih kurang.[1]
Untuk itu karya tulis ini dibuat untuk menjelaskan adat sebagai sumber hukum dengan berdasarkan studi kepustakaan yang ada.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis merumuskan dua rumusan masalah sebagai berikut.
1.      Bagaimana hukum adat di jawa?
2.      Bagaimana proses pengadopsian adat sebagai sumber hukum di jawa?


BAB II
PEEMBAHASAN
A.    Hukum Adat di Jawa
Hukum adat sebagai suatu sistem hukum memiliki pola tersendiri dalam menyelesaikan sengketa. Hukum adat memiliki karakter yang khas dan unik dibandingkan dengan sistem hukum yang lain. Hukum adat lahir dan tumbuh dari masyarakat, sehingga keberadaannya bersenyawa dan titak dapat dipisahkan dari masyarakat. Hukum adat tersusun dan terbangun atas nilai, kaidah dan norma yang disepakati dan diyakini kebenarannya oleh komunitas masyarakat adat. Hukum adat memiliki relevansi kuat dengan karakter, nilai dan dinamika yang berkembang dalam masyarakat adat. Dengan demikian, hukum adat merupakan wujud yuris fenomenologis dari masyarakat hukum adat.
Hukum adat Indonesia merupakan penjelmaan dari kebudayaan masyarakat indonesia. Hukum adat bersandar pada alam pikiran bangsa indonesia yang tidak sama dengan alam pikiran yang menguasai sistem hukum barat atau sistem hukum lainnya.[2]
Hukum adat sebagai suatu sistem yang bersandar pada alam vikiran bangsa Indonesia memiliki konsepsi-konsepsi dasar, unsur, bagian, konsistensi dan kelengkapan yang kesemuanya itu merupakan satu kesatuan yang terangkai. Van Vollenhoven, menyebutkan konstruksi pembidangan hukum adat berupa, bentuk masyarakat hukum adat, badan pribadi, pemerintahan dan peradilan, hukum keluarga, perkawinan, waris, tanah, utang-piutang dan sistem sanksi yang melanggar. Sistematika dan kontruksi bertitik tolak pada nilai dan kenyataan yang ada pada masyarakat. Masyarakat hukum adat adalah kerangka tempat hukum adat bekerja, sehingga akan banyak pengaruh terhadap bagian-bagian yang lain, dan tentu juga berpengaruh terhadap berlakunya hukum adat.
Penyelesaian sengketa dalam masyarakat hukum adat didasarkan pada pandangan hidup yang di anut oleh masyarakat itu sendiri. Pandangan hidup ini dapat diidentifikasikan dari ciri masyarakan hukum adat yang berbeda dengan masyarakat modern. Dalam studi tentang masyarakat, para ahli cenderung dalam menghadapkan ciri masyarakat pada dua kutub saling berbeda, yaitu masyarakat modern dan masyarakat adat. Masyarakat adat adalah masyarakat yang berlabel agraris, sedangkan masyarakat modern cenderung berlabel industri. Pelabelan ini didasarkan .pada pandangan dan filsafat hidup yang dianut masing-masing masyarakat. Analisis mendalam mengenai tradisi penyelesaian sengketa dalam masyarakat adat, sangat ditentukan oleh pandangan dan ciri masyarakat adat.[3]
Masyarakat hukum adat bersifat komunal, bermakna bahwa setiap individu “wajib” menjunjung tinggi hak sosial dalam masyarakatnya. Sikap dan perilaku seseorang merupakan cerminan jiwa dan semangat masyarakat. Nilai pribadi individu ditentukan oleh posisi dan oleh tanggung jawabnya di dalam kehidupan bersama. Dalam kehidupan masyarakat hukum adat, benda dan manusia berfungsi sosial. Tolong menolong dan gotong royong merupakan nafas dalam kehidupan sehari-hari. Transaksi yang berakibat hukum tidak lepas dari penilaian moral positif. Dalam era modern, proses individualisasi ikut menghanti kehidupan masyarakat hukum adat, maka kita harus berusaha menjaga agar modernisasi yang terjadi tetap dilandasi oleh jiwa kolektif dan semangat kooperatif.
Masyarakat hukum adat memiliki sifat demokratif yang mana kepentingan bersama lebih di uttamakan, tanpa mengabaikan atau merugikan kepentingan perorangan. suasana hidup demokratis dan berkeadilan berjalan bersama dengan semangat komunal dan gotong royong dalam masyarakat hukum adat. Perilaku demokratis dijiwai oleh asas hukum adat yang bernilai universal. Nilai ini berupa kekuasaan umum, asas musyawarah, dan perwakilan dalam sistem pemerintahan.[4]
Tradisi penyelesaian sengketa dalam masyarakat hukum adat cenderung menggunakan ‘pola adat’ atau dalam istilah lain sering disebut pola ‘kekeluargaan’. Pola ini di terapkan bukan hanya untuk sengketa perdata tetapi juga pidana. Penyelesaian sengketa dengan pola adat, bukan berarti tidak ada kompensasi atau hukuman apapun terhadap pelanggar hukum adat. Hukuman tetap diberlakukan baik berupa hukuman badan maupun kompensasi harta benda. Penerapan hukuman ini sangat tergantung pada jenis dan berat ringgannya sengeta yang terjadi diantara para pihak. Penting ditegaskan di sini bahwa, esensi penyelesaian sengketa dalam hukum adat adalah mewujudkan damai dalam arti yang komprehensif. Damai yang dimaksud di sini bukan hanya untuk para pihak atau pelaku plaku dan korban, tetapi damai bagi masyarakat secara keseluruhan.oleh karena itu, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan persuasif untuk penyelesaian sengketa dengan menggunakan bahasa adat dan agama, sehingga muncul kesadaran dari para pihak bahwa tidak ada artinya hidup di dunia, bila terjadi persengketaan dan tindakan yang merugikan orang lain. Tujuan penyelesaian sengketa dalam hukum adat adalah perwujudan damai yang permanen.[5]
B.     Proses Pengadopsian Hukum Adat di Jawa
Masyarakat hukum adat lebih mungutamakan penyelesaian sengketa melalui jalur musyawarah, yang bertujuan untuk mewujudkan kedamaian dalam masyarakat. Jalur musyawarah merupakan jalur utama yang digunaan masyarakat hukum adat menyelesaikan sengketa, karena dalam musyawarah akan dapat dibuat kesepakatan damai yang menguntungkan kedua belah pihak. Penggunaan jalur musyawarah bukan berarti menafikan proses penyelesaian sengketa melalui jalur peradilan adat. Penyelesaian sengketa baik melalui jalur musyawarah maupun jalur peradilan adat, tetap didominasi pendekatan musyawarah dalam menyelesaikan sengketa, karena musyawarah merupakan salah satu filosofi dan ciri masyarakat hukum adat.[6]
Proses pengadobsian yang digunakan masyarakat hukum adat pada prinsipnya tidak jauh berbeda dengan proses pengadobsian yang dikembangkan pada era modern. Secara garis besar proses pengadobsian dalam hukum adat dapat dikemukakan seperti di  bawah ini.
1.      Musyawarah bersama untuk mendapatkan suatu kesepakatan, untuk dijadikan hukum adat.
2.      Para pihak yang bersengketa dapat meminta bantuan kepada pihak ketiga (mediator) untuk menyelesaiakan sengketa mereka. Mediator yang dipercayakan para pihak, umumnya adalah tokoh adat atau tokoh ulama’. Dalam sengketa keluarga, pihak yang pertama kali membantu para pihak (suami-istri) adalah orang tua atau kerabat dari kedua belah pihak. Dalam sengketa rumah tangga, keterlibatan tokoh adat atau tokoh agama, bila keluarga suami atau istri tidak mampu mencarikan jalan keluarnya.
3.      Para pihak yang memberikan kepercayaan kepada tokoh adat sebagai mediator didasarkan pada kepercayaan bahwa mereka adalah orang yang memiliki wibawa, dihormati, disegani, dipatuhi perkataannya dan mereka adalah orang-orang yang mampu menutup rapat-rapat rahasia dibalik persengketaan yang terjadi diantara para pihak. Kemampuan menutup rahasia para pihak penting dimiliki mediator, karena bila para pihak mengetahui bahwa sengketa mereka di ketahui publik, bisa berakibat fatal proses mediasi. Oleh karena itu, tokoh adat sebagai mediator dapat saja melakukan pertemuan tertutup dan bahkan pertemuan terpisah dengan para pihak bila dianggap perlu. Dalam masyarakat hukum adat, proses proses pertmuan antara para pihak dengan mediator dilakukan pada malam hari di rumah tokoh adat, atau di rumah salah seorang kerabat mereka. Hal ini ditunjukkan agar selama proses mediasi ini tidak diketahui masyarakat secara umum (kekeluargaan).
4.      Tokoh adat yang mendapat kepercayaan sebagai mediator melakukan pendekatan-pendekatan yang mengunakan bahasa agama dan bahasa adat, agar para pihak yang bersengketa dapat duduk bersama, menceritakan latar belakang penyebab sengketa dan kemungkinan-kemungkinan mencari jalan keluar untuk mengakhiri sengketa.
5.      Tokoh adat sebagai mediator dapat melakukan sejumlah pertemuan termasuk pertemuan terpisah jika diangap perlu, atau melibatkan tokoh adat lain yang independen setelah mendapatkan persetujuan dari dua belah pihak. Tujuannya adalah untuk mempercepat proses mediasi, sehingga kesepakatan-kesepakatan dapat cepat tercapai.
6.      Bila para pihak sudah mengarah untuk menawarkan alternatif penyelesaian, maka mediator dapat memperkuat dengan menggunakan bahasa agama dan bahasa adat, agar kesepakatan damai dapat terwujud. Bila kedua belah pihak bersepakat untuk berdamai dengan sejumlah tuntutan masing-masingyang mungkin dipenuhi, maka mediator dapat mengusulkan untuk menyusun pernyataan damai di depan para tokoh adat dan kerabat dari kedua belah pihak.
7.      Bila kesediaan ini sudah dikemukakan  kepada mediator, maka tokoh adat  tersebut dapat mengadakan prosesi adat, sebagai bentuk akhir dari pernyataan mengakhiri sengketa  dengan mediasi melalui jalur adat. Dengan demikian, maka berakhirlah proses mediasi dalam masyatakat hukum adat.[7] 


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Hukum adat sebagai suatu sistem hukum memiliki pola tersendiri dalam menyelesaikan sengketa. Hukum adat memiliki karakter yang khas dan unik dibandingkan dengan sistem hukum yang lain. Hukum adat indonesia merupakan penjelmaan dari kebudayaan masyarakat indonesia itu sendiri. Hukum adat sebagai suatu sistem yang bersandar pada alam fikiran, bangsa indonesia memiliki konsepsi-konsepsi dasar, unsur, bagian, konsistensi dan kelengkapan yang kesemuanya itu merupakan satu kesatuan yang terangkai. Penyelesaian sengketa dalam masyarakat hukum adat didasarkan pada pandangan hidup yang di anut oleh masyarakat itu sendiri.
Masyarakat hukum adat lebih mungutamakan penyelesaian sengketa melalui jalur musyawarah. Untuk mencapai kedamaian dan ketentraman.
B.     SARAN
1.      Masyarakat jawa.
Saran dari kesimpulan diatas, yakni perlu adanya pengkajian dan pengembangan lebih jauh mengenai hukum adat yang berlaku di masyarakat Jawa untuk membantu dalam penyusunan hukum nasional agar memudahkan hakim dalam memutuskan suatu perkara yang tidak dapat ditemukan hukumnya dalam hukum tertulis.


DAFTAR PUSTAKA
Soedarsono, Hukum Adat dan Modernisasi Hukum, Yogyakarta: FH UII, 1998. 
Hadikusuma Hilman, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Bandung: Mandar Maju, 1992.
Muhammad Bushar, Pokok-pokok Hukum Adat, Jakarta: Pradnya Paramita, 1995.
Soepomo, Bab-bab Hukum Adat, Jakarta: Pradnya Paramita, 1996. 



[1]R.H. Soedarsono, Hukum Adat dan Modernisasi Hukum, (Yogyakarta: FH UII, 1998) , 2.
[2]Ibid, 5-6.
[3] Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 1992), 35.
[4] Ibid, 242-243.
[5] Bushar Muhammad, Pokok-pokok Hukum Adat, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1995),  61-62.
[6]Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 1992), 370.
[7] Soepomo, Bab-bab Hukum Adat, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1996), 276-278.





Tidak ada komentar: